EtIndonesia. Pada 19 Desember 1941, terjadi sebuah peristiwa besar yang menggemparkan Hong Kong, dan nyaris semua orang mengetahuinya. Peristiwa itu berkaitan dengan Lin Gengbai, seorang tokoh legendaris di dunia ilmu perbintangan dan ramalan Tiongkok, yang dikenal sebagai “mulut besi” karena ketepatan ramalannya.
Dia sempat meramalkan bahwa dirinya akan mengalami kematian tragis pada tahun tersebut, dan demi menghindari malapetaka itu, dia memilih melarikan diri ke Hong Kong, berharap bisa menghindari bencana. Namun takdir berkata lain—dalam perjalanan pulang ke penginapannya setelah makan malam di rumah temannya, dia terkena tembakan dan tewas di jalan, saat Hong Kong sedang berada dalam situasi darurat militer.
Banyak orang heran—jika ramalannya begitu akurat, mengapa dia tak bisa menghindari nasib tragisnya sendiri?
Masa Muda yang Cemerlang, Ramalan yang Menggemparkan
Lin Gengbai lahir tahun 1894 di Fujian, dan dibesarkan oleh kakaknya. Pada usia 7 tahun, dia masuk sekolah tradisional, dan setahun kemudian pergi ke Beijing untuk menuntut ilmu. Pada usia 13 tahun, dia lulus ujian masuk ke Sekolah Kekaisaran Beijing, dan di usia 16 tahun, dia sudah ikut ambil bagian dalam Revolusi Xinhai, bahkan menjadi tangan kanan Sun Yat-sen. Tahun 1913, sebelum genap berusia 20 tahun, dia telah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komite Perumus Konstitusi, menjadikannya sosok muda berbakat dengan masa depan cerah.
Namun, namanya benar-benar meledak karena sebuah ramalan pada tahun 1915. Saat itu, Yuan Shikai, Presiden Republik Tiongkok, memutuskan untuk menobatkan dirinya sebagai kaisar, mengkhianati cita-cita revolusi. Para revolusioner muda murka, namun tak berdaya karena Yuan memiliki kekuatan militer besar.
Suatu malam di sebuah kedai minum, Lin Gengbai berdiri dan menyatakan dengan lantang: “Yuan Shikai tidak punya takdir menjadi kaisar. Kalau dia memaksa diri, dia pasti cepat mati.” Semua orang hanya tertawa. Tapi Lin serius. Dia berkata: “Saya telah mempelajari ilmu nasib, dari delapan karakter kelahirannya, hidup Yuan tak akan lama. Tak percaya? Saya akan tulis ramalannya di dinding. Lihat nanti.” Dan benar, dia menulis ramalannya di dinding kedai itu.
Ramalan Terbukti: Kematian Yuan Shikai dan Ketepatan Lin Gengbai
Tahun berganti, situasi politik berubah drastis. Provinsi-provinsi mulai menyatakan kemerdekaan, dan gelombang pemberontakan pun meletus.
Pada 22 Maret, Yuan Shikai menyerah dan turun tahta—hanya 83 hari setelah memproklamirkan dirinya sebagai kaisar. Tak lama kemudian, kesehatannya memburuk. Pada 6 Juni, dia meninggal dunia secara mendadak.
Dalam pesan terakhirnya, dia menulis: “Telah hilang satu musuh besar Jepang, semoga Tiongkok bisa membangun kembali republiknya.”
Jelas terlihat bahwa di akhir hayatnya, dia menyesali keputusannya. Tapi tetap saja, dia tak bisa lolos dari takdir kematian.
Ketika kabar kematian Yuan menyebar, orang-orang teringat akan tulisan Lin di dinding kedai.
Tulisan itu masih ada, dalam huruf hitam di atas latar putih: “Xiangcheng (Yuan Shikai) sudah mendekati akhir hidupnya. Orang-orang yang menyanjungnya hanya menganggap gunung es sebagai Gunung Tai.”
Gunung es tentu akan meleleh. Artinya, kejayaan Yuan hanya sementara.
Sejak saat itu, Lin Gengbai menjadi bintang di dunia ramalan, didatangi banyak tokoh terkenal untuk konsultasi nasib.
Ramalan-Ramalan Lain yang Menjadi Nyata
Lin Gengbai menguasai ilmu ba zi (delapan karakter kelahiran) secara otodidak. Hasil analisisnya seringkali mencengangkan karena begitu akurat.
Dia pernah meramalkan:
- Liao Zhongkai, tokoh besar Republik Tiongkok, akan mati terbunuh — benar, dia tewas dibunuh pada tahun 1925.
- Hu Shi akan bersinar di dunia sastra — terbukti, dia menjadi sastrawan besar.
- Kang Youwei, tokoh reformasi Tiongkok, akan meninggal dunia sekitar usia 71 — benar, dia meninggal pada usia 70 tahun (menurut penanggalan tradisional Tiongkok).
- Xu Zhimo, penyair terkenal, akan meninggal secara tragis — dan dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat pada tahun 1931.
Karena reputasinya yang luar biasa, tarif konsultasi Lin pun melambung. Konon, sekali membaca delapan karakter, dia dibayar lebih dari 100 dolar perak, bahkan bisa mencapai 500 dolar.
Ramalan Nasib Diri Sendiri: Tak Bisa Dihindari
Namun tak lama kemudian, Lin Gengbai menyadari sesuatu yang mengerikan—dari perhitungan nasibnya sendiri, dia akan mengalami bencana berdarah pada usia 45 tahun. Dia mencoba berbagai cara untuk melewati titik rawan itu.
Atas saran ahli fisiognomi Tao Banmei, dia pun memutuskan untuk pergi ke Hong Kong, yang saat itu masih menjadi koloni Inggris, dan dianggap lebih aman. Namun manusia berencana, Tuhan menentukan—dia tiba di Hong Kong pada 1 Desember 1941, dan hanya seminggu kemudian, Perang Pasifik meletus, Jepang menginvasi Hong Kong. Beberapa hari kemudian, Lin Gengbai terkena tembakan dan tewas di jalanan. Kematian tragis itu membuat banyak orang terpukul dan merenung dalam diam.
Benarkah Tak Bisa Mengubah Takdir? Kisah Harapan dari Yuan Liaofan
Apakah benar peramal sehebat apa pun tak bisa lari dari takdir? Tidak selalu.
Contoh yang terkenal adalah Yuan Liaofan, seorang tokoh dari Dinasti Ming. Semasa mudanya, seorang peramal telah meramal dengan sangat tepat tentang hidupnya—termasuk karier dan umur pendek, serta bahwa ia tidak akan memiliki anak.
Namun pada usia 37 tahun, hidup Yuan mulai berubah. Dia mulai bersungguh-sungguh berbuat kebajikan. Sejak itu, takdir hidupnya pun perlahan berubah. Dia meninggal pada usia 74 tahun, dan bahkan memiliki anak yang menemaninya hingga akhir hayat.
Pada usia 69 tahun, Yuan Liaofan menuliskan seluruh pengalaman hidupnya dalam buku berjudul 《Liao Fan Si Xun》(“Empat Nasihat Liaofan”), yang hingga kini dikenal sebagai salah satu buku klasik paling terkenal dalam ajaran moral dan spiritual Tiongkok.
Kesimpulan: Takdir Bisa Diubah Melalui Perbuatan
Orang zaman dulu berkata: “Keluarga yang giat berbuat baik akan diberkati turun-temurun, sedangkan keluarga yang kerap berbuat jahat pasti akan mengalami kemalangan.”
Berbuat kebajikan sejati bukan sekadar slogan atau formalitas, melainkan tindakan yang berasal dari ketulusan hati, dilakukan secara konsisten dan tanpa pamrih. Dengan akumulasi kebaikan yang terus-menerus, akan terjadi perubahan yang nyata, baik dalam energi hidup maupun lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, takdir bukanlah sesuatu yang absolut. Dia seperti sungai—bisa dibelokkan, bisa ditata, selama kita tahu bagaimana mengayuh dengan benar. (jhn/yn)