PKT Menikam ‘Saudara Sendiri’: Ada Apa di Balik Kecaman Mendadak Terhadap Hamas?

EtIndonesia. Pada pekan kedua Mei 2025, dunia diplomasi dikejutkan oleh manuver yang tidak terduga: Partai Komunis Tiongkok (PKT) secara terbuka mengecam aksi Hamas dalam serangan 7 Oktober ke Israel. Hal ini tidak hanya mengagetkan publik internasional, tetapi juga mengubah peta politik Timur Tengah dan menandai potensi perubahan besar di pusat kekuasaan Beijing.

Simbol pita kuning—biasanya digunakan sebagai tanda solidaritas terhadap korban kekerasan—terlihat disematkan di dada Duta Besar Tiongkok untuk Israel, Xiao Junzheng. Dalam wawancara resmi yang penuh kehangatan, dia mengutuk Hamas dengan istilah “tidak manusiawi, tak terampuni, dan sangat mengundang kemarahan”. Sikap ini sangat kontras dengan posisi Tiongkok selama puluhan tahun terakhir, yang selalu menolak mengecam Hamas secara eksplisit dan memilih narasi “netralitas”, “menahan diri”, atau “seruan perdamaian”.

Sejak berdirinya pada 1949, belum pernah sekalipun PKT mengambil posisi yang sedemikian terang-terangan membela Israel dan mengecam kelompok bersenjata anti-Amerika secara terbuka. Publik Tiongkok, Israel, bahkan Hamas, sama-sama terperangah. Media milik partai pun dilanda kebingungan, mempertanyakan kapan dan mengapa kebijakan luar negeri berubah drastis. Namun, di balik perubahan sikap ini, tersembunyi strategi politik dan kepanikan internal yang jauh lebih rumit daripada sekadar masalah moral.

Dari Solidaritas Revolusioner Menuju “Tanda Setia” untuk Trump

Jika Anda mengira PKT tiba-tiba “berhati nurani”, itu keliru. Ini bukan soal penyesalan moral, melainkan transaksi politik yang sangat dingin. Pergeseran sikap ini bukanlah pembalikan ideologi, melainkan sebuah “tanda setia”—diperuntukkan bukan untuk rakyat Palestina, melainkan untuk Donald Trump.

Kenapa harus Trump? Karena kekuasaan Xi Jinping sendiri kini kian rapuh di dalam negeri, dan ancaman dari Amerika Serikat di bawah Trump jauh lebih besar ketimbang di era Joe Biden. Tiongkok sedang berusaha keras mengamankan posisinya sebelum Trump benar-benar mengambil kebijakan garis keras terhadap jaringan “sekutu” anti-Amerika di Timur Tengah, termasuk Iran, Houthi, Hizbullah, dan—tentu saja—Hamas.

Rekam Jejak PKT—Dari Senjata, Dana, hingga Slogan Revolusi

Untuk memahami signifikansi pergeseran ini, perlu melihat sejarah panjang PKT dalam mendukung kelompok bersenjata di seluruh dunia. Dalam tujuh dekade terakhir, PKT dikenal sebagai sponsor utama gerakan revolusi dan milisi bersenjata, dari Afrika hingga Asia Tenggara. Mulai dari pemberontak di Angola, rezim Mugabe di Zimbabwe, Kabila di Kongo, hingga pelatihan milisi di Vietnam, Palestina, dan organisasi-organisasi “anti-imperialis” lain, semua pernah merasakan sentuhan “bantuan merah” dari Beijing—baik berupa dana, senjata, maupun doktrin.

Bahkan, slogan revolusioner Mao Zedong: “Kekuasaan tumbuh dari laras senapan” menjadi “kitab suci” kelompok-kelompok bersenjata di dunia, termasuk Hamas, Taliban, dan Hizbullah. Dalam forum-forum internasional, PKT konsisten menolak menyebut kelompok ini sebagai teroris, dan memilih retorika “keadilan internasional”, “perlawanan bangsa tertindas”, dan “solusi damai”.

Ketika serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel, Kementerian Luar Negeri Tiongkok hanya mengeluarkan pernyataan klise: menyerukan “semua pihak menahan diri”. Sementara di forum Mahkamah Internasional, perwakilan Tiongkok malah membela Hamas secara terbuka, tanpa menyentuh isu pembantaian warga sipil.

Tiba-tiba Mengecam—Kenapa Sekarang?

Perubahan sikap yang mendadak—duta besar PKT di Israel mengenakan pita kuning dan mengecam Hamas di hadapan publik dunia—bukanlah kebetulan. Ini adalah strategi yang sangat terukur, dipilih pada waktu yang spesifik: tiga hari sebelum Donald Trump melakukan lawatan penting ke Timur Tengah.

Trump datang dengan misi mengonsolidasikan aliansi Amerika, Israel, dan Arab Saudi, mengucilkan Iran, serta “menghapus” Hamas, Houthi, dan Hizbullah dari peta geopolitik kawasan, setidaknya secara diplomasi dan narasi publik global. Di balik “poros anti-Amerika” di Timur Tengah, Beijing telah lama berperan sebagai pendukung utama—mulai dari dana, pengelakan sanksi, hingga pasokan teknologi militer ke Iran yang diteruskan ke kelompok-kelompok seperti Hamas.

Jika Trump benar-benar menuntut “pilih pihak”, semua “teman” Beijing di kawasan akan jadi beban politik besar. Maka PKT buru-buru mencari jalan keluar: mengecam Hamas sebagai “tanda setia” demi mengamankan posisi tawar dengan Washington.

Strategi Tiga Langkah—Menyelamatkan Diri di Tengah Badai

Laporan khusus ini menemukan setidaknya tiga langkah besar yang ditempuh Beijing dalam menghadapi tekanan global:

  1. Mengecam Hamas secara terbuka—pita kuning dan pernyataan “tidak terampuni” adalah isyarat bahwa PKT siap “menghajar” mantan sekutu di depan umum, layaknya seorang anak buah mafia yang hendak beralih bos.
  2. Merayu Israel—Xiao Junzheng, duta besar baru, secara terbuka menawarkan peningkatan hubungan strategis, investasi, hingga narasi politik baru jika Israel mau tetap menjaga jarak dari Amerika Serikat.
  3. Menjauh dari Iran dan Rusia secara diplomatik—Pernyataan resmi menegaskan Tiongkok tidak menjual senjata ke Iran, berupaya tampil “bersih”, dan mengikuti jargon “penjaga perdamaian dunia”.

Semua langkah ini ditujukan untuk satu hal: menunjukkan pada Trump bahwa Tiongkok siap beradaptasi dengan “aturan main” baru, asalkan tidak jadi sasaran utama kebijakan isolasi Amerika.

Xi Jinping—Masihkah Berkuasa di Beijing?

Salah satu aspek paling penting dari laporan ini adalah temuan bahwa perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Tiongkok ini tampaknya bukan keputusan langsung Xi Jinping. Beberapa indikatornya:

  • Xi Jinping tidak tampil di panggung diplomasi saat pengumuman ini dilakukan.
  • Kemenlu Tiongkok, lewat jubir Mao Ning, menghindari jawaban langsung ketika ditanya apakah benar-benar mendukung sikap duta besar yang mengecam Hamas.
  • Sumber-sumber internal di Beijing menyebutkan adanya tekanan dari “kelompok kolektif” di dalam PKT yang mulai menyingkirkan pengaruh Xi dan menulis ulang “naskah” diplomasi baru.

Sepuluh tahun terakhir, kendali PKT ada di tangan Xi, namun sejak 2023, banyak institusi penting mulai kehilangan “loyalis Xi”—dari militer, lembaga intelijen, hingga korps diplomat. Keputusan besar kini lebih banyak diambil secara kolektif, dan Xi hanya “duduk” di kursi kekuasaan, tanpa kendali penuh atas jalannya kapal negara.

Arti Penting Simbol Pita Kuning—Bendera Putih untuk Trump

Simbol pita kuning di dada duta besar PKT kini harus dibaca sebagai “bendera putih”—tanda menyerah secara diplomatik, bukan tanda empati. PKT sadar kali ini lawan mereka bukan lagi Washington yang “lunak”, tapi Trump yang sangat tegas, penuh dendam politik, dan tidak ragu “menghukum” secara ekonomi maupun militer.

Pergeseran ini pun diyakini akan merembet ke isu lain, terutama soal Taiwan. Jika tiba-tiba PKT menurunkan tensi militer dan mulai mengusung “penyatuan damai”, itu bukanlah tanda Beijing menjadi rasional atau lembut, melainkan karena tekanan besar dari Amerika Serikat di bawah Trump semakin nyata dan tak terhindarkan.

Akhir Sebuah Era—Pergeseran Poros Kekuasaan PKT

Sejak berdirinya, belum pernah PKT secara eksplisit mengecam “rekan seperjuangan” anti-Amerika seperti Hamas. Peristiwa ini bukan sekadar isu diplomatik, melainkan sinyal titik balik dalam sistem kekuasaan PKT: dari kekuasaan personal Xi Jinping, bergeser ke kepemimpinan kolektif yang pragmatis dan sangat “pragmatis”—bahkan rela “mengorbankan” sekutu lama demi bertahan di pentas dunia.

Kepanikan ini bukan tanda kebangkitan moral, melainkan rasa takut. PKT kini sangat sadar: satu langkah keliru bisa membuat mereka dibuang dari tatanan baru yang tengah “diacak ulang” oleh kekuatan global. Jalan satu-satunya adalah merendah, tersenyum, dan mengharap belas kasihan dari pihak yang lebih kuat.

Penutup: Permintaan Maaf yang Tersembunyi

Langkah mengecam Hamas adalah sinyal permintaan maaf Beijing kepada Amerika, khususnya kepada Trump yang akan kembali menjadi pemain utama. Apakah strategi “menunduk” ini akan berhasil atau justru membuat Tiongkok semakin tersudut? Dunia kini menanti babak baru—bukan hanya di Timur Tengah, tapi juga di seluruh kawasan yang selama ini jadi medan pertarungan pengaruh PKT.

Bagaimana kelanjutan perubahan ini, apakah Trump akan menerima “kartu loyalitas” PKT, atau justru mempercepat kejatuhan Xi dan perubahan rezim di Beijing—hanya waktu yang bisa menjawab.

FOKUS DUNIA

NEWS