50% Populasi Kelebihan Berat Badan, Pemerintah Turki Cek Berat Badan Warga di Jalan—Tuai Protes

EtIndonesia. Pada 23 Mei waktu setempat, pemerintah Turki meluncurkan kampanye nasional bertajuk “Kenali Berat Badanmu, Hidup Sehat” (Know Your Weight, Live Healthy), yang langsung menuai sorotan luas dari publik. Sejak program ini dimulai, alat penimbang berat badan dan pengukur tinggi tubuh tersebar di berbagai sudut kota—dari alun-alun, pusat perbelanjaan, taman umum, hingga halte bus.

Tenaga kesehatan terlihat aktif mengukur BMI (Indeks Massa Tubuh) warga secara langsung, bahkan dalam beberapa kasus, mereka masuk ke rumah-rumah untuk melakukan pemeriksaan fisik. Program ini dijadwalkan berlangsung hingga 10 Juli, dengan target ambisius untuk mengukur berat badan 10 juta warga Turki.

Menteri Kesehatan Turki: 50% Warga Mengalami Kelebihan Berat Badan

Kemal Memişoğlu, Menteri Kesehatan Turki, yang menjadi penggagas utama kampanye ini, menyatakan secara tegas:“Negara kita memiliki 50% populasi yang kelebihan berat badan.”

Dia juga menjelaskan berbagai risiko kesehatan yang terkait:“Kelebihan berat badan berarti tubuh mudah sakit, dan ke depan, kita akan menghadapi lebih banyak penyakit. Anak-anak yang kelebihan berat badan saat ini mungkin terlihat sehat karena daya tahan tubuh mereka masih kuat, namun saat mereka tumbuh dewasa, kelebihan berat badan itu akan bertransformasi menjadi penyakit sendi dan jantung.”

Menariknya, sang menteri sendiri tidak luput dari pemeriksaan, dan hasilnya menunjukkan bahwa ia pun termasuk dalam kategori “kelebihan berat badan”. Dalam unggahan di media sosial, Memişoğlu menulis bahwa ia akan mulai berkonsultasi dengan ahli gizi dan berkomitmen untuk berjalan kaki saat berangkat kerja.

Tujuan Mulia, Namun Cara Pela+ksanaan Memicu Protes

Meskipun tujuan kampanye ini adalah untuk mendorong gaya hidup sehat, cara pelaksanaannya justru menuai kritik keras. Banyak warga yang mengeluhkan bahwa mereka merasa tidak nyaman dipaksa menimbang berat badan di tempat umum, dan menyebut hal ini sebagai pelanggaran privasi.

Salah satu suara kritis datang dari dr. Gökben Hızlı Sayar, seorang psikiater sekaligus akademisi. 

Dengan nada satir, ia menulis di media sosial: “Saya ‘tertangkap’ di pos pemeriksaan di alun-alun Üsküdar. Untungnya, saya hanya dimarahi sebentar lalu dibebaskan. Seperti pengemudi yang memberi tahu ada kamera tilang, saya memberi tahu tiga orang gemuk lainnya yang menuju arah sana. Bersatulah, teman-teman seperjuangan!”

Keluhan serupa disampaikan banyak warga lainnya. Mereka menganggap didatangi di tempat umum dan diminta menimbang berat badan tanpa bisa menolak sebagai bentuk pemaksaan. 

Salah satu warga mengatakan:“Saya dihentikan di jalan dan diminta langsung naik ke alat timbang. Situasinya sangat tidak memungkinkan untuk menolak.”

Dampak Psikologis: Dari Stres hingga Body-Shaming di Depan Umum

Selain merasa dipermalukan, banyak warga yang sebelumnya sudah mengalami kecemasan terkait bentuk tubuh (body image anxiety) mengaku bahwa dipaksa menimbang badan di tempat umum telah memperburuk kondisi psikologis mereka. Beberapa bahkan menyebut pengalaman itu meninggalkan trauma, karena berat badan mereka dipublikasikan secara tidak langsung di hadapan orang banyak.

BMI: Indikator yang Tidak Selalu Akurat

Selain masalah privasi dan pemaksaan, metode pengukuran BMI (Body Mass Index) itu sendiri bukan tanpa kritik. Sejumlah pakar kesehatan menilai bahwa BMI bukanlah alat ukur yang sepenuhnya akurat dalam menilai kondisi tubuh seseorang.

Alasannya, BMI tidak memperhitungkan massa otot dan variasi individu. Akibatnya, banyak atlet profesional yang memiliki otot padat bisa keliru dikategorikan sebagai “kelebihan berat badan” atau “obesitas”, padahal tubuh mereka sehat dan bugar.

Kesimpulan

Kampanye nasional Turki untuk memerangi obesitas melalui pemeriksaan BMI massal bertujuan baik: meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan gaya hidup sehat. Namun, pelaksanaannya yang terkesan memaksa dan menyinggung privasi individu, serta ketergantungan pada metode pengukuran yang tidak sempurna, justru memicu kontroversi dan kritik luas dari masyarakat dan kalangan ahli.

Program yang seharusnya membangun kesadaran malah berisiko melukai harga diri dan psikologis banyak orang—khususnya mereka yang selama ini sudah bergumul dengan persepsi negatif terhadap tubuh mereka sendiri.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS