EtIndonesia. Dr. Gary E. Schwartz, mantan profesor psikiatri dan psikologi di Universitas Yale, kini menjabat sebagai profesor di bidang psikologi, kedokteran, neurologi, psikiatri, dan bedah di Universitas Arizona. Dalam sebuah perjalanan bersama istrinya melewati Jalan Tol Roosevelt, dia mengalami sebuah kejadian yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Sebelum kejadian, dia mendengar suara misterius berbisik: “Kenakan sabuk pengaman.” Dia dan istrinya langsung menuruti, dan tak lama kemudian, mereka ditabrak dari belakang oleh sebuah kendaraan.
Pengalaman tersebut menjadi titik balik yang mengubah arah hidup dr. Schwartz, mendorongnya mendalami dunia penelitian tentang kemampuan intuisi dan fenomena “psikis”. Dari sinilah perjalanannya sebagai seorang parapsikolog dimulai.
Pertemuan dengan Christopher Robinson: Sang Peramal Mimpi
Dalam perjalanan penelitiannya, dr. Schwartz bertemu dengan Christopher Robinson, seorang pria yang mengklaim mampu melihat masa depan melalui mimpi. Kemampuan ini membuat Schwartz tertarik untuk menguji validitasnya secara ilmiah. Dia pun memutuskan melakukan eksperimen terstruktur selama sepuluh hari penuh untuk membuktikan apakah kemampuan Robinson sungguh nyata atau sekadar ilusi.
Eksperimen 10 Hari: Mimpi sebagai Jendela Masa Depan
Selama eksperimen, setiap hari mereka akan mengunjungi satu lokasi yang dipilih secara acak dan rahasia, dirancang agar tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui sebelumnya ke mana mereka akan pergi.
Tugas Robinson adalah bermimpi malam sebelumnya dan mencoba memprediksi lokasi keesokan harinya berdasarkan simbol, perasaan, atau gambaran yang muncul dalam mimpinya.
Pada salah satu malam, Robinson bermimpi memegang dua koran Inggris — The Sun dan The Mirror — yang dia gulung seperti teleskop sambil menatap langit. Dalam mimpi itu juga muncul peralatan ilmiah, layar monitor, dan sebuah gunung.
Keesokan harinya, mereka tiba di Observatorium Nasional Kitt Peak, pusat pengamatan astronomi yang sangat cocok dengan deskripsi mimpi Robinson.
Reaksi Ilmuwan: Antara Terpukau dan Tertantang
Dr. Schwartz mengatakan: “Sebagai ilmuwan, satu-satunya kesimpulan yang dapat saya tarik adalah bahwa kemampuan Robinson sungguh nyata. Ini bukan kebetulan, apalagi tipuan. Informasi yang dia berikan bukan samar-samar, justru semakin spesifik dan rinci dari hari ke hari, jauh melampaui apa yang bisa dijelaskan oleh keberuntungan semata.”
Namun, dia juga menegaskan bahwa eksperimen ini, meski sukses, bukan bukti konklusif, melainkan pijakan awal untuk mendorong penelitian lebih lanjut.
Dia mengatakan: “Begitu kita mengakui bahwa kemampuan ini ada, pertanyaan selanjutnya adalah: Dari mana datangnya informasi ini?”
Schwartz tidak mengklaim bahwa dia tahu jawabannya, namun dia menyadari bahwa tingkat kompleksitas informasi yang ditangkap melalui mimpi hanya dapat dimaknai jika pikiran manusia mampu terhubung dengan bentuk kecerdasan yang lebih tinggi.
Mengapa Christopher Robinson? Etika dan Tujuan di Balik Kemampuan
Mengapa justru Robinson yang menjadi “penerima pesan”? Schwartz memiliki teorinya. Dia percaya bahwa sikap dan tanggung jawab pribadi Robinson sangat berperan penting. Robinson tidak menggunakan kemampuannya untuk keuntungan pribadi, Dia tidak ingin menyalahgunakannya, dan hanya ingin menggunakannya untuk tujuan yang positif dan bermanfaat.
Yang mengesankan, eksperimen ini dilakukan sepenuhnya atas inisiatif Robinson sendiri, bahkan dia membiayai perjalanannya ke Arizona dengan uang pribadinya demi mengikuti uji coba tersebut.
Selama bertahun-tahun, Robinson menjadi sasaran keraguan dan ejekan, namun dia tetap tegar dan konsisten. Baginya, bukan pengakuan atau sensasi yang penting, tapi menyuarakan kebenaran bahwa “mereka” — sumber informasi itu — mungkin berasal dari kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari manusia.
Kesimpulan
Eksperimen antara dr. Gary E. Schwartz dan Christopher Robinson membuka kembali diskusi ilmiah tentang intuisi, mimpi, dan kemungkinan adanya “koneksi nonfisik” antara manusia dan alam semesta. Meski belum bisa dijelaskan sepenuhnya oleh sains modern, pengalaman ini menyuguhkan bukti empiris awal bahwa dunia mimpi mungkin lebih dari sekadar refleksi bawah sadar — ia mungkin jendela menuju realitas yang belum kita pahami. (jhnyn)