EpochTimesId – Minyak mentah Texas Barat (WTI) baru-baru ini tetap bertahan pada harga di atas 70 dolar AS per barel. Minyak mentah Brent juga naik sampai 80 dolar AS per barel.
Semakin banyak ahli yang memperkirakan bahwa harga minyak akan kembali naik hingga mencapai lebih dari 100 Dolar AS per barel dalam dua tahun mendatang. Banyak orang mulai khawatir bahwa ini akan menyebabkan menyusutnya konsumsi di Amerika Serikat dan bahkan dunia. Sehingga kemudian mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
Minyak mentah WTI baru-baru ini melayang mendekati 71 Dolar AS per barel, naik sekitar 18 persen dari 60 Dolar AS pada awal tahun. Harga WTI juga naik 42 persen jika dibandingkan dengan harga tahun lalu, pada kisaran 50 Dolar per barel.
Harga minyak mentah juga tercermin dalam harga bensin di AS, minggu ini. Harga bensin di AS rata-rata 2,92 dolar per galon, naik 15,8 persen dari harga di awal tahun, 2,52 dolar. Harga itu juga naik 21,6 persen dari harga tahun lalu, yaitu 2,4 dolar.
Meskipun demikian, ahli ekonomi UBS, Seth Carpenter menyatakan dalam laporan baru-baru ini bahwa kenaikan itu tidak akan memiliki dampak negatif pada perekonomian AS. Amerika tidak akan terpengaruh bahkan jika harga minyak mentah kembali mencapai 120 dolar per barel.
Alasan utamanya adalah bahwa minyak serpih AS akan terus meningkatnya produksinya selama proses kenaikan harga minyak. Itu pada gilirannya mengurangi jumlah permintaan AS untuk impor minyak mentah, dan menurunkan dampak dari kenaikan harga minyak pada pertumbuhan PDB keseluruhan Amerika Serikat.
Menurut statistik UBS, permintaan impor minyak mentah tahunan AS (atau defisit minyak mentah) turun dari 15 miliar dolar menjadi 10 miliar dolar selama tahun 2010-2013. Dimana harga minyak berada di puncak. Angka defisit kini turun menjadi 60 miliar dolar AS.
Selain itu, kenaikan harga minyak mentah juga membuat industri minyak serpih AS berkembang. UBS memperkirakan bahwa tahun depan industri energi AS akan mempekerjakan 100.000-148.000 orang karyawan tambahan.
Laporan tersebut percaya bahwa ekonomi AS diperkirakan akan meningkat 0,4 persen lebih banyak dari tahun lalu karena kenaikan harga minyak. Bahkan jika harga minyak naik menjadi 120 dolar AS per barel masih akan memberikan kontribusi positif terhadap PDB AS.
Daniel Silver, seorang analis dari JP Morgan Chase memperkirakan bahwa karena kenaikan harga minyak tahun ini, beban konsumen meningkat, sehingga dapat berdampak sekitar 0,3 persen pada PDB. Sementara itu, investasi dari perusahaan energi dapat berkontribusi 0,2 persen pada PDB. Jadi dampak yang terjadi sangat kecil.
Tapi Daniel berpendapat bahwa seiring dinaikannya status industri energi bagi perekonomian AS sejak beberapa puluh tahun silam, dampak kenaikan harga minyak terhadap ekonomi secara bertahap juga menurun.
Ia juga percaya bahwa konsumen dapat menanggapi perubahan harga minyak dengan menyesuaikan kecenderungan menabung mereka, yang akhirnya akan mengarah ke dampak nol pada perekonomian AS yang disebabkan oleh naiknya harga minyak.
Artikel Reuters menganalisis bahwa sejak tahun 1860 Amerika Serikat menjadi negara konsumsi minyak mentah terbesar dunia. Sejak hampir 10 tahun terakhir minyak serpih AS mengalami perkembangan yang baik, kenaikan harga minyak mentah menghasilkan efek berupa pengalihan kekayaan antar negara bagian di Amerika Serikat.
Kekayaan masyarakat sedang beralih dari negara bagian yang paling banyak mengkonsumsi minyak seperti California, Florida, New York, Illinois menuju ke Texas, Oklahoma, New Mexico dan North Carolina yang menghasilkan minyak.
Menurut statistik, produksi minyak mentah AS perhari telah naik dari 5 juta barel pada tahun 2008 menjadi 10.3 juta barel pada tahun 2018. Sedangkan konsumsi minyak harian Amerika pada tahun 2005 sebanyak 20.8 juta barel turun menjadi 19.9 juta barel pada tahun 2017.
Menurut data pada Energy Information Administration (EIA), volume impor minyak mentah dan produk minyak bumi AS tahun 2005 telah melebihi 12.5 juta barel per hari. Tetapi angka itu telah menurun menjadi 3.7 juta barel per hari pada tahun 2017, dan masih tetap menurun pada kwartal pertama tahun 2018. (Zhang Dongguang/ET/Sinatra/waa)
Video Rekomendasi :