Epochtimes.id- Outbreak wabah Ebola yang mematikan di Kongo timur menandai enam bulan berlalu. Sejumlah pejabat mencatat kasus-kasus yang dikonfirmasi terkait dengan pusat-pusat kesehatan.
Infeksi tersebut dilihat sebagai masalah utama yang menyoroti praktik buruk dan risiko penyebaran di antara pasien dan pekerja.
Dikombinasikan dengan perlawanan masyarakat di wilayah yang tidak stabil dan kepadatan penduduk yang belum pernah menghadapi Ebola sebelumnya, kini tugas mengendalikan wabah tetap menghadapi tantangan.
Di pusat wabah saat ini, komunitas Butembo dan Katwa, 86 persen kasus Ebola sejak 1 Desember “telah mengunjungi atau bekerja di fasilitas perawatan kesehatan sebelum atau setelah timbulnya penyakit,” kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam tiga minggu terakhir di Katwa, 49 “struktur kesehatan” diidentifikasi di mana kasus yang dikonfirmasi dirawat di rumah sakit, dan baru delapan petugas kesehatan dilaporkan yang terinfeksi sebagaimana disebut WHO.
Sebanyak 759 kasus Ebola, termasuk 705 di antaranya dikonfirmasi dan 414 kematian dikonfirmasi. Angka ini telah menjadi wabah Ebola terbesar kedua dalam sejarah dibandingkan wabah Afrika Barat yang menewaskan lebih dari 11.000 di 2014-2016.
Tidak ada tanda akhir yang terlihat. “Ini adalah area yang sangat kompleks dengan rasa tidak aman seperti itu,” kata Dr. Ibrahima Soce Fall, selaku direktur regional WHO untuk keadaan darurat kepada The Associated Press.
“Kami telah mampu mengendalikan banyak titik, tetapi akan membutuhkan waktu untuk benar-benar mengakhiri wabah ini.”
Katwa adalah komunitas terbaru untuk menghadirkan pejabat dengan penduduk yang selalu waspada terhadap orang luar setelah bertahun-tahun mengalami serangan pemberontak di wilayah tersebut.
“Mereka tidak mempercayai otoritas di Kongo karena mereka terkena rasa tidak aman dan konflik selama lebih dari 20 tahun,” kata Fall.
“Anda tidak dapat mengendalikan wabah jenis ini tanpa melibatkan komunitas untuk deteksi cepat.”
“Di Beni, pusat bencana awal, butuh berbulan-bulan sebelum beberapa komunitas memberikan kepercayaan,” katanya.
Masyarakat sering masih memilih untuk pergi ke pusat kesehatan tradisional daripada rumah sakit.
“Banyak orang terinfeksi di fasilitas itu. Jika Anda menderita malaria, Anda mungkin berada di tempat yang sama dengan seseorang dengan Ebola,” kata Fall.
“Mereka tidak memiliki dokter di sana, dan orang-orang yang bekerja tidak memenuhi syarat.” Banyak gejala awal Ebola, termasuk demam dan nyeri otot, mirip dengan malaria dan penyakit lain yang umum di wilayah ini.
Hal menjadi perhatian di Katwa adalah bahwa 80 persen kasus Ebola belum dapat dilacak ke kontak orang terinfeksi yang diketahui. Itu berarti sejumlah pejabat tidak dapat secara akurat melacak di mana virus itu menyebar dan siapa yang berisiko paling tinggi sebagaimana diungkapkan Laurence Sailly, kepala misi di Kongo untuk Doctors Without Borders.
Angka itu lebih rendah di masyarakat yang terkena Ebola di awal wabah. Angka ini dinilai mencerminkan kemajuan langkah petugas kesehatan.
Setiap kali Ebola muncul di komunitas baru, petugas kesehatan harus mulai dari langkah nol untuk menjelaskan penyakitnya. Beberapa melibatkan kelompok pemberontak untuk memberikan akses vaksinasi dan melacak kontak mereka yang terinfeksi.
Ada juga kekhawatiran tentang kematian yang terjadi di luar pusat kesehatan karena beberapa orang tetap enggan mencari bantuan.
Pasien Ebola di rumah berpotensi menginfeksi lebih banyak orang daripada di isolasi. Para ahli menyebutkan mereka paling menular tak lama sebelum mereka mati.
WHO dan kementerian kesehatan Kongo telah mulai menguji dan mencatat semua kematian di luar pusat kesehatan.Banyak warga Kongo tetap khawatir.”Saya takut pada Ebola dan saya pikir epidemi ini belum berakhir,” kata Manoa Lebabo, seorang warga Beni yang berusia 20 tahun. (asr)
Oleh Carley Petesch/Associated Press via The Epochtimes