oleh Yi Ru
Perang dagang Tiongkok-AS berdampak dengan penurunan Ekonomi Tiongkok. Akibatnya ekspor terhenti dan permintaan domestik lesu. Sektor yang terkena imbasnya adalah industri tekstil dan garmen Tiongkok. Kedua industri itu mengalami kesulitan besar dan tidak sedikit yang gulung tikar.
Data Kantor Bea Cukai Tiongkok yang dirilis pada 10 Juni menunjukkan, 5 bulan pertama tahun ini, total nilai impor dan ekspor Tiongkok bernilai 1,79 triliun dolar AS, turun 1,6%.
Data itu menunjukkan Ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat turun 8,4% Year over year atau YoY, dan impor menurun lebih besar, yakni 29,6% Year over year. Dalam bulan Mei saja, total nilai impor dan ekspor Tiongkok adalah 386,03 miliar dolar AS, turun 3,4%. Di antaranya, ekspor meningkat 1,1% Year over year, sementara impor turun 8,5%, Surplus perdagangan pada bulan Mei adalah 27,85 miliar dolar AS lebih tinggi dari pada bulan April.
Beberapa analis menunjukkan bahwa ekspor Tiongkok pada bulan Mei naik karena faktor mengejar waktu, para eksportir Tiongkok mengejar waktu pengiriman barang supaya tiba di AS sebelum tarif baru terhadap komoditas senilai 200 miliar dolar AS diberlakukan.
Xie Tian, profesor di Aiken School of Business dari University of South Carolina berpendapat bahwa ekspor pada bulan Mei sedikit meningkat, dan sebagian besar produk yang awalnya mengalir ke Amerika Serikat sekarang terpaksa dialihkan dulu ke negara lain.
Kepada Epoch Times, Xie Tian mengatakan, masih terdapat banyak batasan untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor jangka panjangnya. Menurut Xie Tian : “Karena tidak ada negara lain yang memiliki pasar dan daya beli yang begitu besar selain Amerika Serikat. Juga tidak ada negara yang dapat mentolerir surplus perdagangan Tiongkok seperti Amerika Serikat. Jika ekspor Tiongkok ke negara Asia Tenggara, Eropa, dan Timur Tengah meningkat, maka impornya pasti akan meningkat pula. Negara-negara ini tidak akan mentolerir surplus besar seperti Amerika Serikat, maka ekspor Tiongkok masih akan mengalami masalah.”
Sementara itu, Mr. Chen, pemilik bisnis pakaian jadi di Hunan, Tiongkok mengatakan kepada Epoch Times bahwa biasanya, pada bulan Juli dan Agustus adalah musim “paceklik” industri tekstil, jadi umumnya pabrik diliburkan. Tetapi tahun ini, “paceklik” datang 1 bulan lebih cepat. Pada bulan Juni, sudah banyak pabrik garmen yang diliburkan, “Terutama bagi mereka yang melayani ekspor. Perang dagang telah berdampak besar pada perusahaan ekspor. Dia menuturkan, Paman istrinya di kota Shenzhen yang melakukan ekspor pakaian denim ke Amerika Serikat, sudah dalam kondisi tidak ada pesanan yang masuk untuk tahun ini. Sehingga Tampaknya sulit untuk bertahan.
Mr. Chen ketika mengunjungi pasar grosir produksi kain pakaian Shaoxing Keqiao Zhejiang pada akhir bulan Desember tahun lalu dan makan siang bersama bos pabrik garmen di Zhejiang, bos tersebut mengatakan : “Setelah perang dagang berkobar, banyak pabrik garmen besar yang mengekspor ke Amerika Serikat karena tidak ada lagi pembeli dari AS yang datang membeli menyebabkan banyak perusahaan garmen bangkrut, dan pabrik kain denim di pihak kita juga sudah mengalami putus pesanan, dan semakin banyak pabrik ditutup”.
Zhejiang Shaoxing Keqiao Textile City adalah pasar perdagangan tekstil terbesar di Tiongkok, dengan sebagian besar produknya untuk ekspor.
Mr. Chen mengatakan bahwa ada puluhan ribu perusahaan di sana, tetapi sepertinya sepertiga dari mereka sudah tutup. “Sejumlah besar produsen bangkrut, satu demi satu. Banyak produsen yang saya kenal sebelumnya kini juga sudah tutup. Bahkan di depan gerbangnya tertulis : Disewakan atau Dijual”.
Ketika berbicara tentang alasan bangkrut Mr. Chen mengatakan : “Perang dagang adalah dampak terbesar. Tekstil merupakan industri padat karya dengan keuntungannya yang tidak tinggi. Amerika Serikat sendiri tidak memproduksinya. Semua dipasok dari Tiongkok, jadi begitu pembeli Amerika Serikat tidak lagi datang ke Tiongkok untuk berbelanja, berarti tidak ada pesanan lagi dan produsen terpaksa tidak bekerja”.
Menurut data Kantor Bea Cukai pada bulan April dan Desember tahun lalu, keseluruhan ekspor industri tekstil Tiongkok menunjukkan 2 kali pertumbuhan negatif.
Mr. Zeng, pengusaha di Huizhou mengutip ucapan dari temannya yang melakukan bisnis jual beli mesin-mesin bekas mengatakan kepada Epoch Times bahwa, banyak pabrik tekstil di Guangdong telah tutup sejak perang dagang berkobar. Dia membeli banyak mesin-mesin pabrik tetapi sekarang tidak bisa menjualnya, tidak ada orang yang mau membuka pabrik.
Amerika Serikat adalah pasar tekstil dan pakaian jadi terbesar bagi Tiongkok. ‘China Cotton Net’ mengutip ungkapan perusahaan tekstil di Henan menyebutkan bahwa perusahaan tekstil sekarang berada di bawah tekanan di kedua ujungnya.
Di satu sisi, harga bahan baku yang dibeli pada tahap awal telah menjadi lebih tinggi, yang secara langsung mendorong kenaikan biaya produksi. Di sisi lain, penjualan terhenti dan pelanggan hilir tidak datang membeli tidak juga memberikan penawaran. Ketika pihak Tiongkok dan Amerika mulai menaikkan tarif pada pertengahan bulan Mei, penjualan benang kapas mengalami stagnasi.
Bagi pabrik tekstil, ketidakpastian situasi perdagangan di masa depan memaksa produsen untuk tidak berani menerima pesanan. Beberapa perusahaan menghentikan produksinya selama satu bulan di bulan Juni karena beban biaya yang tingginya sampai ratusan ribu Yuan per hari, beberapa usaha yang relatif kecil telah lama gulung tikar.
Menurut berita yang disiarkan oleh CHina Central TV pada bulan April tahun ini, bahwa perusahaan-perusahaan tekstil di Kota Shengze, Wujiang, sebuah kota tekstil utama di Jiangsu telah menghentikan produksi.
Ratusan hingga ribuan perusahaan kecil dan menengah yang menghentikan produksi menyita sekitar sepertiga dari jumlah total perusahaan kecil dan menengah. Wujiang Shengze yang memiliki nama harum Kota Sutra Tiongkok memiliki 2.000 unit perusahaan tekstil.
Pemilik bisnis di Henan mengatakan bahwa perang dagang memberikan dampak yang jauh lebih besar kepada rantai industri tekstil dan garmen daripada yang diperkirakan oleh industriawan.
Menurut industri, pangsa impor pakaian jadi dari Tiongkok di AS sedikit menurun pada kuartal pertama tahun ini. Impor pakaian Tiongkok di AS mengalami stagnasi. penurunannya bahkan sampai 2 digit, namun impor pakaian jadi dari negara lain mengalami peningkatan. Diperkirakan bahwa setelah kenaikan tarif, laju penurunan akan semakin cepat, Jumlah tekstil dan garmen yang diekspor ke Amerika Serikat akan turun tajam.
Mr. Chen mengatakan bahwa ada alasan lain mengapa sejumlah besar pabrik garmen “berlibur” lebih awal. Dia menuturkan : “Pakaian jadi anak-anak yang dia buat pada dasarnya dijual di Tiongkok. Sekarang pihaknya pada dasarnya tidak memiliki pesanan. Pihaknya tidak akan berproduksi jika tidak ada pesanan. Kerugian akan besar jika tetap berproduksi tanpa pesanan. Banyak orang menganggur, semua orang umumnya tidak memiliki cukup uang, konsumsinya cukup lemah sehingga seluruh ekonomi melemah”.
‘Capital Futures’ dalam sebuah laporan penelitian dan pengembangan menyebutkan bahwa atmosfer pesimistis pada industri tekstil terasa sangat kuat, tren konsumsi terus melemah.
Menurut laporan itu, bulan Mei – Juli adalah musim “paceklik” bagi industri tekstil, tetapi akibat perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, pesanan luar negeri nyaris putus.
Beberapa perusahaan yang berorientasi ekspor menunjukkan bahwa pesanan untuk bulan Agustus dan selanjutnya menyusut secara signifikan. Permintaan AS telah dialihkan ke Asia Tenggara dan langsung berdampak pada permintaan akan benang dan kapas.
Laporan juga menyebutkan bahwa permintaan pakaian jadi dalam negeri juga terus melemah. Karena perlambatan permintaan, produk tersisa di gudang masih menumpuk. Sisa produk di gudang perusahaan tekstil meningkat lebih dari 50% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Persediaan perusahaan individu meningkat 10-15 hari dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dan beberapa bahkan melebihi 40 hari.
Naiknya stok benang kapas telah membuat beberapa pabrik tekstil kesulitan uang, beberapa pabrik kecil telah menghentikan produksi, atau mengurangi jam kerja dan mengurangi waktu produksi. Sebagian besar perusahaan masih pesimis terhadap prospek pasar tekstil pada paruh kedua tahun ini. (Sin/asr)