Shi Shan
Presiden Rusia, Putin pada 23 Februari lalu mengumumkan pengakuannya atas kemerdekaan dua wilayah Ukraina, yakni Donetsk dan Luhansk yang terletak di Donbass, timur Ukraina, dan dengan alasan menjaga perdamaian, ia mengirim pasukannya ke wilayah tersebut. Setelah itu, keesokan harinya pada 24 Februari pukul 05.30 dini hari, Putin kembali berpidato di televisi, dan mengumumkan bahwa Rusia akan melakukan “operasi militer khusus” di Ukraina.
Putin berkata, “Konfrontasi kami dengan pasukan (Ukraina) ini tidak dapat dihindari, ini hanya masalah waktu saja.” Ia juga menambahkan, tujuan operasi militer Rusia ini adalah untuk melindungi rakyat, Moskow akan melakukan “demiliterisasi dan denazi- fikasi” terhadap Ukraina, serta akan “mengakhiri peperangan di timur Ukraina yang telah berlangsung 8 tahun lamanya”.
Dua wilayah di timur Ukraina itu, Donetsk dan Luhansk, mayoritas penduduknya adalah etnis Rusia. Setelah terjadi revolusi pro-Barat di Ukraina pada 2014 silam, kedua wilayah tersebut mengumumkan “kemerdekaannya”, dan memisahkan diri dari Ukraina. Kelompok milisi setempat dibantu oleh staf militer Rusia, terus melakukan perang melawan pasukan Ukraina selama 8 tahun terakhir ini.
Dalam pidato televisinya Putin mengatakan, ekspansi NATO yang kebablasan dan penggunaan wilayah Ukraina oleh NATO tidak bisa diterima. Sebenarnya inilah tu- juan strategis yang paling penting bagi Putin dalam melakukan aksinya ini. Akan tetapi, invasi Rusia ini telah membuktikan rasa tidak aman yang dirasakan oleh negara-negara kecil di sekitar Rusia bukan tidak beralasan, dan bukan tidak berdasar.
Rusia mengerahkan pasukannya masuk ke negara lain, baik semasa Tsar Rusia, bekas Uni Soviet atau Rusia sekarang, memiliki banyak catatan sejarah. Sebelum invasi, dalam suatu pidato pengumumannya, Putin mendeskripsikan Ukraina sebagai “bagian dari sejarah dan kebudayaan Rusia sejak zaman dulu kala”, merupakan bagian dari “semangat kebangsaan” yang tak terpisahkan.
Nada seperti ini, membuat kita teringat akan berbagai logika keterlaluan PKT (Partai Komunis Tiongkok), juga membuat kita teringat pada perampasan wilayah kedaulatan Tiongkok yang pernah dilakukan oleh Imperium Tsar Rusia dan Uni Soviet dalam sejarah. Di era 1850-an, Tsar Rusia memanfaatkan momentum lemahnya imperium Qing (dibaca: ching) yang tidak berdaya mengawal wilayah utara mereka setelah Perang Candu kedua, dan “Traktat Aigun” dimanfaatkan untuk menguasai 600.000 km persegi wilayah Tiongkok di utara Sungai Heilongjiang, di selatan Stanovoy Range. Pada 1860, Inggris dan Prancis bersekutu menyerang Beijing, pemerintah Kekaisaran Qing pun menandatangani “Konvensi Peking”.
Berdasarkan “Konvensi Peking”, Tsar Rusia tidak hanya telah mengakui konten “Traktat Aigun”, tapi juga telah merampas wilayah lebih luas lagi termasuk wilayah sebelah timur Sungai Ussuri termasuk Pulau Sakhalin, dengan luas keseluruhan sekitar 400.000 km persegi.
Wilayah ini meliputi Hai Shen Wai (arti: Tanjung Teripang, red.), yang dalam Bahasa Manchu (etnis nomaden di wilayah timur laut Tiongkok) artinya adalah desa nelayan kecil di tepi laut. Kemudian Tsar Rusia mengubah namanya menjadi Vladivostok, yang berarti “Sang penguasa Timur” atau “penaklukan Timur”, juga diartikan sebagai “kota penakluk Timur”.
Antara 1860 hingga 1870, Tsar Rusia memanfaatkan “Protocol of Chuguchak” berikut tiga perjanjian turunannya yakni “Perjanjian Khovd”, “Perjanjian Uliastai” (atau Treaty of Ili), dan “Perjanjian Tarbagatai”, untuk merampas mulai dari wilayah utara Tiongkok dari Pegunungan Abakan sampai ke selatan mencapai Dataran Tinggi Pamir, lalu dari wilayah barat Tiongkok dari Danau Balkhash dan Sungai Talas sampai ke timur mencapai wilayah luar barat laut yakni Ili dan Prefektur Tacheng, luasnya sekitar 440.000 km persegi. Pada 1881 dan 1882, lewat “Traktat Ili” (atau Traktat St. Petersburg, red.) dan “Traktat Perbatasan Ili”, Tsar Rusia kembali merampas 70.000 km persegi wilayah di barat laut Tiongkok.
Pada 1892, Tsar Rusia menyerang dan menduduki wilayah Pamir yang terletak di barat Puncak Sarikol. Pada 11 Maret 1895, Tsar Rusia dan Kerajaan Inggris menandatangani kesepakatan, membagi wilayah Pamir dengan luas masing-masing sekitar 20.000 km persegi.
Pada 1896, Tsar Rusia dan Dinasti Qing menandatangani “Li-Lobanov Treaty” (atau Sino-Russian Secret Treaty, red.), yang memaksa peminjaman pemakaian wilayah Pelabuhan Laut Dalian dan Distrik Lüshunkou.
Pada 1900, meletusnya Pemberontakan Boxer telah memicu masuknya pasukan Aliansi Delapan Negara (peristiwa Pengepungan Legasi Internasional, red.), Tsar Rusia melakukan pembantaian terhadap warga Tiongkok di wilayah Hailan Boo di Heilongjiang, serta terhadap 64 Desa Timur Sungai (64 Villages East of the River, red.), yang kemudian dikenal dengan peristiwa “1900 Amur Anti-Chinese Pogroms”, menimbulkan korban jiwa ribuan warga Tiongkok meninggal dunia. Dinasti Qing pun kehilangan kedaulatan dan hak untuk tinggal atas penduduk dari 64 Desa Timur Sungai itu, total luas wilayahnya mencapai 3.600 km persegi. Pada Oktober tahun yang sama, Tsar Rusia kembali menguasai keseluruhan wilayah “Dergi Ilan Golo” (tiga provinsi timur laut Tiongkok, red.).
Pada 1902, Tiongkok dan Rusia menandatangani “Kesepakatan Rusia-Tiongkok Atas Manchuria (3 provinsi di timur laut Tiongkok)”, disetujui penarikan pasukan Rusia dari wilayah “Dergi Ilan Golo” dibagi menjadi tiga tahap, dengan jeda waktu 6 bulan. Akan tetapi setelah kesepakatan ditandatangani, Tsar Rusia tidak menarik pasukannya, sehingga membuat pihak Jepang berang. Pada 1903, perang antara Jepang dengan Rusia pun meletus. Tsar Rusia kalah perang, maka pada 1905 antara Rusia dan Jepang ditandatangani “Perjanjian Portsmouth”, yang isinya menyerahkan sebagian besar wilayah “Dergi Ilan Golo” kepada Jepang. Setelah itu Jepang menyerahkan kembali seluruh wilayah timur laut tersebut kepada pemerintah Manchuria, dengan luas wilayah 1,26 juta km persegi, bisa dibilang mendapatkan kembali setelah kehilangan.
Sejak 1911, Tsar Rusia memulai aksi kolonialnya di wilayah Tannu Uriankhai. Pada 1919, dengan terjadinya Revolusi Rusia, Pemerintah Beiyang (juga dikenal dengan nama Pemerintahan Bejing adalah nama sistem pemerintahan dan periode sejarah yang mengacu pada awal berdirinya Republik Tiongkok antara 1912-1928 dengan ibu kotanya di Beijing, yang merupakan pemerintah pusat Tiongkok pada waktu itu) berhasil menguasai Tannu Uriankhai untuk jangka waktu yang cukup pendek.
Pada 1921, Tentara Merah Soviet berhasil menumpas seluruh pasukan Tentara Putih (Whites Movement, red.) yang bermarkas di Mongolia Luar, lalu mendirikan rezim Soviet di Tannu Uriankhai. Waktu itu, Tannu Uriankhai menyatakan kemerdekaannya, dan pada Oktober 1944, Tannu Uriankhai dengan luas wilayah 170.000 km persegi, dengan nama kenegaraan Republik Rakyat Tuva, mengumumkan bergabung dengan Uni Soviet. Pada 25 Juli 1919, negara Soviet Rusia mengeluarkan “Deklarasi Pertama Terhadap Tiongkok”, yang menyatakan bahwa Mongolia Luar adalah sebuah negara yang merdeka, dan menyatakan hendak menjalin hubungan diplomatik dengannya.
Pada 1921, memanfaatkan kekacauan era panglima perang (war lord) di dalam negeri Tiongkok, Tentara Rakyat Mongolia yang didukung oleh Partai Komunis Uni Soviet, dengan bantuan dan dukungan dari Tentara Merah Soviet Rusia menyerang, dan berhasil menduduki Kota Altanbulag di Mongolia Luar. Maka sejak saat itu, kekuasaan Tiongkok atas wilayah Mongolia Luar pun telah lenyap sepenuhnya.
Pada 1941, Uni Soviet dan Jepang menandatangani “Pakta Netralitas Soviet- Jepang”. Kedua belah pihak menyatakan bersama: Untuk menjaga hubungan persahabatan kedua negara. Uni Soviet menjamin akan menghormati keutuhan wilayah kedaulatan “Manchuria”, dan tidak akan menginvasinya, pihak Jepang menjamin akan menghormati keutuhan wilayah kedaulatan “Republik Rakyat Mongolia”, dan tidak akan menginvasinya. Kedua negara bertransaksi dengan menggunakan wilayah yang merupakan milik Tiongkok, dan melakukan gencatan senjata.
Pada Februari 1945, dua negara yakni AS dan Inggris tanpa memberitahu Republik Tiongkok dan negara sekutu lainnya, telah menandatangani “Kon- ferensi Yalta” dengan Uni Soviet terkait masalah Mongolia Luar dan kedaulatan Tiongkok. Selain meminta Uni Soviet mengirim pasukan ke timur laut, juga menetapkan: “Tetap mempertahankan kondisi Mongolia Luar (Republik Rakyat Mongolia) saat ini.”
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat, pemerintahan nasionalis (Republik Tiongkok) dipaksa untuk menerima kemerdekaan Mongolia Luar, dengan luas wilayah 1,56 juta km persegi.
Keseluruhan luas wilayah yang telah dirampas oleh Tsar Rusia dan Uni Soviet dari Tiongkok mencapai 3,26 juta km persegi. Di antaranya, Tannu Uriankhai dan Mongolia Luar “memerdekakan diri” atas inisiatif sendiri, sebenarnya sangat mirip dengan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk yang terletak di Distrik Donbass di timur Ukraina saat ini. Rusia telah menginvasi Ukraina, dan melakukan aksi perang berskala lebih besar, kemudian AS dan Eropa akan campur tangan, paling-paling Rusia hanya angkat kaki saja dari Ukraina dan wilayah lain, tapi tetap mempertahankan legitimasi kekuasaannya atas kedua distrik tersebut dan Krimea. Ini disebut membuat target setinggi mungkin, mendapat hasil yang cukup memuaskan.
Invasi Putin, Rusia terhadap Ukraina, jelas telah merusak keseluruhan tatanan internasional saat ini, dan menimbulkan ancaman luar biasa besar terhadap masa depan dunia.
Tatanan internasional yang diterapkan saat ini, terbentuk berdasarkan kondisi pasca berakhirnya PD-II. Dengan kata lain, perbatasan negara yang berdaulat saat ini, pada dasarnya adalah hasil dari PD-II. Sebelum PD-II, antar suku bangsa dan negara sekitarnya di dunia telah terjadi peperangan dan perampasan, saling menyerang dan bertahan. Jika semua pihak menggunakan “sejak dulu” sebagai patokan, maka konflik di dunia ini tidak akan pernah berakhir.
Ukraina diakui sebagai negara yang merdeka, paling lambat adalah di era 1920-an, jauh sebelum PD-II. Jika kedaulatan Ukraina tidak dihormati, dan wilayahnya bisa dicaplok, sementara masyarakat internasional diam saja, atau tidak berdaya, maka dunia ini akan menjadi kacau karenanya. Inilah alasannya Five Eyes yang diketuai oleh AS dan negara Eropa tidak bisa tenang atas peristiwa Ukraina.
Tapi sebaliknya, selama lebih dari dua dekade terakhir, tren memusuhi Rusia di Eropa maupun Amerika, serta tindakan mengabaikan Rusia, juga merupakan satu alasan besar krisis Rusia-Ukraina kali ini. Sebelumnya telah dibahas soal ekspansi NATO ke timur, juga telah dibahas di kalangan elite AS dan Eropa, bersandiwara dengan berpusat pada ideologi anti-Rusia.
Seperti kasus “Russia Gate” yang ditudingkan pada Trump yang sempat menggemparkan AS namun kemudian tak berujung pangkal, berbagai media massa besar heboh memberitakannya, membesar- besarkan dan menambah bumbu, hampir tidak ada yang tidak dilakukannya, tujuannya adalah mengakhiri karir politik Trump. Premis yang diisyaratkan dalam aksi konspirasi ini adalah, siapa pun yang berhubungan baik dengan Rusia, maka dia adalah orang jahat, dan tentu saja berarti bahwa Rusia juga adalah orang jahat.
Saat diwawancara, Trump mengatakan: “Jika saya yang menjabat, dipastikan tidak akan terjadi hal itu. Mereka memang sangat buruk, tapi hubungan Putin dengan saya sangat baik, saya menghormatinya.”
Banyak orang merasa perkataan Trump seperti ini sangat konyol, tapi bahkan di pentas internasional pun, kecerdikan seorang pebisnis seperti Trump ini kadang kala juga sangat berguna. Namun kalangan liberal di AS dan Eropa tidak berpikir demikian.
Selain alasan sejarah, para liberalis di Eropa dan AS, juga mempunyai alasan realistis sehingga harus menentang Rusia. Putin beraliran konservatif, menjunjung tinggi kedaulatan, tidak menerima berbagai macam teori dari kalangan progresif, termasuk gerakan transgender, gerakan hijau, juga menentang perampasan kedaulatan negara oleh kelompok berkepentingan globalisasi, dan lain sebagainya.
Setelah Uni Soviet runtuh, perekonomian Rusia pun kandas, status internasionalnya merosot drastis, PDB Rusia hanya setara dengan satu provinsi makmur di Tiongkok, dan jauh di bawah sebuah negara bagian besar di AS. Hal ini pun semakin memperparah penghinaan elite AS dan Eropa terhadap Rusia.
Namun Rusia tetap mewarisi kekuatan militer yang dominan dan gudang senjata nuklir bekas Uni Soviet. Ada ungkapan mengatakan, kapal bobrok pun masih memiliki tiga kilogram paku, unta mati pun lebih besar daripada kuda, setelah terdesak oleh lawan yang terus melecehkannya, Rusia pun mulai membalas tanpa menghiraukan konsekuensi apa pun, apalagi Rusia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana pasukan AS sebagai kekuatan militer nomor satu di dunia itu hengkang dari Afghanistan dengan mengenaskan.
Namun kaum progresif di Eropa maupun AS, sehari-harinya dengan semangat berseru paling lantang, tapi begitu terjadi krisis, tidak berdaya apa pun. Setidaknya, sekarang kita bisa melihat, yang ada hanyalah sanksi ekonomi yang berkelanjutan, tapi tidak ada tindakan bombastis yang konkret.
Rusia dan Ukraina sedang dilanda krisis peperangan, perang ini baik berskala besar ataupun kecil, dunia akan berubah karenanya. Mengutip sebuah kalimat dari “Kisah Tiga Negara” (Sam Kok, red.), hal besar di dunia ini, setelah lama berdamai pasti akan berseteru, setelah lama berseteru pasti akan berdamai. Mungkin itulah kehendak Ilahi, apa daya kehendak manusia? (sud)