Melalui Jalan Longinus

Eric Bess

Pernahkah Anda mendengar seseorang menggambarkan sesuatu sebagai  hal  yang  agung?  Selama 2.000 tahun terakhir, istilah agung (sublim) ini telah pernah dijelaskan, hilang, dikaji kembali, dan dijelaskan kembali. Salah satu interpretasi paling awal berasal dari kritikus sastra Yunani abad pertama, Longinus.

“On the Sublime”—literatur yang penulisnya tidak diketahui pasti dan secara tradisional dikaitkan dengan Longinus menggambarkan keagungan sebagai sesuatu yang “membawa orang ke tempat yang dekat dengan kehendak agung Tuhan.”

Apa yang kita ketahui tentang kehendak Tuhan? Menurut Longinus, respon yang dapat ditemukan dalam “jawaban yang diberikan oleh orang yang, ketika ditanya apa kesamaan kita dengan para Dewa, ia menjawab, “Kebajikan dan kebenaran’.” Jadi, kita dapat menyebut pengalaman yang agung itu sebagai sesuatu yang mengangkat kita secara Ilahi melalui hal-hal dalam sifat kita yang dianugerahkan Tuhan, yakni: kebajikan dan kebenaran.

Menurut Longinus: “Alam telah menilai kita manusia sebagai makhluk yang tidak berarti atau berkualitas rendah. Sebaliknya, dia telah membawa kita ke dalam kehidupan, ke seluruh alam semesta … dan sejak pertama dia telah menanamkan dalam jiwa kita hasrat yang tak terkalahkan untuk semua yang agung dan untuk semua yang lebih ilahi daripada diri kita sendiri. Karena alasan ini, seluruh alam semesta tidak memuaskan perenungan dan pemikiran yang berada dalam lingkup usaha manusia; ide-ide kita sering melampaui batasan di mana kita dibatasi, dan jika kita melihat kehidupan dari semua sisi, mengamati bagaimana dalam segala hal yang menyangkut kita, yang luar biasa, yang agung, dan yang indah memainkan peran utama, kita akan segera menyadari tujuan kreasi kita.”

“The Art of Painting” or “Painter in his Studio” by Johannes Vermeer, 1666-1668. Oil on canvas. Kunsthistorisches Museum, Vienna. (Public Domain)

Mari kita luangkan waktu sejenak untuk membongkar apa yang mungkin dimaksud Longinus ketika dia berbicara tentang keagungan. Keagungan tampaknya terjadi ketika sebuah pengalaman terhubung dan meningkatkan karakteristik Ilahi dari kebajikan dan kebenaran dalam diri kita sendiri. Pengalaman ini mengangkat kita di luar individu kita sendiri, usaha manusia dan mengungkapkan tujuan kita yang lebih besar: untuk menjadi luar biasa dan sehubungan dengan karakteristik Ilahi dari belas kasih dan kejujuran.

Pengalaman agung berbicara tentang kodrat keilahian kita; itu membangkitkan gairah yang kita miliki untuk menjadi tulus. Dengan demikian, yang agung belum tentu tanpa emosi. Longinus memperjelas bahwa pengalaman agung mungkin merupakan pengalaman emosional, tetapi hanya jika emosi itu cocok untuk peningkatan jiwa: “Saya yakin bahwa tidak ada yang memberikan kontribusi yang begitu meya- kinkan pada keagungan seperti emosi yang mulia dalam tatanan yang tepat, ketika, dipenuhi dengan hiruk-pikuk dan antusiasme, itu menghembuskan semacam inspirasi Ilahi ….”

Dengan demikian, emosi adalah sesuatu yang dapat melengkapi pengalaman luhur, tetapi tidak diperlukan agar peng- alaman seperti itu terjadi. Jadi, hanya emosi-emosi yang mengintensifkan hasrat pada kebaikan, kebajikan, dan sifat jujur yang dianugerahkan Tuhan yang dianggap agung.

Longinus melanjutkan: “Sekarang jika dia mengira bahwa dua hal ini, keagungan dan emosi, adalah hal yang sama, dan bahwa mereka pada dasarnya terikat satu sama lain, maka dia keliru. Untuk beberapa emosi dapat ditemukan bersifat jahat dan tidak sedikit pun agung, seperti kemalangan, kesedihan, dan ketakutan, dan di sisi lain, banyak bagian dari keagungan yang tidak menyampaikan emosi.”

Seniman membuat kasus mereka atas perannya dalam masyarakat sebagai orang yang menciptakan objek yang mendorong pengalaman agung/luhur dengan emosi yang sesuai. Longinus sebagian besar mengacu pada penyair dan orator, tetapi kadang-kadang merujuk pada pelukis dan pematung. Ia berpendapat bahwa “keagungan alam” paling penting bagi seniman yang ingin menciptakan karya seni yang agung. Dengan kata lain, seniman diberkahi Tuhan dengan kemampuan untuk menciptakan karya seni yang transenden; seniman “harus melakukan semua yang kita bisa untuk melatih pikiran kita menuju kejayaan, terus-menerus mengisi mereka, hingga berbicara, dengan pemikiran yang mulia.”

“Saint Jerome in his Study” by Antonello da Messina, 1474. Oil on lime. National Gallery, London (public domain).

Alam pikiran seniman sangat penting. Jika pengalaman agung adalah yang mengangkat seseorang kepada kehendak Tuhan, dan hal yang paling kita miliki bersama dengan keilahian adalah kebajikan dan kebenaran, maka seniman yang ingin menciptakan karya seni transenden harus mahir dalam nilai-nilai dan kebajikan.

Longinus menyarankan ini ketika dia berbicara tentang “kekuatan” keagungan: “Pertama, sangat penting untuk menunjukkan sumber kekuatan ini, dan untuk menunjukkan bahwa orang yang benar- benar fasih harus memiliki pikiran yang tidak jahat ataupun tercela. Karena tidak mungkin bagi mereka yang pikiran dan kebiasaannya jahat, dan merendahkan diri sepanjang hidup mereka untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa atau layak untuk ketenaran abadi; tidak, kehebatan [seni] adalah milik mereka yang pikiran- nya dalam, dan inilah mengapa ekspresi agung datang secara alami kepada [orang] yang paling berpikiran tinggi.”

Seniman yang mencari kebenaran dan mempraktikkan kebajikan melatih karakteristik Ilahi ini sebagai persiapan untuk penciptaan karya seni yang luhur. Karakteristik ilahi inilah yang menambahkan kehidupan—jiwa—kepada seniman dan karya seni. Seperti yang Longinus katakan, “ketika Anda mengambil elemen yang agung, hal itu akan seperti mengeluarkan jiwa dari tubuh.”

Keagungan menghembuskan kehidupan ke dalam sebuah karya seni. Ini bukan “emosi yang salah tempat atau hampa di mana tidak ada yang diminta, atau hasrat yang tidak moderat di mana pengekangan diperlukan”; tidak “berspirit jahat” atau “tercela”, juga tidak berlebihan. 

Menurut Longinus, kita dapat menemukan contoh- contoh keagungan dengan melihat ke masa lalu: “Demikian juga, seolah-olah juga keluar dari lubang-lubang suci, pancaran-pancaran tertentu disampaikan dari kejeniusan orang-orang zaman dahulu ke dalam jiwa orang-orang yang meniru mereka, dan, menghirup pengaruh-pengaruh ini, bahkan mereka yang menunjukkan sangat sedikit tanda-tanda inspirasi berasal dari beberapa tingkat spirit keilahian dari keagungan para pendahulu mereka.” 

Karya seni manakah yang menunjukkan keagungan? Dalam lukisan yang berjudul Assumption of the Virgin (Asumsi Perawan Maria) dari pelukis renaisans, Titian, di mana Maria diangkat ke surga, di mana dia akan dimahkotai oleh Tuhan? Dalam karya seni pahat Ecstasy of St. Teresa karya Lorenzo Bernini, di mana St. Teresa, yang begitu terkonsentrasi pada Tuhan, bertemu dengan seorang malaikat, yang mengungkapkan kasih Tuhan kepadanya? Bagaimana dengan sesuatu yang lebih kontemporer, seperti pidato Martin Luther King Jr. “I Have a Dream”, di mana Dr. King meninggikan dan mendorong fokus pada isi karakter kita—karakteristik Ilahi kita.

Karya seni mana yang menurut Anda meningkatkan—atau setidaknya mendorong—karakteristik Ilahi kita tentang kebaikan dan kebenaran? (aus)

FOKUS DUNIA

NEWS