oleh Tang Jingyuan
Fokus tinjauan hari Ini antara lain adalah tentang kisah tragedi 4 Juni saya : Bagaimana kebohongan partai komunis itu runtuh ? Pembicaraan rahasia sempat berlangsung tegang, indikasi ada pergeseran hubungan Tiongkok – Rusia. Perang Rusia – Ukraina memasuki 100 hari, dan soal Putin menjalani operasi kanker !
Saat saya merekam program tentang tema ini, Tiongkok daratan sudah memasuki 4 Juni, hari yang paling sensitif bagi Partai Komunis Tiongkok dalam 33 tahun terakhir, karena rezim partai komunis Tiongkok (PKT) menggunakan kendaran berlapis baja, senapan mesin, dan bayonet untuk membantai para mahasiswa, warga Beijing dan orang-orang dari semua lapisan masyarakat yang berunjuk rasa dengan tanpa membawa senjata di Lapangan Tiananmen.Â
Pada 4 Juni PKT telah mengukirkan perbuatan paling biadab dalam sejarahnya dengan membantai rakyatnya sendiri.
Kisah tragedi 4 Juni saya : Bagaimana kebohongan partai komunis itu runtuh ?
Sambil mengenang kembali insiden pembantaian 4 Juni itu, Mr. Yu Maochun, seorang saksi dan mantan penasihat kebijakan Tiongkok untuk pemerintahan Donald Trump mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media, bahwa gerakan pro-demokrasi Tiananmen yang berlangsung selama 7 pekan pada tahun 1989 itu, telah menjadi bagian terpenting dari rakyat Tiongkok sejak Partai Komunis berkuasa. Itu merupakan 7 pekan yang paling bebas dan paling tidak ada rasa takut. Kegiatan pro-demokrasi tersebut sangat mengesankan bagi dirinya dan berpengaruh cukup besar dalam pemberian nasehatnya kepada pemerintah AS mengenai kebijakan Tiongkok.
Saya berpikir deskripsi Mr. Yu Maochun sangat akurat, karena jika kita menengok kembali pada kejadian itu, kita akan menemukan bahwa gerakan 4 Juni itu sebenarnya adalah gerakan dari seluruh masyarakat Tiongkok, termasuk juga Partai Komunis Tiongkok. Pasalnya, partai ini berada pada jarak paling dekat dengan kesempatan untuk merealisasikan transformasi damai dan demokratisasi sejak partainya dibentuk.
Pada saat itu, situasi yang terbentuk adalah rakyat sedang mengeluh kepada pemerintah. Tak lain karena korupsi dan inflasi. Para mahasiswa yang mengajukan tuntutan tidak ditanggapi rezim. Sehingga solidaritas dan dukungan dari komunitas internasional terus membesar. Bahkan sekretaris jenderal Partai Komunis Tiongkok saat itu, sedang dijabat oleh Zhao Ziyang. Yang mana, ia seorang figur yang ingin benar-benar mengubah sistem politik partai. Jadi, dapat dikatakan bahwa semua kondisi untuk sebuah perubahan besar sudah matang dan menguntungkan. Tapi, kesempatan itu dilenyapkan oleh pembantaian brutal yang disetujui oleh Deng Xiaoping.
Sesungguhnya sudah terlihat bahwa Partai Komunis Tiongkok sudah memilih untuk berlari di jalur tirani totaliter yang tidak mau diganggu gugat, sejak peluru pertama ditembakkan ke arah mahasiswa di Lapangan Tiananmen. Sejak saat itu pula sudah dapat memastikan bahwa kemungkinan PKT melakukan reformasi diri dan transformasi menuju demokratisasi itu, sudah tidak diinginkan. Tidak peduli berapa banyak sinyal reformasi politik, transformasi, integrasi dengan komunitas internasional, dan integrasi ke komunitas internasional digembar-gemborkan oleh PKT. Itu semua hanyalah strategi penipuan belaka. Itu hanyalah modus operandi untuk mendominasi dunia.
Ketika saya masih tinggal di daratan Tiongkok, saya banyak bertemu dengan teman-teman muda yang lahir di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka hampir tanpa kecuali tidak ada yang tahu menau soal sejarah Pembantaian 4 Juni di Lapangan Tiananmen. Hanya sangat sedikit dari mereka yang pernah secara samar-samar mendengar sedikit tentang garis besarnya, tetapi mereka sama sekali tidak memahami seluk beluk dari gerakan itu dan detail pembantaian. Mereka pun tidak tahu siapa itu Zhao Ziyang.
Sebuah partai politik dapat seenaknya melenyapkan tanpa bekas seorang mantan pemimpin puncaknya, sampai seolah-olah ia tidak pernah ada di dunia ini.
Di bawah manipulasi opini publik dan informasi yang menyesatkan seperti itu, tidak heran jika Tiongkok kini dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mampu membedakan antara negara dengan partai, membedakan antara mencintai dan membela negara dengan mencintai dan membela partai.
Bagi penulis tragedi 4 Juni ini juga memiliki makna khusus. Ini bukan hanya karena penulis juga seorang saksi. Pada tahun itu, meskipun saya menghadapi ujian masuk perguruan tinggi dan saya berada di kota terpencil, tetapi setiap malamnya penulis masih mendengarkan berita dari radio siaran stasiun luar negeri seperti Voice of America yang terus diganggu oleh rezim komunis.Â
Tragedi ini secara khusus telah menyadarkan penulis, bahwa PKT sebagai pemerintah, yang begitu tidak tahu malu untuk menyebarkan kebohongan besar tanpa berubah wajah. Kejutan dan kemarahan yang timbul dalam hati penulis tidak pernah terlupakan.
Proses penyadaran ini datang dari seorang teman sekelas saya.
Sebelum dan sesudah pembantaian 4 Juni di Lapangan Tiananmen, sinyal gelombang radio sangat buruk sehingga tidak dapat menerima berita apa pun. Hanya mendengar dari beberapa berita yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa penembakan sudah terjadi, bahkan menggunakan tank untuk menggilas para pengunjuk rasa.
Tapi penulis, belum percaya secara naluriah, karena penulis berpikir bahwa para mahasiswa mengajukan petisi secara damai dan tertib demi kepentingan perkembangan bangsa dan negara. Bagaimana mungkin pemerintah begitu brutal dan tanpa pandang bulu membunuh rakyatnya yang tidak bersalah.
Apalagi saat itu, setiap hari saya mengikuti siaran ‘Xinwen Lianbo’ di rumah yang memberitakan bahwa Lapangan Tiananmen sudah bersih dari para demonstran.Â
Pada saat itu, juru bicara Dewan Negara Yuan Mu dengan tegas mengumumkan bahwa selama pembersihan Lapangan Tiananmen. Tidak terjadi korban, bahkan tentara tidak melakukan penembakan dan tidak menggunakan tank untuk menggilas para mahasiswa.
Saat itu, saya memang ragu dan merasakan adanya perbedaan antara desas-desus dengan berita resmi. Saya berasa bahwa dalam proses pembersihan lapangan mungkin ada korban yang jatuh, tetapi apa iya sampai seserius dalam gambaran desas-desus yang dibesar-besarkan.Â
Yang membuat saya terkesan adalah pada saat itu, seorang paman asal Timur Laut Tiongkok dengan bersemangat menceritakan pembantaian di Lapangan Tiananmen yang sempat direkam seseorang kemudian disiarkan di jaringan berita ‘Xinwen Lianbo’.Â
Penyiar dengan tegas membantah rumor itu, mengatakan bahwa orang ini beretikat jahat, membuat rumor untuk mengelabui masyarakat, dan menyerukan kepada masyarakat agar menemukan orang yang dituding sebagai kambing hitam ini. Tak lama kemudian orang tersebut tertangkap dan langsung mengakui kesalahannya di TV, mengatakan bahwa apa yang dia katakan itu adalah desas-desus, karena dirinya tidak tahu jika itu bukan kenyataan.
Kala itu, yang muncul dalam benak penulis adalah mungkin masyarakat kecewa karena gagalnya perjuangan demokrasi, sehingga ada pihak yang sengaja membesar-besarkan proses pembersihan di Lapangan Tiananmen.
Tetapi penilaian pribadi yang penulis anggap relatif objektif, dengan cepat runtuh oleh kenyataan yang ada.
Pada Juli tahun itu, sekolah memasuki liburan musim panas usai ujian. Penulis dan teman-teman sekelas sering bermain-main sepanjang hari, dan kami segera melupakan tragedi itu. Baru pada suatu hari ketika penulis pergi ke sebuah pesta di rumah teman sekelas, teman ini berbisik kepada penulis bahwa saudara kandungnya yang sedang belajar di sebuah universitas terkenal di Beijing terpaksa putus sekolah dan pulang ke rumah, ia tertembak gara-gara berada di dekat lapangan ketika demonstrasi berlangsung.
Untungnya, saudara laki-lakinya tertembak dengan luka yang tidak terlalu serius di bagian pantat. Tetapi ini menjadi bukti bahwa ia pasti berada di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni. Kalaupun saudaranya itu bukan organisator pergerakan, hanya seorang peserta, hukumannya cukup berat yakni dipecat dari kampus sehingga terpaksa pulang ke rumah. Pada masa itu, semua orang tahu bahwa pengalaman ini seakan mengartikan bahwa prospek untuk masa depan telah tertutup.
Meskipun fakta bahwa saudara laki-laki teman sekelas penulis itu mengalami luka ringan yang hampir tidak berarti jika dibandingkan dengan korban dalam pembantaian brutal 4 Juni. Namun jumlah korban seperti dia ini tidak sedikit.
Bagi saya, kejutan yang paling terasa saat itu adalah yang bersifat subversif, karena kejadian tersebut yang mengoreksi keraguan penulis tentang proses pembersihan lapangan. Karena penulis, berkesempatan untuk mendengar langsung dari keluarga korban bahwa penembakan itu benar-benar terjadi, dan penulis percaya bahwa tank-tank menggilas para mahasiswa itu bukan cuma rumor.Â
Paman asal Timur Laut Tiongkok yang kemudian dipaksa untuk mengakui kesalahan melalui siaran TV itu, menjadi pengakuan kesalahan lewat televisi yang penulis lihat pertama kali dalam hidup penulis.
Terhadap semua ini, PKT dapat berbohong dengan tatapan mata melotot dan wajah tidak pucat. dan tingkat pembenaran diri dari PKT itu membuat orang-orang secara naluriah meragukan semua penilaian atau kesimpulan mereka sendiri sebelumnya. Itulah pertama kalinya penulis mengalami secara langsung apa artinya “menyebut mereka gangster adalah penghinaan terhadap gangster”.
Kejutan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata sama seperti ketika warga sipil di Shanghai melihat pernyataan pemerintah yang tanpa malu-malu menyebut bahwa, lockdown kota itu bukan instruksi pemerintah pusat. Akan tetapi, penutupan yang dilakukan oleh komite lingkungan yang berada di wilayah kalian sendiri.
Sejak saat itu, saya disadarkan bahwa apa pun yang dikatakan PKT tidak dapat dipercaya, bahkan jika penulis belum dapat menemukan sesuatu untuk membuktikan bahwa PKT berbohong. Paling tidak retorika PKT tidak boleh sepenuhnya dipercaya.
Ini adalah pengakuan penting dalam hidup penulis, juga merupakan perubahan penting pertama dalam hidup. penulis jadi sadar bahwa dirinya tidak akan pernah mau mendekati, mengakui, apalagi bergabung dengan organisasi jahat seperti itu. Melalui tragedi itu saya jadi memiliki konsep awal bahwa PKT berbeda dengan Tiongkok, bahwa PKT tidak selalu dapat mewakili Tiongkok. Konsep ini telah menguntungkan selama sisa hidup penulis, menjadi kunci bagi penulis agar tidak ditipu oleh PKT, dan secara bertahap dapat melihat bagaimana PKT membodohi dunia serta mencuci otak masyarakat.
Ini adalah kisah tragedi 4 Juni yang saya alami dan berpengaruh cukup besar terhadap diri saya.Â
Permintaan bantuan Putin ditolak, apakah hubungan Tiongkok – Rusia telah bergeser ?
Baiklah, selanjutnya kita membahas soal perang Rusia – Ukraina. Topik ini sudah cukup lama tidak penulis singgung. Hari ini kita akan membicarakan topik ini, terutama karena dua alasan. Pertama adalah bahwa perang invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke 100 yang selayaknya kita rangkum secara sistematis situasi dan tren keseluruhan dari perang itu.
Alasan lain adalah sebuah berita eksklusif dari ‘Washington Post’ yang mengekspos tentang terjadinya pergeseran pernyataan komunis Tiongkok soal “Hubungan yang tanpa batas atas” terkait hubungannya dengan Rusia. Mari kita bahas seberapa besar kemungkinannya itu.
Pertama-tama, berita eksklusif ini baru muncul beberapa waktu lalu dalam artikel yang panjang, dengan pesan utamanya adalah bahwa pejabat Rusia setidaknya dua kali dalam beberapa pekan terakhir menekan Beijing, tak lain untuk merealisasikan “Hubungan yang tanpa batas atas” yang pernah dideklarasikan secara terbuka sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
Laporan itu tidak mengungkapkan rincian spesifik, tetapi mengutip ucapan seorang pejabat Tiongkok yang tidak disebutkan namanya. Katanya suasana pembicaraan antara kedua belah pihak relatif tegang. Pihak Rusia menuntut agar Beijing menghormati “komitmen perdagangan” yang telah disepakati sebelum invasi ke Ukraina pada 24 Februari, serta memberikan dukungan keuangan dan teknis kepada Rusia yang sekarang sedang menghadapi sanksi dari Eropa, Amerika Serikat dan negara lainnya.
Sumber itu mengatakan bahwa Rusia tidak meminta dukungan senjata dan amunisi, tetapi menyarankan untuk meminta dukungan yang dikategorikan lain-lain untuk operasi militer, termasuk teknologi dan peralatan.
Namun, sikap pemimpin Tiongkok adalah ingin memperluas bantuan kepada Rusia dengan tanpa melanggar sanksi Barat. Xi Jinping telah menginstruksikan kroni-kroninya untuk segera menemukan cara membantu Rusia secara finansial tanpa melanggar sanksi.
Selain itu, Beijing mencoba untuk menyatakan dukungannya kepada Rusia melalui peluang lain seperti saluran diplomatik atau latihan militer bersama. Akan tetapi, para pejabat Tiongkok juga menunjukkan bahwa karena perang telah berlangsung jauh lebih lama dari yang diharapkan, Jadi Tiongkok terpaksa menegaskan bahwa mengakhiri perang akan memberikan lebih banyak kelonggaran bagi Tiongkok. Tak lain, untuk melawan sanksi dan mengembangkan hubungan dagang di dalam negeri Rusia. Itu setelah perusahaan asing hengkang dari Tiongkok.
Ini, tentu saja, adalah saran Xi Jinping agar Putin mengakhiri perang, baik melalui negosiasi atau cara lain. Perhitungan Tiongkok adalah bahwa jika Putin mengambil inisiatif untuk menghentikan perang atau bahkan menarik pasukannya dari Ukraina, maka alasan masyarakat internasional untuk mempertahankan sanksi ketat akan mengendur. Sehingga Beijing dapat meningkatkan bantuannya kepada Putin dan mengkonsolidasikan penghalang strategis yang ada demi kepentingannya sendiri, di samping itu, Beijing dapat mengambil kesempatan untuk mendominasi pasar domestik Rusia dan memperdalam ketergantungan Rusia terhadap Tiongkok, sekaligus memperkuat pengendaliannya atas Rusia. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Tampaknya, di bawah permukaan yang seakan tenang tanpa beriak, rupanya beberapa perubahan halus sudah terjadi dalam apa yang disebut “Hubungan yang tanpa batas atas” antara Tiongkok dan Rusia. Jika ditanya soal seberapa andalnya berita ini ? Menurut saya, itu cukup bisa diandalkan. Pertama-tama, sikap PKT sangat konsisten dengan logika perilaku otoritas baru-baru ini, Sederhananya, ini adalah logika ‘selain perlu begini juga perlu begitu’.
Contohnya seperti yang telah berulang kali ditekankan, secara resmi oleh media partai bahwa, dalam penanganan epidemi selain perlu dapat mengendalikan penyebarannya, juga perlu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Beijing selalu terobsesi dengan menyandingkan dua tujuan yang kontradiktif, tetapi mengklaim bahwa ia memiliki keuntungan eksklusif untuk mencapainya secara bersamaan. Ucapan kontradiktif ini selain diperlukan untuk merealisasikan pemberian bantuan kepada Rusia, tetapi sekaligus menghindari kena sanksi. Di satu sisi mengharapkan perang akan terus berlarut-larut untuk menghambat perkembangan Eropa dan Amerika Serikat, dan di sisi lain berharap perang segera berakhir agar Tiongkok tidak terseret masuk perangkap kesulitan.
Pokoknya PKT selalu terobsesi dengan menyandingkan dua tujuan, yang mana kontradiktif tetapi mengklaim bahwa ia memiliki keuntungan eksklusif untuk mencapainya secara bersamaan, dan masih merasa nyaman dengan dirinya.
Kedua, pada 26 Mei, seminggu yang lalu, media ‘South China Morning Post’ dan ‘Sing Tao Daily’ menyampaikan berita yang dikutip dari sumber mengatakan bahwa Le Yucheng, Wakil Menteri Luar Negeri saat ini, akan dipindahkan untuk menduduk kursi Wakil Direktur di Kantor Administrasi Negara untuk Radio, Film dan Televisi.
Le Yucheng yang menguasai bahasa Rusia, pernah ditugaskan berturut-turut di Departemen Uni Soviet dan Eropa Timur untuk Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Tiongkok yang berada di Moskow, dan menjabat sebagai diplomat. Dia adalah seorang yang dianggap paham tentang Rusia. Pada 4 Februari tahun ini, setelah Xi Jinping bertemu dengan Putin di Beijing, Le Yucheng adalah orang pertama yang secara terbuka mengatakan dalam briefing bahwa hubungan Tiongkok – Rusia tidak mengenal batas atas, tidak ada terminal, yang ada hanya stasiun pengisian bahan bakar. Saat itu, namanya melejit.
Sekarang, Le Yucheng, yang semula dipandang berpeluang menggantikan Wang Yi sebagai menteri luar negeri, kini harus menerima kenyataan bahwa jabatannya telah diturunkan menjadi Wakil Direktur Kantor Administrasi Negara untuk Radio, Film dan Televisi.
Tindakan ini dari satu sisi tampak bahwa Le Yucheng kemungkinan merupakan pihak utama yang mempromosikan hubungan lebih erat Tiongkok – Rusia, sedangkan pihak berwenang sekarang memandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap hubungan tersebut, jadi istilah “Hubungan tanpa batas atas” ini sekarang justru menjadi beban bagi Tiongkok, dan gara-gara istilah tersebut nama Xi Jinping masuk ‘Assessing Xi’s Interference and Subversion Act. AXIS Act) Amerika Serikat karena mendukung Rusia invasi ke Ukraina. Sehingga dalam konteks kebutuhan untuk mendinginkan hubungan Tiongkok – Rusia, tentu saja Le Yucheng perlu dikambing-hitamkan.
Hampir pada waktu yang sama, yakni 27 Mei, sebuah kantor berita Rusia ‘RBC’ yang mengutip informasi dari 2 orang sumber, menyampaikan bahwa Beijing telah melarang pesawat Rusia jenis Boeing dan Airbus yang “terdaftar ganda” di perusahaan leasing asing untuk memasuki wilayah udara Tiongkok.
Yang dimaksudkan dengan “terdaftar ganda” di sini mengacu pada ratusan pesawat penumpang yang disewa dari negara-negara Barat oleh maskapai Rusia. Ini sebagai pembalasan atas sanksi Barat, Putin memerintahkan pesawat-pesawat ini untuk didaftarkan ulang di Rusia. Sesungguhnya ini merupakan tindakan perampokan, atau menyita pesawat penumpang tersebut.
PKT melarang pesawat penumpang semacam itu memasuki wilayah udara Tiongkok, tentu saja, karena tidak ingin bersinggungan dengan Amerika Serikat dan Eropa. Karena pesawat penumpang ini setara dengan pesawat ilegal yang telah dirampok, begitu diizinkan masuk ke Tiongkok, mereka secara otomatis mengakui bahwa mereka adalah kaki tangan para perampok.
Semua informasi ini menunjukkan bahwa keretakan hubungan antara Tiongkok dengan Rusia semakin membesar. Jelas, peringatan sanksi keras kepada Tiongkok dari Amerika Serikat dan Eropa cukup efektif.
PKT tidak ingin “api sampai membakar dirinya”, jadi metode yang dilakukan mereka saat ini adalah menggunakan bahasa verbal dan patroli kesiapan tempur bersama untuk mempertahankan hubungannya dengan Rusia. Namun, secara bertahap Tiongkok berusaha untuk menjauhkan diri dari sambungannya di bidang militer, ekonomi, perdagangan dan teknologi yang substantif.
Perang Rusia – Ukraina Memasuki hari ke 100
Dampak paling langsung dari perubahan hubungan Tiongkok – Rusia, tentu saja adalah medan perang Rusia-Ukraina.
Seperti yang baru saja kami sebutkan, pada 4 Juni adalah hari ke-100 perang Rusia – Ukraina. Zelensky secara terbuka menyatakan bahwa sejauh ini, 20% wilayah Ukraina seluas sekitar 125.000 kilometer persegi telah diduduki dan dikuasai Rusia. Teman-teman mungkin telah melihat beritanya. Situasi pertempuran saat ini masih belum ada kejelasan. Tentara Rusia telah membuat beberapa kemajuan di kota industri Severo-Donetsk di wilayah timur Ukraina dan saat ini menguasai sekitar 80% kota di sana.
Tetapi di daerah Kherson yang ada di bagian selatan Ukraina, tentara Ukraina menyeberangi Sungai Gulets dan menguasai kembali sekitar 20 desa dan kota. Secara umum, kedua belah pihak memiliki keuntungan dan kerugian bersama, dan mereka masih dalam keadaan tarik ulur.
Pada 3 Juni, pemerintah AS kembali mengumumkan bantuan militer termasuk M142 High Mobility Multiple Rocket System (HIMARS) dan empat pesawat serang tak berawak “Grey Eagle” yang canggih kepada Ukraina.
Di pihak Rusia, Newsweek secara eksklusif menyampaikan berita tentang Putin pada bulan April sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit kanker, bahkan pada bulan Maret mengalami percobaan pembunuhan. Komunitas intelijen AS bahkan telah membahas bagaimana menghadapi situasi pasca kematian mendadak Putin.
Dengan latar belakang seperti ini, pencapaian kemajuan militer Rusia di timur Ukraina yang relatif kecil, sebenarnya hanya signifikansi taktis. Secara strategis, kegagalan Putin untuk meminta bantuan PKT, ditambah lagi dengan memburuknya kesehatannya pasti akan mengarah pada fakta bahwa kemenangan perang perlahan-lahan akan condong ke pihak Ukraina.
Ini mungkin menjadi situasi yang akan memaksa Putin, untuk secara serius mempertimbangkan bagaimana menjaga ruang untuk perdamaian dengan Barat. Lagi pula, waktu yang tersisa untuknya tidak akan terlalu panjang. (sin)