EtIndonesia. Pertempuran ekonomi global yang telah lama dinanti kini semakin memanas. Dalam sebuah pernyataan yang penuh konfrontasi di platform Truth Social, presiden Amerika, Donald Trump, secara gamblang memasukkan Tiongkok ke dalam daftar “negara perdagangan bermusuhan.” Pernyataan tersebut seakan menggesek wajah pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, sebagai respons atas serangkaian kebijakan yang dianggap merugikan sektor manufaktur Amerika.
Trump dan Kebijakan Tarif yang Mengguncang Pasar Global
Pada 13 April, Trump mempublikasikan sebuah tulisan panjang yang memuat tuduhan bahwa Tiongkok telah menggunakan subsidi perdagangan tidak adil, praktik dumping, dan manipulasi mata uang untuk melemahkan industri Amerika.
Tanpa bertele-tele, Trump menyatakan bahwa Tiongkok adalah musuh nomor satu dalam persaingan ekonomi dan siap mengambil langkah tegas dengan tarif tambahan hingga 125% atas barang-barang Tiongkok. Meski sempat diumumkan pengecualian sementara untuk 20 jenis produk elektronik, klarifikasi selanjutnya justru menegaskan bahwa tidak ada pengecualian nyata—hanya pengalihan kategori tarif ke produk lain. Kebijakan ini, yang dilandasi dengan alasan keamanan nasional, juga menargetkan sektor semikonduktor dan rantai pasokan elektronik.
Dampak kebijakan tersebut langsung terasa. Pada tahun 2023, ekspor Tiongkok ke Amerika mencapai 502 miliar dolar, dengan sektor mesin, peralatan, tekstil, perabot, dan mainan sebagai andalan utama. Kenaikan tarif yang tajam diyakini akan mengikis margin keuntungan pelaku usaha dan menekan kondisi ekonomi terutama di wilayah industri seperti Jiangsu dan Guangdong, di mana pabrik-pabrik harus tutup, pekerja terkena PHK, dan barang dagang menumpuk di pelabuhan.
Tak hanya Tiongkok, kebijakan tarif ini telah memicu reaksi berantai. Uni Eropa, Jepang, dan bahkan Inggris turut menyiapkan langkah-langkah proteksionis terhadap produk-produk Tiongkok, menjadikan situasi perdagangan global semakin kompleks dan penuh ketidakpastian.
Xi Jinping: Langkah Diplomatik di Ranah ASEAN yang Berakhir Mengecewakan
Dalam menghadapi tekanan tersebut, Xi Jinping tidak tinggal diam. Sejak 14 April, Xi memimpin delegasi diplomatik mengunjungi negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja dengan tujuan merangkul ASEAN untuk bersama-sama menghadapi dominasi tarif dari Amerika. Dalam sebuah artikel di surat kabar resmi Vietnam, Xi menegaskan bahwa “perang dagang tidak memiliki pemenang” dan bahwa proteksionisme bukanlah solusi. Upaya ini merupakan bagian dari strategi terobosan diplomatik untuk mengimbangi kekuatan Amerika.
Namun, hasil kunjungan tersebut kurang memuaskan. Negara-negara anggota ASEAN, yang meskipun telah menikmati manfaat perdagangan dengan Tiongkok, memilih jalan negosiasi daripada terlibat langsung dalam konflik dengan Amerika. Mereka sadar bahwa hubungan dagang dengan Amerika memiliki nilai strategis yang tak bisa diabaikan, sehingga sikap yang diambil lebih cenderung pada penyelesaian damai daripada konfrontasi.
Realitas Ekonomi Domestik Tiongkok: Antara Slogan Nasionalisme dan Tekanan Nyata
Di balik retorika keras dan slogan patriotik yang dikeluarkan oleh media resmi seperti People’s Daily dan CCTV, kondisi di lapangan menunjukkan realitas yang jauh berbeda. Di sejumlah provinsi industri, pabrik-pabrik mulai tutup, penjualan menurun drastis, dan pekerja kehilangan mata pencaharian. Beberapa perusahaan di wilayah Guangdong dan Jiangsu bahkan mengumumkan penghentian produksi serta pemutusan hubungan kerja akibat tekanan tarif dari Amerika.
Dalam upaya menepis anggapan bahwa Pemerintah Tiongkok tidak mampu mengatasi krisis, Xi Jinping kerap mendesak semangat juang dalam balutan slogan patriotik. Namun, seruan tersebut dianggap tak lebih dari upaya mengalihkan perhatian dari kegagalan dalam mengelola ekonomi domestik. Realitas mengungkapkan bahwa sektor properti mengalami keruntuhan, utang daerah membengkak, dan pasar konsumen menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Sementara itu, upaya Xi untuk membingkai perang tarif sebagai konspirasi dari musuh eksternal—khususnya Amerika—kembali menjadi taktik lama Tiongkok yang mengaitkan masalah ekonomi dalam negeri dengan tekanan eksternal. Saat bertemu dengan Perdana Menteri Spanyol, Xi menekankan bahwa dalam perang tarif tidak ada pemenang dan menyerukan penolakan terhadap monopoli sepihak. Langkah ini, bagaimanapun, hanya mampu menambah tekanan bagi rakyat yang sudah harus berhemat dalam kondisi ekonomi yang kian menurun.
Tantangan dan Prospek di Tengah Era Globalisasi yang Berubah
Pertempuran tarif tidak hanya tentang angka persentase yang dikenakan—dia merupakan representasi pertempuran antara dua sistem ekonomi yang berbeda. Di satu sisi, Amerika berfokus pada upaya mengutamakan kepentingan dalam negeri melalui kebijakan “America First” dengan membangun kembali manufakturnya. Di sisi lain, Tiongkok yang pernah dikenal sebagai “pabrik dunia” kini menghadapi perubahan mendasar akibat globalisasi yang semakin surut dan restrukturisasi rantai pasokan global.
Dalam konteks ini, wilayah ASEAN, yang merupakan salah satu pasar ekspor terbesar bagi Tiongkok, tidak dapat diabaikan. Meskipun menyumbang sekitar 13,2% dari ekspor produk mesin dan peralatan Tiongkok pada 2023, negara-negara ASEAN juga bergantung pada teknologi dan komponen dari Amerika. Sehingga, kenaikan tarif dan proteksionisme dari pihak Amerika tidak hanya mengguncang Tiongkok, tetapi juga menyebar dampaknya secara global.
Pada akhirnya, retorika semangat perjuangan yang dicanangkan oleh Xi Jinping tampak semakin kosong ketika realitas ekonomi menunjukkan ketidakmampuan sistem yang ada untuk menahan tekanan global. Beban yang ditanggung semakin berat, mulai dari pabrik tutup, pekerja kehilangan pekerjaan, hingga perlambatan konsumsi domestik. Ditengarai sebagai sinyal bahwa perubahan besar dalam kepemimpinan dan sistem ekonomi mungkin sudah tidak terhindarkan, pertempuran tarif ini seolah menandakan keruntuhan paradigma yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Kesimpulan
Pertempuran ekonomi antara Amerika dan Tiongkok telah berubah menjadi konflik yang tidak hanya melibatkan angka tarif, tetapi juga mengungkap perbedaan fundamental antara dua sistem ekonomi. Trump dengan kebijakan tarifnya memicu ketidakpastian di pasar global, sementara Xi Jinping, meski penuh dengan slogan nasionalisme dan langkah diplomatik, menghadapi realitas domestik yang semakin menekan. Di tengah dinamika globalisasi yang kian berubah, setiap kebijakan proteksionis membawa konsekuensi yang meluas, tidak hanya pada kedua negara raksasa tersebut, tetapi juga pada mitra dagang di seluruh dunia.
Perjalanan menuju penyelesaian masalah ini masih panjang dan penuh tantangan. Satu hal yang pasti, dunia tidak lagi memiliki ruang untuk pertempuran satu dimensi, melainkan harus menemukan titik temu melalui negosiasi dan kerja sama internasional demi kestabilan ekonomi global.