Mark Zuckerberg Mengaku Pernah Menyerah di Bawah Tekanan Pemerintah untuk Menghapus Konten Terkait Pandemi
oleh Hong Yuting dan Zhang Qiling dari NTD Asia-Pacific Television
CEO Meta, Mark Zuckerberg pada Senin (26/8/2024),mengirim surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, Facebook menyerah di bawah tekanan pemerintah untuk meninjau dan menghapus sebagian konten terkait pandemi COVID-19. Zuckerberg menyatakan bahwa Meta tidak akan membiarkan kejadian seperti ini terjadi lagi.
Dalam suratnya kepada Ketua Komite Kehakiman DPR AS, Jim Jordan, Zuckerberg mengatakan, “Pada tahun 2021, pejabat senior pemerintahan Biden, termasuk Gedung Putih, memberikan tekanan terus-menerus kepada tim kami selama beberapa bulan untuk meninjau beberapa konten terkait COVID-19, termasuk konten humor dan satire. Saya sangat percaya bahwa kami tidak boleh berkompromi pada standar konten kami karena tekanan dari pemerintah manapun. Jika hal seperti ini terjadi lagi, kami siap melawan.”
Mengenai hal ini, kelompok Partai Republik di Komite Kehakiman DPR AS memposting di media sosial, “Ini adalah kemenangan besar bagi kebebasan berbicara.”
Seorang juru bicara Gedung Putih menanggapi, “Kami percaya bahwa perusahaan teknologi dan lembaga swasta lainnya harus mempertimbangkan dampak tindakan mereka terhadap rakyat Amerika Serikat saat membuat keputusan independen tentang penyajian informasi.”
Zuckerberg juga menyatakan bahwa dia tidak akan memberikan sumbangan dalam pemilu kali ini dan akan tetap netral di antara kedua partai, tanpa berperan dalam cara apa pun. (Hui)
Militer Israel Bebaskan Seorang Sandera, Netanyahu Berjanji Akan Menyelamatkan Seluruh Sandera
NTD
Pasukan Israel pada Selasa (27 Agustus) berhasil membebaskan seorang sandera yang diculik oleh Hamas dari sebuah terowongan di Gaza. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa semua sandera akan dibawa pulang melalui negosiasi dan operasi penyelamatan.
Rekaman yang disiarkan oleh radio Israel pada Selasa menunjukkan militer Israel berhasil membebaskan seorang sandera yang telah ditahan di Gaza selama 326 hari.
Mayor Jenderal Daniel Hagari, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), mengatakan bahwa seorang warga Israel bernama Qaid Farhan Alkadi, yang diculik oleh militan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, berhasil diselamatkan oleh pasukan Israel pada Selasa.
“Pasukan khusus Israel, berdasarkan intelijen yang akurat, berhasil membebaskan Alkadi dari sebuah terowongan bawah tanah. Kondisinya stabil dan dia akan menjalani pemeriksaan di rumah sakit,” ujarnya.
Hagari juga menambahkan bahwa masih ada 108 sandera yang ditahan oleh Hamas di Gaza dan mendesak agar segera semuanya diselamatkan.
“Kami tidak akan berhenti (menyelamatkan) sampai kami menyelesaikan misi kami, membawa pulang semua sandera kami. Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk menyelamatkan para sandera,” tambahnya.
Pada hari yang sama, saudara Alkadi mengungkapkan bahwa selama masa penahanannya, keluarga mereka terus mendoakannya.
Ismail Alkadi, saudara sandera yang dibebaskan, mengatakan, “Tidak bisa diungkapkan perasaan saya. Saya pikir ibu kami bisa lebih bahagia daripada kami. Kami mendoakan dia, ibu kami mendoakan dia lebih banyak.”
Pada hari pembebasan, Alkadi berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melalui telepon dari ranjang rumah sakitnya.
Alkadi, sandera yang dibebaskan, berkata, “Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Masih ada sandera lain yang menunggu (untuk diselamatkan).”
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, merespons, “Saya ingin Anda tahu bahwa kami tidak akan melupakan siapa pun, seperti kami tidak melupakan Anda.”
“Kami sedang bekerja keras untuk membawa pulang semua sandera. Kami akan mencapai tujuan ini terutama melalui dua cara: negosiasi dan operasi penyelamatan,” tambah Netanyahu.
Sementara itu, Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar terus berupaya untuk memediasi, mendesak Hamas dan Israel untuk segera mencapai kesepakatan gencatan senjata guna membebaskan semua sandera dan mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Gaza. (Hui)
Perang Berlarut-larut: Ukraina Berhasil Uji Coba Rudal Buatan Sendiri, Rusia Mendesak Penempatan 30 Ribu Pasukan Tambahan
Yijing – NTD Television
Mulai minggu ini, Rusia melancarkan serangan udara terbesar terhadap Ukraina sejak perang dimulai, menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Di saat yang sama, serangan balik dari Ukraina juga mencatatkan beberapa kemajuan. Mari kita lihat perkembangan selengkapnya.
Pada Selasa (27/8/2024), Rusia terus meluncurkan rudal dan drone ke puluhan wilayah di Ukraina. Angkatan udara Ukraina melaporkan bahwa pasukan mereka berhasil menembak jatuh 5 dari 10 rudal yang menyerang, serta 60 dari 81 drone, namun kehilangan jejak terhadap 10 drone lainnya.
Dalam serangan Selasa, sebuah hotel di kota Kryvyi Rih, Ukraina tengah, terkena rudal, menewaskan dua orang, dan diduga dua orang lainnya masih tertimbun reruntuhan. Tiga orang lainnya tewas dalam serangan drone Rusia di kota Zaporizhzhia di tenggara Ukraina.
Tetiana Boiko, seorang warga Zaporizhzhia dan penyintas serangan tersebut, mengatakan, “(Ada drone yang terbang di atas) sekitar jam dua pagi terjadi ledakan, rumah kami terbakar. Rumah tetangga hancur total.”
Sehari sebelumnya, Rusia meluncurkan lebih dari 200 rudal dan drone ke Ukraina, melancarkan pemboman terbesar sejak perang dimulai, yang dikecam oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Jhon Kirby, mengatakan, “Kami mengutuk dengan tegas terus berlanjutnya serangan Rusia terhadap Ukraina dan upaya untuk membuat rakyat Ukraina hidup dalam kegelapan.”
Pada Selasa, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengajukan rencana kepada Amerika Serikat untuk mengakhiri konflik Ukraina-Rusia, yang mencakup empat aspek: strategi militer, keamanan infrastruktur, diplomasi dengan Rusia, dan ekonomi.
“Operasi di wilayah Kursk adalah bagian dari rencana yang akan saya diskusikan dengan Presiden Biden. Fokus rencana ini adalah memaksa Rusia untuk mengakhiri perang,” katanya.
Zelensky juga mengungkapkan bahwa militer Ukraina baru-baru ini berhasil melakukan uji coba rudal balistik buatan sendiri untuk pertama kalinya. Ia juga mengonfirmasi bahwa dalam beberapa gelombang serangan terbaru Rusia, pasukan Ukraina menggunakan jet tempur F-16 yang dipasok oleh Barat untuk menembak jatuh drone dan rudal Rusia.
Pada hari yang sama, komandan tertinggi Ukraina mengonfirmasi bahwa pasukan Ukraina terus maju di wilayah Kursk, Rusia, dan berhasil memaksa musuh untuk mengerahkan sekitar 30.000 ribu pasukan tambahan.
“Hingga saat ini, kami telah menguasai lebih dari 1.294 kilometer persegi tanah, termasuk 100 permukiman,” ujar Komandan Angkatan Darat Ukraina, Oleksandr Syrskyi.
Namun, Syrskyi juga menyatakan bahwa situasi di garis depan Pokrovsk di wilayah timur Ukraina cukup sulit, di mana pasukan Rusia memiliki keunggulan dalam sumber daya dan personel serta berusaha untuk mengganggu suplai garis depan pasukan Ukraina.
Pada hari yang sama, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, mengunjungi pembangkit nuklir Kursk dan memperingatkan risiko terjadinya kecelakaan nuklir selama perang.
“Jika terjadi benturan atau situasi lain yang dapat mempengaruhinya, akan ada konsekuensi serius,”kata Rafael Grossi. (Hui)
Pemerintahan Tiongkok Mengirim Pembelot Korea Utara ke Kuburan, 15 Orang Ditangkap di Kunming
Korea Utara, di bawah rezim otoriter Kim, kehidupan sangat miskin dan tidak ada jaminan keamanan, sehingga banyak orang Korea Utara mencoba melarikan diri untuk mencari kebebasan. Namun, karena garis demarkasi ke-38 sangat ketat, banyak pembelot mencoba melarikan diri melalui Tiongkok. Kini dilaporkan bahwa 15 orang pembelot ditangkap di Tiongkok
Secretchina.com
Menurut laporan dari “Yonhap News Agency”, pada Senin (26/8), kelompok pembelot Korea Utara mengungkapkan bahwa 15 pembelot ditangkap oleh polisi Tiongkok di Kunming saat mereka mencoba untuk pergi ke Korea Selatan melalui provinsi Yunnan di Tiongkok.
Pada Selasa (27/8), seorang pejabat Kementerian Unifikasi Korea Selatan mengatakan bahwa mereka sedang memverifikasi kebenaran laporan tersebut, dan menekankan bahwa pemerintah selalu memegang teguh prinsip bahwa dalam situasi apapun, mereka tidak boleh memaksa pembelot kembali ke negara asal mereka jika bertentangan dengan kehendak mereka.
Menurut hukum pidana Korea Utara, “mengkhianati negara dan rakyat, melarikan diri ke negara/daerah lain atau melarikan diri ke negara musuh, akan dihukum tujuh tahun penjara atau kerja paksa berat. Jika kasusnya serius, akan dijatuhi hukuman mati dan seluruh harta pribadinya akan disita.” Pasal 117 menetapkan bahwa “mereka yang melintasi perbatasan secara ilegal akan dihukum tiga tahun penjara atau kerja paksa ringan.”
Membawa Racun
Tiongkok telah menyerahkan laporan gelombang ke-4 peninjauan hak asasi manusia nasional kepada Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR). Daily NK melalui sumber lokal di Tiongkok berhasil menghubungi 30 wanita pembelot Korea Utara di Tiongkok untuk mengetahui pandangan mereka tentang hal ini.
Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa para pembelot Korea Utara dianggap sebagai orang yang tinggal secara ilegal, bukan subjek perlindungan, sehingga tidak termasuk dalam larangan deportasi paksa. Mengenai hal ini, beberapa pembelot mengungkapkan kemungkinan pilihan ekstrem, menunjukkan rasa putus asa mereka.
Tiongkok menjelaskan bahwa mereka tidak mengakui status pengungsi para pembelot Korea Utara, sehingga ada kemungkinan mereka dideportasi kembali ke Korea Utara. Dari 30 wanita pembelot yang ditemui, 20 orang menyatakan “perlu menyiapkan racun”. Mereka juga mengatakan “Jika ada tanda-tanda akan dideportasi kembali ke Korea Utara, lebih baik mati saja.”
Tujuh dari mereka bahkan mengungkapkan bahwa mereka “selalu membawa racun bersama mereka”. Mereka menyatakan bahwa mereka siap untuk mengakhiri hidup mereka sendiri jika ditangkap dan dideportasi kembali ke Korea Utara, karena lebih baik mati di Tiongkok sebagai jiwa tak bertuan daripada diperlakukan secara tidak manusiawi setelah dideportasi kembali ke Korea Utara.
Dari 30 wanita yang ditemui oleh Daily NK, 26 orang menyatakan bahwa mereka sudah memutuskan untuk pergi ke Korea Selatan meskipun harus mati. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak dapat berharap untuk hidup dengan aman di Tiongkok, dan lebih baik ditangkap daripada kembali ke Korea Utara.
Beberapa wanita pembelot yang berusia 20-an awalnya berharap bisa mendapatkan kartu identitas sementara di Tiongkok, tetapi dengan kecewa mengatakan, “Pihak berwenang Tiongkok menganggap pembelot sebagai penjahat yang melintasi perbatasan secara ilegal, jadi tidak mungkin mendapatkan kartu identitas sementara.”
Human Rights Watch (HRW) mengatakan para pembelot, sebagian besar perempuan, bisa menghadapi hukuman penjara, kekerasan seksual atau bahkan kematian ketika kembali ke Korea Utara.
Tiongkok tidak mengakui pembelot Korea Utara sebagai pengungsi. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah “migran ekonomi” dan memiliki kebijakan untuk memulangkan mereka, meskipun ada permintaan dari pemerintah asing dan organisasi hak asasi manusia untuk mempertimbangkan kembali pendirian mereka.
Hadiah ‘Besar’ dari Tiongkok Membuat 600 Orang Korea Utara Menderita
Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un pada peringatan “Hari Kemenangan” tahun 2023, mengundang delegasi dari Tiongkok dan Rusia untuk menghadiri upacara parade di Pyongyang, dengan maksud memperkuat hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut. Untuk itu, pemerintah Beijing memutuskan memberikan “hadiah besar”, yaitu dengan mendeportasi para pembelot Korea Utara dari tiga provinsi timur laut Tiongkok kembali ke Korea Utara.
Menurut laporan dari “Yonhap News Agency” dan “Korea Daily”, pada 11 Oktober 2023, perwakilan dari kelompok hak asasi manusia Korea Utara “Korean Justice League”, Pastor Jung Peter (nama diterjemahkan), mengungkapkan bahwa setelah penutupan Asian Games di Hangzhou, Tiongkok, pada malam 9 Oktober pukul 8 malam, sekitar 600 pembelot yang berada di provinsi Liaoning dan Jilin dideportasi kembali ke Korea Utara melalui kota perbatasan seperti Kota Tumen, Kabupaten Otonom Chaoxian Baishan di Provinsi Jilin, Kota Hunchun di Provinsi Otonom Etnis Korea Yanbian, dan Kota Dandong di Provinsi Liaoning.
Karena pembelot yang dideportasi ini hanya diberitahu secara mendadak, mereka terpaksa berpisah dengan suami mereka yang berkewarganegaraan Tiongkok. Mereka memberi pesan kepada suami mereka, “Jika saya dideportasi kembali ke Korea Utara, saya tidak tahu apa yang akan terjadi, tolong jaga anak-anak kita.”
Kelompok hak asasi manusia Korea Utara mengungkapkan bahwa setelah pandemi COVID-19 melanda dunia, diperkirakan ada sekitar 2.000 hingga 2.600 pembelot yang tertahan di Tiongkok. Sejak akhir Agustus lalu, setelah gelombang pertama yang terdiri dari lebih dari 90 pembelot dideportasi kembali ke Korea Utara menggunakan bus, pihak Tiongkok terus mengirim pembelot kembali ke pemerintah Pyongyang. Pada gelombang terakhir tanggal 9 Oktober, sekitar 600 orang dideportasi kembali ke Korea Utara.
Pemerintah Tiongkok Menyebabkan Trauma Psikologis Serius bagi Wanita Pembelot Korea Utara
Pada 11 November 2022, sebuah kelompok hak asasi manusia yang terdiri dari wanita yang melarikan diri dari Korea Utara mengadakan pertemuan di pusat wartawan asing di Korea Selatan. Mereka membawa serta laporan yang diterbitkan setelah lima tahun penyelidikan, berjudul “Saya Ingin Memeluk Anak Saya”, dengan tema “Wanita Pembelot yang Dipisahkan Secara Paksa dari Anak-anak Mereka”. Laporan tersebut menceritakan berbagai tragedi dan masalah hak asasi manusia yang dialami oleh wanita Korea Utara yang melarikan diri ke Tiongkok akibat kebijakan deportasi paksa pemerintah Tiongkok.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa wanita pembelot Korea Utara menjalani hidup dengan trauma psikologis yang disebabkan oleh ketakutan akan deportasi paksa yang diterapkan oleh pemerintah Tiongkok.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 221 wanita pembelot di Tiongkok, 75% di antaranya mengatakan bahwa mereka tidak dapat hidup aman di Tiongkok; 35% pernah berpikir untuk bunuh diri karena takut dideportasi; bahkan 13 orang di antaranya selalu membawa obat beracun bersama mereka; 7 orang lainnya pernah mencoba bunuh diri.
Survei tersebut juga menyebutkan bahwa 65% dari responden, karena khawatir ditangkap dan dideportasi kembali ke Korea Utara, mengalami penderitaan yang berkepanjangan, sehingga 36% dari mereka menghindari keramaian, 21% sering bermimpi buruk dikejar-kejar, dan 11% sering menangis tanpa alasan. Khususnya di antara mereka yang pernah ditangkap oleh kepolisian Tiongkok, 81% dari mereka sering mengalami mimpi buruk. (jhon)
Perang Berlanjut, Rusia Menolak Rencana Kyiv untuk Mengakhiri Perang
Pada Rabu (28/8), Kremlin Rusia membantah pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tentang rencana mengakhiri perang Rusia-Ukraina, dan menegaskan bahwa pasukan Rusia akan terus beroperasi di wilayah Ukraina
secretchina.com
Menurut laporan Reuters, pada 28 Agustus, ketika ditanya tentang rencana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada wartawan, “Ini bukan pertama kalinya kami mendengar pernyataan semacam ini dari rezim Kyiv. Kami memahami sifat rezim Kyiv. Kami akan terus melanjutkan operasi militer khusus kami dan akan mencapai semua tujuan kami.”
Juru bicara Kremlin menyatakan bahwa Rusia mendukung pandangan Perdana Menteri India Narendra Modi mengenai perlunya penyelesaian damai perang Rusia-Ukraina. Namun, jelas bahwa saat ini tidak ada dasar untuk perundingan damai antara kedua belah pihak.
Pada 27 Agustus, Perdana Menteri India Narendra Modi, setelah mengunjungi Kyiv, ibu kota Ukraina, dan mengadakan pertemuan dengan Zelensky, mengatakan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin melalui telepon bahwa India mendukung penyelesaian damai perang Rusia-Ukraina secepat mungkin.
Menurut laporan TASS Rusia, pada 12 Agustus, Presiden Rusia Vladimir Putin dalam sebuah pertemuan mengenai situasi perbatasan Rusia mengatakan bahwa tujuan serangan lintas batas oleh pasukan Ukraina di wilayah perbatasan Rusia adalah untuk meningkatkan posisi negosiasi Kyiv sebelum kemungkinan perundingan damai, serta memperlambat kemajuan pasukan Rusia di garis depan medan perang Ukraina.
Presiden Rusia tersebut menegaskan, “Sekarang sudah jelas mengapa rezim Kyiv menolak usulan kami untuk perundingan damai.”
Ukraina, dengan bantuan negara-negara Barat, sedang menjalankan perintah mereka, sementara Barat menggunakan Ukraina untuk melancarkan perang melawan Rusia, dengan tujuan meningkatkan posisi mereka dalam negosiasi masa depan.
Oleh karena itu, saat ini tidak ada gunanya mengadakan perundingan damai dengan pihak berwenang Kyiv. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada 19 Agustus menyatakan bahwa setelah pasukan Ukraina melancarkan invasi lintas batas besar-besaran ke wilayah Kursk Rusia pada 6 Agustus, perundingan damai antara Rusia dan Ukraina tidak mungkin dilakukan.
Menurut laporan AFP dan BBC News Inggris, pada 27 Agustus, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam konferensi pers mengenai perang Rusia-Ukraina mengatakan bahwa perang dengan Rusia pada akhirnya akan berakhir melalui perundingan, tetapi pihak berwenang Kyiv harus berada dalam posisi yang kuat saat perundingan tersebut.
Zelensky mengatakan bahwa invasi lintas batas Ukraina selama tiga minggu ke wilayah Kursk Rusia adalah bagian dari rencananya untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, tetapi juga mencakup bagian lain dari aspek ekonomi dan diplomasi.
“Poin utama dari rencana ini adalah memaksa Rusia mengakhiri perang ini. Saya sangat berharap dapat mencapainya, karena ini adalah hal yang adil bagi Ukrainam,” jelasnya.
Meskipun Zelensky tidak merinci lebih lanjut rencana berikutnya, ia menyatakan bahwa ia akan mendiskusikan rencana tersebut dengan Wakil Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Kamala Harris, dan mungkin juga dengan kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump.
Zelensky juga menyatakan harapannya untuk menghadiri Sidang Umum PBB yang akan diadakan di New York pada bulan September, dan siap bertemu dengan Presiden AS Joe Biden.
Pernyataan Presiden Ukraina menunjukkan bahwa ia menganggap forum utama untuk perundingan potensial adalah KTT perdamaian internasional berikutnya, di mana pihak berwenang Kyiv berharap Rusia mengirim perwakilan untuk menghadiri KTT tersebut. (jhon)