Home Blog Page 1681

Kutub Selatan Menghangat Tiga Kali Lebih Cepat daripada Rata-rata Global

0

Kutub Selatan telah memanas lebih dari tiga kali rata-rata global selama tiga dekade terakhir, sebuah studi baru menemukan.

Para ilmuwan telah mengetahui selama bertahun-tahun bahwa wilayah luar Antartika sedang memanas. Namun, mereka sebelumnya mengira Kutub Selatan terisolasi dari kenaikan suhu global karena letaknya jauh di pedalaman Antartika.

Penelitian yang diterbitkan oleh para peneliti di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, pada hari Senin, 29 Juni, bertentangan dengan ini. Hasilnya menunjukkan ini akan memiliki implikasi besar bagi naiknya permukaan laut global, kehidupan laut di kawasan itu dan pencairan lapisan es Antartika.

Diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change, studi ini memberikan wawasan tentang wilayah paling terpencil di Bumi.

“Ini menggarisbawahi bahwa pemanasan global bersifat global dan sedang menuju ke tempat-tempat terpencil ini,” Kyle Clem, peneliti pascadoktoral dalam Ilmu Iklim di University of Wellington dan penulis utama studi ini, mengatakan pada CNN.

Clem dan timnya menganalisis data stasiun cuaca di Kutub Selatan antara tahun 1989 dan 2018, serta model-model iklim untuk memeriksa pemanasan di pedalaman Antartika.

Hasilnya menunjukkan bahwa selama periode ini, Kutub Selatan telah memanas sekitar 1,8 ° C pada tingkat +0,6 ° C per dekade. Secara sederhana, itu menghangat tiga kali lebih cepat dari rata-rata global.

Animals are photographed at the South Pole on November 28, 2019.(EDITORIAL USE ONLY. CHINA OUT) (Photo by /Sipa USA)

Para ilmuwan berpendapat bahwa tren pemanasan ini ‘tidak mungkin’ merupakan hasil dari variabilitas iklim alami saja. Alih-alih, efek perubahan iklim buatan manusia tampaknya telah bekerja di samping pengaruh signifikan variabilitas alami di daerah tropis terhadap iklim Antartika.

“Bersama-sama mereka membuat kutub selatan menghangat salah satu tren pemanasan terkuat di Bumi,” tulis Clem untuk The Guardian.

Tim menemukan satu penyebab pemanasan adalah meningkatnya suhu permukaan laut ribuan mil jauhnya; selama 30 tahun terakhir, pemanasan di Samudera Pasifik tropis barat berarti ada peningkatan udara hangat yang dibawa ke Kutub Selatan.

Namun, tim tidak dapat menentukan seberapa besar pemanasan signifikan ini disebabkan oleh pemanasan yang diakibatkan oleh manusia.

“Interior Antartika adalah salah satu dari sedikit tempat yang tersisa di Bumi di mana pemanasan yang disebabkan manusia tidak dapat ditentukan dengan tepat,” jelas Clem.

Ini berarti mustahil bagi para ilmuwan untuk mengatakan apakah, atau berapa lama, pemanasan akan terus berlanjut karena variabilitas suhu sangat ekstrem sehingga saat ini menutupi efek yang disebabkan manusia.

Namun pada akhirnya, penelitian ini dapat menunjukkan bahwa ‘perubahan iklim yang ekstrem dan tiba-tiba’ adalah bagian dari interior Antartika, dan ini kemungkinan akan berlanjut ke masa depan.(yn)

Sumber: Unilad

Video Rekomendasi:

https://youtu.be/gj9sRBkuylg

Pangkas Angka Kelahiran di Xinjiang, Rezim Komunis Tiongkok Mensterilisasi dan Aborsi Paksa Wanita Uighur

Theepochtimes.com- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo pada tanggal 29 Juni 2020 menuntut agar rezim komunis Tiongkok menghentikan dugaan “sterilisasi paksa, aborsi paksa, dan keluarga berencana paksa” terhadap warga Uighur dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang.

Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan menggambarkan langkah-langkah yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk memangkas angka kelahiran di antara warga Uyghur karena “mengejutkan” dan “mengganggu.” Ia mencatat bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian “kampanye penindasan yang berkelanjutan.”

Ucapan Mike Pompeo muncul setelah publikasi sebuah makalah  oleh peneliti Jerman Adrian Zenz di Jamestown Foundation, lembaga pemikir yang berbasis di Washington. 

Laporan tersebut, yang menganalisis dokumen pemerintah Tiongkok, menemukan bahwa pertumbuhan populasi yang alami di Xinjiang telah turun “secara dramatis.”

Adrian Zenz mengatakan bahwa di dua prefektur terbesar di Xinjiang, angka pertumbuhan turun sebesar 84 persen antara tahun 2015 hingga  2018, dan selanjutnya pada tahun 2019. Sekitar 14 persen dan 34 persen wanita usia subur yang menikah di dua kabupaten itu, ditargetkan dalam kampanye sterilisasi wanita massal.

Adrian Zenz mengatakan kampanye tersebut cenderung bertujuan untuk mensterilkan wanita minoritas di pedesaan yang memiliki tiga anak atau lebih, serta beberapa wanita yang memiliki dua anak. Setidaknya setara dengan 20 persen semua wanita usia subur.

Mike Pompeo, seorang kritikus yang gigih terhadap rezim Komunis Tiongkok, yang mencakup perlakuan rezim Tiongkok terhadap warga Uyghur — mayoritas Muslim Sunni — mengatakan pada hari Senin bahwa temuan tersebut adalah konsisten dengan puluhan tahun praktik Partai Komunis Tiongkok, “yang mana menunjukkan suatu seruan yang mengabaikan kesucian hidup manusia dan martabat dasar manusia.

“Kami menyerukan Partai Komunis Tiongkok untuk segera mengakhiri praktik yang mengerikan ini, meminta semua negara untuk bergabung dengan Amerika Serikat dalam menuntut diakhirinya pelanggaran tidak manusiawi ini,” kata Mike Pompeo.

Sejak lama Partai Komunis Tiongkok membenarkan tindakannya terhadap warga Uyghur yang berbicara menggunakan bahasa Turki. Uighur salah satu dari 55 kelompok etnis minoritas yang diakui Tiongkok secara resmi — mengatakan fasilitas penahanan milik Partai Komunis Tiongkok bertujuan untuk “mendidik dan mengubah” kelompok etnis minoritas tersebut. Rezim Komunis Tiongkok selalu menyematkan stempel dan narasi terkait Muslim Uighur dengan mengobarkan hoaks “tiga kekuatan jahat” yaitu “ekstremisme, separatisme, dan terorisme.”

Sejak Partai Komunis Tiongkok menyerap kembali Xinjiang ke Tiongkok pada bulan September 1949, Partai Komunis Tiongkok menggunakan klaim Turkistan Timur yang didukung Soviet sebagai sarana untuk membenarkan penindasan Partai Komunis Tiongkok terhadap orang-orang Uighur.

Warga Uighur, bersama dengan etnis minoritas lainnya seperti warga Tibet, juga adalah orang beriman yang setia yang tetap berada di luar kendali negara, yang mencakup umat Kristen dan Falun Gong, yang telah lama menjadi sasaran transformasi Partai Komunis Tiongkok melalui “pendidikan ulang.”

Partai Komunis Tiongkok terus-menerus menuduh warga Uyghur melakukan “aksi teroris” di seluruh Tiongkok. Warga Uyghur dilarang mengikuti praktik keagamaan seperti menumbuhkan jenggot panjang, menunaikan ibadah puasa, dan mengenakan hijab. Langkah itu sebagai bagian tindakan pihak berwenang setempat digambarkan sebagai penanggulangan ekstrimisme.

Lebih dari satu juta warga Uyghur dan etnis minoritas lainnya dipercayai ditahan di jaringan kamp yang luas di kawasan ini.

Adrian Zenz mengatakan bahwa pada tahun 2019, ada rencana untuk menargetkan setidaknya 80 persen wanita usia subur di empat prefektur minoritas selatan Xinjiang, tak lain untuk operasi penempatan alat kontrasepsi di dalam rahim atau sterilisasi yang mengganggu untuk mencegah kelahiran.

Adrian Zenz mengatakan bahwa pada tahun 2018, 80 persen dari semua penempatan alat kontrasepsi di dalam rahim yang baru di Tiongkok adalah dilakukan di Xinjiang, sementara hanya 1,8 persen populasi Tiongkok tinggal di Xinjiang.

Obat Secara Paksa

The Epoch Times sebelumnya telah menguatkan pengendalian kelahiran paksa yang muncul di wilayah Xinjiang melalui wawancara dengan mantan tahanan Uyghur.

Gulbakhar Jaliliova, seorang warganegara dan wanita pengusaha Kazakhstan, ditahan di sebuah kamp khusus wanita di ibukota Xinjiang, Urumqi, selama lebih dari 15 bulan sebelum ia dibebaskan pada bulan September 2018. Ia memberitahukan kepada The Epoch Times bahwa wanita diberi pil di kamp tersebut supaya tidak dapat hamil lagi.

Setiap hari wanita yang ada di kamp tersebut dipaksa untuk minum obat yang tidak diketahui. Mereka juga disuntikkan dengan zat setiap bulan yang “mematikan emosi.”

Sementara itu Rabiye Muhammad yang berbasis di Kanada, yang ibunya ditahan pada bulan Februari 2018 karena mengunjunginya pada bulan Oktober 2014 selama empat bulan, mengatakan bahwa ia mendengar secara langsung bahwa haid “mantan seorang tahanan Uyghur yang masih muda” tiba-tiba berhenti sama sekali, karena wanita-wanita di kamp tersebut dipaksa minum pil.”

“Pria lain yang dibebaskan, mengatakan para pria juga diberi bentuk obat-obatan — mereka terpaksa meminumnya. Ia mengatakan ia menyembunyikannya di bawah lidahnya. Pria lain yang adalah seorang dokter, mengatakan karakternya berubah — ia menjadi lembut dan tidak seperti seorang pria,” kata Rabiye Muhammad memberitahu The Epoch Times. 

Genosida

Dalam laporannya, Adrian Zenz mengatakan temuannya mewakili bukti terkuat bahwa kebijakan Beijing di Xinjiang memenuhi salah satu kriteria genosida, yang mana disebutkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pencegahan dan Hukuman Kejahatan atas Genosida, yaitu “tindakan paksaan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam grup [yang ditargetkan].”

Menanggapi laporan itu, gubernur kolonial Hong Kong yang terakhir, Chris Patten mengatakan kepada Bloomberg Television bahwa tindakan rezim Komunis Tiongkok dapat dikatakan bertujuan untuk “genosida.”

“Ini dapat dikatakan sesuatu yang masuk dalam persyaratan pandangan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai macam-macam genosida,” kata Chris Patten, pada hari Senin 29 Juni.

Sedangkan Mike Pompeo dalam cuitannya berbunyi : “Amerika Serikat mengutuk penggunaan kendali populasi secara paksa terhadap warga Uyghur dan wanita etnis minoritas lainnya serta menyerukan Partai Komunis Tiongkok untuk menghentikan kampanye penindasanya. Sejarah akan menilai bagaimana kita bertindak hari ini.” (Vivi/asr) 

Keterangan Gambar:.S. Sekretaris Negara Mike Pompeo berbicara selama konferensi pers di Departemen Luar Negeri di Washington pada 24 Juni 2020. (Mandel Ngan / POOL / AFP melalui Getty Images)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=0yKp54gVWYs

Dulu dan Kini, Konflik dengan India, Komunis Tiongkok Selalu Memilih Bertikai

oleh Dr. Cheng Xiaonong 

Setelah 58 tahun berlalu dengan damai di sepanjang perbatasan, pertikaian militer antara Tiongkok dengan India pecah pada bulan Mei 2020 lalu. Jika kita melihat kembali sejarah, tidaklah mengherankan negara-negara yang bertetangga itu berada dalam konflik. 

Itu karena, Partai Komunis Tiongkok memulai pertarungan dengan tetangganya setiap kali  hubungan luar negeri rezim Tiongkok  dalam kondisi tegang serta kebijakan ekonomi dan sosial di dalam negerinya  gagal. 

Di masa lalu, di bawah kepemimpinan Mao Zedong, rezim Komunis Tiongkok telah menyalahkan India. Strategi Mao Zedong mengenai “semakin banyak kesalahan, seharusnya penampilan anda semakin tenang. Mengalihkan medan pertempuran untuk menemukan jalan keluar,” diterapkan kembali saat ini.

Namun, Partai Komunis Tiongkok cenderung tidak akan mencapai apa-apa, seperti yang terjadi selama Perang Tiongkok-India pada tahun 1962 silam.

Bangkit dalam Kekuasaan, Dua Dilema

Bentrokan perbatasan baru-baru ini, yang menyebabkan korban di kedua belah pihak, tampaknya menjadi kelanjutan alami dari perselisihan perbatasan antara Tiongkok dengan India yang sudah berlangsung lama. Namun, perbatasan antara Tiongkok dengan India belum diputuskan selama hampir seratus tahun. 

Dalam jangka waktu yang begitu lama, kedua pihak memiliki dua konflik. Satu konflik pada tahun 1962 dan satu konflik saat ini. Damai telah dipertahankan selama hampir 60 tahun.

Lalu mengapa konflik tidak terhindarkan saat ini? Mungkin jawabannya adalah hanyalah masalah waktu saja. Mari kita periksa kebenaran konteks konflik dari sisi sejarah.

Kedua bentrokan terjadi saat Partai Komunis Tiongkok menemukan dilema yang belum pernah terjadi sebelumnya, baik secara domestik maupun internasional. Dilema semacam itu sebenarnya adalah produk yang tidak terhindarkan dari keinginan Partai Komunis Tiongkok untuk menjadi kekuatan yang meningkat. 

Lompatan Jauh ke Depan, yang  juga dikenal sebagai Rencana Lima Tahun kedua, kampanye ekonomi dan sosial yang dimulai pada tahun 1958, benar-benar runtuh pada tahun 1962. Itu adalah kampanye yang dipimpin oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok saat itu Mao Zedong yang bertujuan menyalip kehebatan Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. 

Pada tahun 2020 ini, Partai Komunis Tiongkok sekali lagi meluncurkan kebijakan dalam upaya untuk melampaui Amerika Serikat. Namun, rezim Tiongkok sekali lagi jatuh ke dalam perangkap yang disebabkan oleh kegagalan kebijakannya sendiri.

Fitur umum dari dua kampanye Komunis Tiongkok adalah untuk mencapai ambisi rezim Tiongkok di arena internasional. Untuk mencapai tujuannya, Partai Komunis Tiongkok yang tidak bermoral mengadopsi politik yang merugikan ekonomi di dalam negeri maupun internasional. 

Dengan Lompatan Jauh ke Depan, Partai Komunis Tiongkok berusaha mempercepat produksi pertanian dengan membentuk komune. Praktik yang gagal ini menyebabkan puluhan juta petani mati kelaparan. 

Secara internasional, Mao Zedong meluncurkan Krisis Selat Taiwan pada tahun 1958, saat Partai Komunis Tiongkok dan Taiwan terlibat dalam konflik bersenjata yang singkat setelah Partai Komunis Tiongkok merebut beberapa pulau di Selat Taiwan. Bahkan Partai Komunis Tiongkok meminta Uni Soviet untuk berpartisipasi jika perang nuklir terjadi yang dipicu oleh Amerika Serikat. 

Tindakan kurang ajar itu mengarah pada berakhirnya bulan madu Uni Soviet dengan Partai Komunis Tiongkok dan Uni Soviet mengakhiri bantuan teknis untuk Komunis Tiongkok. Hubungan Tiongkok-Soviet dan Tiongkok-Amerika Serikat adalah memburuk pada saat bersamaan.

Dilema ekonomi saat ini di Tiongkok berawal dari Hu Jintao dan era Wen Jiabao, saat gelembung real estat mulai menyebabkan ekonomi Tiongkok mati. Sejak itu, penurunan ekonomi Tiongkok menjadi norma baru. Wen Jiabao adalah mantan pemimpin dan perdana menteri Tiongkok dari tahun 2002 hingga 2012. 

“Bangkitnya” strategi dimulai dengan mencuri teknologi skala besar, ditambah dengan surplus perdagangan jangka panjang dengan Amerika Serikat, dan melanggar hukum kelautan internasional dengan membangun pulau-pulau buatan manusia, dan bahkan pencegah nuklir berbasiskan laut baru di Laut Tiongkok Selatan. 

Menghadapi berbagai ancaman dari Partai Komunis Tiongkok, pemerintah Amerika Serikat dibawah Presiden Donald Trump mengambil tindakan balasan yang mempercepat penurunan ekonomi Tiongkok. Pandemi Corona virus lebih lanjut memperburuk hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat.

Strategi Mao Zedong

Di negara yang demokratis, warganegara dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah jika dilema semacam itu terjadi. Namun, ini bukanlah kasus bagi kediktatoran komunis. Tidak pernah ada permintaan maaf. Sebaliknya, rezim komunis menemukan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian. Nasionalisme selalu berguna. Suatu konflik internasional memamerkan kekuatan tentara, yang mengamankan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dan mencegah potensi ancaman internal.

Strategi Mao Zedong mengenai “semakin banyak kesalahan, seharusnya penampilan anda semakin tenang” berarti bahwa Partai Komunis Tiongkok tidak akan pernah mengakui kesalahannya. Istilah yang disebut “mengalihkan medan pertempuran untuk menemukan jalan keluar” berarti meluncurkan konflik baru dalam urusan internal dan hubungan luar negeri. Negara-negara tetangga sering menjadi kambing hitam.

Konflik dengan India adalah masalah besar yang dapat menghasut nasionalisme dan memungkinkan Partai Komunis Tiongkok untuk menakuti lawan atau musuhnya dengan memamerkan kekuatan militer, politik, atau keuangan. Masalah perbatasan Tiongkok-India dapat dengan mudah dimanipulasi untuk memicu konflik. Tentu saja, Partai Komunis Tiongkok juga memiliki pedoman yakni  Partai Komunis Tiongkok tidak dapat terisolasi dari masyarakat internasional. 

Oleh karena itu, konflik tersebut dibatasi hanya untuk perbatasan saja. Konflik  tidak akan berkembang menjadi invasi teritorial. Tujuan dari konflik itu adalah untuk mencapai tujuan pengalihan perhatian jauh dari tekanan domestik.

Perbatasan Tiongkok-India belum disurvei oleh kedua belah pihak untuk waktu yang lama, tetapi batas-batas nasional pada peta ini tidak dibedakan secara alami oleh batas geografis sungai atau lembah. Garis putus-putus pada peta tersebut adalah tidak tepat. Koordinat lintang dan bujur tidak dapat diterapkan di tanah, apalagi membangun tonggak batas. 

Oleh karena itu, situasi perbatasan sebenarnya adalah bahwa kedua belah pihak masing-masing memiliki Garis Kendali Aktual yang aktual, dan antara Garis Kendali Aktual adalah zona penyangga yang tidak ada pihak yang menempati. Saat salah satu pihak mengambil beberapa tindakan di zona penyangga, seperti menyiapkan benteng atau bunker, maka akan menyebabkan gesekan di antara kedua pihak. 

Pada saat ini, selama salah satu pihak ingin mengambil kendali, konflik akan  segera meletus. Ini terjadi pada Perang Tiongkok-India pada tahun 1962, juga konflik Tiongkok-India pada tahun ini.

Kedua konflik Tiongkok-India tersebut mengikuti pola yang sama, yaitu: Beijing memanipulasi status quo dari sengketa perbatasan yang belum terselesaikan untuk memicu friksi. Kemudian Beijing mengirim pasukan, merancang rencana konflik dan memerintahkan serangan mendadak. Lalu meminimalkan situasi, mengembalikan perbatasan ke keadaan semula atau mundur secara tepat, dan mengembalikan kedamaian. 

Dalam setiap konflik, Partai Komunis Tiongkok mengambil inisiatif, siap untuk konflik, dan menyerang dengan tiba-tiba. 

Mari kita tinjau karakteristik dari dua konflik ini.

Konflik Tiongkok-India pada tahun 1962 silam, pada musim dingin 1962, perang Tiongkok-India yang diluncurkan oleh Partai Komunis Tiongkok pecah.

Pada tanggal 20 Oktober 1962, tentara Komunis melancarkan serangan di bagian timur perbatasan Tiongkok-India, dan pasukan India dikalahkan.

Pada tanggal 16 November 1962, tentara Komunis melakukan serangan jarak-jauh ke bagian timur dan barat garis perbatasan, dan pasukan Tiongkok lebih canggih daripada pasukan India. 

Pasukan Komunis mencapai kemenangan sempurna. Tetapi, rezim Tiongkok menghadapi kekalahan besar secara diplomatis. 

Di antara negara-negara Barat, Komunis Tiongkok, dan negara-negara berkembang, 50 di antaranya mendukung India, seperti Mesir, Irak, Ceylon kini bernama Sri Lanka, Nepal, Mongolia, Afghanistan, Kamboja. Hanya Vietnam, Korea Utara, dan Pakistan menunjukkan dukungannya kepada rezim Komunis Tiongkok. 

Yang paling penting adalah bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet keduanya sangat mendukung India, dan memberikan banyak bantuan militer, termasuk pengangkut militer besar, jet tempur, dan helikopter. Tentara India meningkatkan kemampuan pertempurannya. 

Akibatnya, Mao Zedong memerintahkan seluruh pasukan untuk mundur dan menyerahkan bagian dari area yang dikendalikan pasukannya. Beijing tiba-tiba menyerukan gencatan senjata sepihak pada tanggal 21 November 1962 dan memerintahkan pasukannya untuk mundur ke posisi sebelumnya sekitar 12 mil di belakang Garis Kendali Aktual. Itu adalah langkah yang mengejutkan. Rezim Komunis Tiongkok telah menipu banyak orang baik dalam negeri maupun di di luar negeri.

Misalnya, Neville Maxwell, seorang wartawan Inggris yang meliput  perang perbatasan Tiongkok-India pada tahun 1962. Neville Maxwell menulis bahwa rezim Komunis  Tiongkok telah melancarkan serangan balasan di perbatasan Tiongkok-India setelah India meningkatkan provokasi militer di wilayah tersebut. Komunis  Tiongkok  berusaha untuk mendapatkan wilayah dengan paksa.

Penulis militer Tiongkok, Jin Hui juga mengingat perang tersebut dan mengungkapkan kekecewaannya bahwa Tiongkok gagal mendapatkan keuntungan dari kemenangannya pada tahun 1962 dalam bukunya, “The Charm of Tibet’s Medog,” yang diterbitkan pada tahun 1995.

Nah untuk konflik Tiongkok-India pada tahun 2020 ini, sejarah selalu menjadi suatu cermin realitas. Konflik tersebut pecah lagi pada tahun ini. Wilayah konflik dekat bagian barat perbatasan Tiongkok-India dekat Nepal. Ini adalah daerah yang sepi, dataran tinggi, dan sangat dingin. 

Cuaca sangat tidak bersahabat, medannya curam, dan transportasi tidak nyaman. Kedua pihak tidak memiliki warga di sana dan tidak ada sumber daya untuk diperebutkan. 

Di masa lalu, para petugas patroli perbatasan sering membentangkan spanduk secara langsung di zona penyangga untuk mengekspresikan proposisi perbatasan masing-masing, dan kemudian berjalan pergi berlalu. 

Dalam beberapa tahun terakhir, India telah mencatat ratusan insiden di mana Tiongkok melintasi Garis Kendali Aktual setiap tahun. Tiongkok bahkan melewati Garis Kendali Aktual India, mendirikan kamp, ​​dan kemudian terjadi konfrontasi selama beberapa minggu. Namun, konfrontasi saat itu tidak menyebabkan kematian, perkelahian, atau permusuhan.

Belakangan, patroli India menemukan beberapa bunker yang dibangun oleh tentara Tiongkok di daerah penyangga. Saat tentara India berusaha menghancurkan bunker ini, tentara India diserang oleh patroli Tiongkok.  Konflik antara kedua pasukan itu berkembang menjadi pertarungan tangan kosong. Pasalnya Tiongkok dan India memiliki perjanjian tanpa senjata. Dengan kata lain, kedua belah pihak tidak membawa senjata dengan tujuan menghindari konflik militer. 

Dalam bentrokan pada akhir bulan Mei, menurut media India, tentara Partai Komunis Tiongkok melukai 72 tentara India dan menangkap lima orang.

Pertempuran kecil pecah lagi pada malam hari tanggal 15 Juni 2020 lalu, di Lembah Galwan di Ladakh. Pertempuran berlangsung selama beberapa jam. Kedua belah pihak menggunakan batu dan tongkat, sementara pihak Tiongkok  menggunakan batang berpaku. Setidaknya ada 20 tentara India tewas terbunuh.

Karena pihak Tiongkok menyiapkan senjata yang tidak meledak untuk menyerang, konflik kedua belah pihak pada tahun ini dapat dilihat sebagai serangan tiba-tiba untuk menduduki oleh Partai Komunis Tiongkok. 

Tidak ada prajurit yang dapat melakukan serangan besar-besaran sendiri tanpa menerima perintah. Dapat dikatakan bahwa di balik serangan tiba-tiba oleh tentara Tiongkok adalah keputusan provokatif Partai Komunis Tiongkok. Jika rezim Komunis  Tiongkok ingin menciptakan gesekan, maka para prajurit diperintahkan untuk bertindak. 

Saat ini, kedua belah pihak untuk sementara meninggalkan tempat konflik, tetapi masing-masing pihak telah memobilisasi sejumlah besar pasukan dan alat berat ke garis depan. Masih harus dilihat bagaimana situasi yang akan terjadi di masa depan.

Sejak kebuntuan dimulai, media resmi Partai Komunis Tiongkok menyatakan mekanisme komunikasi bilateral yang  efektif dibentuk setelah konflik tahun 1962, dan bahwa kedua belah pihak akan bekerja untuk “menyelesaikan perbedaan.”

Akankah Partai Komunis Tiongkok Menang Lagi?

Selain alasan mengapa Partai Komunis Tiongkok memprovokasi India, ada juga penyebab langsung konflik tersebut. Partai Komunis Tiongkok merasa terkendala di mana-mana di masyarakat internasional setelah dimulainya perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok. Itu mencakup penolakan India untuk bekerja sama dalam upaya Partai Komunis Tiongkok  meringankan tekanan ekonomi yang diluncurkan oleh Amerika Serikat. 

Selama lebih dari setahun, India menolak untuk berpartisipasi dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik yang dipimpin oleh Jepang, dan juga menolak untuk bergabung dengan “Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional. Penolakan India untuk tunduk pada keinginan Partai Komunis Tiongkok dapat menyebabkan konflik perbatasan ini.

Dibandingkan dengan Perang Tiongkok-India pada tahun 1962, skala dan keparahan konflik ini adalah jauh lebih kecil, dan kedua belah pihak belum menggunakan senjata otomatis.

Namun, makna internasional dari konflik tahun ini adalah mirip dengan konflik tahun 1962. Partai Komunis Tiongkok juga menghadapi isolasi diplomatik dalam konflik ini. 

Tampaknya tidak ada negara secara terbuka menyatakan dukungan untuk Partai Komunis Tiongkok dalam insiden ini. Namun, situasi internasional saat ini adalah sangat berbeda dibanding situasi internasional tahun 1962. 

Pertama, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bertahap telah didominasi oleh anti-negara berkembang Barat. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya menjadi boneka Partai Komunis Tiongkok, tetapi juga lawan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok dapat tidak lagi mengawasi keadilan internasional, dan tentu saja tidak lagi menjadi pendamai yang efektif dari konflik Tiongkok-India ini. 

Kedua, setelah Partai Komunis Tiongkok bergabung dalam ekonomi global, Partai Komunis Tiongkok telah memikat banyak negara melalui minat ekonomi. Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok tidak takut jika dikenakan sanksi internasional untuk konflik skala kecil ini.

Status internasional dan kekuatan ekonomi India telah meningkat dalam beberapa dekade sejak tahun 1962. Saat ini, dengan kekuatannya sendiri, India mampu melawan Partai Komunis Tiongkok di bidang ekonomi dan politik tanpa bantuan internasional.

Menurut analisis Deutsche Welle, setelah konflik perbatasan, India akan dengan cepat mengubah kebijakan luar negeri dan ekonominya untuk melawan Tiongkok. Metode utama adalah sebagai berikut:

1) Tolak teknologi 5G Huawei.

2) Boikot produk Tiongkok. Secretary general of Confederation of All India Traders (CAIT) atau Konfederasi Semua Pedagang India, Ashwani Mahajan mengatakan 70 juta pebisnis India memutuskan untuk meningkatkan kampanye nasional untuk memboikot barang-barang Tiongkok.

3) Terus menekan Tiongkok untuk menyelidiki sumber pandemi virus Komunis TIongkok atau COVID-19.

4) Membentuk sekutu melawan Tiongkok. The South China Morning Post menyebutkan bahwa kini New Delhi dapat mempertimbangkan untuk menyesuaikan hubungan geopolitik. Konflik yang terbaru dengan Tiongkok dapat mendorong India untuk menerima lobi Amerika Serikat  dan selanjutnya berpartisipasi dalam strategi Indo-Pasifik yang dipimpin Amerika Serikat guna mengekang ekspansi dan kegiatan militer Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

5) Memperluas partisipasi dalam organisasi internasional, dan secara aktif berpartisipasi dalam masyarakat akademik dan sektor swasta.

6) Meningkatkan kekuatan militer.

Partai Komunis Tiongkok tidak mencapai apa pun dari Perang Tiongkok-India 1962 silam. 

Jika demikian Partai Komunis Tiongkok juga cenderung tidak akan mendapatkan apapun dari konflik dengan India, baru-baru ini. 

Demikian berita kali ini, kita tunggu perkembangan konflik Tiongkok dengan India ini. Sampai jumap. 

vivi/rp  

Cheng Xiaonong adalah seorang sarjana politik dan ekonomi Tiongkok yang berbasis di New Jersey. Cheng adalah seorang peneliti kebijakan dan ajudan mantan pemimpin Partai Zhao Ziyang, ketika Zhao menjadi perdana menteri. Dia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi jurnal Modern China Studies.

Keterangan Gambar:Tentara Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF) menjaga jalan raya menuju Leh, yang berbatasan dengan China, di Gagangir, India, pada 17 Juni 2020. (Tauseef Mustafa / AFP via Getty Images)

Video Rekomendasi

Survei International Federation of Journalists Menunjukkan Beijing Meningkatkan Kampanye Membentuk Ulang Lanskap Berita Global

Eva Fu

Survei yang dirilis pada tanggal 23 Juni dan dilakukan oleh International Federation of Journalists -IFJ- yang berbasis di Brussels, di 58 negara dan wilayah, dua pertiga responden mengatakan Tiongkok menciptakan “kehadiran yang terlihat” di media nasional mereka.

Ada juga “tanda-tanda yang jelas” dari Beijing yang menargetkan jurnalis di negara-negara berkembang, seperti di Amerika Latin, di mana pemerintah tidak efektif atau represif, menurut  International Federation of Journalists.

Di antara tujuan utama Beijing adalah mendorong liputan yang baik mengenai inisiatif infrastruktur yang agung, Belt and Road, demikian temuan  International Federation of Journalists.  

Rezim Tiongkok menawarkan program pelatihan khusus, seperti pelatihan jurnalisme selama sepuluh bulan di universitas-universitas Tiongkok yang bergengsi.

Federasi Jurnalis Internasional itu menyebut strategi “meminjam perahu untuk mencapai lautan”: Beijing memperluas propaganda outsourcing ke platform media non-Tiongkok untuk menjangkau poin pembicaraannya, sambil menyamarkan akar konten semacam itu.

Setengah dari responden telah melakukan perjalanan yang disponsori ke Tiongkok yang dirancang untuk menunjukkan aspek-aspek positif Tiongkok; 36 persen serikat jurnalisme yang disurvei mengatakan mereka diminta untuk menandatangani perjanjian kerja sama dengan entitas Tiongkok. Sementara lebih dari sepertiga dari mereka melaporkan kemitraan berbagi konten dengan serikat jurnalisme Tiongkok dan outlet lainnya.

Federasi Jurnalis Internasional mengatakan, Beijing juga mencari kendali langsung atas infrastruktur pengiriman pesannya dengan mengakuisisi outlet media asing. Termasuk, mendirikan usaha patungan media berskala besar di luar negeri.

Menurut survei tersebut, perjalanan lapangan dapat berkisar dari dua minggu hingga sepuluh bulan, seringkali “sangat” menargetkan negara-negara berkembang. 

Untuk mendorong kembali dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak berwenang Tiongkok di Xinjiang, misalnya, beberapa Kedutaan Besar Tiongkok telah menyelenggarakan perjalanan media untuk jurnalis di negara-negara mayoritas Islam, mendorong mereka untuk mempromosikan keberhasilan ekonomi dan tempat wisata Xinjiang. 

Banyak Muslim Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang dianiaya oleh rezim Tiongkok, dengan perkiraan satu hingga dua juta dikirim ke konsentrasi kamp di mana mereka dipaksa untuk melepaskan imannya. 

Pengusaha dengan taruhan bisnis di Tiongkok juga bertindak sebagai proxy untuk membantu memulai perjalanan semacam itu.

Di Australia, puluhan jurnalis dari media berpengaruh telah melakukan perjalanan ke Tiongkok yang dibiayai oleh pemerintah Tiongkok sejak tahun 2016, menurut Federasi Jurnalis Internasional. 

Di sebuah rapat di Myanmar, masing-masing dari sembilan jurnalis di sana menerima dan  setidaknya mengambil dua penawaran tur yang disponsori, dengan satu dari mereka mengunjungi Tiongkok sebanyak sembilan kali.

Perjanjian yang Meragukan

Serikat jurnalisme dari setidaknya delapan negara di Asia Pasifik, Afrika, dan Eropa telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan entitas Tiongkok, menurut survei Federasi Jurnalis Internasional.

Perjanjian tersebut seringkali melibatkan perjanjian non-pengungkapan dan karenanya kurang transparansi, demikian catatan Federasi Jurnalis Internasional. 

Persyaratan dalam beberapa perjanjian mengisyaratkan serikat jurnalisme untuk berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan pemerintah Tiongkok.

Di Filipina, Kelompok Komunikasi Kepresidenan, sebuah kantor pemerintahan yang mengawasi entitas media yang dikendalikan oleh negara, para anggota staf pergi ke Tiongkok untuk pelatihan dan beasiswa selama berbulan-bulan. Kelompok Komunikasi Kepresidenan menandatangani perjanjian Nota Kesepahaman dengan badan pemerintah Tiongkok, Administrasi Radio dan Televisi Nasional, pada tahun 2019.

Kemitraan semacam berdampak dalam penulisan jurnalis. “Kini cara staf di kantor Filipina menulis ceritanya, mencerminkan cara bagaimana Xinhua atau bagaimana media pemerintah di Tiongkok menulis ceritanya,” kata seorang jurnalis dari Filipina yang disurvei. Ia menambahkan,” hal tersebut biasanya adalah propaganda.”

Strategi ‘Membeli Perahu’

Rezim Tiongkok semakin “membeli kapal’ atau ‘membangun’ kapal” untuk menyebarkan konten yang disetujui negara ke media luar negeri, demikian Federasi Jurnalis Internasional.

Perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terhubung dengan negara Tiongkok juga membeli outlet atau pengaturan usaha patungan media setidaknya di sembilan negara.

Raksasa internet Tiongkok, Alibaba, misalnya, memiliki aplikasi bernama UC News yang menerbitkan berita dalam Bahasa Indonesia, Hindi, dan  bahasa India di 15 daerah. 

Dalam memperoleh surat kabar South China Morning Post berbahasa Inggris yang berbasis di Hong Kong, pendiri Alibaba Jack Ma menyatakan ia ingin “menawarkan kesempatan yang adil kepada pembaca” untuk memahami Tiongkok. Paket TV satelit dengan saluran media pemerintah Tiongkok telah disiapkan dan dijual di seluruh Afrika, memperluas jangkauan propaganda negara Tiongkok.

Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini berupaya mengekang operasi outlet media Tiongkok di Amerika Serikat. Kementerian Luar Negeri  Amerika Serikat sejauh ini mengidentifikasi total sembilan badan yang dikelola negara Tiongkok sebagai misi asing.

China Daily, outlet berbahasa Inggris di bawah Departemen Publisitas Tiongkok, telah menghabiskan jutaan suplemen di surat kabar utama Amerika Serikat, menurut dokumen Kementerian Kehakiman Amerika Serikat.

“Sementara media Barat terikat pada kebenaran, media Republik Rakyat Tiongkok terikat pada Partai Komunis Tiongkok,” kata Morgan Ortagus, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dalam pernyataan pada tanggal 22 Juni dengan menambahkan lima media terbaru ke daftar misi asing. (Vivi/asr)

FOTO : Halaman depan China Daily (kiri), Berita Beijing (tengah) dan Global Times (kanan) menampilkan kebakaran yang melanda Katedral Notre-Dame, di Beijing pada 17 April 2019. (Nicolas Asfouri / AFP via Getty Images)

Hujan Lebat dan Banjir Merendam Sejumlah Daerah 26 Provinsi di Tiongkok

0

Nicole Hao

Pihak berwenang menyebutkan hujan deras menyebabkan banjir parah di 26 provinsi di Tiongkok, di mana lebih dari 11 juta orang kehilangan propertinya dalam bencana tersebut

Tetapi penduduk setempat curiga bahwa pihak berwenang juga diam-diam mengucurkan air di reservoir yang telah diisi dengan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah, sehingga memperburuk banjir.

Kementerian Sumber Daya Air Tiongkok mengumumkan bahwa sejak  bulan Juni 2020, ketinggian air lebih dari 198 sungai di Tiongkok telah mencapai ketinggian peringatan, artinya tepian sungai dapat longsor jika air tidak dapat dikeluarkan.

Kementerian Sumber Daya Air Tiongkok juga mengatakan bahwa ketinggian air 25 sungai telah mencapai lebih tinggi dari ketinggian peringatan pada tanggal 28 Juni — yang berarti nyawa warga berada dalam bahaya.

Hujan lebat diperkirakan akan terjadi di wilayah tersebut. Administrasi Meteorologi Tiongkok memposting pemberitahuan “peringatan kuning” pada tanggal 28 Juni, sistem peringatan tingkat-empat. Artinya curah hujan sudah mencapai 50 milimeter atau lebih selama enam jam terakhir. Khusus, Provinsi Guizhou, Hunan, Hubei, Henan, Anhui, dan Jiangsu, serta Shanghai, akan mengalami hujan lebat selama 24 jam ke depan. Curah hujan terburuk dapat mencapai 200 milimeter.

Yichang, kota tepat di bawah Bendungan Tiga Ngarai di Hubei, menderita  banjir parah pada tanggal 27 Juni karena curah hujan.

Air memenuhi ruang bawah tanah banyak bangunan di Yichang. Netizen berbagi video para pejalan kaki yang jatuh ke selokan dan mobil-mobil hanyut tersapu banjir. Bendungan Tiga Ngarai membentang di sungai Yangtze. 

Sejak pertengahan bulan Juni, hulu daerah sungai Yangtze mengalami hujan lebat, mengisi reservoirnya.

Warga mengatakan kepada The Epoch Times bahwa mereka mencurigai pihak berwenang diam-diam mengeluarkan air dari reservoir Tiga Ngarai.

“Hujan setiap tahun selama musim ini. Curah hujan tahun ini tidak lebih lebat daripada tahun-tahun sebelumnya. Mengapa banjir melanda Yichang tahun ini?” kata  Zhang melalui wawancara telepon pada tanggal 28 Juni. Ia menambahkan bahwa kelebihan air dari reservoir Tiga Ngarai cenderung menyulitkan air hujan untuk mengalir ke sungai Yangtze, sehingga menyebabkan banjir.

Wang Weiluo, ahli hidrologi Tiongkok yang saat ini tinggal di Jerman, sebelumnya mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara: “Reservoir tersebut adalah sistem yang sangat rapuh. Saat menghadapi risiko keamanan karena terlalu banyak air, maka akan air dikeluarkan tanpa peringatan.”

Operator bendungan milik pemerintah, China Three Gorges Corporation, secara tidak langsung menegaskan bahwa pihaknya telah mengeluarkan air dari reservoir. 

Pada tanggal 23 Juni, China Three Gorges Corporation mengatakan dalam sebuah pengumuman bahwa pada jam 10 pagi hari itu, “82 unit pembangkit listrik tenaga air milik korporasi kami di Bendungan Tiga Ngarai, Gezhouba, Xiluodu, dan Xiangjiaba semuanya dioperasikan. Ini adalah pertama kalinya 82 unit tersebut beroperasi pada tahun 2020.”

Agar listrik dapat dihasilkan, bendungan tersebut perlu mengalirkan air. Bao Zhengfeng, direktur departemen sumber daya air di China Yangtze Power Co, anak perusahaan China Three Gorges Corporation, mengatakan kepada media pemerintah Xinhua bahwa alasan mengapa  Bendungan Tiga Ngarai dioperasikan adalah karena “jumlah air yang masuk ke reservoir memenuhi persyaratan untuk unit pembangkit listrik beroperasi.”

Baik perusahaan maupun media yang dikelola pemerintah tidak menyebutkan risiko banjir karena air dikeluarkan.

Sejauh ini, pihak berwenang belum mengumumkan korban tewas.

Lebih Banyak Banjir

Pada tanggal 28 Juni 2020, Danau Tai di Provinsi Jiangsu banjir untuk pertama kalinya tahun ini.

Kementerian Sumber Daya Air Tiongkok memperingatkan bahwa ketinggian air Danau Tai akan terus meningkat dua hari berikutnya karena hujan lebat. Sungai Huai di dekatnya, membentang dari Anhui hingga Provinsi Jiangsu, kemungkinan akan menghancurkan daerah pinggir sungai, demikian perkiraannya.

Pihak berwenang juga mengatakan bahwa sungai Wusuli di Provinsi Heilongjiang, timur laut Tiongkok; sungai Dadu di Provinsi Sichuan, barat daya Tiongkok; sungai Qi di kota Chongqing, barat daya Tiongkok; sungai Jialing di Sichuan dan Chongqing; sungai Wu di Provinsi Guizhou, barat daya Tiongkok; sungai Ruan di Provinsi Hunan di tengah Tiongkok; sungai Yangtze di Provinsi Hubei; sungai Zhang di Anhui, dan beberapa sungai yang lain adalah “berisiko.”

Sichuan adalah salah satu provinsi yang paling terpukul.

Pada malam hari tanggal 26 Juni, hujan lebat menyebabkan banjir di daerah Mianning, menewaskan sedikitnya 12, menurut pihak berwenang setempat. Pada tanggal 28 Juni, setidaknya 10 orang hilang.

Wang, seorang wanita turis dari kota Mianyang yang mengunjungi daerah tersebut dengan teman-temannya, berbagi pengalamannya dengan The Epoch Times berbahasa Mandarin. 

Ia berkata : “Pada jam 2 atau 3 pagi tanggal 27 Juni, kami mendengar seseorang mengetuk jendela kami. Kami membuka jendela dan melihat seorang pria tua sedang berdiri dalam genangan air banjir. Kami membantu pria tua itu memasuki kamar kami dan menemukan bahwa ia terluka di mana-mana. Kedua kakinya berdarah.”

Wang menambahkan bahwa hotel tempat ia menginap tidak memperingatkannya saat banjir itu terjadi, tetapi menyelamatkan semua karyawan hotel terlebih dahulu.

Wang dan teman-temannya menelepon polisi pada tengah malam, tetapi baru diselamatkan beberapa jam kemudian yaitu sekitar jam 6 pagi. 

“Airnya sedalam 1,5 hingga 1,6 meter,” kata Wang. Ia menambahkan bahwa struktur kecil di properti hotel semuanya bergeser karena banjir. (Vv)

Keterangan gambar : Jalan dan bangunan yang terendam setelah hujan lebat menyebabkan banjir di Yangshuo, di wilayah selatan Guangxi, Tiongkok pada 7 Juni 2020. (STR / AFP via Getty Images)

Video Rekomendasi :

Apakah Ini Kaktus Tertinggi di Dunia?

0

Foto-foto kaktus dengan tinggi luar biasa yang tumbuh di sisi gedung tiga lantai di Tokyo, Jepang, telah melakukan putaran di media sosial, menimbulkan pertanyaan: “Apakah ini kaktus tertinggi di dunia?”

Rabu lalu, pengguna Twitter Jepang = Yang = (@ 0okome0) memposting sekelompok foto menarik dari bangunan yang dilihatnya di Takinogawa, Area Metropolitan Tokyo.

Bangunannya yang menarik perhatian orang, tetapi sebuah tiang hijau di sampingnya. = Yang = sendiri mengakui bahwa pada awalnya dia mengira itu hanyalah tiang utilitas berwarna hijau, tetapi bagian atas yang melengkung, yang membentang ke atap gedung, mengatakan sebaliknya.

Ketika dia mendekati pemandangan aneh itu, dia menyadari bahwa itu sebenarnya adalah kaktus besar yang membentang dari bawah sampai ke atap bangunan perumahan tiga lantai. Dia mengambil beberapa foto dan mempostingnya di Twitter, di mana mereka dengan cepat menjadi viral.

(Foto: = Yang = (@ 0okome0) / Twitter)

Melihat lebih dekat pada tanaman kaktus yang sangat tinggi menunjukkan bahwa seseorang telah merawatnya, mengikatnya ke sisi bangunan dengan cincin logam, sehingga tidak melengkung karena beratnya, dan menghilangkan semua duri, untuk menghindari menciderai orang.

Sementara kaktus tampaknya telah tumbuh lurus di sepanjang dinding bangunan, di melengkung ketika mencapai puncak, dengan beberapa pengguna Twitter menunjukkan bahwa itu terlihat seperti manusia yang mencoba melompati pagar pengaman di atas bangunan.

(Foto: = Yang = (@ 0okome0) / Twitter)

Sayangnya, tidak ada yang memiliki informasi tentang tanaman ini- seperti berapa umurnya, atau bahkan apa jenis kaktusnya – atau pemiliknya, tetapi orang berspekulasi bahwa itu mungkin saja kaktus tertinggi di dunia. Tampaknya tidak terlalu jauh, mengingat bahwa bangunan itu setinggi setidaknya 10 meter, dan kaktus membentang di atasnya.

(Foto: = Yang = (@ 0okome0) / Twitter)

Sayangnya, Guinness World Record untuk ‘kaktus tertinggi di dunia’ adalah milik kaktus Giant Cardon Meksiko yang berukuran 19,2 meter pada tahun 1995. Itu akan sulit dikalahkan, tetapi kaktus Takinogawa masih terus berkembang. (yn)

Sumber: odditycentral

Video Rekomendasi:

https://youtu.be/gj9sRBkuylg

Penggunaan Hydroxychloroquine Bersyarat untuk Pasien Corona di Indonesia, Ini Penjelasan Badan POM

0

ETIndonesia- Pada kondisi khusus obat hydroxychloroquine digunakan untuk pengobatan pasien COVID-19. Penggunaan obat ini sangat terbatas karena termasuk dalam obat keras. 

Di Indonesia sendiri, obat tersebut sudah diberikan izin oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk beredar namun dengan kriteria tertentu.

Direktur Registrasi Obat (BPOM) Dr.dr. Rizka Andalucia,  M. Pharm., Apt. mengatakan, obat keras ini hanya dapat dibeli dengan resep dokter dan digunakan sesuai petunjuk dokter. 

“Hydroxycloroquine ini diberikan oleh BPOM izin penggunaan dalam kondisi emerjensi  atau yang kita kenal dengan nama _emergency use authorization_,” ujar Dokter Rizka saat berdialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Senin (29/6/2020). 

Di samping hydroxycloroquine, cloroquine, dan dexamethasone merupakan obat yang sudah lama diberikan izin edar oleh BPOM untuk indikasi non-covid dan ketiga obat tersebut termasuk kategori obat keras. 

Pada kemasaan peredarannya, obat keras memiliki logo ‘k’ dengan lingkaran berwarna merah.

Mengenai syarat dan kondisi penggunaan dan kondisi darurat, Dokter Rizka menjelaskan bahwa obat tersebut harus dilakukan dengan pengujian uji klinik yang selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap keamanan dari obat tersebut. Kedua, obat tersebut hanya dapat digunakan selama masa pandemi. Ketiga dan terakhir, dilakukannya peninjauan ulang setiap kali terdapat data terbaru terkait efektivitas atau khasiat dan keamanan dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap obat tersebut.

Sementara itu, ia juga menyampaikan hasil studi dari Universitas Oxford di Inggris yang menyebutnya sebagai _recovery trial_. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kebermanfaatan dari hydroxycloroquine.

Berdasarkan studi tersebut, saat ini  _emergency use authorization_ untuk hydroxycloroquine sudah diberhentikan oleh WHO dan FDA (Badan POM Amerika Serikat). 

“Hasilnya memang menunjukkan tidak bermakna dibandingkan dengan yang tidak diberikan hydroxycloroquine. Tetapi kondisi dan pasiennya berbeda. Oleh karena itu, untuk sementara waktu kami masih memberlakukan _emergency use authorization_,” terang Dokter Rizka. 

Lebih lanjut, Dokter Rizka mengatakan, penelitian terkait obat ini akan dilakukan oleh perhimpunan profesi. Ketika hasil dari penelitian tersebut sudah muncul dan terbukti menunjukkan ketidakbermanfaatan _emergency use authorization_ terhadap hydroxycloroquine akan dihentikan.

Menyikapi pengobatan COVID-19, Dokter Rizka berpesan kepada masyarakat terkait penggunaan hydroxycloroquine, cloroquine, dan dexamethasone. “Kami menghimbau kepada masyarakat untuk tidak menggunkan atau mendapatkan, baik hydroxycloroquine, cloroquine, maupun dexamethasone secara bebas, harus dengan resep dokter dan di bawah pengawasan dokter,” imbuhnya. (asr)

https://www.youtube.com/watch?v=FvT3DL-KgGk