Home Blog Page 1786

‘Perang Dingin’ yang Tak Pernah Berakhir : Komunis Tiongkok Bertempur Secara Terselubung Hampir Selama Tiga Dekade

0

oleh Hong Wei

Orang-orang di dunia Barat telah bersorak sorai dan merayakannya, ketika negara komunis runtuh di Eropa Timur antara tahun 1989 dan 1990, dan kemudian Uni Soviet pada tahun 1991.

Perang Dingin kemudian berakhir dan ancaman perang yang sesungguhnya lenyap. Saat itu, tampaknya telah tiba kedamaian dan kemakmuran yang pernah dicita-citakan semua orang.

Tetapi, eskalasi perang dagang AS-Tiongkok pada Tahun 2018 dan semakin meningkat pada Tahun 2019, banyak orang percaya bahwa kita mulai menyaksikan Perang Dingin gaya baru. Sesungguhnya, Amerika Serikat tak ingin memulai babak baru Perang Dingin.

Sebenarnya, Washington akhirnya baru menyadari bahwa Perang Dingin sejatinya tak pernah berakhir. Dikarenakan, Komunis Tiongkok telah melancarkan pertempuran selama bertahun-tahun.

Sederhananya, orang Barat berpikir hanya sebatas memenangkan kemenangan nyata atas lawan-lawannya pada 28 tahun silam. Akan tetapi bukan sebuah kemenangan yang sempurna.

Komunis Tiongkok sejak itu melanjutkan Perang Dingin secara diam-diam, dengan cara yang sangat berbeda dari bekas Uni Soviet. Hingga pada Tahun 2018 ketika Amerika Serikat sadar dan menerima tantangan, yang akan kita sebut sebagai Perang Dingin gaya baru.

Penilaian yang Meleset

Konfrontasi Perang Dingin telah berlangsung hampir setengah abad antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan sekutu mereka, setelah Perang Dunia kedua.

Secara umum, dianggap bahwa Perang Dingin dimulai pada tahun 1947 dan berakhir pada tahun 1991.

Selama Perang Dingin, Presiden Amerika Serikat semuanya mengadopsi strategi penting yakni memecah kubu sosialis. Biasanya, mereka akan memisahkan rezim komunis Tiongkok dari sisa-sisa kubu komunis.

Setelah rezim komunis Tiongkok mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949, kebijakan luar negerinya hanya menguntungkan Uni Soviet. Selain itu, dihasut oleh Stalin, Komunis Tiongkok turut berpartisipasi dalam Perang Korea untuk memerangi Amerika.

Namun, persekutuan Komunis Tiongkok dan Uni Soviet tidak berlangsung lama. Mantan pemimpin Komunis Tiongkok Mao Zedong berusaha bersaing dengan Uni Soviet, tak lain untuk mendominasi kubu sosialis.

Akibatnya, kedua negara menjadi bermusuhan satu sama lain di akhir 1950-an. Pada tahun 1964, konflik meningkat ketika Komunis Tiongkok dan Uni Soviet pecah kongsi ketika mencoba menyelesaikan perselisihan perbatasan, diikuti oleh banyak konfrontasi militer di sepanjang perbatasan pada tahun 1969.

Kala itu, Komunis Tiongkok mengerahkan 810.000 tentara, dan Uni Soviet mengerahkan 1.180.000 tentara dalam persiapan perang. Para pemimpin Komunis Tiongkok dievakuasi dari Beijing karena mereka khawatir Uni Soviet akan memulai perang nuklir melawan Komunis Tiongkok kapan saja.

Amerika Serikat turun tangan untuk membantu Komunis Tiongkok ketika percaya bahwa “komunisme monolitik” bukanlah sebuah ancaman. Pemerintahan Nixon mengancam akan memerangi perang nuklir melawan Uni Soviet dan dengan demikian membantu Komunis tiongkok mencegah krisis besar.

Pada tahun 1972, ketika mantan Presiden Nixon mengunjungi Tiongkok, Komunis tiongkok menganggapnya sebagai kesempatan berharga untuk menjalin hubungan dengan Barat untuk melawan Uni Soviet. Dengan kata lain, Komunis tiongkok mengambil inisiatif untuk memisahkan diri dari kubu sosialis.

Pada tahun-tahun berikutnya, Komunis Tiongkok tampaknya memainkan peran netral di tengah-tengah Perang Dingin, sehingga memberi kesan sangat berbeda dari negara-negara sosialis lainnya.

Setelah hancurnya Uni Soviet pada tahun 1991, Barat percaya bahwa Perang Dingin telah berakhir.

Meskipun beberapa orang menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok masih merupakan negara yang menganut ideologi sosialis. Karena, masih terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara serius. Komunis Tiongkok masih belum berupaya memperbaiki kesalahannya selama Pembantaian terhadap Mahasiswa Pro Demokrasi di Lapangan Tiananmen.

Kala itu, kebanyakan orang barat gagal melihat ancaman terbesar yang mengancam dari Komunis Tiongkok. Orang barat juga tidak menyadarinya pada tahun-tahun selanjutnya, bahwa Komunis Tiongkok selama ini telah meluncurkan Perang Dingin gaya baru.

Rahasia ‘Perang Dingin’ Komunis Tiongkok

Amerika Serikat dan sekutu Baratnya tidak lagi waspada terhadap ancaman komunis setelah runtuhnya Uni Soviet. Selain itu, mereka membantu komunis Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Mereka menawarkan sejumlah besar dana dan menyediakan teknologi canggih. Mereka juga percaya bahwa Komunis Tiongkok pada suatu hari akan mereformasi sistem politiknya dan meningkatkan perlakuan terhadap hak asasi manusia. Komunis Tiongkok sepenuhnya mengambil keuntungan dari semua upaya niat baik ini.

Banyak pejabat komunis Tiongkok dengan cepat menjadi jutawan melalui korupsi. Mereka belajar mengenakan pakaian mahal, mengirim anak-anak mereka ke sekolah swasta di luar negeri, dan mentransfer aset mereka ke luar negeri.

Dengan sejumlah besar perusahaan yang didanai asing datang ke Tiongkok, jutaan pekerja murah Tiongkok tidak hanya bekerja untuk pengusaha asing, tetapi juga terus menerus mengumpulkan cadangan devisa untuk Komunis Tiongkok.

Komunis Tiongkok menemukan bahwa menarik investasi asing adalah metode yang lebih baik untuk mengeksploitasi rakyat Tiongkok. Karena, mereka kini dapat mengeksploitasi pekerja Tiongkok secara lebih efisien dan skala yang lebih besar.

Awalnya, para puncak pimpinan Komunis Tiongkok takut dengan runtuhnya Uni Soviet. Ketika satu-satu dari sedikit negara komunis beranjak pergi, mereka mengira Komunis Tiongkok akan menjadi sasaran seluruh dunia Barat. Tetapi, ketika negara-negara Barat lengah dan memberikan Komunis Tiongkok hadiah “modernisasi,” para pemimpin komunis Tiongkok sangat gembira bukan kepalang.

Mantan ketua Partai Komunis Tiongkok Deng Xiaoping kemudian mengusulkan strategi untuk “menjaga kerendahan hati dan menumbuhkan kekuatan kita secara diam-diam,” yang selalu dipuja sebagai pedoman paling penting oleh penerus Deng Xiaoping.

Berarti, ketika Komunis Tiongkok terus berperang dengan Perang Dingin, maka Komunis Tiongkok akan menjaga motivasi sebenarnya tetap terselubung, sehingga memberikan dirinya cukup waktu untuk mengumpulkan lebih banyak cadangan devisa, mencuri lebih banyak teknologi, dan menyusup ke Barat. Rencananya adalah akan menantang hegemoni Amerika Serikat.

Amerika Serikat juga memungkinkan Komunis Tiongkok untuk menguasai teknologi internet. Di dalam negeri, Komunis Tiongkok mendirikan firewall internet “Perisai Emas” untuk memblokir aliran informasi ke masyarakat Tiongkok.

Secara internasional, Komunis Tiongkok tidak hanya mempekerjakan sejumlah besar pakar internet sebagai bagian dari tim propaganda asingnya, tetapi juga melatih banyak hacker untuk mencuri informasi atau merusak situs-situs rahasia di negara-negara Barat.

Ini adalah wujud baru Perang Dingin, sangat berbeda dari yang sebelumnya karena perang sepihak dan bertempur secara rahasia. Dikarenakan tidak ada konfrontasi politik secara langsung. Sepenuhnya mengambil keuntungan dari globalisasi ekonomi. Amerika Serikat dan sekutu Baratnya telah ditipu sejak lama.

Komunis Tiongkok Menyeret “Perang Dingin” ke Medan Terbuka

Gempuran peperangan Komunis Tiongkok dalam perang dingin, secara diam-diam untuk menghancurkan negara-negara demokrasi Barat yang bebas. Namun demikian membingkainya bahwa hubungannya dengan Barat hanyalah sebatas kerja sama yang bersahabat. Itu terjadi sampai beberapa tahun terakhir, Komunis Tiongkok secara bertahap mulai menyeret Perang Dinginnya ke medan terbuka.

Secara diplomatis, Komunis Tiongkok telah menjadi semakin bermusuhan terhadap Barat, bersaing untuk mendapatkan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bahkan menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia. Lebih jauh lagi, memperjuangkan peran kepemimpinan dalam organisasi internasional lainnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Komunis Tiongkok kini berbicara dengan nada yang jauh lebih arogan dan keras. Selain itu, Komunis Tiongkok mengendalikan dan memanipulasi negara-negara jahat seperti Korea Utara, Iran, dan Kuba – negara-negara yang melakukan kejahatan secara terbuka, dengan Komunis Tiongkok yang mendukung dan menginstruksikan mereka secara diam-diam.

Komunis Tiongkok juga telah merayu negara-negara di dunia ketiga dan negara-negara yang kurang berpengaruh dengan inisiatif “One Belt, One Road” atau OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road. Yang mana, OBOR ini hampir sama dengan membangun sebuah kubu multi-nasional gaya baru yang dipimpin oleh rezim Komunis Tiongkok. Tak lain, sebuah persiapan strategis bagi Komunis Tiongkok untuk mengerahkan kekuatan militernya secara global.

Untuk membangun militernya, Komunis Tiongkok mengambil setiap kesempatan untuk mencuri teknologi militer kelas atas dari negara-negara maju, menginvestasikan jumlah besar dalam modernisasi militer, melakukan latihan militer profil tinggi sejak sekarang. Kemudian membangun pulau-pulau buatan di Laut China Selatan sebagai pangkalan militernya. Walhasil, memicu kemarahan dari negara-negara tetangga. Yang terburuk dari semuanya, rudal jarak menengah dan jarak jauh Komunis Tiongkok terutama mengarah ke wilayah Amerika Serikat.

Pada saat yang sama, ada baiknya menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok sangat membanggakan kekuatan nasionalnya dengan membuat data ekonomi. Misalnya, Beijing mengklaim bahwa, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, Komunis Tiongkok telah mempertahankan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang tinggi.

Meskipun, data ekonomi komunis Tiongkok sangat meningkat, dan sebagian besar populasinya masih hidup dalam kemiskinan. Sama juga, ketika Komunis Tiongkok menyatakan bahwa telah mengembangkan teknologi terkemuka, biasanya berarti masih dalam tahap penjarahan dan replikasi. Tentunya, para peneliti komunis Tiongkok memiliki banyak hal untuk dipelajari dan bereksperimen untuk memahami sepenuhnya.

Dengan perkembangan pesat ekonomi ekspor Tiongkok, ambisi besar Komunis Tiongkok telah tumbuh secara eksponensial. Caranya dengan mencoba untuk mendapatkan kendali atas ekonomi global, memonitor data jaringan global, dan memainkan peran kepemimpinan dalam komunitas internasional.

Tak lain, memanfaatkan kekuatan keuangannya yang meningkat untuk memaksakan kontrol yang keras di dalam negeri — menganiaya para oposisi politik, praktisi spiritual Falun Gong, Tibet, Muslim Xinjiang dan umat Kristen dalam skala besar — sementara itu mempreteli kebebasan Hong Kong dan menyusup ke Taiwan untuk melemahkan sistem demokrasi mereka.

Dengan kata lain, Komunis Tiongkok secara bertahap telah berubah dari strategi lama “low profile” menjadi perang dengan Barat secara terbuka.

Namun demikian, kemenangan presiden Donald Trump pada Pemilu Tahun 2016 telah membawa perubahan besar di Amerika Serikat.

Selama kampanye, Trump menekankan bahwa defisit perdagangan yang sangat besar dengan Komunis Tiongkok dan pencurian kekayaan intelektual harus diselesaikan, yang mana membantunya mendapatkan dukungan kuat dari banyak pemilih Amerika.

Setelah inaugurasi, Trump mulai mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dengan Tiongkok dan mengenakan tarif. Langkah tersebut telah membantu orang-orang Amerika dan negara-negara Barat lainnya untuk menyadari faktanya bahwa selama ini Komunis Tiongkok ternyata telah berperang.

Orang-orang di Barat telah memberikan harapan bahwa Komunis Tiongkok akan meningkat dengan sendirinya. Lebih penting lagi, negara-negara Barat mulai merestrukturisasi strategi mereka sendiri dalam menghadapi Perang Dingin Komunis Tiongkok.

AS Menanggapi Tantangan ‘Perang Dingin’ Komunis Tiongkok

Presiden Trump telah mencapai tujuan perang dagang tahap pertamanya, dengan memberlakukan tarif pada produk-produk Tiongkok. Yaitu, Komunis Tiongkok telah kehilangan elemen kunci untuk pertumbuhan ekonominya. Dengan kekurangan valuta asing dan ekonomi yang memburuk, situasi nyata kekuatan nasional di Tiongkok telah terungkap.

Komunis Tiongkok harus mengekang ekspansi globalnya yang jahat dan dipaksa untuk menyerah. Saat ini, perang teknologi AS-Tiongkok juga sedang berlangsung.

Washington telah menargetkan dan menjatuhkan sanksi kepada Huawei, ZTE dan beberapa perusahaan teknologi tinggi BUMN lainnya yang telah melanggar aturan dan norma internasional.

Selain itu, FBI sedang menyelidiki para peserta dari “Thousand Talents Program” Komunis Tiongkok atau seribu talenta, sebuah program yang dirancang khusus untuk memfasilitasi pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi terlarang.

Pada saat yang sama, para ahli keuangan di Amerika Serikat sudah mendiskusikan pertempuran berikutnya: “perang finansial.”

Setelah Manajer Umum Rockets Houston Daryl Morey memposting sebuah cuitan untuk mendukung para demonstran pro-demokrasi Hong Kong, Asosiasi Bola Basket Tiongkok menangguhkan hubungannya dengan Rockets. Sementara itu, Konsulat Tiongkok mengeluarkan pernyataan publik tentang ketidakpuasannya.

Peristiwa ini menunjukkan kepada Amerika Serikat bahwa Komunis Tiongkok tidak hanya dengan keras kepala berpegang pada ideologinya, tetapi juga mencoba untuk mempengaruhi rakyat Amerika melalui perang ideologinya.

Ketika kekerasan polisi meningkat di Hong Kong, Senat AS mempercepat suaranya untuk Rancangan Undang-Undang HAM Hong Kong dan mengesahkan RUU itu dengan suara bulat pada 19 November.

Selanjutnya, Trump tidak membuang-buang waktu dengan menandatanganinya menjadi undang-undang. Semua ini adalah manifestasi nyata dari sikap rakyat Amerika dalam melawan Perang Dingin gaya baru.

Rencana Trump untuk membangun kembali militer Amerika Serikat dan strategi Indo-Pasifiknya secara langsung menunjuk pada pengekangan Komunis Tiongkok.

Dalam banyak pidatonya di depan publik, Trump telah berbicara tentang reorganisasi militer, yang menunjukkan tekadnya untuk mendorong kembali ekspansi militer Komunis Tiongkok dengan memperkuat militer AS.

Baru-baru ini, CIA dan “Aliansi Five Eyes” telah mengambil tindakan untuk menargetkan agen khusus Komunis Tiongkok. Five Eyes atau Lima Mata adalah aliansi lima negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.

Pembelotan mata-mata Komunis Tiongkok Wang Liqiang ke Australia, dan pengungkapan sejumlah besar rahasia Komunis Tiongkok, pastinya akan menyebabkan lebih banyak pembelotan. Kemudian banyak cerita yang terungkap, dengan masing-masing mengungkapkan episode yang menarik tentang kegiatan mata-mata Komunis Tiongkok dan infiltrasinya di Barat.

Saat berjuang di tengah-tengah perang dagang, Komunis Tiongkok mungkin menyadari bahwa mereka melakukan kesalahan dengan melepaskan strategi “low-profile”.

Sekarang khawatir bahwa ekonomi Tiongkok akan dipisahkan dari Amerika Serikat, dan kekhawatiran terhadap Barat akan kembali melakukan Perang Dingin melawan Komunis Tiongkok.

Kini, Komunis Tiongkok tidak dapat lagi menyembunyikannya, karena kebanyakan orang-orang telah melihat melalui Perang Dingin bahwa Komunis Tiongkok telah menggempur secara diam-diam.

Sifat sejati Komunis Tiongkok telah terungkap sepenuhnya melalui penanganan Beijing terhadap protes Hong Kong dan kebohongan besarnya dalam menghormati kebijakan “satu negara, dua sistem”.

Perang Dingin wujud baru telah dimulai secara menyeluruh. Ini bukan lagi monolog yang dimainkan oleh Komunis Tiongkok. Kini, Amerika Serikat dan sekutunya menganggapnya lebih serius.

Perang Dingin ini tidak akan berlangsung selama beberapa dekade seperti sebelumnya, karena kubu demokrasi bebas melampaui Komunis Tiongkok secara substansial dalam semua aspek.

Partai Komunis Tiongkok mungkin segera runtuh, seperti bekas Uni Soviet, mantan “kakak lelakinya.” Ini juga nasib buruk Partai Komunis Tiongkok, sebuah rezim jahat yang mana dengan keras kepala memilih untuk terus bertempur. (asr)

FOTO : Ilustrasi (AFP/Getty Images)

Tiongkok dan Disinformasi Lainnya yang Sengaja Disampaikan

0

Ronald J. Rychlak

Ada banyak pembicaraan menarik hari ini mengenai “berita palsu” dan disinformasi atau informasi salah yang sengaja disampaikan. 

Hampir selalu, objek disinformasi adalah seseorang atau sesuatu yang menerima kritik yang dianggap tidak patut. Namun, itu bukanlah satu-satunya cara disinformasi bekerja. Terkadang, disinformasi dapat “membingkai” suatu objek secara positif. 

Saat badan intelijen Rusia/Soviet mengembangkan seni disinformasi terkait apa yang mereka sebut sains. Hal demikian sama pentingnya untuk dapat memberikan cahaya positif pada suatu entitas atau individu biasanya pemimpin yang berkuasa, seperti halnya untuk dapat  menempatkan seseorang dalam cahaya yang buruk. 

Tampaknya Komunis Tiongkok terlibat dalam upaya disinformasi yang serupa, terutama saat menyangkut emisi karbon dan perubahan iklim. Bahkan, upaya itu telah berlangsung selama beberapa waktu. 

Pada tahun 2007, menanggapi pengumuman oleh Tiongkok yang menyalahkan Amerika Serikat atas pemanasan global, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore mengatakan, “Tiongkok adalah benar mengatakan hal itu.”

Faktanya, Al Gore berkata, “ekonomi-ekonomi yang baru muncul seperti Tiongkok dibenarkan untuk menahan diri melawan emisi gas rumah kaca sampai para pencemar yang lebih kaya seperti Amerika Serikat berbuat lebih banyak untuk menyelesaikan masalah tersebut,”  demikian pernyataan yang dilaporkan The Associated Press pada 8 Februari 2007 silam. 

Al Gore berada di Tiongkok pada tahun 2011 untuk berpidato di Forum Pengembangan Urban Global. Ia memuji rezim komunis Tiongkok karena “keberhasilan rezim komunis Tiongkok  yang tidak biasa” dalam tindakan pengurangan karbon. 

Pada bulan Desember 2017, Al Gore memuji “pasar karbon” baru Tiongkok  sebagai “tanda kuat lain bahwa revolusi keberlanjutan global sedang berlangsung. …Adalah jelas bahwa kita berada pada titik kritis dalam krisis iklim.” 

Satu tahun kemudian di Polandia, Al Gore memuji kepemimpinan Tiongkok karena mengatasi perubahan iklim, dengan mengatakan bahwa Komunis Tiongkok adalah “salah satu dari sedikit negara yang memenuhi komitmennya dalam Perjanjian Paris,” menurut kantor berita pemerintah Tiongkok Xinhua. 

Al Gore kemudian menjelaskan bahwa Tiongkok telah melampaui beberapa targetnya sendiri mengenai energi terbarukan. 

Pada tahun 2011, James Hansen, pensiunan ilmuwan NASA yang disebut sebagai “bapak kesadaran perubahan iklim,” menyebut rezim Komunis Tiongkok sebagai  “harapan terbaik” untuk menyelamatkan dunia dari pemanasan global. Ia bahkan menyerukan boikot ekonomi untuk memaksa Amerika Serikat agar sesuai dengan upaya Tiongkok. 

Pada tahun 2015, James Hansen sekali lagi mengatakan, bahwa ia mengharapkan Tiongkok untuk memberikan kepemimpinan pengurangan emisi karbon yang tidak mau diberikan oleh Amerika Serikat.

Al Gore dan James Hansen bukanlah aktivis lingkungan hidup satu-satunya yang mengatakan hal yang baik mengenai Tiongkok, ataupun bukanlah hanya pada saat-saat itu mereka membicarakan hal tersebut.  Hal ini merupakan contoh-contoh untuk memberikan jalan bagi aktivis pemanasan global berbicara mengenai kediktatoran komunis di Tiongkok.

Yang menakjubkan di sini adalah bahwa Komunis Tiongkok memiliki jejak karbon terbesar di dunia sejak tahun 2006. 

Pada tahun 2017, Komunis Tiongkok bertanggung jawab atas 27,2 persen emisi karbon dioksida global, menurut Global Carbon Atlas. Tiongkok juga merupakan salah satu penghasil metana terbesar di dunia, gas rumah kaca lainnya. Faktanya, metana 34 kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.

Ronald J. Rychlak mengungkapkan, masalah Tiongkok adalah batu bara. Tiongkok mungkin merupakan produsen panel surya terbesar di dunia. Akan tetapi banyak di antara panel surya tersebut dibuat untuk diekspor. Tiongkok  menggunakan batu bara. Tiongkok adalah produsen batubara terkemuka dunia maupun konsumen batubara terkemuka dunia, dan kapasitas Tiongkok yang sedang berkembang. Dari tahun 1985 hingga 2016, batubara menyediakan sekitar 70 persen energi Tiongkok. Tentu saja, hal tersebut sangat berdampak buruk bagi lingkungan hidup.

Batubara menghasilkan karbon dioksida sebanyak dua kali lipat dari bahan bakar fosil lainnya. Sementara Tiongkok melaporkan bahwa penggunaan batu baranya telah menurun sejak tahun 2014, Tiongkok masih mengonsumsi lebih banyak batu bara daripada gabungan seluruh negara pengguna batu bara di dunia. 

Pada tahun 2017, batu bara menyediakan lebih dari 60 persen total penggunaan energi nasional, menurut laporan ChinaPower.

Baru tahun lalu, rezim Komunis Tiongkok menyetujui pengembangan tujuh tambang batu bara baru. Itu berarti bahwa antara tahun 2017 hingga 2018, Tiongkok  menambahkan hampir 200 juta ton kapasitas penambangan batu bara baru. 

Kemudian, tahun ini, Tiongkok mengalokasikan dana untuk 17 tambang batu bara baru di seluruh Tiongkok. Emisi karbon dioksida Tiongkok tumbuh sekitar 4 persen pada paruh pertama tahun 2019. 

Selama periode yang sama, permintaan batu bara nasional meningkat sebesar 3 persen, permintaan minyak nasional meningkat sebesar 6 persen, dan permintaan gas meningkat sebesar 12 persen.

Tentu saja, batu bara yang ditambang di satu daerah perlu dikirim melalui kapal jika akan digunakan di daerah lain. Tiongkok baru saja membuka Menghua Railway, jalur kereta api pengangkut batu bara terpanjang di negara itu. Kereta api ini, yang panjangnya lebih dari 1.600 KM.  Diperkirakan akan mengangkut sekitar 200 juta ton batubara setiap tahun dari area pertambangan di utara Tiongkok ke pusat industri di selatan Tiongkok.

Tidak satu pun dari ekspansi dalam penambangan atau pengiriman melalui kapal ini menjadi pertanda baik untuk kualitas udara di Tiongkok, yang sudah merupakan masalah yang bermakna. 

Dalam jajak pendapat baru-baru ini yang disponsori oleh China Daily, surat kabar pemerintahan komunis Tiongkok, lebih banyak responden yang menyatakan polusi sebagai masalah nomor 1 bagi mereka daripada masalah lainnya. 

Perluasan ini juga menunjukkan bahwa mungkin Tiongkok bukanlah model pencerahan saat Tiongkok datang untuk memerangi perubahan iklim buatan manusia. 

Tentu saja, agar kampanye disinformasi tersebut berhasil, maka kritik harus ditekan. Baru-baru ini, Administrasi Meteorologi Tiongkok mengeluarkan peraturan yang melarang ramalan cuaca oleh siapa pun selain badan meteorologi resmi negara. Pelanggar dikenakan denda hampir  8.000 dolar AS. 

Mungkin, bahkan yang lebih membingungkan, pada tahun 2015, seorang mantan jurnalis TV di Beijing merilis film dokumenter berdurasi-panjang berjudul “Di Bawah Kubah.” Film tersebut disebut sebagai versi Tiongkok dari film dokumenter perubahan iklim Al Gore yang berjudul, “An Inconvenient Truth.” 

Jutaan rakyat Tiongkok menonton “Di Bawah Kubah” online dan melihat kritik film tersebut terhadap rezim Tiongkok karena mentoleransi kualitas udara yang buruk.

Namun, dalam waktu seminggu setelah diposting, situs-situs web besar Tiongkok menariknya di bawah perintah dari departemen propaganda pusat Partai Komunis Tiongkok. 

Debat terbuka – terutama kritik terhadap pemerintah – tidak dapat ditoleransi. Bahkan “kemajuan” yang dikutip oleh para pembela Tiongkok saat memuji catatan lingkungan hidup Tiongkok adalah menyesatkan. 

Mengenai “target” Tiongkok, Komunis Tiongkok  telah berjanji untuk mengurangi “intensitas emisi karbon,” tetapi Tiongkok belum berjanji untuk memberlakukan plafon emisi. 

“Intensitas emisi karbon” mengukur jumlah karbon yang dilepaskan per dolar akibat kegiatan ekonomi. Dengan demikian, semakin banyak kegiatan ekonomi, maka semakin banyak emisi dapat dibenarkan. 

Jadi, total tingkat emisi mungkin terus naik, dan Tiongkok masih akan memenuhi targetnya selama pertumbuhan ekonomi melampaui emisi tersebut. 

Itu bukanlah janji yang dibuat atau diminta oleh negara-negara Barat. Pada akhirnya, ini adalah disinformasi yang indah. 

Komunis Tiongkok secara agresif mengejar agenda ekonominya dengan menggunakan energi paling murah yang tersedia untuknya. Komunis Tiongkok dapat mengklaim telah memenuhi tujuan lingkungan hidupnya, dan “pakar” Barat menunjuk Tiongkok sebagai contoh yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Moskow juga akan bangga.  (Vivi/asr)

Ronald J. Rychlak adalah ketua Jamie L. Whitten dalam bidang hukum dan pemerintahan di Universitas Mississippi. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk Hitler, the War, and the Pope,” “Disinformation” (ikut menulis bersama Ion Mihai Pacepa), dan ““The Persecution and Genocide of Christians in the Middle East” (disunting bersama dengan Jane Adolphe).

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis

FOTO : Asap mengepul dari tumpukan ketika orang-orang Cina menarik sepeda roda tiga di lingkungan di samping pembangkit listrik tenaga batu bara di Shanxi, Tiongkok, pada 26 November 2015. (Kevin Frayer / Getty Images)


Analisis: Krisis Hong Kong Belum Beres, Komunis Tiongkok Kembali Dihimpit Masalah Lebih Besar

0

Wu Xin – Epochtimes.com

Dari dua faksi kongres Amerika Serikat hanya satu yang memberikan suara menentang terkait pengesahan “Rancangan Undang Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong” dan dengan cepat dikirim ke Gedung Putih untuk ditandatangani Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Ada ahli yang mengatakan bahwa begitu terjadi perubahan hubungan antara Hong Kong dan Amerika Serikat, Komunis Tiongkok tidak akan mampu menanggung akibat dari memburuknya ekonomi Tiongkok. Selain itu, Komunis Tiongkok juga akan menghadapi serentetan masalah yang lebih besar.

Pada 19 November 2019, Senat Amerika Serikat secara bulat meloloskan Rancangan Undang Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Pada 20 November 2019 keesokannya, Dewan Perwakilan Amerika Serikat memberikan suara pada versi Rancangan Undang Undang Senat, dengan hanya satu suara yang menolak untuk meneruskan Rancangan Undang Undang tersebut. 

Kemudian pada 21 November, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat secara terbuka menandatangani Rancangan Undang Undang tersebut dan menyerahkannya kepada Presiden Amerika Serikat untuk ditandatangani. Jika Rancangan Undang Undang tersebut menjadi hukum, maka para pejabat Tiongkok dan Hong Kong yang melanggar hak asasi manusia akan dikenakan sanksi.

Keputusan secara bulat Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat terkait masalah Hong Kong itu,  memicu prediksi dari berbagai lapisan masyarakat. Dov S. Zakheim adalah penasihat senior di Centre for Strategic and International Studies-CSIS atau Pusat Studi Strategis dan Internasional, sekaligus wakil ketua dewan direktur Lembaga Penelitian Kebijakan Luar Negeri.

Baru-baru ini, The Hill – Situs web Amerika, yang berbasis di Washington, D.C, menerbitkan sebuah artikel yang ditulis Dov S. Zakheim, mengatakan bahwa krisis Hong Kong telah menimbulkan masalah baru pada Komunis Tiongkok. 

Dampak dari “Rancangan Undang Undang  Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong” yang diloloskan Senat Amerika Serikat, mungkin akan membuat Komunis Tiongkok tidak mampu menanggung konsekuensinya, selain itu, Komunis Tiongkok juga akan menghadapi serentetan masalah yang lebih besar.

Sanksi HAM yang kemungkinan akan diterapkan Amerika Serikat pada Tiongkok

Melansir laman Reuters, Kamis, 21 November 2019, Kongres Amerika Serikat meloloskan undang-undang untuk mendukung para pemrotes di Hong Kong dan menjatuhkan sanksi hak asasi manusia yang kemungkinan akan diterapkan Amerika Serikat pada Komunis Tiongkok. 

Laporan itu menekankan bahwa protes berskala besar demi memperkuat demokrasi dan otonomi telah menyebabkan kekacauan di Hong Kong selama lebih dari lima bulan. Selain itu meningkatnya kekerasan telah membuat dunia luar khawatir komunis Tiongkok akan meningkatkan tekanan.

Ketika kendali Beijing atas Hong Kong semakin ketat, Hong Kong yang menikmati status istimewa berdasarkan hukum Amerika Serikat kini sedang dikaji kembali. Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong akan memeriksa status khusus Hong Kong dengan lebih cermat.

Dalam “Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris” yang ditandatangani oleh Komunis Tiongkok pada tahun 1984, Komunis Tiongkok berjanji bahwa Hong Kong akan tetap menikmati “otonomi tingkat tinggi” dalam 50 tahun setelah kedaulatan atas Hong Kong diserahkan pada tahun 1997. 

Itu merupakan dasar atas status istimewa Hong Kong berdasarkan hukum Amerika Serikat. Namun pengunjuk rasa mengatakan bahwa kebebasan Hong Kong perlahan-lahan telah terkikis.

Jika Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong menjadi dasar hukum, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat akan membuktikan setidaknya setahun sekali bahwa Hong Kong memiliki otonomi yang memadai untuk menikmati prasyarat preferensi perdagangan dengan Amerika Serikat, yang memungkinkan Hong Kong mempertahankan statusnya sebagai pusat keuangan dunia.

Namun menurut Dov S. Zakheim, bahwa kontrol Beijing yang semakin ketat terhadap Hong Kong membuat sertifikasi seperti itu semakin mustahil. Laporan Reuters juga menyebutkan bahwa meskipun banyak orang menganggap Rancangan Undang Undang itu hanya simbolis. Akan tetapi jika Rancangan Undang Undang itu diterapkan, akan sepenuhnya menumbangkan hubungan antara Amerika Serikat dan Hong Kong.

Dua faksi Kongres Amerika Serikat meloloskan Rancangan Undang Undang dengan cepat, memberikan tamparan keras pada komunis Tiongkok

Dalam artikelnya yang berjudul “Hong Kong’s crisis is not over” atau “Krisis Hong Kong Belum Berakhir”, Dov S. Zakheim mengatakan bahwa meskipun operasi pembersihan universitas di Hong Kong mungkin telah berakhir, namun, masalah Komunis Tiongkok di Hong Kong masih jauh dari kata selesai. 

Pertama, Komunis Tiongkok tidak dapat memastikan bahwa protes tidak akan terjadi lagi dan insiden yang lebih dahsyat tidak akan terjadi juga.

Kedua, Komunis Tiongkok akan menghadapi kecaman internasional karena polisi Hong menembaki demonstran, dan meski pun Komunis Tiongkok tidak memberi perintah seperti itu, tetapi itu sama dengan mengizinkan polisi Hong Kong mengambil tindakan seperti itu.

 Selain itu, Komunis Tiongkok juga harus menghadapi rakyat Hong Kong yang terus melakukan perlawanan dengan cara yang lebih halus. Misalnya, keputusan Pengadilan Tinggi Hong Kong atas undang-undang darurat yang yang dicetuskan pemerintah Hong Kong yang melarang demonstran menggunakan topeng itu adalah satu bukti nyata.

Selain itu, Dov S. Zakheim juga mengatakan bahwa, sikap Komunis Tiongkok dalam menghadapi Kongres Amerika Serikat kemungkinan dapat membahayakan negosiasi perjanjian perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat. Baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat Amerika Serikat mengutuk keras penggunaan kekerasan brutal oleh polisi Hong Kong, dan dengan cepat mengesahkan Rancangan Undang Undang versi Senat tentang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong dengan hanya satu suara menentang. Rancangan Undang Undang itu telah diserahkan kepada Presiden Trump untuk ditandatangani.

Menurut Dov S. Zakheim, pengesahan Rancangan Undang Undang tersebut memberi tamparan keras pada komunis Tiongkok dan pukulan besar terhadap kemampuan komunis Tiongkok untuk mempromosikan sistem politik dan ekonomi kediktatorannya. 

Tidak peduli apakah ditandatangani pada awal, akhir, tanpa tanda tangan, atau ditolak presiden Trump, semua itu tidak dapat lagi mengubah fakta bahwa Rancangan Undang Undang itu akan berlaku cepat atau lambat.

Menurut laporan Reuters, bahwa sumber memperkirakan Presiden Trump akan menandatangani undang-undang tersebut dalam beberapa hari mendatang. Begitu rancangan undang-undang tersebut berlaku efektif, mereka yang terlibat dapat dikenai sanksi Amerika Serikat, seperti sanksi terhadap pejabat yang melanggar hak asasi manusia, termasuk penolakan masuk ke negara Amerika Serikat dan pembekuan aset di Amerika.

Krisis Hong Kong, menambah masalah yang lebih besar pada komunis Tiongkok

Melansir laman Reuters, bahwa dari sudut pandang bisnis, salah satu poin terpenting dari status istimnewa Hong Kong adalah Hong Kong dianggap sebagai zona pabean dan perdagangan yang terpisah dari daratan Tiongkok. Itu berarti bahwa tarif perang perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat tidak berlaku untuk barang ekspor dari Hong Kong.

Menurut data dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat,  ada sekitar 85.000 warga Amerika Serikat tinggal di Hong Kong pada tahun 2018, dan lebih dari 1.300 perusahaan Amerika Serikat beroperasi di Hong Kong, termasuk hampir semua perusahaan keuangan Amerika Serikat.

 Hong Kong adalah tujuan utama layanan hukum dan akuntansi Amerika Serikat. Kamar Dagang Amerika di Hong Kong mengatakan bahwa setiap perubahan dalam status Hong Kong akan memiliki efek mengerikan pada perdagangan dan investasi Amerika Serikat di Hong Kong, dan akan mengirimkan sinyal negatif secara internasional terhadap posisi Hong Kong yang dapat dipercaya dalam ekonomi global.

Dov S. Zakheim mengatakan bahwa Hong Kong sangat penting untuk perkembangan ekonomi Tiongkok yang sehat. Perusahaan asing telah menjadikan Hong Kong sebagai pangkalan untuk pengembangan bisnis di Tiongkok. Pasar saham, utang, dan uang Hong Kong, ditambah dengan reputasinya dalam menegakkan aturan hukum, menjadikannya jauh lebih menarik daripada Shanghai dan pusat keuangan alternatif Tiongkok lainnya yang dapat dimanipulasi oleh otoritas Beijing.

Menurut Dov S. Zakheim, jika masalah Hong Kong tidak ditangani dengan benar, itu akan memperburuk ekonomi Tiongkok, yang akan menghancurkan kontrak sosial antara rakyat Tiongkok dan Komunis Tiongkok.

Kontrak itu sangat tergantung pada kemakmuran ekonomi Tiongkok dan pertumbuhan kelas menengah. Oleh karena itu, konsekuensi sosial dari kemunduran ekonomi itu tidak akan mampu ditanggung komunis Tiongkok.

Dov S. Zakheim mengatakan bahwa berbagai faktor menunjukkan komunis Tiongkok telah terperangkap dalam kesulitan. Ekonomi Tiongkok saat ini tidak sekuat lima tahun yang lalu, masyarakat Tiongkok masih menderita akibat dari kebijakan satu anak yang kini ditinggalkan. Kerusuhan kerap terjadi di seluruh negeri, semakin banyak Muslim yang ditangkap di kamp konsentrasi dan menjadi kelompok yang bergejolak di Tiongkok. 

Semua tanda-tanda itu menunjukkan komunis Tiongkok akan menghadapi masalah demi masalah. (jon)





PNS Hong Kong Ditangkap Gegara Dokumentasikan Polisi yang Ketahuan Menyerbu Mahasiswa dengan Senapan Serbu AR-15

0

NTDTV.com

Polisi Hong Kong mengepung Universitas Politeknik selama beberapa hari dan menyerbu masuk ke kampus. Selama kekacauan ini, sebuah foto sempat diposting di Internet. Foto itu menunjukkan seorang perwira anti huru hara yang dipersenjatai dengan senapan serbu semi otomatis AR-15. Kala itu, polisi bersenjata itu sedang membidik kampus dari kejauhan. 

Foto  diambil oleh seorang staf dari Departemen Layanan Budaya dan Hiburan Hong Kong. Orang yang mengambil foto itu telah ditangkap karena dituduh menghalangi polisi untuk melakukan tugasnya.

Pada malam tanggal 17 November lalu, beberapa ribu polisi Hong Kong menutup jalan-jalan utama dan jalan setapak ke kampus Universitas Politeknik, termasuk rute pelarian. 

Polisi menggunakan kenderaan lapis baja, meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk menerobos penghalang yang dipasang oleh para pemrotes. 

Polisi bertopeng, dipersenjatai dengan amunisi tajam, dan terdengar sempat berteriak: “Saya ingin mengulangi 4 Juni.” Istilah itu mengacu pada pembantaian di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.

Sekitar pukul 2 pagi pada tanggal 18 November, sejumlah besar orang mendatangi ke Universitas Politeknik untuk mendukung para mahasiswa yang bersembunyi di dalam kampus. 

Namun, mereka dicegat oleh polisi dan beberapa wartawan ditangkap. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan bahkan menggunakan perangkat suara anti huru hara. Sekitar pukul 3 pagi pada hari itu, seorang polisi terlihat menembakkan peluru tajam dari dalam ambulans.

Pada pukul 5 pagi pada 18 November, polisi berlari ke kampus memukuli orang-orang dengan tongkat saat mereka menahan mereka di jalanan dan menangkap mereka yang menolak pergi. Orang-orang mengalami cedera dan petugas medis juga ditangkap. 

Video live menunjukkan banyak dari yang terluka dipukuli dan berakhir dengan cedera di kepala. Polisi juga terlihat menyeret pengunjuk rasa yang terluka sambil menendang mereka dan menginjak kepala mereka.

Selama beberapa hari terakhir, para pengunjuk rasa telah mencoba melarikan diri beberapa kali. Akan tetapi dipaksa untuk mundur kembali ke kampus dan ditangkap oleh polisi dengan tembakan intensitas tinggi.

Dalam prosesnya, polisi juga mengirim berbagai senjata yang sangat mematikan, seperti senjata sonik, meriam air, granat kejut, dan bahkan senapan serbu AR-15 yang mengubah kampus menjadi medan perang.

Selain itu, selama operasi pengepungan, polisi tidak hanya tidak meninggalkan rute pelarian bagi para mahasiswa. Mereka bahkan mengancam para mahasiswa untuk “menyerah dan ditangkap” atau “ditekan dan ditangkap.”

Menurut kepolisian Hong Kong, mereka menembakkan 1.458 tabung gas air mata, 1.391 peluru karet, 325 butir round beanbag, dan 265  granat spons hanya dalam satu hari pada tanggal 18 November 2019. 

Dari tanggal 17 hingga 18 November 2019, lebih dari 400 orang ditangkap di kampus dan lebih dari 70 orang yang terluka “menyerah” untuk mendapatkan bantuan. 

Pada sore hari tanggal 19 November, polisi mengumumkan bahwa 1.100 orang ditangkap selama operasi.

Selanjutnya, sebuah foto diposting di Internet yang memperlihatkan seorang perwira Unit Taktis Polisi memegang senapan serbu AR-15 yang bersembunyi di Museum Sejarah.

Polisi Hong Kong mengklaim bahwa mereka melakukan operasi penyergapan. Polisi juga menuduh foto tersebut memengaruhi misi mereka hingga memaksa mereka untuk mengubah posisi mereka. 

Polisi mengklaim mereka tidak beroperasi di jalan pada waktu itu, ada kebutuhan yang lebih besar untuk kerahasiaan. Oleh karena itu,  mereka menangkap pria berusia 43 tahun yang mengambil foto tersebut. Dikarenakan dituduh “menghalangi polisi untuk melakukan tugas mereka.

Dilaporkan bahwa orang yang mengambil foto itu telah diidentifikasi sebagai anggota staf Departemen Urusan Hiburan dan Kebudayaan. Foto diambil ketika dia sedang bertugas di museum setempat. (asr)

Pidato Lengkap Senator AS Ted Cruz: ‘Rakyat Amerika Mendukung Hong Kong, Menentang Penindasan Komunis Tiongkok

0

Senator Amerika Serikat Ted Cruz selaku anggota Senat Komite Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat, Selasa 19 November menyampaikan pidatonya di Senat AS. 

Saat itu, ia mendesak rekan-rekannya untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, sebagai undang-undang yang disponsori bersama untuk mendukung para demonstran pro-demokrasi di Hong Kong. 

RUU itu, yang disahkan oleh Senat dengan suara bulat, termasuk ketentuan undang-undang bipartisan yang diperkenalkan oleh Senator Ted Cruz untuk mengubah Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992. 

Yang mana  mewajibkan pemerintah mengevaluasi dan melaporkan bagaimana rezim Tiongkok mengeksploitasi Hong Kong untuk menghindari hukum Amerika Serikat. 

Di senat, Senator Ted Cruz mengatakan : 

“Hari ini kita memiliki kesempatan untuk memberitahu dunia mengenai serangan hak asasi manusia secara  terang-terangan ini dan kampanye untuk menggertak Hong Kong supaya tunduk adalah tidak baik, dan Amerika Serikat tidak akan mendukung hal tersebut

Pada kesempatan tersebut ia juga menceritakan perjalanannya ke Hong Kong : 

“Bulan lalu, saya melakukan perjalanan ke Hong Kong. Saya bertemu dengan banyak pria dan wanita pemberani yang berjuang. Saya bertemu dengan para pembangkang, para pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menyuarakan otonomi Hong Kong serta kebebasan berbicara dan hak asasi manusia. Bersama mereka, saya mengenakan pakaian serba hitam untuk mengekspresikan solidaritas saya dengan para pengunjuk rasa damai yang turun ke jalan.” 

Ia menyimpulkan:

Rakyat Hong Kong terlibat dalam pertempuran eksistensial untuk kebebasan dan mereka harus tahu […] bahwa rakyat Amerika Serikat mendukung Hong Kong.”

Senator Cruz telah lama menyerukan kepada Amerika Serikat untuk berdiri teguh dalam mendukung mereka yang menentang penindasan Komunis Tiongkok.

Melansir siaran pers Kantor Senator Cruz, Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong mencakup ketentuan Rancangan Undang-Undang bipartisan yang diperkenalkan Senator Ted Cruz pada bulan Juni lalu. RUU tersebut mengamandemen Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992. Undang-Undang tersebut untuk mewajibkan pemerintah mengevaluasi dan melaporkan bagaimana Tiongkok mengeksploitasi Hong Kong untuk menghindari hukum Amerika Serikat.

Pada bulan Juli lalu, Senator Ted Cruz memperkenalkan undang-undang, Jaringan Kediktatoran Invasif Penargetan & Undang-Undang Pemberitahuan Ekspor Wajib yang Diperlukan tahun 2019 atau Undang-Undang TIANANMEN tahun 2019. Undang-undang tersebut  mengharuskan pemerintah untuk memasukkan perusahaan Tiongkok yang memungkinkan pihak Komunis Tiongkok untuk melakukan pengawasan massal dan penindasan terhadap minoritas agama mayoritas Muslim di Xinjiang ke dalam daftar hitam. 

Pada bulan lalu, pemerintah menerapkan bagian-bagian undang-undang Senator Ted Cruz yang mensyaratkan daftar hitam.

Pada bulan Oktober lalu, sebagai salah satu senator Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Hong Kong sejak unjuk rasa  dimulai, Senator Ted Cruz bertemu dengan aktivis pro-demokrasi, pembangkang, dan pemimpin unjuk rasa. Ia menyatakan dukungannya bagi mereka yang berjuang untuk melindungi otonomi Hong Kong, kebebasan berbicara, dan hak asasi manusia dasar. 

Setelah kunjungannya ke Hong Kong, ia menulis sebuah editorial opini di USA Today yang mendesak rakyat Amerika Serikat dan perusahaan Amerika Serikat untuk menentang sensor, penindasan dan kekejaman hak asasi manusia oleh Partai Komunis Tiongkok.

Baru-baru ini, Senator Ted Cruz menulis editorial opini di The Dallas Morning News menghargai peringatan 30 tahun jatuhnya Tembok Berlin dan warisan Amerika yang kuat mendukung pejuang kemerdekaan dan memerangi kejahatan tirani di seluruh dunia, di mana ia berkata, “Hari ini, Hong Kong adalah Berlin baru.”

Berikut pidato lengkap lengkap Senator Ted Cruz :


“Nyonya, Presiden, hari ini pria dan wanita pemberani [serta] anak laki-laki dan perempuan berjuang dan menuntut agar Partai Komunis Tiongkok melindungi otonomi Hong Kong, melindungi kebebasan berbicara, dan membela hak asasi manusia. 

Terlepas dari unjuk rasa damai ini, Partai Komunis Tiongkok menyerang balik dengan kebrutalan dan kekerasan. Kebrutalan polisi yang telah kita lihat dan […] serangan Partai Komunis Tiongkok yang lebih besar pada rakyat Hong Kong adalah  memalukan. 

Akhir pekan lalu, polisi Hong Kong mulai menyerang anak muda, mahasiswa yang tidak bersalah yang dengan damai memprotes kebrutalan itu. 

“Mereka diserang dengan gas air mata dan peluru karet. Kampus mahasiswa ini diubah menjadi zona perang di mana tidak ada yang aman. 

Dan hari ini kita memiliki kesempatan untuk memberitahu dunia mengenai serangan hak asasi manusia yang mencolok ini dan kampanye untuk menggertak Hong Kong agar tunduk adalah tidak benar, dan Amerika Serikat tidak akan mendukung hal tersebut.

“Bulan lalu, saya melakukan perjalanan ke Hong Kong. Saya bertemu dengan banyak pria dan wanita pemberani yang berjuang. Saya bertemu dengan para pembangkang, para pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menyuarakan otonomi Hong Kong dan kebebasan berbicara serta hak asasi manusia. Bersama mereka, saya mengenakan pakaian serba hitam untuk mengekspresikan solidaritas saya dengan para demonstran yang damai yang turun ke jalan

“Saat ini sebagai tanggapan atas unjuk rasa itu, gas air mata, granat spons, peluru karet ditembakkan di kampus-kampus universitas di Hong Kong. Di provinsi Shin Jiang, jutaan orang Uighur yang ditahan dan minoritas agama lainnya mendekam di kamp-kamp konsentrasi. 

Dan di seluruh Tiongkok, praktisi Falun Gong ditangkap dan dibunuh, sehingga Partai Komunis dapat memanen organ mereka. 

“Kebebasan dari kebrutalan dan tirani Partai Komunis Tiongkok adalah seruan pertempuran para pembangkang di Hong Kong.

“Apa yang dilambaikan oleh pengunjuk rasa di Hong Kong? Bendera Amerika Serikat. Dan apa yang mereka nyanyikan? Lagu Kebangsaan Amerika Serikat. Mengutip kutipan dari Bapak Pendiri Amerika Serikat, yang mempertaruhkan segalanya untuk kebebasan di Amerika.

Nyonya, Presiden, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Senator Rubio dan Cardin. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Senator Risch dan Senator Menendez serta semua anggota Senat Komite Hubungan Luar Negeri, baik Partai Republik maupun Partai Demokrat yang telah bergabung bersama. Undang-undang ini sedang dipersiapkan Senat untuk meloloskan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Hong Kong sebagai undang-undang penting. 

Ini adalah undang-undang bipartisan. Saya mendesak DPR untuk mengambilnya dan mengesahkannya dan meneruskannya dengan segera.

“Rakyat Hong Kong terlibat dalam pertempuran eksistensial untuk kebebasan dan mereka harus mengetahui dan mereka akan mengetahui melalui tindakan kita hanya dalam beberapa saat bahwa rakyat Amerika Serikat mendukung Hong Kong.”

(Vivi/asr)

DPR AS Sahkan RUU Uighur yang Menuntut Sanksi Atas Pelanggaran HAM di Kamp-kamp Xinjiang

0

Isabel Van Brugen

Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada (3/12/2019) sangat menyetujui suatu RUU untuk melawan penindasan Komunis Tiongkok terhadap etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang, barat laut Tiongkok, yang segera dikecaman oleh Beijing.

Undang-Undang Uyghur tahun 2019 adalah Undang-Undang Peraturan Hak Asasi Manusia Uyghur yang diamandemenkan, dan diterbitkan versi yang lebih kuat oleh bipartisan Amerika Serikat yaitu oleh Senator Marco Rubio (R-FL) dan Bob Menendez (D-NJ), yang membangkitkan kemarahan Beijing saat undang-undang tersebut diloloskan oleh Senat Amerika Serikat pada bulan September.

RUU Uyghur membutuhkan pemerintahan Donald Trump untuk memperkuat tanggapan RUU tersebut terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Tiongkok di wilayah tersebut.

RUU tersebut menyerukan kepada Presiden Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat Tiongkok dan untuk menutup jaringan kamp-kamp tahanan massal di mana setidaknya satu juta warga Uyghur ditahan secara tidak sah.

RUU tersebut menyerukan untuk mengatasi “pelanggaran berat hak asasi manusia yang diakui secara universal, termasuk pemusnahan massal lebih dari 1.000.000 warga Uyghur.”

RUU tersebut diloloskan sangat banyak oleh Partai Demokrat yang menguasai DPR dengan hasil suara 407-1 setelah negosiasi berbulan-bulan lamanya di antara anggota parlemen mengenai ketentuan undang-undang tersebut. Senator Partai Republik AS, Thomas Massie dari negara bagian Kentucky adalah satu-satunya yang menentang undang-undang tersebut.

Di antara pejabat senior Tiongkok yang menurut undang-undang tersebut bertanggung jawab dan harus diberi sanksi adalah Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo, yang, sebagai anggota politbiro, berada di eselon atas kepemimpinan Tiongkok.

RUU itu masih membutuhkan persetujuan dari Senat yang dikendalikan oleh Partai Republik, setelah itu RUU tersebut akan dikirim ke Presiden. Gedung Putih belum mengatakan apakah Donald Trump akan menandatangani atau memveto RUU tersebut, yang berisi ketentuan yang memungkinkan presiden untuk melepaskan sanksi jika ia menentukan bahwa sanksi itu untuk kepentingan nasional.

“Rezim Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok; “Sedang berupaya untuk secara sistematis menghapus identitas etnis dan budaya Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang,” kata Marco Rubio dalam sebuah pernyataan setelah pemungutan suara.

“Hari ini, Kongres mengambil langkah penting lainnya untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Tiongkok atas pelanggaran HAM yang mengerikan dan berkelanjutan yang dilakukan terhadap Uighur.”

“Saya memuji DPR karena mengambil tindakan cepat dan mengeluarkan versi amandemen RUU yang saya ajukan, dan saya berharap untuk bekerja sama dengan rekan-rekan Senat saya untuk meloloskannya dan dikirim ke Presiden untuk disahkan,” tambah Marco Rubio.

Peneliti senior Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, Henryk Szadziewski, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa pengesahan RUU tersebut merupakan “tonggak sejarah.”

“Ini menunjukkan pengakuan penindasan yang dialami oleh Uighur, serta tindakan nyata atas nama mereka seharusnya sudah terjadi sejak dahulu,” kata Henryk Szadziewski.

“Tidak ada preseden untuk ukuran ini, dan Undang-Undang tersebut menawarkan harapan bagi Uyghur selama masa kelam dalam sejarahnya. Rakyat Uyghur tidak akan lagi menjadi ‘rakyat yang dilupakan.’”

Undang-Undang tersebut terbit hanya dalam waktu satu minggu setelah pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong untuk mendukung pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong.

Undang-undang tersebut mengharuskan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk meninjau setiap tahun apakah bekas koloni Inggris itu “mendapatkan otonomi yang memadai” dari Tiongkok Daratan untuk membenarkan hak-hak ekonomi khusus yang diberikan kepada Hong Kong berdasarkan Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut Undang-Undang Uyghur sebagai serangan jahat terhadap Tiongkok dan merupakan gangguan serius dalam urusan internal negara itu.

Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok , mendesak Amerika Serikat untuk “segera memperbaiki kesalahannya,” dan dengan demikian menghentikan RUU itu “menjadi suatu hukum.”

“Kami mendesak Amerika Serikat untuk berhenti menggunakan Xinjiang sebagai cara untuk mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok,” tambah Hua Chunying.

Para pejabat Partai Komunis Tiongkok mengatakan penahanan massal di antara populasi Uyghur, yang mayoritasnya beragama Islam, adalah bagian langkah-langkah untuk menindak terorisme, ekstremisme agama, dan separatisme di negara itu. Partai Komunis Tiongkok telah menggunakan alasan potensi “ancaman ekstremis” untuk membenarkan pengawasan ketat dan tindakan keras terhadap Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang.

Warga Uyghur di wilayah tersebut ditahan karena alasan seperti menghubungi teman atau kerabat di luar negeri, bepergian ke negara asing, menumbuhkan janggut, dan menghadiri pertemuan keagamaan, warga Uyghur yang memiliki anggota keluarga di kamp mengatakan kepada The Epoch Times.

Tangan pertama yang menggambarkannya kepada The Epoch Times juga telah mengungkapkan upaya oleh otoritas untuk melucuti para tahanan Uyghur dari budaya dan bahasa mereka, memaksa mereka untuk mencela keyakinannya dan berjanji loyalitas kepada Partai Komunis Tiongkok dan pemimpinnya. Jika gagal mengikuti perintah, maka tahanan dapat dikenakan beberapa bentuk penyiksaan sebagai hukuman.

Pemungutan suara bersejarah menyusul bocornya dua dokumen utama Partai Komunis Tiongkok yang bocor dalam beberapa minggu terakhir, yang merinci pekerjaan represif yang dilakukan Bejijng di wilayah tersebut.

Arslan Hidayet adalah menantu komedian Uyghur terkemuka bernama Adil Mijit, yang hilang selama 10 setengah bulan di wilayah tersebut. Arslan Hidayet khawatir Adil Mijit ditahan di salah satu kamp Xinjiang. Ia mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara telepon bahwa ia yakin dokumen yang bocor itu berperan penting dalam pengesahan RUU tersebut.

“Suara yang demikian begitu bulat. Ini adalah pertama kalinya dalam 70 tahun, dan pertama kalinya sejak Lapangan Tiananmen [pembantaian pada tahun 1989], di mana Barat, bukannya menenangkan Tiongkok, Barat malahan mengambil tindakan nyata. Ini bukan hanya momen bersejarah untuk Uyghur, tetapi juga momen bersejarah antara Tiongkok dan kebijakan Amerika Serikat, terutama selama beberapa tahun terakhir.”

“Saya khawatir RUU tersebut tidak lolos, tetapi untuk mendapatkan suara bulat, itu adalah benar-benar luar biasa, dan hal itu juga mengirim pesan ke seluruh dunia juga,” tambah Arslan Hidayet.

Arslan Hidayet mengatakan kepada The Epoch Times, kini RUU tersebut harus digunakan dengan tepat untuk memastikan tindakan yang diambil.

“Kini sudah ada RUU tersebut dan menggunakannya sebagai tongkat baseball untuk memukul Tiongkok di bidang yang menyakitkan, yaitu bidang ekonomi.”

Terlepas dari kemunculan dokumen-dokumen rahasia dan tekanan intensif dari masyarakat internasional yang mengecam Beijing, pemerintah Tiongkok terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur atau yang lainnya di Xinjiang.

“Tiongkok akan dan mampu [terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur]. Namun, satu hal yang belum dapat dijawab oleh Tiongkok adalah: Mengapa jurnalis tidak diberi akses tanpa batasan? Biarkan semua orang datang kepada kami dan buktikan bahwa kami adalah berita palsu,” tambah Arslan Hidayet.

“Saya sangat senang Undang-Undang ini telah lolos karena Undang-Undang ini akan datang pada waktu di mana kamp konsentrasi dapat atau mungkin masih tetap akan berubah menjadi kamp pemusnahan, hal yang kami coba hindari. Kami tidak ingin terjadi Holocaust kedua.”

Sarjana yang berbasis di Amerika Serikat, Tahir Imin, lahir di Kashgar, mengatakan kepada The Epoch Times, berita itu mengirimkan “pesan yang jelas bahwa Tiongkok tidak dapat membasmi rakyat Uyghur.”

“Semua warga Uyghur di seluruh dunia dengan sabar menunggu kabar baik dari dunia. Hari ini kami mendapatkannya,” kata Tahir Imin.

“Sudah waktunya bagi Tiongkok untuk mengubah kebijakan asimilasi yang tidak manusiawi sebelum Tiongkok diakui sebagai pelaku genosida dan penjahat kemanusiaan.” (Vv)

Pekerja Wanita Indonesia Dideportasi Karena Dukung Unjuk Rasa Hong Kong

0

Zhang Ting

Seorang pekerja wanita sekaligus penulis asal Indonesia, ditahan karena visa kerjanya telah melewati batas waktu, dan pada Senin 2 Desember 2019 dideportasi oleh pemerintah Hong Kong. Menurut International Domestic Worker Federation, penanganan oleh Hong Kong Immigration Department saat ini tidak normal. Selama kontrak kerja masih berlaku, maka visa kerja yang telah melewati batas waktu, umumnya tidak menjadi masalah di Departemen Imigrasi. Kali ini pekerja wanita ini tidak diperpanjang visanya, jelas merupakan tekanan politik terhadap pekerja bersangkutan gegara telah mendukung aksi unjuk rasa.

Merangkum pemberitaan dari “Hong Kong Free Press” dan berbagai media lainnya, pekerja yang bernama Yuli Riswati itu berasal dari Indonesia. Yuli adalah seorang pekerja rumah tangga di Hong Kong, sekaligus merupakan seorang penulis yang telah meraih penghargaan. Yuli telah bekerja di Hong Kong selama 10 tahun.  

Yuli juga aktif menulis novel. Novel karyanya yang berjudul “Luka Itu Masih Ada di Tubuhku” telah meraih penghargaan karya tulis pilihan dalam “Taiwan Literature Awards for Migrants” tahun lalu.

Yuli  juga menulis untuk surat kabar berbahasa Indonesia di Hong Kong yakni surat kabar “SUARA” dan juga “Migran Pos”. Seorang reporter surat kabar “SUARA” bernama Veby Mega Indah mengalami luka parah setelah mata kanannya tertembak peluru karet ketika sedang meliput aksi unjuk rasa pada 29 November 2019 lalu.

Setelah terjadinya gerakan anti Undang Undang ekstradisi pada 9 Juni 2019 lalu, Yuli  berkali-kali pergi ke lokasi unjuk rasa pada hari liburnya untuk meliput situasi saat itu. Hal itu memperoleh sorotan kalangan luar.

Deportasi Oleh Imigrasi Hong Kong TIdak Normal Termasuk Tekanan Politik

Menurut berita, pada 23 September 2019 lalu, Departemen Imigrasi Hong Kong dengan alasan visa kerja Yuli  telah tidak berlaku, mendadak mendatangi tempat tinggalnya dan menangkapnya. Pada 4 November 2019, imigrasi mencabut tuntutan melampaui batas waktu menetap terhadap dirinya dengan alasan “tidak ada cukup bukti untuk menggugat”. Akan tetapi dengan alasan dirinya “tidak memiliki tempat tinggal” di Hong Kong, Yuli  tetap ditahan di Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC). Tuduhan imigrasi itu diprotes oleh organisasi yang mendukung Yuli beserta majikannya.

Yuli  dan majikannya telah menandatangani kesepakatan kerja selama 2 tahun, mulai berlaku bulan Januari tahun ini. Majikannya telah mengajukan permohonan agar visa kerjanya diperpanjang, karena masih akan terus mempekerjakan dirinya.

Menurut Koordinator International Domestic Workers Federation di Hong Kong, Fish Ip, yang dihadapi oleh   Yuli  adalah perlakuan tidak normal dari imigrasi. Ada kemungkinan ilegal. Jelas, itu adalah tekanan politik terhadap artikel yang ditulis oleh Yuli. Artikel Yuli  menyuarakan aspirasi para pengunjuk rasa di Hong Kong.” International Domestic Workers Federation mengatakan, biasanya, setelah majikan menjelaskan kondisinya, maka imigrasi akan segera memperpanjang visa kerja.

Ketua dari Hong Kong Federation of Asia Domestic Workers Union (FADWU) bernama Phobsuk Gasing menyatakan, dirinya sangat terkejut atas perlakuan Departemen Imigrasi terhadap Yuli. Walaupun visa Yuli  telah jatuh tempo pada Juli 2019 lalu, tapi dia memiliki kontrak kesepakatan kerja selama 2 tahun.

“Biasanya kondisi seperti itu, jika visa pekerja telah jatuh tempo, selama masih memiliki kontrak yang berlaku, dan majikan memastikan masih membutuhkan tenaga pekerja tersebut, dan menulis surat ke Departemen Imigrasi untuk menjelaskan bahwa mereka lupa memperpanjang visa, maka pihak imigrasi akan mengijinkan si pekerja untuk mendapatkan perpanjangan visa dan tidak akan ada masalah,” tambah Gasing.

Menurut berita, staf wilayah Asia dari International Domestic Workers Federation bernama Ye Peiyu yang telah mengenal Yuli  selama 10 tahun mengatakan, paspor milik Yuli telah jatuh tempo pada Agustus 2019. Setelah memperpanjang paspor, dirinya lupa bahwa visa kerjanya telah jatuh tempo pada 27 Juli lalu.

Namun Ye Peiyu menekankan, dalam kondisi seperti itu, selama kontrak kerja dengan majikannya masih berlaku, memperpanjang visa “biasanya akan disetujui hanya dalam hitungan jam”. Ye Peiyu menyebutkan, sangat lumrah bagi pekerja migran lupa memperpanjang visa kerja mereka, dan sangat jarang dijumpai ada pekerja yang dituntut akibat menetap melebihi batas waktu, apalagi sampai ditahan.

Yuli Dituntut Menulis Pernyataan Palsu

Menurut sebuah organisasi yang mendukung Yuli, pada hari Senin 2 Desember 2019 sore, Yuli  dipaksa menumpang pesawat dengan kode penerbangan CX779 menuju Surabaya, Indonesia. Organisasi tersebut menyatakan, Yuli  dipaksa untuk membatalkan permohonan perpanjangan visanya.

Yuli  menyatakan, sebelum meninggalkan kantor CIC, dia diminta untuk menulis pernyataan bahwa dirinya merasa puas dengan pengaturan “deportasi kembali ke negara asal” yang dilakukan terhadap dirinya.

“Saya sangat terkejut, faktanya saya justru merasa sangat sedih dengan cara Departemen Imigrasi memperlakukan saya, dan dideportasinya saya kembali ke negara asal. Saya menolak menulis surat pernyataan tersebut”, kata Yuli.

Menurut Yuli, petugas imigrasi memberitahunya, jika dia tidak mau menulis surat pernyataan itu, maka dia tidak akan diijinkan untuk pulang ke Indonesia. Dia menyatakan dirinya hanya menulis: “Saya tahu, saya akan dideportasi ke Indonesia”.

Yuli menyatakan, di tempat dirinya ditahan setelah dipaksa menulis pernyataan mencabut permohonan perpanjangan visanya, dia sempat meminta sebuah fotokopi suratnya, tapi ditolak imigrasi, dengan mengatakan bahwa surat itu telah dikirim ke kantor imigrasi di Wan Chai.

Yuli  berterima kasih atas dukungan masyarakat terhadap dirinya.

“Tindakan dukungan mereka itu sangat mengharukan saya. Saya pikir saya akan mengungkapkan apa yang telah terjadi pada diri saya, apa yang terjadi di CIC,”  kata Yuli.

Menurut Yuli, banyak teman-teman yang masih ditahan di CIC tengah mengalami penderitaan. Di sana perlakuan mereka sangat tidak manusiawi dan tidak adil.

“Saya berharap warga Hong Kong juga dapat memperhatikan kondisi mereka. Saya berharap mereka tidak lagi menderita. Bantulah teman-teman yang masih berada di CIC,” kata Yuli.

Sebuah kelompok kecil yang mendukung Yuli beberapa hari lalu menggelar unjuk rasa, menyatakan perlakuan Departemen Imigrasi terhadap Yuli merupakan tekanan politik. Kelompok pendukung itu menyatakan, Departemen Imigrasi bahkan menolak tuntutan dari kelompok pendukungnya untuk sekedar mengucapkan perpisahan dengan Yuli. (SUD/WHS)

FOTO : Yuli Riswati (Channel Youtube Singtaiwan)

Laporan Australia Menyoroti Risiko Kemitraan Penelitian dengan Universitas Tiongkok

Frank Fang – The Epochtimes

Laporan Australia baru-baru ini memperingatkan pemerintah, perusahaan, dan sekolah bahwa kerja sama penelitian yang mereka lakukan dengan universitas-universitas Tiongkok dapat berkontribusi pada pengembangan militer rezim Tiongkok dan pelanggaran hak asasi manusia.

Laporan yang berjudul “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok: Menjelajahi Tautan Militer dan Keamanan Universitas-universitas Tiongkok,” diterbitkan oleh lembaga pemikir Australian Strategic Policy Institute pada tanggal 25 November 2019.

“Saat menganalisis kasus-kasus spionase dan ekspor ilegal yang melibatkan universitas-universitas Tiongkok, menjadi jelas bahwa lembaga yang berhubungan militer dan keamanan yang kuat secara tidak proporsional terlibat dalam pencurian dan spionase,” sebut laporan itu.

Laporan  meninjau sekitar 160 universitas, perusahaan, dan lembaga penelitian Tiongkok, berdasarkan informasi yang tersedia secara online, termasuk situs web agen Tiongkok.

Laporan  menempatkan 92 lembaga Tiongkok dalam kategori “sangat berisiko”, yang berarti bahwa lembaga itu dapat “dimanfaatkan untuk keperluan militer atau keamanan.”

Di antara 92 lembaga itu, 52 lembaga adalah milik Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, seperti Perguruan Komando Tenaga Roket, Akademi Logistik Angkatan Laut, dan Universitas Kedokteran Angkatan Darat. Selain itu, 20 universitas sipil juga ditandai sebagai lembaga yang “sangat berisiko tinggi.”

23 universitas sipil ditempatkan dalam kategori “berisiko tinggi”, sementara 44 universitas sipil lainnya ditandai sebagai “berisiko sedang” atau “berisiko rendah.”

Rincian universitas dan lembaga penelitian Tiongkok itu, termasuk penilaian risiko dan bidang penelitiannya, telah dikompilasi dalam database online yang disebut “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok.”

Laporan mengidentifikasi setidaknya 15 universitas sipil yang dikaitkan dengan spionase, terlibat dalam pelanggaran kendali ekspor, atau diidentifikasi oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai kedok untuk program senjata nuklir Tiongkok.

Menurut laporan tersebut, empat dari “Tujuh Putra Pertahanan Nasional”, sebuah universitas terkemuka yang memiliki hubungan mendalam dengan industri pertahanan dan militer Tiongkok seperti Universitas Beihang, Institut Teknologi Harbin, dan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, telah terlibat dalam spionase atau pelanggaran kendali  ekspor. 

Satu kasus pengadilan Amerika Serikat baru-baru ini melibatkan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing. Pada bulan Oktober 2018, Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendakwa mata-mata Tiongkok bernama Xu Yanjun, yang bekerja untuk badan intelijen top Tiongkok, Kementerian Keamanan Negara, karena berkonspirasi mencuri informasi mengenai desain bilah kipas GE Aviation untuk mesin jet.

Isi dakwaan itu menyebutkan, Xu Yanjun dan para konspiratornya mengatur agar insinyur GE Aviation memberikan presentasi di Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, di mana Xu Yanjun membayar semua biaya perjalanan insinyur tersebut ke Tiongkok.

Setelah presentasi, Xu Yanjun terus menggali informasi penting dari karyawan GE. 

Menurut BBC, Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing menegaskan bahwa Xu Yanjun juga adalah seorang mahasiswa pasca-sarjana paruh-waktu di kampusnya.

“Kementerian Keamanan Negara Tiongkok juga memanfaatkan universitas sipil untuk pelatihan, penelitian, saran teknis, dan kemungkinan partisipasi langsung dalam spionase dunia maya,” sebut laporan itu.

Misalnya, Su Yuting, seorang profesor di Fakultas Teknik Listrik dan Informasi di Universitas Tianjin, adalah penerima penghargaan kemajuan teknologi yang dikeluarkan oleh Kementerian Keamanan Negara Tiongkok.

Area penelitian Su Yuting meliputi pemrosesan informasi multimedia dan keamanan, serta teknologi Internet of Things (IoT).

Lembaga pemikir mencatat bahwa dengan perluasan kolaborasi antara universitas di seluruh dunia dan mitra Tiongkok, jelas bahwa banyak lembaga belum secara efektif mengelola risiko terhadap hak asasi manusia, keamanan, dan integritas penelitian.

Misalnya, antara tahun 2007 hingga  2017, Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok mengirim lebih dari 2.500 ilmuwannya untuk dilatih dan bekerja di universitas di luar negeri.


Lebih jauh, laporan itu menyebutkan, bahwa beberapa ilmuwan itu menggunakan perlindungan sipil atau bentuk penipuan lainnya untuk bepergian ke luar negeri.

Semua ilmuwan yang dikirim itu untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang bernilai bagi militer Tiongkok. Semua ilmuwan itu diyakini adalah anggota Partai Komunis Tiongkok yang kembali ke Tiongkok saat diperintahkan.

Perpaduan Militer – Sipil 

Beijing telah lama mengadopsi strategi negara untuk meningkatkan industri swasta dan universitas untuk memajukan militernya. Saat ini, Komisi Sentral Partai Komunis Tiongkok untuk Pengembangan Perpaduan Militer – Sipil mengawasi upaya perpaduan ini. 

Pada bulan Agustus 2018, Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional di Tiongkok bersama-sama mengeluarkan dokumen kebijakan, yang mendesak universitas untuk berintegrasi ke dalam “sistem perpaduan militer-sipil” dan “memajukan transfer dan transformasi dua-arah dari prestasi teknologi militer dan sipil.” 

“Setidaknya 68 universitas secara resmi digambarkan sebagai bagian sistem pertahanan atau diawasi oleh agen industri pertahanan Tiongkok, Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional,” sebut laporan itu. 

Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional, sebuah badan bawahan dari Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok, diawasi oleh Dewan Negara Tiongkok, sebuah badan yang menyerupai kabinet. “Tujuh Putra Pertahanan Nasional ” diawasi oleh Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok. 

Ada juga lebih dari 160 laboratorium yang berfokus pada pertahanan di universitas sipil. Banyak dari laboratorium pertahanan ini mengaburkan tautan pertahanan mereka dalam terjemahan resmi nama mereka. 

Misalnya, beberapa laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan nasional disebut “laboratorium penting nasional.” Pembentukan laboratorium pertahanan memupuk hubungan erat antara peneliti dengan militer yang dapat digunakan untuk memfasilitasi dan mendorong spionase.

Menurut laporan  The Washington Free Beacon, pada bulan Mei 2013, badan intelijen Amerika Serikat menemukan bahwa laboratorium ilmu komputer di Universitas Wuhan melakukan serangan dunia maya  di Barat, termasuk Amerika Serikat, atas nama Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Program ini dijalankan oleh Departemen Pendidikan Tiongkok.

Laporan Australia juga memperingatkan bahwa kemitraan dengan universitas dan perusahaan Tiongkok secara tidak sengaja dapat berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. 

Misalnya, perusahaan China Electronics Technology Group Corporation milik negara Tiongkok mendirikan laboratorium bersama di Eropa dan Australia sejak tahun 2014. Anak perusahaannya, Hikvision, sebuah perusahaan pengawasan video, dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang, di mana rezim Tiongkok telah mengerahkan jaringan pengawasan yang ketat untuk memantau dan mengendalikan lebih dari 10 juta Muslim Uyghur. 

Untuk menjaga terhadap risiko hak asasi manusia dan keamanan tersebut, laporan itu menganjurkan agar universitas yang berkolaborasi dengan mitra Tiongkok agar mendirikan kantor integritas penelitian independen dan memperkenalkan tinjauan tahunan integritas penelitian. (Vv)

FOTO : Tentara PLA (Getty Images)

‘Kita Adalah Sasaran Empuk’ : Politikus Australia Memperingatkan Ancaman dari Rezim Tiongkok

0

Mimi Nguyen Ly

Lebih dari belasan senator Australia memberikan suara pada hari Selasa 3 Desember lalu yang menyerukan penyelidikan atas hubungan Australia dengan Tiongkok.  Di mana seorang politisi mengatakan bahwa Australia adalah “sasaran empuk” terhadap pengaruh asing dari Komunis Tiongkok.

“Kita sebagai sasaran empuk di sini. Kita membiarkan diri kita terbuka dan membiarkan Partai Komunis Tiongkok datang ke sini dan merusak demokrasi kita,” demikian yang disampaikan oleh Jacqui Lambie, seorang senator independen Australia, mengatakan Selasa malam. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas mosi untuk memulai penyelidikan Senat mengenai hubungan Australia dengan Tiongkok.

 Mosi tersebut, yang dipimpin oleh crossbencher Rex Patrick, didukung oleh semua crossbencher lainnya: Senator Jacqui Lambie, Stirling Griff, Pauline Hanson, Malcolm Roberts, dan Cory Bernardi. Senator dari Partai Hijau juga mendukung mosi tersebut. 

Melansir dari ABC, Crossbencher artinya duduk diantara pemerintah dan oposisi. Mereka adalah anggota parlemen dan senator yang tidak termasuk dua partai mayoritas.

Mosi tersebut, yang membutuhkan 23 suara mayoritas untuk lolos, gagal di 15 suara. Tidak ada senator dari dua partai politik utama Australia – Partai Liberal dan Partai Buruh – yang menunjukkan dukungannya. Sebanyak 38 suara menentang mosi tersebut.

Melansir dari The Epochtimes, Rex Patrick mengatakan bahwa penyelidikan harus memeriksa semua aspek hubungan Australia dengan Tiongkok, termasuk hubungan perdagangan antara kedua negara, investasi Tiongkok dalam infrastruktur dan pertanian Australia. Bahkan, pengaruh serta dugaan campur tangan di Australia.  Yang mana mencakup kegiatan terkait Komunis Tiongkok di kampus universitas Australia, serta peran Komunis Tiongkok dalam serangan dunia maya.

‘Ancaman Eksistensial’

Sebelum pemungutan suara, Jacqui Lambie menuduh Partai Liberal dan Partai Buruh tidak memiliki keberanian untuk melindungi Australia dari pengaruh asing Tiongkok. Ia berbicara dengan mengatakan bahwa partai-partai semacam itu tidak hanya dipengaruhi oleh uang dari  Komunis Tiongkok, tetapi juga bertanggung jawab atas ketergantungan ekonomi Australia pada Tiongkok.

Baik Jacqui Lambie dan Rex Patrick mencatat bagaimana Duncan Lewis, mantan Direktur Jenderal Keamanan di Organisasi Intelijen Keamanan Australia, mengatakan kepada surat kabar Nine pada bulan November lalu bahwa  Komunis Tiongkok berusaha untuk mengambil alih sistem politik Australia melalui penyelidikan campur tangan asing yang “berbahaya.”

“Sudah waktunya rakyat di tempat ini sadar akan upaya Tiongkok untuk menyusup ke bidang ekonomi dan demokrasi kita,” kata Jacqui Lambie. 

Ia kemudian menambahkan, “Semua orang mengetahui bahwa pemerintah komunis Tiongkok menggunakan uang untuk mempengaruhi proses politik kita.”

Jacqui Lambie mengutip beberapa contoh dugaan upaya tersebut, termasuk kasus awal tahun ini di mana 100.000 dolar Australia  dalam bentuk tunai disumbangkan ke Partai Buruh New South Wales yang menjadi bagian penyelidikan oleh pengawas korupsi negara.

“Sekarang kita telah mendengar bahwa upaya Tiongkok untuk menyusup ke bidang politik Australia bahkan lebih jauh lagi. Tiongkok tidak hanya berusaha mempengaruhi para politisi dengan uang; Tiongkok berusaha untuk terpilih untuk duduk di dewan ini. Bila mana Tiongkok  dapat membeli atau mendapatkan kursi di parlemen Australia, Tiongkok akan datang,” kata Jacqui Lambie. 

Ia melanjutkan : “Tidak ada pemeriksaan keamanan, hanya sedikit usaha untuk menghentikan. Benar-benar sangat mengejutkan. “

Menurut dia, rakyat secara harafiah benar-benar mati. Seseorang yang dibudidayakan oleh pemerintah Tiongkok untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Partai Liberal di Parlemen Persemakmuran telah terbukti tewas. 

 “Tidak ada yang terbukti tetapi benar-benar memprihatinkan. Saya pikir kita semua tahu apa yang terjadi di sini,” demikian yang disampaikan Jacqui Lambie. 

Bo “Nick” Zhao, dealer mobil mewah Melbourne, ditemukan tewas di kamar motel Melbourne pada bulan Maret. Kematiannya sedang diselidiki. Bo “Nick”  Zhao sebelumnya mengatakan kepada Organisasi Intelijen Keamanan Australia bahwa ia ditawari “jumlah tujuh digit” untuk mencalonkan diri di parlemen federal Australia.

Jacqui Lambie dalam pidatonya mengatakan : “Yang jelas adalah bahwa Tiongkok secara aktif berusaha membentuk kembali demokrasi kita, dan sepertinya tidak ada seorang pun yang membicarakan hal itu dengan cukup serius. Jujur, di mana keberanianmu? Apa yang anda takutkan? Ini bukan teori konspirasi yang aneh. Ini sedang terjadi.”

Jacqui Lambie menambahkan, “Ini adalah ancaman eksistensial bagi masyarakat kita, dan orang Australia takut, Mereka takut bahwa negara kita sedang dibeli, sedang dibeli.”

Nex Patrick mencatat bagaimana Direktur Jenderal Keamanan Mike Burgess “tidak mampu menyebut” Tiongkok pekan lalu, saat ia mengumumkan penyelidikan Organisasi Intelijen Keamanan Australia terhadap tuduhan bahwa Partai Komunis Tiongkok berusaha mengusung Bo “Nick”  Zhao ke Canberra.

 Nex Patrick berkata : “Jelas, ada kepekaan diplomatik yang cukup besar yang terlibat dan kita telah membiarkan diri kita menjadi sangat tergantung secara ekonomi pada ekspor bahan mentah ke pasar Tiongkok.” 

Nex Patrick melanjutkan : “Tetapi yang mengkhawatirkan saat debat di parlemen ini secara politis dilancarkan karena takut akan reaksi dari Beijing.”

Pada bidang perdagangan, Jacqui Lambie menyatakan kekecewaannya dan mengatakan bahwa Partai Liberal dan Partai Buruh telah gagal mengelola ketergantungan ekonomi Australia pada Tiongkok.

Sedangkan Jacqui Lambie menegaskan, Partai-partai besar telah menutup mata, kita sedang menjual nilai-nilai Australia dengan cepat. Sepertiga ekspor Australia terikat ke Tiongkok. Kita mengekspor bijih besi dan batu bara yang bernilai lebih dari 120 miliar dolar AS ke Tiongkok dan universitas-universitas kita — Tiongkok sangat memalukan! —menghasilkan lebih dari 32 miliar dolar dari mahasiswa internasional.

Ia melanjutkan : “Secara keseluruhan, kita memperdagangkan barang dan jasa senilai hampir 194 miliar dolar AS antara Tiongkok  dengan Australia — lebih dari gabungan perdagangan Australia dengan Jepang dan Amerika Serikat. Siapa yang melakukan itu? Siapa yang meninggalkan kita dalam posisi seperti itu? Semua uang itu membuat kita terlena. Tidak ada alasan bagi kita untuk berfokus pada Tiongkok.”

Sebelum pemungutan suara, Senator Partai Hijau Nick McKim mengatakan bahwa Partai Liberal dan Partai Buruh “dipenuhi dengan pengaruh Partai Komunis Tiongkok karena mereka, dipenuhi dengan uang kotor Partai Komunis Tiongkok karena mereka — akan berkolusi, sekali lagi, untuk menolak  penyelidikan seperti itu.”

 Senator Nick McKim mengatakan : “Saya memberitahu anda sekarang, anda semua berdiri di sisi sejarah yang salah di sini. Sejarah akan ditulis suatu hari.”

Nick McKim mengatakan : “Sejarah akan merekam mereka yang berdiri dan mencoba mengatasi situasi ini, dan sejarah akan mencatat mereka yang berguling dan membiarkan Partai Komunis Tiongkok menggelitik perut konco-konconya. Dan sayangnya, tetap saja kedua partai besar di Austalia akan berada di sisi sejarah yang salah.” (Vivi/asr)

FOTO : Jacqui Lambie, seorang senator independen Australia (Facebook)

Amnesty International : Lebih dari 200 Orang Tewas di Iran Saat Penindasan Brutal terhadap Demonstran

0

Katabela Roberts

Setidaknya 208 orang telah tewas selama penumpasan yang dilakukan aparat keamanan selama aksi protes di Iran. Laporan tersebut dirilis oleh Amnesty International pada 2 Desember 2019.

Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan bahwa jumlah kematian yang “mengkhawatirkan” didasarkan pada “pada laporan yang kredibel.” Laporan yang dihimpun setelah mewawancarai berbagai sumber, termasuk keluarga para korban. 

Amnesty menambahkan bahwa jumlah sebenarnya angka kematian yang dikaitkan dengan protes itu “cenderung lebih tinggi.”

Menurut laporan itu, belasan kematian telah dicatat di kota Shahriar di Provinsi Tehran, menjadikannya salah satu kota dengan korban tewas tertinggi.

Philip Luther, Direktur Penelitian dan Advokasi untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International mengatakan, jumlah kematian yang mengkhawatirkan adalah bukti lebih lanjut bahwa pasukan keamanan Iran melakukan pembunuhan yang mengerikan. 

Insiden itu menewaskan sedikitnya 208 orang tewas dalam waktu kurang dari seminggu. Menurut Luther, Angka kematian yang mengejutkan ini menunjukkan pengabaian memalukan pemerintah Iran atas kehidupan manusia. 

Luther menegaskan, Mereka yang bertanggung jawab atas tindakan berdarah ini atas demonstrasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

Luther menjelaskan pihak berwenang Iran tidak ingin melakukan “investigasi independen, tidak memihak, dan efektif terhadap pembunuhan di luar hukum.” Termasuk, penggunaan kekuatan terhadap para pemrotes. 

Selain itu, menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu memastikan kepada mereka yang bertanggung jawab.

Di tempat lain dalam laporan itu, Amnesty mengklaim telah mengumpulkan informasi dari keluarga para korban yang mengatakan bahwa mereka telah diperingatkan untuk tidak berbicara kepada media dan bahkan telah dilarang mengadakan upacara pemakaman untuk orang yang mereka cintai.

Anggota keluarga lainnya dilaporkan dipaksa untuk membayar uang dalam jumlah berlebihan agar jenazah para korban dikembalikan kepada mereka.

Meluasnya aksi protes  di Iran meletus pada 15 November, setelah pihak berwenang mengumumkan skema penjatahan BBM  yang akan membuat harga BBM naik hingga 50 persen.

Keputusan tersebut berarti bahwa kendaraan pribadi sekarang dibatasi hingga 16 galon bahan bakar per bulan, sementara setiap pembelian bahan bakar yang melebihi batas akan dikenai biaya tambahan sekitar 0,98 dolar AS per galon.

Pihak berwenang mengklaim skema baru tersebut bertujuan untuk mendistribusikan kembali uang kepada warga negara yang paling membutuhkan. Namun demikian, dengan cepat menghadapi reaksi balik dari warga di seluruh negara yang turun ke jalan untuk menyerukan diakhirinya rezim Iran.

Pada saat protes dimulai, Amnesty International mengatakan bahwa meskipun aksi protes telah dipicu oleh kenaikan harga BBM. Aksi juga  dikarenakan orang-orang Iran “sakit dan lelah dengan semua korupsi dan ideologi fanatik” dan menginginkan “perubahan.” Di tengah kerusuhan, Iran menutup akses internet, mencegah orang-orang di dalam negeri  berbagi informasi dengan dunia luar. 

Namun demikian, internet telah dipulihkan di beberapa daerah. Membuat sejumlah  video dan foto bertebaran di internet yang merinci kekacauan di Iran.

Sementara itu, pihak berwenang di Iran telah menolak untuk menyebutkan secara pasti jumlah korban atau penangkapan yang dilakukan. Bahkan rezim Syiah Iran mengklaim angka-angka Amnesty tentang jumlah korban tewas secara nasional adalah spekulatif.

Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera, Misi Permanen Republik Islam Iran ke PBB di Jenewa mengklaim bahwa Teheran “memiliki alasan yang baik untuk mencurigai kredibilitas laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty International karena pola masa lalu yang berlebihan. Karena mengandalkan sumber-sumber yang didiskreditkan dan tidak dapat diandalkan dan karena bias  tertentu mengenai Iran. “

Pihak Iran mengklaim “sepenuhnya menghormati hak untuk majelis damai.” Laporan Iran juga mengklaim bahwa “ratusan penegak hukum dan polisi ditambah warga yang tidak bersalah termasuk di antara korban” terjebak dalam protes.

Pihak rezim Syiah Iran mengklaim pasukan keamanan telah menggunakan “pengekangan dan penanganan maksimum bahkan dalam berurusan dengan mereka yang menyalahgunakan protes. Tak lain, untuk merusak keselamatan publik dan merusak properti publik dan pribadi adalah kesaksian untuk ini.

Dr. Zuhdi Jasser, presiden dan pendiri Forum Islam Amerika untuk Demokrasi mengatakan Rezim Syiah Iran diluncurkan dengan kombinasi subversi gaya Soviet dan pengaruh penuli Sayyid Qutb, yang merupakan pendiri Ikhwanul Muslimin.

Qutb menggabungkan politik sosialis dengan Agama untuk menciptakan ideologi sebagai inti dari pemerintahan totaliter. 

Di bawah model ini, kritik terhadap pemerintah menjadi identik dengan serangan terhadap agama. Selain itu, memungkinkan penguasa sosialis untuk melakukan kejahatan. Bahkan pembunuhan, terhadap lawan politik, sementara mengklaim mempertahankan agama mereka. (asr)

Pengacara dari Daratan Tiongkok Berharap aksi Protes di Hong Kong Bisa Membawa Perubahan ke Tiongkok

0

Olivia Li – The Epochtimes

Saat demonstran Hong Kong mengadakan rapat umum dan parade pada 1 Desember 2019, sebagai ungkapan terima kasih kepada pemerintah Amerika Serikat atas dukungannya. Seorang pengacara dari daratan Tiongkok berharap bahwa perjuangan warga Hongkong untuk kebebasan dan demokrasi akan membawa perubahan ke daratan Tiongkok.

Pada 27 November 2019, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani dua rancangan Undang-undang Hong Kong menjadi undang-undang. 

Salah satu rancangan undang-undang adalah Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Undang-Undang tersebut mewajibkan Menteri Luar Negeri AS agar setiap tahun meninjau apakah bekas koloni Inggris itu “cukup otonom” dari daratan Tiongkok. Langkah tersebut untuk membenarkan hak istimewa ekonomi khusus yang diberikan dalam Undang-Undang Amerika Serikat-Hong Kong Undang-Undang pada tahun 1992 silam. 

Undang-undang ini juga mengesahkan sanksi terhadap pejabat Tiongkok dan Hong Kong yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Hong Kong.

Ribuan warga  berbaris dalam parade 1 Desember, yang dimulai di kawasan Chater Garden, sebuah taman umum di Distrik Pusat Hong Kong. Aksi berakhir di depan Konsulat AS dengan sebuah demonstrasi. 

Aksi tersebut sebagai ungkapan terima kasih kepada Presiden Trump dan anggota parlemen AS atas dukungan mereka.

Bendera-bendera Amerika, slogan-slogan pro-demokrasi, dan ribuan peserta rapat yang antusias, menciptakan pemandangan menakjubkan bagi setiap orang Tionghoa dari daratan Tiongkok. Di mana pawai dan demonstrasi yang diprakarsai oleh penyelenggara non-pemerintah, hanya tercantum dalam konstitusi tetapi tidak pernah menjadi kenyataan.

Seorang pengacara dari daratan Tiongkok yang membawa serta anak kecilnya untuk vaksinasi di Hong Kong sangat terkesan setelah menyaksikan pawai tersebut. 

Ia berbicara dengan syarat anonim,  kepada Epoch Times berbahasa Tionghoa mengatakan bahwa ia tidak disesatkan oleh berita palsu dari Komunis tiongkok tentang protes Hong Kong.

Dia mengatakan, bahwa banyak temannya menerima begitu saja terhadap stempel bahwa pengunjuk rasa Hong Kong dari media pemerintah Komunis Tiongkok  sebagai bahwa pedemo sebagai “perusuh.” 

Tetapi dia menyadari bahwa corong rezim Komunis Tiongkok, sama sekali tidak objektif dalam pelaporan mereka. Dikarenakan, dirinya sering membaca media di luar negeri dengan menggunakan perangkat lunak khusus untuk menghindari firewall internet Komunis Tiongkok.

Pengacara itu mengatakan, “Sebagian besar orang Tiongkok tidak memiliki alasan logis karena bagian-bagian tertentu telah hilang dalam pendidikan mereka sejak kecil.”

Ia mengatakan, Pikirkan tentang hal ini, jika lebih dari 2 juta orang berpartisipasi dalam suatu gerakan, bagaimana mereka semua bisa menjadi perusuh? Selain itu, sudah lebih dari lima bulan sejak pengunjuk rasa Hong Kong memulai gerakan tersebut. Sangat tidak mungkin bahwa sekelompok perusuh akan bertahan selama itu. Karena itu, ia mengetahui bahwa propaganda media Komunis Tiongkok menggunakan logika yang buruk. 

Dia mengatakan sistem pendidikan di Tiongkok dengan sengaja mengubah orang-orang menjadi individu yang bingung dan tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis. 

Menurut pengacara itu, dalam sistem pendidikan seperti itu, sangat sulit bagi seseorang untuk tumbuh dengan pemikiran dan pendapat yang normal. Dia berspekulasi bahwa lebih dari 90 persen orang Tiongkok daratan tidak dapat melihat propaganda yang menipu. 

“Mereka benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Banyak yang percaya para pengunjuk rasa memang perusuh, dan mereka adalah penyebab keresahan sosial yang serius,” demikian yang diungkapkannya kepada Epochtimes versi bahasa Tionghoa. 

Lebih jauh, pengacara tersebut mengungkapkan, ketika dirinya berbicara dengan beberapa kenalan yang telah menerima pendidikan tinggi dan telah memperoleh gelar lanjutan, sangat sulit untuk membantu mereka memahami bahwa propaganda Komunis tiongkok tentang protes Hong Kong adalah bohong. 

Mungkin butuh banyak waktu dan kesabaran untuk mengubah pandangan mereka. Atau ketika mereka memiliki kesempatan untuk bepergian ke luar negeri. Mereka mungkin secara bertahap menyadari bahwa media daratan Tiongkok selalu sangat berbeda dari dunia luar. 

Terlepas dari orang-orang daratan Tiongkok yang menjadi korban sensor media, pencucian otak dan disinformasi, pengacara ini masih berharap bahwa gerakan pro-demokrasi Hong Kong akan meluas ke daratan Tiongkok. 

Selain itu, membawa beberapa perubahan, “karena saat ini, Komunis Tiongkok melakukan hal yang sangat buruk dalam hal untuk kebebasan, terutama kebebasan berbicara.

Mengenai pawai, tidak mungkin untuk mengatur pawai akbar di daratan seperti yang baru saja yang dia saksikan. 

Meskipun dalam konstitusi Tiongkok menetapkan bahwa warga negara memiliki hak untuk mengadakan pawai, akan tetapi penegak hukum setempat selalu menerapkan hukum pidana dan administrasi. Langkah tersebut untuk menolak hak warga negara yang mengungkapkan keluhan mereka dengan cara seperti itu.

“Akibatnya, untuk konstitusi di Tiongkok, sama baiknya dengan tidak memilikinya,” demikian yang diungkapkan pengacara itu. (asr)

DPR AS Loloskan RUU HAM Uighur, Memicu Amarah dari Komunis Tiongkok

0

Eva Pu – The Epochtimes

Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang menentang penindasan hak asasi manusia rezim Komunis Tiongkok terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang, memicu amarah dari Komunis Tiongkok.

Lolosnya RUU tersebut terjadi kurang dari seminggu, setelah penandatanganan dua rancangan Undang-Undang Presiden Donald Trump yang mendukung gerakan pro-demokrasi di Hong Kong. Penandatanganan tersebut juga memicu reaksi yang sama kuatnya dari rezim Komunis Tiongkok. 

Pada 3 Desember 2019, House of Representatives atau DPR Amerika Serikat, meloloskan Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2019 dengan mayoritas 407 suara versus 1 suara. Versi RUU tersebut juga telah lolos melalui Senat AS pada bulan September lalu. 

Kongres AS sedang mengerjakan RUU terakhir untuk dikirim ke meja Presiden Trump untuk ditandatangani atau diveto.

Rancangan Undang-Undang itu dapat menyebabkan sanksi terhadap pejabat Komunis Tiongkok tertentu, termasuk Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di Xinjiang Chen Quanguo, karena melakukan penganiayaan agama di wilayah tersebut. 

Rancangan Undang-Undang tersebut juga akan memerintahkan Menteri Perdagangan untuk meninjau dan mempertimbangkan pelarangan penjualan produk Amerika Serikat ke agen negara mana pun yang membantu penyalahgunaan.

Serangan dari Komunis Tiongkok

Tak lama setelah berita itu sampai ke Tiongkok, Direktur Kantor Kontra Terorisme versi Komunis Tiongkok, Liu Yuejin mengadakan konferensi pers. Ia mengklaim bahwa Undang-Undang itu “menciptakan sesuatu dari ketiadaan.” Ia juga mengatakan “mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok menggunakan spanduk agama dan hak asasi manusia.

Ia melontarkan narasi bahwa  Komunis Tiongkok telah membangun jaringan pengawasan yang luas di wilayah itu. Tujuannya, untuk memantau 11 juta penduduk Muslimnya, sebagai bagian dari apa yang digambarkan rezim sebagai upaya “kontra-terorisme”. 

Narasi dan stempel Terorisme atau separatis adalah istilah yang kerap dituduhkan sejak lama oleh Komunis Tiongkok terhadap Uighur dan pihak yang tak sepaham dengan Komunis Tiongkok. Bahkan narasi-narasi tersebut juga turut dilontarkan oleh sejumlah Kedutaan Besarnya di sejumlah negara.  

Setidaknya 1 juta Uighur dan Muslim lainnya diperkirakan ditahan di kamp-kamp interniran.

Para korban yang selamat dari kamp-kamp tersebut kepada The Epoch Times mengatakan, bahwa para tahanan telah mengalami pencucian otak dan bentuk-bentuk penyiksaan lainnya. Langkah tersebut sebagai  upaya untuk memaksa mereka melepaskan keyakinan mereka.

Wakil direktur kementerian luar negeri Komunis Tiongkok juga memanggil William Klein, Penjabat wakil kepala Misi Kedutaan Besar AS di Tiongkok untuk mengajukan  “protes keras.”

Setidaknya enam organ pemerintahan Komunis Tiongkok lainnya, termasuk Komite Urusan Luar Negeri dari Kongres Rakyat Nasional, sebuah badan legislatif stempel rezim Komunis Tiongkok, Komite Urusan Luar Negeri dari Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok, badan penasehat utama untuk Komunis Tiongkok, dan Komisi Urusan Etnis yang menyuarakan perlawanan terhadap RUU tersebut.

Siaran TV corong Komunis Tiongkok CCTV, telah menghabiskan waktu lebih dari 20 menit, sebagai bentuk kritikan langkah Amerika Serikat saat program berita malam hari.

Hua Chunying, juru bicara kementerian luar negeri Komunis Tiongkok, mengatakan dengan narasi-narasi bahwa langkah itu adalah upaya AS untuk “meracuni hubungan etnis.” Ia juga menyampaikan dengan narasi bahwa AS sambil “mengolesi dan memfitnah kebijakan etnis Tiongkok yang sukses.”

Hua juga membuat catatan tentang Rancangan Undang-Undang Hong Kong yang mendukung gerakan pro-demokrasi, yang ditandatangani oleh Trump pada minggu lalu.

Koran hawkish yang dikelola pemerintahan Komunis Tiongkok, Global Times memperingatkan bahwa rezim itu dapat merilis “daftar entitas yang tidak dapat diandalkan” untuk memberikan sanksi kepada pejabat AS. 

Sementara itu, Hu Xijin, editor makalah, dalam sebuah postingan di Twitter memperingatkan bahwa “Politisi AS dengan taruhan di Tiongkok harus hati-hati. “

Kekhawatiran Hak Asasi Manusia

Pihak AS, anggota parlemen dan aktivis hak asasi manusia menyambut baik lolosnya RUU tersebut. Mereka mengatakan bahwa undang-undang tersebut berkembang menjadi penyebab penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok.

Omer Kanat, Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project yang berbasis di Washington, mengatakan pada 3 Desember bahwa langkah tersebut “membuka jalan bagi negara-negara lain untuk bertindak.”

Dia menyatakan penghargaan atas “kerja sama bipartisan yang kuat dalam mengatasi penderitaan para Uighur.” Ia menambahkan, “tindakan malam itu memberi harapan Uighur.”

“Undang-undang ini mengambil langkah berikutnya,” demikian yang disampaikan Senator Republikan Chris Smith selama debat lantai di DPR AS.

“Kita tidak bisa diam. Kita harus menuntut diakhirinya praktik biadab dan pertanggungjawaban dari pemerintah Tiongkok ini. Kita harus mengatakan ‘tidak pernah lagi’ pada genosida budaya dan kekejaman yang diderita oleh orang-orang Uighur dan lainnya di Tiongkok,” demikian pernyataan Chris Smith. 

Senator Marco Rubio dan Senator Bob Menendez yang memperkenalkan versi Senat dari RUU tersebut juga memuji lolosnya undang-undang tersebut di DPR AS.

Senator Marco Rubio  mengatakan “Pemerintah Tiongkok dan Partai Komunis sedang berupaya untuk secara sistematis menghapus identitas etnis dan budaya Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.”

 Senator Bob Menendez mengatakan : “Uighur pantas mendapatkan keadilan atas tindakan biadab dan menjijikkan yang terpaksa mereka tanggung.”

Ancaman Perdagangan

Lolosnya Undang-undang Uighur telah mengaburkan prospek kesepakatan cepat untuk mengakhiri perang dagang selama 17 bulan. Perang dagang tersebut terjadi antara dua ekonomi terbesar dunia.

Ketika ditanya apakah pengesahan RUU Uighur akan mempengaruhi hubungan perdagangan AS-Komunis Tiongkok, Hua mengatakan: “Tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral dan kerja sama di bidang-bidang penting.”

Sehari sebelumnya, Trump mengatakan bahwa ia tidak akan keberatan menunda kesepakatan perdagangan “fase pertama” dengan Tiongkok hingga setelah Pilpres AS 2020.

Trump menjelang Konfrensi Tingkat Tinggi NATO di London mengatakan, ia tidak mempunyai batas waktu. Trump juga mengatakan, dalam beberapa hal ia berpikir lebih baik menunggu sampai setelah pemilu dengan Tiongkok. 

Trump mengatakan bahwa perjanjian tersebut “tergantung pada satu hal — apakah dirinya ingin melakukannya.

Sedangkan pihak Komunis Tiongkok juga mengatakan, tidak “menetapkan batas waktu untuk mencapai kesepakatan.”

Rezim Komunis Tiongkok telah mengumumkan sanksi terhadap setidaknya lima LSM yang berbasis di AS. Selain itu,  melarang kapal militer AS memasuki pelabuhan Hong Kong. Langkah tersebut sebagai pembalasan atas penandatanganan RUU Hong Kong yang mendukung demonstran Hong Kong.

Juru Bicara kementerian luar negeri Komunis Tiongkok menolak untuk menjelaskan rincian sanksi rezim terhadap organisasi nirlaba tersebut. 

Sementara itu, Trump mengatakan pada hari Rabu lalu,  kedua pihak tetap dalam komunikasi.

“Diskusi berjalan sangat baik dan kita akan melihat apa yang terjadi,”  kata Trump saat pertemuan NATO di London. (asr)

Trump Setujui Resolusi Perlihatkan Sosok Keras, Beijing Paham?

0

Zhou Xiaohui

Pada 27 November 2019, sehari sebelum Hari Thanksgiving, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menandatangani “Rancangan Undang Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Warga Hong Kong”   dan juga “Rancangan Undang Undang Larangan Penjualan Perlengkapan Anti Huru Hara Pada Hong Kong”, sebagai perwujudan janjinya berpihak pada warga Hong Kong. Itu juga menambahkan suatu kebahagiaan lagi bagi warga Hong Kong yang tengah merayakan kemenangan mutlak kubu Pan-Demokrasi dalam pemilihan anggota legislatif.

Tindakan tanda tangan Trump itu, adalah peringatan yang dilontarkan bagi Beijing bahwa kebijakan Amerika Serikat terhadap Hong Kong sangat jelas. Di masa mendatang pemerintah Amerika Serikat, siapapun presidennya, akan menilai langsung perkembangan politik Hong Kong berdasarkan Undang Undang tersebut.

Makna terpendamnya adalah bila perkembangan politik di Hong Kong tidak sesuai dengan “satu negara dua sistem”, maka Amerika Serikat sangat mungkin akan menghapus status Hong Kong sebagai zona perdagangan bebas.

Jika Hong Kong ingin mempertahankan status sebagai pusat moneter internasional, agar dapat lolos dari penilaian Amerika Serikat, maka Xi Jinping dan Kepala Eksekutif Hong Kong harus mendengar suara warga Hong Kong. Hal itu tidak boleh menempuh kebijakan tekanan, dan harus membiarkan Hong Kong maju berdasarkan “Joint Declaration of UK & PRC” yang telah disepakati.

Di hari yang sama ditandatanganinya Rancangan Undang Undang tersebut, di akun Twitter-nya Trump mengunduh sebuah foto dirinya sebagai seorang jagoan yang mengenakan sarung tinju dan berdiri di atas ring tinju.

Gambar itu tentunya ada yang mengedit, akan tetapi intinya adalah Trump mengakui dan memposting sosok dirinya sebagai jagoan. Perlu diketahui, kalangan perfilman Amerika Serikat  mengusung serangkaian sosok jagoan. Mayoritas tokoh yang diwakili diperankan oleh Silvester Stallone. Kesamaan keduanya adalah kepribadian yang pantang mundur dan tegar, mampu mengatasi segala kesulitan di tengah situasi sulit.

Semangat inilah yang ingin disampaikan Trump kepada dunia luar, bahwa dirinya juga tegar dan pantang mundur menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan. Itu tentunya termasuk juga permasalahan Hong Kong.

Informasi menyatakan, setelah Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Amerika Serikat meloloskan resolusi tersebut, Komunis Tiongkok yang kebakaran jenggot   mengerahkan berbagai daya upaya melobi Trump agar tidak menandatanganinya.

Akhirnya, dengan menanggung tekanan dari berbagai pihak, Trump memilih menandatanganinya. Walaupun Trump tidak menandatanganinya, resolusi tersebut tetap akan efektif setelah 10 hari kemudian. Akan tetapi Trump memilih menandatanganinya, maknanya menjadi sangat berbeda.

Hal itu menandakan pemerintah Trump pada dasarnya menyetujui konten dari Rancangan Undang Undang  tersebut, seperti halnya isi pernyataannya, dan akan membentuk komisi pelaksana setelahnya. Itu guna merealisasikan resolusi itu secara konkrit, seperti memberlakukan sanksi terhadap pejabat Komunis Tiongkok  dan pemerintahan wilayah eksekutif terkait. Itulah yang paling ditakutkan oleh Komunis Tiongkok.

Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok Le Yucheng   memanggil Dubes Amerika Serikat untuk Tiongkok yakni Terry Branstad. Le Yucheng mengemukakan “menentang dan protes keras”, mencecar tindakan itu secara serius telah mencampuri urusan    Hong Kong. Secara serius mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok, secara serius melanggar Undnag Undang internasional dan prinsip dasar hubungan internasional. Itu adalah murni tindakan hegemoni, pemerintah dan rakyat Tiongkok sangat marah serta menentang keras tindakan itu.

Sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri   Tiongkok tidak mengambil tindakan balasan apapun, sehingga selain gertakan kosong, tidak menunjukkan konten konkrit apapun.

Hanya saja satu hal yang tidak dimengerti Beijing adalah, terhadap berbagai macam ancaman dan pelampiasan histeris Beijing, sejak awal sudah diprediksi oleh Amerika. Pada hari yang sama ditandatanganinya resolusi itu Trump memperlihatkan gambar jagoan dirinya, adalah hendak memberitahu Beijing, bahwa Amerika tidak akan mengubah sikap kerasnya itu atas permasalahan Hong Kong.

Jurus licik atau ancaman apa pun yang akan dikerahkan Beijing, bahkan dengan menciptakan insiden apa pun, jika militer dikerahkan untuk menduduki Hong Kong, maka Amerika akan bersiap-siap menghadapi, dan tidak akan tunduk.

Sikap pemerintah Trump, membuat penguasa Beijing sangat gusar dan tidak terima. Gusar, karena Komunis Tiongkok paham jika tindak kekerasan terus dilakukan terhadap Hong Kong, khususnya bila seperti beberapa hari lalu Trump mengungkap rencana rahasia Beijing, bila satu juta pasukan Komunis Tiongkok memasuki dan menguasai Hong Kong dalam tempo 14 menit, maka sanksi Amerika tidak hanya akan menghantui, dalam perundingan dagang pun tidak akan berakibat baik.

Apalagi di wilayah Laut Tiongkok Selatan, armada kapal induk Amerika sedang berpatroli. Dan dengan alasan melindungi warga Amerika, begitu pasukan Komunis Tiongkok masuk ke Hong Kong melakukan tekanan. Setelah kongres Amerika memberi otoritas mengirim pasukan, bukan tidak mungkin Amerika akan mengintervensi masalah Hong Kong. Berdasarkan hal itu, maka Beijing tidak berani gegabah dalam mengatasi Hong Kong, dan tidak berani mengabaikan ancaman Trump.

Tidak rela, yakni tidak terima membiarkan warga Hong Kong menikmati kebebasan dan demokrasi berdasarkan “satu negara dua sistem” yang telah ditetapkan, dan berharap secara politik mengubah Hong Kong menjadi pengikut Komunis Tiongkok. Akan tetapi dalam hal ekonomi, Tiongkok masih dapat menikmati kemudahan globalisasinya.

Tapi tekanan dari Amerika dan perlawanan warga Hong Kong, membuat Komunis Tiongkok yang tidak mampu menaklukkan warga Hong Kong di bawah tekanan militer, kini menjadi serba salah. Relatif tenangnya Hong Kong beberapa hari ini, serta intensitas nada media massa Komunis Tiongkok yang relatif rendah, menunjukkan para petinggi Beijing yang sedang cemas itu berada dalam situasi yang sulit untuk diungkapkan.

Karena sekarang dalam masalah Hong Kong, Komunis Tiongkok tidak bisa meraih perkembangan berarti, tidak mampu mencapai kemajuan dalam perundingan dagang, maka masih ada satu cara untuk mengalihkan perhatian pemerintah Amerika. Kemungkinan besar adalah memanfaatkan masalah Korut dan Timur Tengah, untuk mengacaukan perhatian Amerika terhadap Komunis Tiongkok.

Baru-baru ini Korea Utara kembali melakukan uji coba peluncuran rudal yang di baliknya seharusnya ada bayang-bayang Komunis Tiongkok, tapi Kim Jong-Un yang memahami kehebatan Amerika hanya sebatas berlagak saja.

Sementara Iran dan teroris Taliban yang mendapat bantuan besar dari Komunis Tiongkok, mungkin akan kembali menciptakan pergolakan di Timur Tengah, seperti kembali melakukan aksi teror meledakkan kilang minyak Arab Saudi.  Amerika Serikat sangat memahami kejahatan Komunis Tiongkok juga telah memprediksi hal itu.

Pada 28 November 2019  lalu, begitu menandatangani “Resolusi HAM dan Demokrasi Warga Hong Kong”, Trump mendadak memperlihatkan diri di pangkalan militer di Afghanistan.

Munculnya Trump, menikmati makan malam Thanksgiving bersama-sama para serdadu Amerika, di satu sisi memberi semangat para serdadu Amerika. Di sisi lain siapa tahu ada niatan meminta pasukan Amerika agar meningkatkan kewaspadaan terhadap gerak gerik Iran dan aksi organisasi teroris lain?

Perhatikan kalimat pidato Trump ini: “Agar suatu hari nanti semua orang dapat pulang ke rumah masing-masing, kita akan terus berupaya keras tanpa henti, hari itu akan segera tiba.”

Apa yang Trump isyaratkan dengan “hari itu akan segera tiba?”

Isyaratkan akan duel dengan rezim teroris dunia? Isyaratkan akan menumpas rezim teroris dunia? Pada hari rezim itu dimusnahkan, dunia akan menyambut perdamaian sejati, pasukan Amerika Serikat pun boleh pulang ke rumah masing-masing?

Menggabungkan sosok jagoan yang diunggahnya, bisa dipastikan Trump dengan semangat pantang mundur akan menyelesaikan misinya. Trump dan pemerintahannya sangat memahami, di balik semua terorisme di dunia, terdapat bayang-bayang organisasi teroris terbesar dunia yakni Komunis Tiongkok.

Duel antara Amerika dengan Komunis Tiongkok tak terhindarkan. Medan perang yang paling penting adalah Hong Kong, karena berbagai tindakan Amerika yang akan menyusul berdasarkan resolusi tersebut, serta pemberlakukan tarif tambahan pada pertengahan Desember mendatang, akan menimbulkan gejolak internal Komunis Tiongkok. Setelah gejolak itu, apa yang akan terjadi? (SUD/WHS/asr)

FOTO : Pada 28 November 2019, warga Hong Kong melangsungkan “Rapat Umum Ungkapan Terima Kasih Atas Resolusi HAM” di Edinburgh Place di distrik Central. Foto adalah massa yang memadati Edinburgh Place. (Yu Gang/The Epoch Times)

Mata-Mata Komunis Tiongkok Membelot ke Australia, Memberikan Akun Operasi Pengaruh Beijing yang Belum Pernah Ada Sebelumnya

0

Oleh Leo Timm 

Seorang pria yang mengaku sebagai agen intelijen militer Tiongkok telah membelot ke Australia, membawa banyak pengetahuan orang dalam yang mendukung kekhawatiran lama mengenai upaya Beijing untuk menumbangkan dan merusak lawan-lawannya di luar negeri. 

Wang Liqiang mengungkapkan sebuah informasi kontroversial yang “belum pernah terjadi sebelumnya” mengenai bagaimana rezim komunis Tiongkok mendanai dan mengarahkan operasi untuk menyabot gerakan demokrasi di Hong Kong, ikut campur dalam pemilihan umum Taiwan, dan menyusup ke lingkaran politik Australia, menurut laporan pada tanggal 22 November oleh surat kabar Nine Network, grup media Australia.

Dalam wawancara sebelumnya dengan The Epoch Times, pria berusia 27 tahun itu berbicara mengenai kekecewaannya terhadap  agenda totaliter Partai Komunis Tiongkok, yang mengarah pada keputusannya untuk membelot pada bulan Mei.

Ia adalah mata-mata Tiongkok pertama yang go public dengan identitasnya.

“Saat saya bertambah tua dan pandangan dunia saya berubah, saya secara bertahap menyadari kerusakan yang dilakukan otoriterisme Partai Komunis Tiongkok  terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di seluruh dunia. Oposisi saya terhadap Partai Komunis Tiongkok dan komunisme menjadi semakin jelas, jadi saya berencana untuk meninggalkan organisasi ini,” kata Wang Liqiang. 

Pada bulan April, Wang Liqiang meninggalkan Hong Kong menuju Sydney, tempat istri dan anaknya tinggal, dan menyerahkan materi yang dimilikinya kepada Organisasi Keamanan dan Intelijen Australia , agen intelijen top di Australia. Kini ia tinggal di lokasi yang dirahasiakan karena ia bekerja sama dengan Organisasi Keamanan dan Intelijen Australia.

“Saya secara pribadi telah terlibat dan berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan spionase,” kata Wang Liqiang kepada Organisasi Keamanan dan Intelijen Australia di bawah sumpah pada bulan Oktober.

Dari Seniman menjadi Mata-Mata

Wang Liqiang berasal dari Fujian, provinsi di tenggara Tiongkok di seberang selat dari Taiwan yang demokratis, menurut pernyataan yang ia berikan kepada The Epoch Times. Sebagai putra seorang pejabat Partai Komunis Tiongkok setempat, Wang Liqiang berlatar belakang sosial kelas menengah dan mengambil jurusan lukisan minyak di Universitas Keuangan dan Ekonomi Anhui. Foto-foto di masa sekolah  Wang Liqiang menunjukkan ia mendapat penghargaan karena menang untuk karya seninya.

Pada akhir masa pendidikannya, seorang pejabat senior universitas menyarankan agar Wang Liqiang bekerja di China Innovation Investment Limited, sebuah perusahaan yang berbasis di Hong Kong yang berspesialisasi dalam teknologi, keuangan, dan media. Pada tahun 2014, Wang Liqiang mulai bekerja di perusahaan itu.

Meskipun China Innovation Investment Limited hadir sebagai perusahaan investasi yang berfokus pada aset pertahanan Tiongkok yang terdaftar dan tidak terdaftar, Wang Liqiang segera menemukan bahwa perusahaan itu adalah front utama bagi spionase Partai Komunis Tiongkok di luar negeri, yang melayani beberapa badan keamanan Tiongkok dan pejabat Partai Komunis Tiongkok.

Wang Liqiang mendapat rahmat baik dari CEO China Innovation Investment Limited bernama Xiang Xin dan memasuki “tahta  suci” perusahaan tersebut, lapor Nine Network, dengan memberikan pelajaran melukis kepada istri Xiang Xin. Hal itu memberinya akses luas ke informasi mengenai kasus-kasus operasi intelijen Tiongkok yang sedang berlangsung dan di masa lalu, sebagian besar terkait dengan pengambilalihan teknologi militer oleh Partai Komunis Tiongkok.

Selama pemilihan regional “nine-in-one” tahun 2018 di Taiwan, Wang Liqiang membantu mengoordinasikan kampanye disinformasi besar-besaran oleh Partai Komunis Tiongkok untuk melemahkan pemerintahan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Wang Liqiang melakukan perjalanan ke Taiwan dengan paspor Korea Selatan palsu, di mana ia mengambil bagian dalam mengoordinasikan operasi di darat.

Sementara itu, Wang Liqiang juga bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan mahasiswa Tiongkok Daratan di Hong Kong untuk mempertahankan pengaruh ideologis pada mereka dan merekrut mereka untuk berbagai tugas terkait intelijen.

Dalam komentarnya kepada Nine Network, Wang Liqiang menjelaskan secara terperinci  bagaimana ia dan para operator lainnya menyusup ke “semua universitas, termasuk perkumpulan mahasiswa serta kelompok dan badan mahasiswa lainnya.”

Ia mengatakan adalah mudah untuk merekrut para mahasiswa Tiongkok Daratan, yang sering “diberi sedikit bantuan dan keuntungan,” atas imbalan bantuan mereka.

Mempengaruhi Operasi

Saat seorang warga Tiongkok dibesarkan untuk percaya bahwa menjadi seorang patriot berarti melindungi aturan Partai Komunis Tiongkok, Wang Liqiang berpikir bahwa bekerja sebagai mata-mata bagi rezim Partai Komunis Tiongkok adalah prospek yang menarik. “Dibayar mahal, dan saya juga merasa melakukan sesuatu untuk negara,” katanya kepada Nine Network.


Peter Mattis, seorang mantan analis CIA dan seorang pakar spionase Tiongkok, mengatakan kepada Nine Network bahwa Wang Liqiang mungkin adalah “cut-out” atau “co-optee,” yaitu, orang yang bekerja sebagai pembantu petugas intelijen oleh dengan cara “membangun seperangkat sumber daya yang  digunakan untuk intelijen atau pengaruh politik.” 

Wang Liqiang menunjukkan bahwa banyak media besar di Hong Kong dan Taiwan telah dibeli atau disusupi oleh agen Patai Komunis Tiongkok untuk membawa narasi Partai Komunis Tiongkok. 

Misalnya, “seorang manajer senior di sebuah jaringan televisi utama Asia adalah kader militer saat ini dengan pangkat Komandan Divisi” di Tentara Pembebasan Rakyat, kata Wang Liqiang kepada surat kabar Nine Network.

Ia juga menguatkan laporan bahwa Partai Komunis Tiongkok telah membangun jaringan pengaruh yang tangguh di Australia dengan memilih politisi dan partai politik, serta bekerja di antara mahasiswa etnis Tionghoa untuk menghilangkan perbedaan pendapat dengan kebijakan rezim Tiongkok Daratan. 

“Bapak Wang Liqiang memberikan transaksi rekening bank untuk mendukung klaimnya” bahwa badan intelijen Partai Komunis Tiongkok ”telah berurusan dengan beberapa donor politik Australia yang bermakna, termasuk mantan staf di kantor Anggota Parlemen federal,” lapor Nine Network.

Chen Yonglin, seorang mantan diplomat Tiongkok yang membelot ke Australia pada tahun 2005, telah memperingatkan Australia sejak dini akan pengaruh subversif agen mata-mata Beijing, mengatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok memiliki 1.000 mata-mata yang aktif di Australia pada saat itu. Saat itu, salah satu prioritas utama Partai Komunis Tiongkok adalah mencemarkan nama baik dan meminggirkan praktisi Falun Gong, sebuah disiplin spiritual Tiongkok yang dilarang oleh Partai Komunis Tiongkok pada tahun 1999.

Pada tahun 2017, pembukaan rahasia operasi pengaruh Partai Komusni Tiongkok di Australia menjadi berita utama, termasuk tuduhan miliarder Tiongkok menggunakan sumbangan untuk mempengaruhi politisi Australia atas nama rezim Tiongkok.

Australia meloloskan undang-undang pada tahun 2018 untuk memerangi campur tangan asing, yang diperkenalkan setelah apa yang oleh Perdana Menteri Malcolm Turnbull gambarkan sebagai “laporan pengaruh Tiongkok yang mengganggu.” 

Dimodelkan pada undang-undang serupa di Amerika Serikat, undang-undang tersebut menciptakan pelanggaran spionase baru, mengatur daftar untuk agen asing, dan melarang sumbangan politik asing.

Awal tahun ini, Australia melucuti status residen permanen miliarder Tiongkok bernama Huang Xiaomo dan menyangkal kewarganegaraannya, menandai tindakan langsung pertama terhadap seorang agen yang diduga dipengaruhi oleh Partai Komunis Tiongkok sejak undang-undang tersebut diperkenalkan.

Huang Xiaomo, seorang pengembang real estat, dilaporkan telah menyumbangkan 2,7 juta dolar Australia (usd 1,94 juta) kepada partai-partai politik utama Australia selama lima tahun terakhir, dan memiliki hubungan dekat dengan Partai Komunis Tiongkok. Ia adalah presiden Dewan Australia untuk Promosi Reunifikasi Damai Tiongkok di Australis, sebuah kelompok di bawah payung Departmen Kerja Front Terpadu, sebuah agen Partai Komunis Tiongkok yang bertugas menyebarkan agenda Beijing di luar negeri.

Bendahara Australia Josh Frydenberg mengatakan implikasi akun Wang Liqiang adalah “sangat mengganggu” dan bahwa badan hukum pemerintah Australia sedang menangani masalah ini, lapor Reuters.

Rezim Tiongkok telah menolak akun Wang Liqiang, di mana polisi di Shanghai mengklaim Wang Liqiang bukanlah seorang mata-mata operatif, tetapi ia adalah seorang pengangguran berusia 26 tahun yang sebelumnya telah dipenjara karena kasus penipuan.

Kedutaan Besar Tiongkok menambahkan dalam sebuah pernyataan pada tanggal 24 November bahwa Wang Liqiang dicari sehubungan dengan kasus penipuan sejak  awal tahun ini.

“Pada tanggal 19 April 2019, polisi Shanghai membuka penyelidikan terhadap Wang Liqiang, yang diduga menipu 4,6 juta yuan dari seseorang yang bermarga Shu melalui proyek investasi palsu yang melibatkan impor mobil pada bulan Februari,” kata pernyataan itu.

Kedutaan Besar Tiongkok mengatakan Wang Liqiang pergi ke Hong Kong pada tanggal 10 April, membawa paspor Tiongkok palsu dan identitas penduduk tetap Hong Kong palsu, menambahkan bahwa polisi Shanghai sedang menyelidiki masalah tersebut.

Meninggalkan Partai Komunis Tiongkok

Menurut Nine Network, perjuangan internal Wang Liqiang mencapai titik balik saat ia menerima paspor Korea Selatan palsu, yang ia gunakan untuk memasuki Taiwan dan berpartisipasi dalam upaya berkelanjutan Partai Komunis Tiongkok untuk ikut campur dalam pemilihan presiden Taiwam tahum 2020. Pemungutan suara di Taiwan pada bulan Januari.

“Menatap wajahnya sendiri di paspor palsu membangkitkan sesuatu dalam diri Wang Liqiang,” lapor Nine Network. “Ia menyadari bahwa ia berisiko kehilangan dirinya sendiri. Seperti yang kemudian ditulisnya, ia berada di puncak untuk menjadi ‘seseorang tanpa identitas asli.'”

Pada 23 April, Wang Liqiang meninggalkan markasnya di Hong Kong untuk mengunjungi istri dan putranya yang masih bayi di Sydney, setelah mendapat persetujuan dari istri bosnya.

Bagi Wang Liqiang, dengan mengkhianati Partai Komunis Tiongkok, mengetahui bahwa ia mungkin tidak akan pernah dapat kembali ke Tiongkok atau melihat kerabatnya, bukanlah keputusan yang mudah dibuat.

“Setiap kali saya memikirkan hal ini, saya sangat sedih. Keluarga saya, tidak hanya orangtua saya, tetapi juga kakek nenek saya…Saya tidak berani banyak berkomunikasi, karena telepon kami disadap. Ini adalah hal yang paling menyedihkan…Hati saya sangat sedih, dan tidak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan kesedihan saya,” kata Wang Liqiang kepada Nine Network.

Namun, akhirnya ia percaya bahwa spionase adalah terlalu berisiko dan tidak bermoral baginya untuk dilanjutkan.

“Saya berpikir dan terus berpikir. Saya bertanya-tanya apakah keputusan ini akan menjadi hal yang baik atau buruk bagi hidup saya. Saya tidak dapat  memberitahu anda dengan jelas, tetapi saya sangat percaya bahwa jika saya tetap bersama Partai Komunis Tiongkok, tidak ada kebaikan yang saya peroleh,” kata Wang Liqiang kepada The Epoch Times. 

Keputusan Wang Liqiang juga dipengaruhi oleh pengalamannya saat ia tinggal di masyarakat demokratis. Selain Taiwan, ia sebelumnya pernah mengunjungi keluarganya di Australia pada bulan Desember 2018.

“Selama beberapa bulan saya habiskan di Australia, saya mengalami kebebasan demokrasi di Australia dan semakin merasa malu dengan apa yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok untuk merusak demokrasi di seluruh dunia,” katanya.

“Jadi saya memutuskan untuk sepenuhnya meninggalkan pekerjaan saya dan membuat dobrakan bersih diri dari Partai Komunis Tiongkok.” (Vivi/asr)

Empat Konspirasi Komunis Tiongkok di Balik Blockchain

0

Xie Tian

Baru-baru ini Partai Komunis Tiongkok  tiba-tiba saja mengusung Blockchain, Big Data, Artificial Intelligence (AI) dan berbagai program riset nasional lainnya, untuk mengadakan mata uang digital. Tujuan sesungguhnya, mungkin tidak sesederhana seperti yang dikatakan di kalangan masyarakat, yakni Komunis Tiongkok tiba-tiba saja sedang timbul gairah sesaat lantas berniat menstimulus perekonomiannya. 

Penggunaan terpenting mata uang digital adalah, pada enkripsi terhadap mata uang. Jika Komunis Tiongkok mengenkripsi mata uang, apakah pertimbangannya? Apakah berharap memusnahkan supremasi mata uang dolar AS? Menjelang kehancuran Komunis Tiongkok, akankah blockchain ini menjadi Serangan Pearl Harbour  dan Pertempuran Waterloo bagi Komunis Tiongkok? Bagaimana pun juga, di balik Blockchain, setidaknya terdapat empat konspirasi Komunis Tiongkok di bidang moneter. 

Blockchain hanya semacam metode pembukuan, penyimpanan, dan verifikasi yang terdesentralisasi dan tidak bisa diubah. Pembukuan yang tidak dapat dihapus, tidak dapat diubah dan terdesentralisasi seperti itu telah diaplikasikan sejak dulu di dalam sistem akuntansi dan keuangan pada dunia nyata dan di negara Barat. 

Dalam sistem akuntansi “Double Entry” yang ditemukan oleh orang Italia dan telah digunakan secara luas, apa pun itu transaksinya tidak bisa dihapus. Anda  menggunakan pena mencatat pembukuan, jika salah tulis pun tidak boleh dihapus, hanya bisa dicoret dengan satu garis melintang dan dicantumkan keterangan pembatalan, di samping dicatat nama pembuat keterangan. Lalu dicatatkan lagi pembukuan yang benar. 

Demikian halnya di komputer, jika salah pembukuan, entah salah catat satu atau dua akun, setiap kesalahan harus dimasukkan lagi kontra-pembukuannya, untuk menghilangkan pencatatan sebelumnya, kemudian baru dicatatkan kembali yang benar. 

Blockchain telah menyebarluaskan sistem pencatatan Double-Entry ciptaan orang Italia itu, dengan mencatat semua transaksi, transfer dan pembayaran pada mata uang digital seperti Bitcoin. Dihubungkan dengan rantai internet secara berlapis dengan satu persatu pembukuan blockchain dengan bentuk yang tidak bisa diubah dan tidak bisa dihapus. 

Semua orang membuat konvensi dan menyepakati bersama, siapa pun tidak akan bisa mengubah, karena diubah pun tidak berguna. Semua kepemilikan, transaksi dan pembayaran mata uang digital, tercatat oleh puluhan ribu bahkan jutaan pembukuan, yang tersimpan di segala tempat yang memiliki jutaan jaringan internet dan server. Apalagi, semuanya dienkripsi dengan skala tinggi. Karena orang tidak mungkin bisa menyusup ke semua komputer dan membajaknya, dan mengubahnya sekehendak hati, jadi sangat “aman”. 

Tentunya, jika mampu merusak sistem ini, yang berarti jika Anda  mampu mengendalikan “seluruh” komputer di dunia, seluruh komputer host dan terminal, maka Anda  akan dapat mengendalikan mata uang digital. Suatu pemerintahan otoriter yang sangat tersentralisasi, memanfaatkan internet dan teknologi Blockchain, mungkin akan dapat melakukan hal semacam ini. 

Di Tiongkok tidak ada internet dalam makna sebenarnya. Internet di Tiongkok hanyalah suatu jaringan lokal atau “intranet”, tidak jauh berbeda karakternya dengan intranet di dalam suatu perguruan tinggi atau sebuah perusahaan di Amerika Serikat. Hanya saja ruang lingkupnya jauh lebih luas. 

Komunis Tiongkok ada kemampuan, juga memanfaatkan perusahaan internet yang dikuasai, untuk mengendalikan dan mengawasi semua komputer host, terminal dan komputer yang ada di dalam negeri, bahkan dengan mudah dapat mengendalikan ponsel.

Di dalam kondisi seperti ini, jika Komunis Tiongkok menggunakan Blockchain mengedarkan mata uang digital, maka Komunis Tiongkok akan bisa memanfaatkan enkripsi dan level keamanannya, untuk sewaktu-waktu mengubah data sesuai kebutuhan. 

Jika ada suatu negara yang memiliki sistem komputer yang super canggih, yang lebih cepat dan kuat, misalnya menggunakan komputer quantum dan jaringan internet yang lebih canggih, juga mungkin akan melupakan mata uang digital yang dikembangkan dengan sistem 3G-4G dan enkripsi. Lalu dengan segala keunggulannya, ibarat pesawat tempur siluman Amerika menyerang suku primitif Australia yang hanya memiliki bumerang, untuk menyelesaikan masalah. Tentu, yang memiliki teknologi itu, saat ini hanya Amerika Serikat. 

Secara esensi, Blockchain mendukung mata uang digital, adalah semacam sistem “demokratisasi”, sangat bertolak belakang dengan sistem otoriter Komunis Tiongkok yang sangat tersentralisasi. Bitcoin mungkin merupakan temuan orang Jepang yang bernama Satoshi Nakamoto, tapi hanya sukses diluncurkan di negara bebas seperti Amerika Serikat. 

Walaupun pemerintah Amerika Serikat tidak menyukai dan tidak menyetujuinya, tapi juga tidak bisa menindaknya, karena tidak melanggar hukum. Dengan hukum yang ada sekarang, Bitcoin tidak melanggar hukum. Pemerintah Amerika Serikat menganggap Bitcoin sebagai semacam surat berharga, yang harganya berubah seiring pergerakan pasar, dan dapat disimpan, juga dapat digunakan untuk membayar. 

Selama tidak mengancam mata uang dolar Amerika Serikat, tidak akan ada orang yang peduli. Jika ada pengusaha mengatakan, hanya menerima Bitcoin dan tidak menerima mata uang dolar Amerika Serikat, mungkin juga tidak akan ada masalah. Akan tetapi jika ada bank mengatakan, hanya menerima Bitcoin dan tidak menerima dolar Amerika Serikat, maka pemerintah mungkin akan turun tangan. Karena pada uang dolar Amerika Serikat tertera dengan jelas: “This note is legal tender of all debts, public and private”. 

Komunis Tiongkok mendorong Blockchain, untuk kemudian mengedarkan mata uang digital, setidaknya mempunyai empat manfaat yakni mengendalikan warga sepenuhnya, menghapus bukti jejak inflasi, merampas keuntungan yang diperoleh pejabat korup dan menantang posisi mata uang dolar Amerika Serikat. 

Komunis Tiongkok boleh jadi telah mencetak mata uang sebanyak 180 trilyun RMB, tapi uang itu tidak sepenuhnya beredar. Jika benar sudah beredar maka harga daging babi di Tiongkok sudah bukan lagi RMB 50 Yuan per kg, melainkan adalah RMB 250 Yuan per kg. 

Pejabat Komunis Tiongkok yang korup, saat tertangkap berapa banyak uang tersimpan di rumahnya? 

Ada yang jutaan sampai puluhan juta RMB, bahkan ada yang mencapai milyaran RMB atau triliunan rupiah. Uang tunai RMB di rumah pejabat korup, jika rata-rata adalah RMB 50 juta, rasio 1/1000 dari populasinya, maka pejabat tinggi Komunis Tiongkok sebanyak 1,4 juta orang pejabat korup Komunis Tiongkok, memiliki kekayaan RMB 70 trilyun atau setara 140.118 triliun rupiah di rumahnya! 

Mereka tidak akan menyimpan uangnya di bank, hanya disimpan di ruang bawah tanah. Jika mata uang digital diterapkan, yang pertama akan menangis adalah pejabat-pejabat ini, Zhongnanhai dapat dengan mudahnya menghapus korupsi mereka, juga menghapus bukti kejahatan semena-mena mengedarkan mata uang.

Memakai mata uang digital, ditambah lagi metode pembayaran “Alipay”, Komunis Tiongkok dapat dengan mudah mengawasi kekayaan setiap warga Tiongkok, setiap sen uang yang ditransaksikan, selalu diawasi oleh Komunis Tiongkok. Coba jawab, apakah Komunis Tiongkok akan mendorong Blockchain dan mengedarkan mata uang RMB digital? 

Tentu saja, Komunis Tiongkok tidak akan mendukung Bitcoin atau Ripple, atau Ethereum, atau Tether dan 1.600 macam mata uang terenkripsi lainnya, karena Komunis Tiongkok tidak mampu mengendalikannya. 

Komunis Tiongkok mungkin akan mengedarkan Digital RMB (D-RMB), atau mengadakan semacam “general coin” (Gtcoin) baru yang menyerupai “komunitas manusia” dengan diedarkan di dalam negeri Tiongkok lebih dulu, lalu menyebarkannya ke seluruh dunia melalui program OBOR (One Belt One Road) atau lewat sistem Huawei. 

Ada yang mengatakan Komunis Tiongkok mungkin sangat berambisi memanfaatkan Blockchain dan mata uang digital, untuk menantang posisi internasional mata uang dolar Amerika Serikat. Kemungkinan ini memang ada, tapi sekarang tidak lagi. 

Jaringan internet 5G dari Huawei jika diterapkan di seluruh dunia seperti rencana Komunis Tiongkok, ditempatkan di seluruh dunia, jaringan 5G ini akan menjadi “intranet” bagi Komunis Tiongkok, maka Komunis Tiongkok sangat mungkin akan mewujudkan ambisi dengan jaringan internet yang mendunia ini, berkonspirasi mengedarkan D-RMB untuk menggantikan dolar Amerika Serikat. 

Tentu masyarakat sekarang tahu, Komunis Tiongkok terlambat, Trump telah mendahului, dengan memotong tangan Huawei yang merupakan tangan hitam Komunis Tiongkok itu. Hal yang membuat Komunis Tiongkok  semakin kewalahan adalah, Google telah mendahului, mewujudkan “Quantum Supremacy”. Di bawah quantum supremacy ini, mata uang digital Komunis Tiongkok dan teknologi enkripsinya, termasuk kemampuan “menggali tambang” seluruh komputer di dunia, di mata quantum supremacy hanya akan seperti sepiring   makanan kecil, seperti mainan, akan sangat mudah dipecahkan. 

Komunis Tiongkok mungkin akan segera mewujudkan digitalisasi mata uang di dalam negerinya. Tapi jika konflik antara Amerika dengan   Tiongkok semakin memanas, lalu terjadi perang finansial dan perang internet, maka Komunis Tiongkok ditakdirkan akan kalah telak. 

“Quantum Supremacy” milik militer Amerika akan dengan mudah menyusup ke dalam intranet Komunis Tiongkok, lalu merusak blokir internetnya, dan memecahkan sistem mata uang digital Komunis Tiongkok. 

Tiongkok telah di ambang meletusnya krisis moneter secara menyeluruh. Beberapa hari lalu di Yichuan Agricultural & Commercial Bank di Luoyang provinsi Henan telah terjadi “rush”. Seminggu kemudian di Coastal Bank kota Yingkou provinsi Liaoning juga mengalami “rush”. 

Saat ini bank sentral Komunis Tiongkok kembali merencanakan menjadikan Hebei, Zhejiang, Shenzhen-Guangdong sebagai pilot project uji coba manajemen dana tunai dalam jumlah besar, dengan menerapkan pengawasan ketat terhadap penggunaan dana tunai sebesar RMB 500.000 Yuan bagi perusahaan dan sebesar RMB 100.000 Yuan bagi perorangan. 

Jelas, Komunis Tiongkok telah mempersiapkan diri mengantisipasi gelombang “rush” dan bangkrutnya perbankan dalam skala besar. Krisis moneter Tiongkok akan meletus, mengakibatkan kekayaan milik rakyat dapat menguap dalam sekejap. 

Dinasti Merah Komunis Tiongkok  yang mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa menjelang kehancuran moneternya, dapatkah mempercepat sistem digitalisasi, dan berharap dapat selamat dari bencana? Apakah masih sempat? Apakah masih ada waktu?   (SUD/WHS/asr)

Dr. Frank Tian Xie, Ph.D, seorang profesor bidang bisnis dan profesor pemasaran John M. Olin Palmetto di University of South Carolina Aiken, di Aiken, South Carolina, Amerika Serikat. 

FOTO : Partai Komunis Tiongkok memiliki empat rencana besar untuk meluncurkan blockchain ketika rezim dalam bahaya dan gelembung ekonomi meledak. Foto tersebut menunjukkan beberapa mata uang digital selama kecelakaan mata uang digital London tahun lalu. (FOTO : Jack Taylor / Getty Images)