EtIndonesia. Bertahun-tahun silam, di Kota Watertown, Negara Bagian New York, ada seorang mahasiswi tingkat satu yang sangat tertarik pada cerita-cerita urban legend lokal—kisah-kisah yang seperti diselimuti kabut misteri, beredar dari mulut ke mulut. Dia begitu terobsesi dengan kisah-kisah seperti “Annie dari Gunung Tug”, atau peternakan sapi terbengkalai di Evans Mills. Namun dari semua cerita itu, ada satu yang paling menggugah rasa penasarannya: Taman Thompson, yang hanya berjarak empat mil dari kampusnya.
Di taman itu, beredar legenda tentang suatu “pusaran waktu”, yang konon tersembunyi di dalam hutan lebatnya. Beberapa orang yang masuk ke dalam kawasan tersebut dikabarkan kembali beberapa jam kemudian, namun dengan kondisi yang aneh—seolah mereka tidak pernah meninggalkan tempat itu sama sekali.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, mahasiswi itu mulai melakukan penelitian kecil-kecilan. Dia menggali informasi, mendengarkan cerita dari penduduk setempat, dan mencatat kisah-kisah ganjil. Salah satunya tentang seorang anak perempuan yang tiba-tiba menghilang saat sedang karyawisata bersama sekolah, dan ditemukan tiga hari kemudian di lokasi yang sama, bersikeras bahwa dia tidak pernah pergi. Ada pula kisah sepasang kekasih yang sedang berjalan di taman, ketika sang pria tiba-tiba menghilang di depan mata pacarnya—tanpa jejak.
Alih-alih merasa takut, semua cerita itu justru membuat mahasiswi semakin terdorong untuk membuktikannya sendiri. Dia pun berhasil membujuk teman sekamarnya untuk menemaninya menyelidiki kawasan misterius tersebut. Pada suatu malam, mereka berdua membawa perbekalan sederhana dan berjalan kaki menuju taman, dengan alasan agar mobil mereka tidak terlihat jika diparkir sembarangan di tepi jalan.
Jalur Terlarang di Hutan Sunyi
Saat mereka tiba di Taman Thompson, jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam—waktu taman hendak ditutup. Awalnya, semuanya tampak biasa. Namun tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah jalur kecil yang dipagari rantai besi, seolah mengatakan: “Di sinilah pintu masuk yang sebenarnya.” Teman sekamarnya mencoba mencegah, namun rasa ingin tahu dan keberanian khas anak muda membuat mahasiswi itu melompati rantai. Temannya, dengan berat hati, mengikuti dari belakang.
Mereka pun melangkah masuk ke jalur kecil yang mengarah ke dalam hutan. Kanopi pepohonan di atas mereka sangat rapat, membuat cahaya bulan pun tak bisa menembus ke bawah. Kegelapan yang menyelimuti terasa kental dan berat. Mereka pun menyalakan lampu senter dari ponsel masing-masing—dan saat itulah mereka menyadari bahwa pohon-pohon di sekitar mereka tampak aneh: melengkung, membengkak, bahkan beberapa tampak seperti memiliki wajah manusia yang terdistorsi dalam gelap.
Semakin jauh mereka melangkah, tanah di bawah kaki terasa makin tak wajar—dipenuhi cacing-cacing yang menggeliat. Tidak ada angin, tidak ada suara serangga, bahkan tidak ada bunyi daun jatuh sekalipun. Hening yang begitu mutlak membuat mereka merasa seolah terlempar ke dunia lain.
Waktu yang Hilang
Setelah hampir satu jam berputar-putar tanpa arah, mahasiswi tersebut merasa mereka tersesat. Mereka seperti lalat tanpa kepala, berjalan tanpa tujuan yang jelas. Dia pun memutuskan untuk mencoba menerobos hutan, mencari jalan keluar. Saat itu malam terasa semakin pekat. Tubuh mereka yang mungil (keduanya di bawah 175 cm) terasa makin kecil di tengah hutan yang menelan segala suara dan cahaya.
Akhirnya, setelah melewati semak-semak dan tanah berlumpur, mereka menemukan sebuah bangunan toilet umum dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di sana. Teman sekamarnya lalu memeriksa ponsel dan terkejut bukan main—waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari! Padahal mereka merasa baru dua jam berlalu sejak memasuki hutan.
Dengan wajah panik, mereka saling menatap dan berteriak: “Astaga, sudah jam tiga pagi?!”
Pengejaran oleh Cahaya Merah Biru
Tak ingin berlama-lama di tempat itu, mereka segera melanjutkan perjalanan. Saat berjalan menyusuri jalan setapak, tiba-tiba mereka melihat cahaya merah dan biru—lampu dari kendaraan patroli atau keamanan. Ketakutan akan tertangkap berada di area terlarang membuat mereka buru-buru bersembunyi di balik semak-semak. Mereka diam tak bergerak sampai mobil itu perlahan menjauh.
Begitu merasa aman, mereka segera berlari sekencang mungkin, melewati jalanan yang semakin familiar hingga akhirnya berhasil keluar dari taman dan kembali ke asrama.
Jalur yang Menghilang
Namun keanehan tidak berhenti di situ. Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka mencoba mencari kembali jalur kecil yang telah mereka lewati malam itu—baik secara langsung maupun melalui peta digital. Anehnya, jalur itu benar-benar tidak ada. Seolah-olah jalan kecil itu menghilang bersama malam itu sendiri.
Dan mengenai waktu yang hilang selama beberapa jam—tidak ada penjelasan logis yang bisa mereka temukan. Namun satu hal yang pasti: Taman Thompson bukanlah sekadar taman biasa. Mereka percaya, dan telah menyaksikan sendiri, bahwa pusaran waktu yang dikabarkan itu benar-benar nyata.
Petualangan mereka berubah menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan—sebuah kisah nyata tentang waktu yang retak, dan menolak menjadi bagian dari dunia nyata.(jhn/yn)