EtIndonesia. Setelah pemerintah Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa internasional, hubungan jangka panjang Harvard dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam bidang akademik dan pendanaan kembali mencuat ke permukaan, memicu kekhawatiran tentang keamanan nasional AS, infiltrasi akademik, serta pencurian teknologi.
“Kami ingin mendapatkan daftar mahasiswa asing itu, kami akan menyelidiki apakah mereka bermasalah. Saya mengasumsikan banyak dari mereka tidak bermasalah, tapi saya juga berasumsi banyak orang di Harvard bermasalah. Dan satu hal lagi, mereka sangat anti-Semit, semua orang tahu itu, dan situasi ini harus segera dihentikan,” ujar Presiden AS Donald Trump pada 25 Mei 2025.
Pemerintah Trump melarang Harvard menerima mahasiswa internasional bukan hanya karena dituding memicu kekerasan dan anti semitisme yang menciptakan lingkungan kampus yang tidak aman, tetapi juga karena universitas elit ini dianggap “terlalu pro-PKT”.
“Tiongkok (PKT) ingin belajar teknologi dan pengetahuan tercanggih dari universitas papan atas AS seperti Harvard. Tapi di sisi lain, mereka juga ingin menyusup dan memanfaatkan universitas ini untuk kepentingan propaganda, dengan berbagai cara seperti menyumbang dana agar lebih banyak mahasiswa dari Tiongkok bisa diterima di Harvard. Bahkan, mereka menggunakan Harvard sebagai batu loncatan ke universitas lain atau lembaga pemerintah AS. Jadi, motifnya bukan sekadar menuntut ilmu, tetapi juga untuk infiltrasi, propaganda, dan menjadikan universitas ini basis perang kognitif atau perang teknologi di AS,” kata peneliti dari Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, Shen Mingshi.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) baru-baru ini menuduh Harvard bekerja sama dengan PKT dalam jangka panjang dan melakukan berbagai pelanggaran.
Tuduhan mencakup kerjasama Harvard dengan pihak PKT dalam proyek yang didanai oleh agen intelijen Iran, serta kolaborasi dengan universitas di Tiongkok yang memiliki latar belakang militer, menggunakan dana dari Departemen Pertahanan AS untuk penelitian dirgantara dan optik.
“Melalui kasus Harvard, kita bisa melihat pola dasar infiltrasi PKT ke luar negeri—mengatasnamakan kerja sama pendidikan, pertukaran budaya, dan saling menguntungkan. Namun kenyataannya, ini adalah bentuk penggerogotan, pencurian, dan ekspansi pengaruh,” ujar Li Yuanhua, mantan dosen Universitas Normal Ibu Kota Beijing.
Menurut laporan, kerja sama Harvard dengan PKT juga membuahkan donasi dalam jumlah besar. Misalnya, taipan properti asal Hong Kong, Chen Qizong, melalui yayasan keluarganya, menyumbang USD 350 juta kepada Harvard pada tahun 2014. Chen merupakan anggota China-United States Exchange Foundation, organisasi yang berbasis di Hong Kong dan telah diklasifikasikan sebagai agen asing oleh AS.
“Hubungan Harvard dengan Tiongkok mencerminkan strategi infiltrasi global PKT. Melalui kerja sama pendidikan dan donasi atas nama individu yang sebenarnya bermuatan politik, PKT berusaha menarik atau menyusup ke universitas terkemuka AS. Tujuannya adalah mencuri hasil riset teknologi negara maju, menyebarkan pandangan politik mereka, dan menjadikan kampus-kampus ini basis propaganda luar negeri PKT,” kata Li Yuanhua.
Para ahli mengingatkan bahwa negara-negara Barat harus waspada terhadap bahaya infiltrasi PKT.
Li Yuanhua menyimpulkan: “Barat seharusnya mengambil pelajaran dari kasus infiltrasi PKT ke Harvard. Jangan hanya menilai dari sisi ekonomi atau kepentingan universitas semata, tapi harus memandangnya sebagai ancaman nyata komunisme terhadap kemanusiaan.”
Menurut laporan dari The Epoch Times yang mengutip data dari Administrasi Layanan Umum AS, pemerintahan Trump tengah bersiap mengakhiri semua kontrak federal tersisa dengan Harvard, yang totalnya diperkirakan mencapai 100 juta dolar AS. (Hui/asr)
Laporan oleh Tang Rui dan reporter khusus Luo Ya, New Tang Dynasty Television
EtIndonesia. Konflik Rusia-Ukraina kembali memasuki babak baru setelah serangkaian peristiwa dramatis di penghujung Mei 2025. Setelah peringatan keras dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap Vladimir Putin, Moskow secara tiba-tiba mengajukan proposal perundingan damai berikutnya dengan Ukraina yang rencananya digelar pada 2 Juni 2025 di Istanbul, Turki. Di saat yang sama, sekutu-sekutu utama Barat seperti Jerman, Inggris, dan Prancis mengambil langkah bersejarah dengan mencabut batasan jangkauan senjata yang boleh digunakan Ukraina, sehingga membuka peluang bagi Kyiv untuk menyerang langsung ke wilayah Rusia.
Langkah Rusia yang secara mendadak mengusulkan putaran perundingan damai di Istanbul langsung menarik perhatian dunia internasional. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan dokumen memorandum yang akan dibawa oleh delegasi yang dipimpin Vladimir Medinsky. Delegasi ini, menurut Lavrov, tidak hanya membawa proposal perdamaian, tetapi juga klarifikasi dan dokumen resmi lain yang dinilai penting untuk proses negosiasi.
Medinsky sendiri, lewat kanal Telegram, menyebut bahwa dia telah menghubungi Menteri Pertahanan Ukraina, Rustem Umerov, untuk menyampaikan rincian proposal Rusia, termasuk tanggal dan lokasi perundingan berikutnya. Saat ini, Moskow mengaku masih menanti respons resmi dari pihak Ukraina.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menambahkan bahwa sesuai konsensus yang telah tercapai sebelumnya, kedua belah pihak kini tengah menyiapkan visi dan solusi masing-masing terkait penghentian perang. Visi tersebut akan dipertukarkan dalam forum perundingan yang disiapkan di Istanbul.
Syarat Keras dari Kremlin
Sejumlah sumber diplomatik Rusia mengungkapkan bahwa syarat utama yang diajukan Presiden Putin untuk mengakhiri perang sangat tegas dan berat. Syarat itu di antaranya:
Jaminan tertulis dari negara-negara Barat bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi ke arah Timur.
Pencabutan sanksi ekonomi terhadap Rusia sebagai bagian dari kesepakatan damai.
Penolakan eksplisit bagi Ukraina, Georgia, Moldova, dan negara-negara eks-Uni Soviet lainnya untuk bergabung dengan NATO.
Netralitas Ukraina secara permanen dan perlindungan bagi warga Rusia yang berada di wilayah Ukraina.
Pengakuan atas wilayah Donbas dan Ukraina Timur sebagai bagian dari wilayah yang berada di bawah pengaruh Rusia.
Putin juga menegaskan bahwa jika syarat-syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, dia siap menempuh jalur militer yang lebih keras, bahkan mendorong garis depan perang semakin jauh ke wilayah Ukraina, untuk memaksa Kyiv dan Eropa merasakan “pahitnya perdamaian” versi Kremlin.
Kremlin juga meyakini, seberat apa pun sanksi ekonomi dari Barat, Rusia akan tetap mampu bertahan dan melanjutkan operasi militer dalam jangka panjang.
Trump Beri Peringatan, Barat Ubah Aturan Main
Pada 27 Mei 2025, Donald Trump melalui media sosial “Truth Social” melontarkan peringatan tajam bahwa Putin sedang “bermain api”. Trump menegaskan perlunya upaya serius untuk mencari solusi damai, namun menyoroti kerasnya posisi Rusia yang tetap mengutamakan kepentingan nasionalnya di atas segalanya.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, sehari setelahnya mengakui bahwa pemerintah Trump memang tengah melakukan berbagai upaya besar guna menemukan jalan damai atas konflik Rusia-Ukraina. Meski demikian, dia menegaskan bahwa Rusia tetap memprioritaskan kepentingan strategis dan keamanan nasional.
Di sisi lain, sumber CNN mengungkapkan bahwa Pemerintah AS telah menyiapkan sejumlah opsi untuk meningkatkan tekanan terhadap Moskow. Trump, dalam salah satu pernyataan publiknya, menyebut kemungkinan diberlakukannya sanksi baru terhadap Rusia serta pencabutan seluruh pembatasan senjata era Biden bagi Ukraina. Hal ini membuka jalan bagi Ukraina untuk memakai amunisi presisi buatan AS dalam menyerang sasaran penting di wilayah Rusia, termasuk pangkalan militer.
Barat Longgarkan Batasan Senjata: Ukraina Bebas Serang Wilayah Rusia
Pada forum Eropa tanggal 26 Mei, Kanselir Jerman, Friedrich Merz menegaskan bahwa Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat telah sepakat menghapus batas jangkauan senjata yang diperbolehkan untuk Ukraina. Artinya, Ukraina kini secara legal dapat menggunakan sistem senjata jarak jauh untuk menghantam target militer di jantung Rusia.
Langkah berani ini segera direspons oleh Jerman yang pada 28 Mei mengumumkan paket bantuan militer baru senilai 5,7 miliar dolar AS, termasuk bantuan untuk produksi rudal jelajah jarak jauh bagi Ukraina.
Serangan Drone Ukraina ke Jantung Rusia: Moskow Lumpuh Sementara
Tak lama setelah keputusan tersebut diumumkan, Kementerian Pertahanan Rusia melalui Telegram mengumumkan terjadinya serangan drone Ukraina paling masif sepanjang sejarah perang. Dalam kurun tiga jam sebelum tengah malam, sebanyak 112 drone Ukraina menyerang enam wilayah Rusia. Seluruh drone, menurut militer Rusia, berhasil dihancurkan atau diintersep. Walikota Moskow, Sergei Sobyanin, menyebutkan 33 drone berhasil ditembak jatuh di sekitar ibu kota.
Serangan beruntun seperti ini sangat jarang terjadi di Moskow. Penerbangan sipil di tiga bandara utama Moskow pun terpaksa ditunda atau dialihkan ke lokasi lain demi alasan keamanan. Hampir 300 drone Ukraina dikabarkan diluncurkan hanya dalam satu malam, khusus menargetkan wilayah Moskow dan sekitarnya, meski otoritas Rusia memastikan tidak ada kerugian besar yang terjadi.
Zelenskyy Bongkar Strategi Rusia: 50.000 Pasukan Dikerahkan ke Perbatasan Sumy
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyampaikan bahwa Rusia kini telah mengerahkan lebih dari 50.000 pasukan ke wilayah dekat perbatasan Sumy, timur laut Ukraina. Tidak hanya tentara biasa, namun juga pasukan elit, sebagai bagian dari upaya membentuk “zona penyangga” untuk melindungi Rusia dari serangan balik Ukraina.
Menurut Zelenskyy, Rusia kini mencoba memaksa pasukan Ukraina mundur dari perbatasan Kursk dan sedang mempersiapkan operasi besar-besaran ke wilayah Sumy. Namun, dia menegaskan bahwa pasukan Ukraina akan tetap bertahan dan tidak akan mundur dari Kursk hingga tercapai gencatan senjata yang permanen.
Kesimpulan: Babak Baru Perang, Perdamaian atau Eskalasi Lebih Lanjut?
Gelombang peristiwa dalam sepekan terakhir memperlihatkan bahwa perang Rusia-Ukraina tengah memasuki fase kritis. Dengan Rusia yang kini menawarkan perundingan di Istanbul sambil mengajukan syarat keras, dan Barat yang semakin berani melepas batasan dukungan militer bagi Ukraina, situasi bisa berubah drastis—menuju perdamaian atau justru eskalasi konflik lebih besar.
Apakah perundingan damai di Istanbul benar-benar bisa menjadi titik balik? Ataukah ini hanya awal dari babak baru konflik yang makin tidak terkendali? Dunia menahan napas menanti, sementara langit Eropa Timur masih dipenuhi suara drone dan dentuman artileri.
Dunia ini saat ini sedang kacau. Dalam waktu bersamaan, perang terjadi di berbagai belahan dunia: perang Rusia-Ukraina, konflik Timur Tengah, sebelumnya juga perang India-Pakistan, tampaknya tidak saling berkaitan. Namun jika dilihat lebih dalam, akar masalahnya berkaitan dengan dua hal: sisa-sisa komunisme dan tangan hitam ekstremis.
Trump: Kita Harus Melawan Komunis dan Fasis di Mana Pun!
Beberapa hari lalu adalah Hari Peringatan Prajurit Gugur di AS. Penulis sempat melewatkan satu unggahan penting dari Trump, yang sangat berapi-api. Ia pertama-tama menuding “musuh dalam negeri” yang berupaya menghancurkan Amerika, lalu pada bagian akhir menyampaikan inti dari pesannya: “Kita harus melawan komunis, Marxis, dan babi fasis di mana pun, agar Amerika kembali hebat!”
Walau tampak sebagai penghormatan kepada prajurit, ini sebenarnya pernyataan politik Trump yang sangat terang-terangan.
Menurut penulis, sebutan “komunis” dan “Marxis” ini tidak hanya ditujukan ke luar negeri seperti Partai Komunis Tiongkok (PKT), tetapi juga ke dalam negeri Amerika. Banyak orang tidak menyadari bahwa selain negara-negara seperti PKT yang masih mengusung komunisme, kaum kiri ekstrem di AS—seperti Bernie Sanders dan AOC dari Partai Demokrat—secara terbuka menyebut diri mereka sebagai penganut sosialisme.
Israel Beri Ultimatum dan Gempur Pasukan Perdamaian PKT
Saat Trump mengecam kaum komunis, Israel justru benar-benar menembaki pasukan “perdamaian” PKT. Menurut media Israel, pada 21 Mei, Israel mengeluarkan ultimatum kepada pasukan perdamaian PKT di Tepi Barat dan Lebanon agar segera mundur. Bahkan, Israel juga sempat melepaskan tembakan peringatan ke arah diplomat PKT.
Biasanya negara lain akan berhenti pada ancaman saja, tapi Israel terkenal serius jika soal militer. Maka, pada 25 Mei, karena tidak mendapat respons dari pihak PKT, Israel langsung melancarkan serangan artileri ke posisi pasukan perdamaian PKT di Lebanon. Akibatnya, 4 tentara “serigala perang” tewas di tempat dan fasilitas misi perdamaian rusak berat!
Masalahnya bertambah pelik karena pasukan perdamaian PKT bernaung di bawah PBB. Israel dikonfirmasi PBB sebagai pihak yang melempar bom. Namun Israel berdalih ini adalah salah sasaran karena kesalahan peta, dan menolak meminta maaf. Intinya, selama peta masih salah, bisa saja salah sasaran lagi.
Yang katanya pemberani dan sanggup angkat bendera merah PKT seperti di film-film Wu Jing, ternyata di dunia nyata justru lembek. Wu Jing sendiri terlalu sibuk untuk datang ke Timur Tengah dan “menakuti” tentara Israel dengan paspor PKT-nya. Akhirnya, pada 27 Mei, media mengungkap bahwa karena tekanan internasional, PKT mulai menarik pasukan dari Lebanon. Bahkan, kabarnya PKT juga mulai mengevakuasi warganya dari Israel. Netizen di PKT bertanya-tanya dengan sedih:
“Benarkah Israel menembak pasukan perdamaian kita? Ada korban jiwa? Kenapa kita tidak gugat mereka?”
Krisis di Rusia: Chechnya Makin Panas
Tahun ini sepertinya sial bagi Putin. Tak hanya perang Ukraina yang mandek, situasi dalam negeri Rusia pun memanas. Baru-baru ini, Putin mengirim tiga brigade motor ke Chechnya, menguatkan rumor bahwa Chechnya akan memberontak!
Awal Mei lalu, Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov menyatakan ingin mundur. Tadinya diduga alasan pribadi, namun setelah itu, Kadyrov dua kali menolak menghadiri rapat penting di Moskow. Pada 26 Mei, bocoran dari dalam menyebutkan Putin mengirim tambahan pasukan ke Chechnya.
Kadyrov dikabarkan sudah memindahkan keluarganya dan hartanya ke Qatar. Ini membuat Putin murka. Chechnya memang punya sejarah pemberontakan: dua kali berusaha merdeka namun ditekan Putin. Meski Kadyrov tampaknya setia, dia seperti raja daerah dengan pasukan sendiri. Jika benar terjadi pemberontakan, daerah lain yang juga anti-Putin bisa ikut bergerak.
Jika itu terjadi, Putin bisa terjebak di dua front: perang luar dan krisis dalam negeri. Kekuasaan Putin bisa terguncang hebat!
NATO Buka Batasan Senjata Jarak Jauh untuk Ukraina
Di saat Putin sibuk dengan Chechnya, medan perang Ukraina makin panas. Pada 26 Mei malam, kabar besar muncul: NATO mencabut semua batasan senjata jarak jauh untuk Ukraina! Kini Ukraina bisa menyerang lebih jauh ke wilayah Rusia.
Salah satu senjata yang disebut sangat mengerikan bagi Rusia adalah rudal Taurus dari Jerman dengan jangkauan 500 km. Ini memungkinkan Ukraina menyerang 38 pangkalan udara Rusia, termasuk pangkalan angkatan laut di Novorossiysk, bahkan seluruh wilayah Moskow!
Rudal ini sangat presisi dan kuat, efektif menghancurkan target militer. Jika digunakan, ancaman bagi militer Rusia akan sangat besar.
Komandan Elit Rusia Tewas, Moral Jatuh
Di sisi lain, Rusia juga mengalami pukulan berat: Komandan Divisi Lintas Udara ke-76, Shikhabidov, tewas terbunuh. Ini adalah salah satu unit elite Rusia. Akibatnya, perayaan Hari Kemenangan di Krimea pun dibatalkan. Ini jelas merusak moral pasukan Rusia.
Trump Akan Keluarkan Sanksi Baru untuk Rusia
Menurut Wall Street Journal, Trump kemungkinan akan keluarkan sanksi baru untuk Rusia pekan ini, seperti sanksi keuangan dan tarif sekunder, jika Rusia tidak hentikan agresinya. Trump mengatakan: “Putin tidak menyadari, kalau bukan karena saya, Rusia mungkin sudah mengalami hal-hal yang sangat buruk. Dia sedang bermain api!”
Ledakan Hebat di Pabrik Pestisida Shandong, Seperti Zona Perang
Di tengah kekacauan dunia, PKT juga dilanda bencana besar. Pada 27 Mei pukul 11:57 pagi, terjadi ledakan hebat di sebuah pabrik kimia di Gaomi, Shandong. Pabrik ini bukan sembarangan, melainkan produsen terbesar pestisida chlorpyrifos (dikenal di Taiwan sebagai Taurusong) di dunia, dengan kapasitas produksi 11.000 ton per tahun!
Ledakan menewaskan 5 orang, melukai 19 orang dan 6 orang masih hilang. Asap ledakan membumbung tinggi. Warga sekitar mengatakan rumah mereka bergetar hebat, bahkan bingkai kaca terlempar, peralatan rumah tangga terpental keluar rumah! Video memperlihatkan balkon rusak akibat gelombang kejut.
Siapa di Balik Pabrik Ini?
Pabrik ini dimiliki oleh Youdao Chemical, di mana saham mayoritas (97.375%) dimiliki oleh Haomai Chemical, yang sepenuhnya dikendalikan oleh Haomai Group. Pendiri dan ketua Haomai Group adalah Zhang Gongyun, juga anggota tetap legislatif Gaomi, dan tokoh terkemuka di kota tersebut.
Zhang memulai bisnisnya saat privatisasi BUMN di PKT tahun 1994. Dengan hanya RMB. 40.000 yuan dan dukungan penuh dari pemerintah daerah, ia membeli aset pabrik bernilai RMB. 1 juta , yang saat itu berutang RMB.960.000 . Dengan “dukungan partai”, inilah cara banyak konglomerat PKT bangkit—mengambil alih aset negara dengan harga murah.
Kini, 30 tahun kemudian, Zhang Gongyun memiliki kekayaan sebesar RMB.11,869 miliar , menjadi orang terkaya nomor satu di Gaomi dan peringkat ke-7 di Shandong. Perusahaannya mendominasi pasar dunia dalam empat bidang: cetakan ban, katup udara, peralatan eksplorasi dasar laut, dan komponen gearbox turbin angin . Memiliki pangsa pasar nomor satu di dunia dalam empat segmen pasar, perusahaan ini disebut sebagai Raja Juara Tersembunyi Tiongkok.” (Hui/asr)
EtIndonesia. Berdasarkan surat-surat yang diperoleh oleh The Epoch Times edisi bahasa Inggris, Badan Layanan Umum Federal AS (GSA) pada Senin (27 Mei) telah memberitahukan kepada semua lembaga federal bahwa mereka bersiap untuk mengakhiri sekitar 30 kontrak yang telah ditandatangani dengan Universitas Harvard, dengan total nilai sekitar 100 juta dolar AS. Beberapa kontrak ini dianggap sebagai proyek tidak penting dan bisa langsung dibatalkan, sedangkan yang tergolong proyek penting akan dialihkan ke kontraktor lain.
Dalam surat kepada lembaga-lembaga federal, GSA menekankan bahwa menerima dana federal adalah privilege (hak istimewa), bukan hak. Kepala Badan Pengadaan Federal GSA, Josh Gruenbaum, menyatakan bahwa pemerintah federal sebagai pengelola dana pembayar pajak memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa dana pengadaan hanya mengalir ke mitra yang benar-benar mendukung prinsip anti-diskriminasi dan kepentingan nasional.
Akhir-akhir ini, Harvard menghadapi banyak masalah, mulai dari isu data mahasiswa asing, insiden anti-Yahudi di kampus, hingga kebijakan DEI (diversity, equity, and inclusion / keberagaman, kesetaraan, dan inklusi), yang membuat kampus ini bentrok total dengan pemerintahan Trump.
Menurut Fox News, kontrak-kontrak yang akan dibatalkan mencakup proyek lisensi perangkat lunak senilai 527.000 dolar AS, serta kerja sama penelitian di bidang kesehatan nutrisi dan program pascasarjana.
Dalam pemberitahuannya, Gruenbaum melontarkan kritik keras terhadap Harvard. Ia menuduh universitas tersebut terus melakukan “diskriminasi rasial” dalam proses penerimaan mahasiswa, perekrutan pegawai, penggajian, promosi jabatan, dan pengelolaan publikasi internal. Ia menyebutkan bahwa meskipun Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa Harvard melakukan diskriminasi dalam proses penerimaan mahasiswa, universitas ini masih belum menunjukkan tanda-tanda melakukan perbaikan.
Tak hanya itu, surat pemberitahuan tersebut juga menyoroti seringnya terjadi insiden anti-Yahudi di kampus Harvard, serta ketidakmampuan pihak kampus untuk menghentikan peristiwa tersebut dan melindungi mahasiswa Yahudi secara memadai, yang berdampak pada terganggunya proses belajar mereka.
Menteri Keamanan Dalam Negeri, Kristi Noem, pekan lalu menyatakan bahwa Harvard tidak kooperatif dalam menyediakan data pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa asing. Pemerintah telah meminta universitas tersebut untuk menyerahkan enam jenis informasi dalam waktu 72 jam—termasuk catatan disiplin dan rekaman protes selama lima tahun terakhir—namun hingga kini belum ada tanggapan.
Gedung Putih juga meminta Harvard untuk menghentikan penerimaan mahasiswa internasional yang dianggap “memusuhi nilai-nilai Amerika.” Pemerintah juga mengkritik Harvard dan universitas sejenis yang “terlalu condong ke arah liberal,” dan menekankan pentingnya menjamin keberagaman pandangan dan keseimbangan dalam kebebasan berpendapat.
Presiden Harvard, Alan Garber, bulan lalu menyatakan, “Universitas ini tidak akan melepaskan independensinya, dan juga tidak akan menyerahkan hak-hak yang dijamin oleh Konstitusi.”
Harvard telah mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Trump pada April untuk menantang keputusan pembekuan dana federal senilai 2,2 miliar dolar AS. Setelah itu, pemerintah kembali membekukan dana tambahan sebesar 450 juta dolar AS.
Pekan lalu, pemerintahan Trump mencabut kelayakan Harvard untuk menerima mahasiswa internasional, namun keputusan ini untuk sementara dibekukan oleh hakim federal, dan kasusnya masih dalam proses hukum. Harvard menuduh langkah pemerintah ini sebagai aksi balasan terhadap penolakan universitas tersebut atas tekanan politik.
Pada Senin pekan ini, Trump kembali memperingatkan bahwa ia mempertimbangkan untuk mencabut subsidi federal senilai 3 miliar dolar AS kepada Harvard, dan mengalihkan dana tersebut ke sekolah-sekolah vokasi di seluruh negeri.
Sebelumnya, Trump juga pernah menyatakan bahwa ia mempertimbangkan untuk mencabut status bebas pajak Universitas Harvard. (Hui)
Ketika ekonomi Tiongkok terhuyung-huyung, gelombang protes buruh meledak di berbagai penjuru negeri. Puluhan ribu pekerja menuntut gaji yang belum terbayar atau tertunda selama berbulan-bulan. Beberapa pekerja yang diwawancarai oleh The Epoch Times mengaku pabrik tempat mereka bekerja ditutup mendadak, sementara yang lain menyebut tak digaji berbulan-bulan.
Sepanjang April hingga awal Mei, puluhan unjuk rasa mewarnai sejumlah provinsi, menunjukkan kemarahan pekerja yang belum dibayar atau digaji tak sesuai. Sebagian besar dari mereka menuntut pembayaran upah dan tunjangan yang menjadi haknya. Ada pula yang menuding pengusaha sengaja menutup pabrik dan menghilang, atau menahan gaji dan tunjangan selama berbulan-bulan.
Blog Yesterday, sebuah pusat informasi tentang protes di Tiongkok, mencatat lebih dari 60 video protes dan mogok kerja terkait upah antara 1 April hingga 21 Mei. Aksi-aksi ini tersebar di 21 provinsi dan kota, termasuk di lokasi proyek konstruksi Tiongkok di Indonesia.
Para pekerja yang terlibat dalam perselisihan ini berasal dari berbagai sektor, antara lain otomotif, konstruksi, properti, pertambangan, elektronik, farmasi, medis, tekstil, hiburan, hingga sektor pemerintahan.
Dalam gambar kolase ini, pekerja dari berbagai sektor di Tiongkok menggelar protes di berbagai wilayah, termasuk Mongolia Dalam, Hong Kong, dan provinsi Sichuan, Guangdong, Zhejiang, Henan, Jiangsu, Shandong, Chongqing, dan Shanxi pada bulan April dan awal Mei, menuntut pembayaran gaji dan tunjangan yang belum dibayarkan. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
Sektor Otomotif Tersengat
Neta Auto, produsen kendaraan listrik yang sempat menjadi bintang di industri otomotif Tiongkok, dikabarkan hanya membayar separuh gaji karyawan sejak September 2024. Seorang pekerja yang enggan disebut namanya demi menghindari pembalasan dari pihak berwenang, mengungkapkan bahwa gajinya dipotong sepihak.
“Saya hanya menerima separuh gaji untuk September dan Oktober [2024], dan mulai November, saya menerima separuh dari gaji yang sudah diturunkan,” kata pekerja tersebut. “Saya digaji 2.690 yuan [sekitar $373] per bulan, itu gaji minimum di Shanghai. Sekitar 2.000 yuan jelas tidak cukup, dan sulit mencari pekerjaan sekarang.”
Pekerja dari berbagai sektor di Tiongkok menggelar puluhan aksi protes pada April dan awal Mei, menuntut gaji dan tunjangan yang belum dibayarkan. Puluhan ribu pekerja mengaku telah berbulan-bulan tidak menerima gaji penuh. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
Dia menambahkan, “Di industri otomotif, setidaknya di Shanghai, semua pabrik melakukan PHK—tidak ada yang merekrut.” Karyawan, katanya, tidak menyetujui pemotongan gaji atau penundaan pembayaran, dan manajemen terus menekan mereka untuk mengundurkan diri.
Sebuah surat terbuka dari 6.000 karyawan Neta Auto, yang beredar di media sosial Cina WeChat pada 30 April, menyebutkan bahwa perusahaan berutang kepada setiap pekerja rata-rata lebih dari 100.000 yuan (sekitar $13.850). Surat itu menuding Neta Auto berbohong kepada otoritas lokal dengan mengaku membayar gaji penuh demi mengklaim dukungan keuangan. Manajemen juga dituduh mendorong karyawan membeli saham perusahaan namun kemudian menggelapkan dana tersebut.
Para pekerja menuntut pembayaran penuh gaji plus kompensasi, serta penyelidikan terhadap perusahaan oleh pihak berwenang di Zhejiang.
Neta adalah merek mobil listrik dari Hozon Auto, perusahaan mobil yang berbasis di Shanghai. Pada 2022, Neta menjadi merek terlaris di antara “kekuatan baru” di industri otomotif Tiongkok, dengan lebih dari 152.000 mobil terjual. Namun, Anhui Business Daily melaporkan bahwa strategi harga rendah Neta membuat perusahaan merugi 18,3 miliar yuan antara 2021 dan 2023. Penjualan Neta anjlok pada 2024, dan pada Januari 2025, kurang dari 200 unit mobil terjual.
Dealer-dealer dari seluruh Tiongkok berkumpul untuk hari ketujuh berturut-turut di pabrik Neta Auto, menuntut perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab korporasinya di Tongxiang, Provinsi Zhejiang, pada 14 April. Sejak kuartal ketiga 2024, basis produksi utama Neta Auto dilaporkan telah ditutup, meninggalkan dealer tanpa kendaraan untuk dikirimkan selama tujuh bulan dan menghadapi kekurangan suku cadang untuk layanan purna jual. Rumor menyebutkan CEO Zhang Yong telah melarikan diri ke Inggris, sementara netizen mengklaim karyawan hanya menerima setengah gaji mereka selama enam bulan. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
Pada 15 April, Yesterday mengunggah video di X yang menunjukkan dealer Neta dari seluruh Tiongkok berkumpul di pabriknya di Zhejiang selama setidaknya seminggu, mendesak pembuat mobil itu memenuhi kewajibannya. Media Tiongkok juga melaporkan bahwa dealer menuntut kompensasi karena tidak menerima mobil yang sudah dipesan dan dibayar, serta tidak bisa mendapatkan suku cadang untuk layanan purna jual.
Pertengahan Mei, agen periklanan Shanghai Yuxing mengajukan permohonan peninjauan kepailitan terhadap Hozon Auto. The Epoch Times tidak dapat menghubungi Hozon untuk dimintai komentar.
Pabrik Mainan Tutup Mendadak
Sekitar 400 pekerja memprotes Weilixing Toys Ltd. setelah perusahaan mendadak mengumumkan pada 6 Mei akan menghentikan produksi tanpa kompensasi. Produsen mainan yang berbasis di Shenzhen, Provinsi Guangdong, ini mengekspor mainan ke Jepang, Amerika Serikat, dan negara lain.
Sebuah pemberitahuan di video yang diunggah Yesterday menyebut Weilixing Toys tidak mampu lagi mempertahankan produksi karena penurunan perdagangan internasional dan kliennya menghentikan kemitraan. Pemberitahuan itu menyatakan pemerintah setempat akan turun tangan menyelesaikan sengketa upah, utang, dan masalah pengangguran, serta perusahaan akan “patuh pada instruksi pemerintah dan peraturan kepailitan.”
Sekitar 400 pekerja melakukan protes selama dua hari berturut-turut, menuntut gaji yang belum dibayarkan dan kompensasi, di Weilixing Toys Ltd. di Shenzhen, Provinsi Guangdong, Tiongkok, pada 7 Mei 2025. Perusahaan tersebut menyatakan bangkrut pada 6 Mei, namun dilaporkan belum membayar gaji atau memberikan kompensasi kepada karyawan. Didirikan pada 1995, produsen mainan yang didanai Hong Kong ini terutama mengekspor produknya ke Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
Seorang pekerja mengatakan kepada The Epoch Times bahwa pemilik perusahaan terlilit utang 23 juta yuan. Ia menambahkan, pabrik di Shenzhen akan ditutup untuk memindahkan produksi ke fasilitas di Heyuan, kota lapis keempat di provinsi yang sama, sekitar 110 mil dari Shenzhen.
“Gaji pokok dibayar, tapi bonus tidak,” kata pekerja tersebut. “Beberapa pekerja telah bekerja di pabrik selama lebih dari 10 atau 20 tahun—tidak ada kompensasi,” katanya, menambahkan bahwa perusahaan tidak akan membawa karyawan ke pabrik baru.
Selain sekitar 200 pekerja pabrik, subkontraktor dan pemasok yang belum dibayar juga terkena dampaknya. Para demonstran memblokir pemindahan peralatan dari pabrik. Yesterday juga mempublikasikan video yang menunjukkan pekerja berkumpul pada 11 dan 13 Mei di pabrik pemilik yang sama di Heyuan, menuntut pembayaran.
The Epoch Times tidak dapat menghubungi Weilixing Toys untuk dimintai komentar. Sebelumnya, pada April, pekerja pabrik mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ekspor sangat terpengaruh oleh perang tarif rezim Tiongkok dengan Amerika Serikat. Seorang karyawan pemerintah setempat di Shenzhen juga menyebut banyak pabrik di wilayahnya pindah ke provinsi lain di mana biaya tenaga kerja lebih murah.
Sektor Barang Elektronik
Di Guangdong, ratusan pekerja Yuangao, produsen peralatan elektronik milik perusahaan Taiwan, mendapati diri mereka terkunci di luar pabrik pada 5 Mei. Yuangao telah meminta pekerja untuk mengambil cuti dua bulan pada April, yang memicu protes selama sebulan karena pekerja merasa dipaksa pergi. Setahun sebelum demonstrasi, Yuangao telah memindahkan sebagian produksinya ke pabrik lain, mengurangi waktu lembur pekerja.
Seorang pekerja yang baru saja meninggalkan perusahaan mengatakan kepada The Epoch Times bahwa karyawan telah dibayar gaji pokok, dan perselisihan adalah tentang kekurangan pembayaran asuransi dan dana jaminan perumahan. Ia mengatakan pemilik Yuangao telah memulai produksi di Vietnam dan ingin menutup pabrik-pabrik di Tiongkok.
Setelah disuruh cuti, “pekerja masih mencatat kehadiran setiap hari, menuntut bonus dan tunjangan,” katanya. “Pemilik kemudian membongkar mesin pencatat waktu di kelima pabrik dan menutup kantin, meningkatkan konflik.” Menurut pekerja tersebut, lima pabrik perusahaan itu awalnya mempekerjakan hingga 6.000 orang, namun kini hanya sekitar 2.000 karyawan, semuanya disuruh cuti. Banyak pekerja sudah paruh baya atau mendekati pensiun, dengan sedikit prospek mencari pekerjaan lain.
Ratusan pekerja melakukan protes terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di Yuangao, sebuah perusahaan manufaktur peralatan elektronik milik Taiwan, di Huizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok, pada 7 Mei 2025. Sebuah spanduk yang dipegang oleh para demonstran bertuliskan, “Pekerja berjuang untuk mengajukan keluhan, sementara bos yang tak berbelas kasih menghindari tanggung jawab—bagaimana mereka bisa hidup dengan hati nurani mereka?” Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
The Epoch Times tidak dapat menghubungi perusahaan-perusahaan tersebut untuk dimintai komentar.
Seorang karyawan Sengled Optoelectronics Co., Ltd., produsen lampu di Zhejiang, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa lebih dari 1.000 pekerja memprotes pihak berwenang setempat karena pabrik tersebut tidak membayar upah selama berbulan-bulan dan berutang sejumlah besar uang kepada mereka. “Pabrik seharusnya sudah ditutup sejak lama,” katanya.
Menurut Yesterday, produsen yang terlibat dalam protes dan mogok kerja terkait upah dalam tujuh minggu terakhir termasuk pembuat gigi palsu di Chengdu, Provinsi Sichuan; pabrik pakaian dan pembuat sepatu di Guangdong; pembuat sepatu di Chongqing; Leader Tech Electronics di Sichuan dan Hubei; produsen kertas di Shandong dan Guangdong; pabrik tepung di Henan; Ruiying Pharmaceutical di Shandong; dan Changqing Biology Science and Technology di Shanxi.
Proyek Konstruksi di Indonesia Terpukul
Seorang pekerja agen Tiongkok yang sementara tinggal di zona ekonomi Kalimantan Utara, Indonesia, mengatakan ia masih menunggu gaji untuk Januari dan April. Ia bekerja pada proyek pembangunan pabrik aluminium di bawah perusahaan milik negara China Nonferrous Metals Industry’s 12th Metallurgical Construction Co., Ltd.
“Tidak banyak pekerjaan sekarang, jadi perusahaan ingin memberhentikan orang,” katanya. Pekerja konstruksi itu menambahkan, agen mengada-ada tentang pekerjaan buruh dan mengatakan mereka tidak lagi diinginkan. “Enam atau tujuh orang telah pergi, dan biaya penerbangan serta pemrosesan visa dipotong dari gaji mereka,” katanya. “Misalnya, jika Anda diberhentikan setelah satu bulan, mereka akan memotong 11 bulan biaya visa.”
Awal bulan ini, ketika ia dan rekan-rekannya menghalangi seorang manajer untuk menuntut gaji, manajer mengancam akan menabrak mereka. Pada 7 Mei, Yesterday melaporkan di X bahwa pekerja konstruksi Tiongkok di zona ekonomi Kalimantan Utara melakukan mogok kerja pada 6 Mei terkait upah yang belum dibayar oleh China Nonferrous Metals Industry’s 12th Metallurgical Construction Co., Ltd.
Video menunjukkan pekerja Tiongkok dan Indonesia dari China’s 19th Metallurgical Group Corp., Ltd. melakukan aksi mogok kerja untuk memprotes gaji yang belum dibayarkan di Indonesia pada tanggal 16 dan 18 April 2025. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.comVideo menunjukkan pekerja Tiongkok dan Indonesia dari China’s 19th Metallurgical Group Corp., Ltd. melakukan aksi mogok kerja untuk memprotes gaji yang belum dibayarkan di Indonesia pada tanggal 16 dan 18 April 2025. Screenshot via The Epoch Times, Courtesy of yesterdayprotests.com
Pada pernyataan 14 Januari, perusahaan tersebut menyoroti proyeknya di Kalimantan Utara, senilai 410 juta yuan, sebagai contoh sukses dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) rezim Tiongkok. The Epoch Times tidak dapat menghubungi perusahaan tersebut untuk dimintai komentar.
Menurut Yesterday, pekerja di enam lokasi konstruksi lain milik berbagai perusahaan juga telah melakukan aksi menuntut gaji, termasuk di Inner Mongolia, Sichuan, Guangdong, Hunan, dan Hong Kong.
Seorang pekerja di Laizhou, Provinsi Shandong, yang merupakan bagian dari kru yang mengerjakan proyek fotovoltaik yang dijalankan oleh China Construction Eighth Engineering Division Corp., Ltd., mengatakan bahwa pekerja belum dibayar sama sekali tahun ini. Pekerja tersebut, yang dipekerjakan oleh subkontraktor, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa bosnya dari desa yang sama telah melakukan pekerjaan untuk korporasi selama lebih dari 10 tahun.
“Bos mengatakan China Construction Eighth Engineering Division belum membayarnya,” katanya. “Kami bekerja untuk perusahaan di Laizhou pada 2023; pembayaran mereka bagus, dan kami dibayar 100 persen setiap bulan. Saya tidak tahu apa yang terjadi tahun ini.” The Epoch Times menghubungi China Construction Eighth Engineering Division Corp., Ltd., untuk dimintai komentar tetapi tidak menerima tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Yesterday melaporkan bahwa pekerja Tiongkok dan Indonesia memprotes dua perusahaan BUMN TIongkok lainnya yang menjalankan proyek Belt and Road terpisah di Indonesia, di mana perusahaan-perusahaan tersebut membangun dan melengkapi pabrik peleburan nikel.
Pekerja Tiongkok dan Indonesia dari China 19th Metallurgical Group Corp., Ltd., melakukan mogok kerja masing-masing pada 16 dan 18 April. Pada 12 Mei, pekerja China National Chemical Engineering Sixth Construction Co., Ltd., juga melakukan mogok kerja, menurut unggahan Yesterday.
The Epoch Times menghubungi China National Chemical Engineering Sixth Construction Co., Ltd., untuk dimintai komentar tetapi tidak menerima tanggapan hingga waktu publikasi. The Epoch Times tidak dapat menghubungi China 19th Metallurgical Group Corp., Ltd.
Di Beijing, seorang karyawan di taman hiburan Visionland Liuzhou mengatakan kepada The Epoch Times bahwa pekerja belum digaji selama lima bulan. The Epoch Times tidak dapat menghubungi Visionland untuk dimintai komentar.
Seorang guru di Jinan, Provinsi Shandong, mengatakan kepada publikasi tersebut bahwa guru tidak tetap di sekolahnya belum digaji selama empat atau lima bulan karena otoritas lokal tidak memiliki dana untuk membayar mereka. (asr)
EtIndonesia. Ukraina dan Rusia baru saja menyelesaikan pertukaran tahanan perang terbesar sejak pecahnya perang pada tahun 2022. Kedua pihak masing-masing membebaskan 270 personel militer dan 120 warga sipil, dengan total mencapai 390 orang. Pertukaran ini merupakan satu-satunya kesepakatan yang tercapai dalam pertemuan bilateral di Istanbul, Turki. Diperkirakan akan ada lebih banyak pertukaran dalam beberapa hari mendatang—menunjukkan bahwa meski perang terus berlanjut, masih ada celah untuk negosiasi antara kedua belah pihak.
Menurut laporan BBC, Pemerintah Rusia dan Ukraina menyatakan bahwa serah terima tahanan dilakukan di perbatasan antara Ukraina dan Belarus. Para tahanan ini berasal dari berbagai zona konflik di Ukraina timur dan utara, termasuk Kyiv, Chernihiv, Sumy, Donetsk, Kharkiv, dan Kherson. Pihak Ukraina menegaskan bahwa di antara mereka yang dibebaskan terdapat sejumlah veteran perang dan tiga orang perempuan yang telah ditahan sejak tahun 2022.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia menyebutkan bahwa di antara tahanan yang dibebaskan juga terdapat tentara dan warga sipil yang ditangkap dalam operasi militer terbaru Ukraina di wilayah Kursk, Rusia. Mereka kini telah dipindahkan ke dalam wilayah Belarus, dan akan menerima pemeriksaan kesehatan serta perawatan medis oleh pihak Rusia.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy dalam unggahan di media sosial menegaskan, “Kami sedang membawa orang-orang kami pulang.”
Dia menambahkan bahwa Pemerintah Ukraina akan memverifikasi identitas seluruh individu yang dibebaskan satu per satu. Kantor Koordinasi Tahanan Perang Ukraina juga menyatakan bahwa operasi ini memiliki dampak psikologis yang sangat positif bagi warga sipil dan militer.
Pertukaran ini menarik perhatian internasional. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan ucapan selamat melalui platform Truth Social dan bahkan mengisyaratkan bahwa pertukaran tahanan ini “mungkin menjadi awal dari kemajuan yang lebih besar.”
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni turut mendukung usulan Trump agar Vatikan memainkan peran sebagai mediator dalam negosiasi gencatan senjata. Namun, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menanggapi dengan pesimisme. Dia menyebut keterlibatan Vatikan sebagai hal yang “tidak realistis.” Lavrov kembali menyuarakan sikap kerasnya dengan mengatakan bahwa Presiden Zelenskyy tidak lagi memiliki legitimasi, dan menyatakan bahwa pemilu baru harus digelar di Ukraina sebelum pembicaraan damai dapat dilakukan.
Yang juga patut dicatat, pertemuan di Istanbul ini adalah kontak langsung pertama antara Rusia dan Ukraina sejak Maret 2022. Meskipun pertemuan hanya berlangsung dua jam dan belum membuahkan kesepakatan konkret mengenai gencatan senjata, kedua pihak menyatakan kesediaan untuk melanjutkan dialog. Delegasi Rusia bahkan mengumumkan akan menyerahkan sebuah “memorandum” kepada pihak Ukraina dalam waktu dekat.
Sementara itu, rakyat Ukraina tetap hidup dalam ketegangan dan harapan. Banyak keluarga dari tentara yang ditawan berkumpul di wilayah utara Ukraina, berharap nama orang yang mereka cintai termasuk dalam daftar pertukaran. Meski sebagian besar masih belum mengetahui nasib kerabat mereka, pertukaran tahanan ini jelas memberi sinyal bahwa jalan menuju dialog dan ruang kemanusiaan tetap terbuka, meski hanya sedikit. (jhn/yn)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan varian baru COVID-19 ini belum menunjukkan ancaman serius bagi kesehatan global.
EtIndonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan varian baru COVID-19 dengan kode NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (varian dalam pemantauan), di tengah laporan lonjakan kasus di daratan Tiongkok.
Dalam dokumen yang diunggah ke situs resmi WHO pada 23 Mei, disebutkan bahwa varian NB.1.8.1 saat ini dianggap memiliki risiko rendah terhadap kesehatan masyarakat di tingkat global.
“Vaksin COVID-19 yang telah disetujui saat ini diperkirakan tetap efektif terhadap varian ini, baik untuk gejala ringan maupun penyakit berat,” tulis WHO dalam pembaruan tersebut. Meski di sejumlah negara yang melaporkan penyebaran varian ini terdapat peningkatan kasus dan perawatan di rumah sakit, WHO menegaskan bahwa data yang tersedia tidak menunjukkan varian ini menyebabkan gejala yang lebih parah dibanding varian lain yang beredar saat ini.
WHO mengklasifikasikan variant under monitoring sebagai varian yang memerlukan perhatian dan pemantauan lebih lanjut, namun belum masuk dalam kategori variant of interest (varian yang menjadi perhatian) atau variant of concern (varian yang menjadi perhatian serius).
Dalam pembaruan 23 Mei, WHO menyebut bahwa varian NB.1.8.1 menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan varian lain yang beredar secara bersamaan. Meski terdapat laporan peningkatan kasus dan perawatan di rumah sakit dari beberapa negara, tidak ada data yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit meningkat akibat varian ini. WHO tidak menyebutkan secara spesifik negara-negara mana yang tengah melaporkan penyebaran varian tersebut.
“Data yang tersedia terkait NB.1.8.1 tidak menunjukkan risiko tambahan terhadap kesehatan masyarakat dibanding garis keturunan varian Omicron lainnya yang saat ini beredar,” tulis WHO.
Pembaruan ini disampaikan di tengah laporan para pakar kesehatan yang menyebutkan adanya peningkatan kasus COVID-19 di Tiongkok dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah pasien dilaporkan mengalami gejala sakit tenggorokan parah yang terasa seperti terbakar.
Salah satu pejabat medis, Dr. Li Tongzeng, Direktur Departemen Penyakit Menular di Rumah Sakit You’an Beijing, mengatakan kepada media pemerintah bahwa lonjakan kasus COVID-19 yang dimulai sejak Maret diperkirakan akan mencapai puncaknya pada akhir Mei.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Tiongkok (CDC) dalam laporan terbarunya pada 23 Mei menyatakan bahwa varian NB.1.8.1 adalah jenis virus yang dominan saat ini di negara tersebut.
Sejak awal pandemi COVID-19 pada 2020, pemerintah Pemerintahan partai komunis Tiongkok kerap dituding menutupi data terkait virus ini, terutama soal angka kematian. Virus corona pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok, pada akhir 2019. Pada April lalu, pemerintahan Trump mengubah situs resmi mereka untuk mencantumkan dugaan bahwa virus ini berasal dari sebuah laboratorium virologi berkeamanan tinggi di Wuhan—sebuah klaim yang telah lama mencuat.
Dr. Jonathan Liu, profesor di Canadian College of Traditional Chinese Medicine dan Direktur Klinik Kang Mei TCM, menyuarakan keraguannya terhadap data resmi dari CDC Tiongkok. Ia menyoroti laporan resmi untuk Maret yang hanya mencatat tujuh kematian akibat COVID-19.
“Angka tersebut tidak masuk akal jika dilihat dari pola epidemi normal,” kata Liu kepada The Epoch Times pekan lalu.
“Kanada, dengan kepadatan penduduk yang rendah dan sanitasi yang baik, mencatat 1.915 kematian akibat COVID dari Agustus tahun lalu hingga Mei tahun ini—lebih dari 200 kematian per bulan. Bagaimana mungkin Tiongkok, dengan kepadatan penduduk yang tinggi, hanya melaporkan tujuh kematian per bulan?”
The Epoch Times telah menghubungi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) terkait laporan WHO serta keberadaan varian NB.1.8.1 di Amerika Serikat.
Juru bicara CDC, dalam keterangan kepada beberapa media pada 24 Mei, menyatakan bahwa “hingga saat ini, baru ditemukan kurang dari 20 sekuens NB.1.8.1 dalam data pemantauan dasar di AS, sehingga belum memenuhi ambang batas untuk dimasukkan dalam dasbor pelacakan data COVID-19.” (asr)
EtIndonesia. Profesor emeritus dari Universitas Kyoto, Kamada Hiroki, dalam wawancara eksklusif dengan media MINKABU, memperingatkan bahwa gempa besar di Palung Nankai (Nankai Trough) diperkirakan akan mengguncang Jepang pada dekade 2030-an. Dia juga mengkhawatirkan bahwa gempa ini bisa memicu letusan Gunung Fuji, dan membawa dampak begitu besar hingga standar hidup modern di Jepang bisa kembali ke tingkat “Zaman Edo”.
Dampak Gempa 2011: Gunung Fuji Dalam “Status Siaga Letusan”
Profesor Kamada menjelaskan bahwa Gempa Besar Jepang Timur pada 11 Maret 2011 telah merusak kestabilan ruang magma Gunung Fuji, menyebabkan gunung berapi tersebut kini berada dalam “mode siaga meletus”, artinya letusan bisa terjadi kapan saja.
Mengulang Sejarah: Bencana Ganda Tahun 1707
Sebagai pembanding, Kamada mengulas bencana beruntun tahun 1707:
· Pada 28 Oktober 1707, terjadi “Gempa Hoei”, yang memicu aktivasi tiga zona gempa sekaligus—Nankai, Tokai, dan Tonankai.
· Kekuatan gempa diperkirakan berkisar antara magnitudo 8,6 hingga 9,3, menyebabkan lebih dari 60.000 bangunan hancur atau tersapu tsunami. Korban jiwa diperkirakan mencapai 5.000 hingga 20.000 orang.
· 49 hari kemudian, Gunung Fuji meletus hebat dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Letusan Hoei”. Abu vulkanik menyebar hingga ke wilayah Edo (kini Tokyo), dengan ketebalan mencapai 5 cm meski jaraknya lebih dari 100 km dari pusat letusan.
Para ahli menilai bahwa dua bencana tersebut memiliki hubungan sebab-akibat, dan mengingatkan bahwa skenario serupa berisiko besar terulang kembali.
Konsekuensi Letusan: Infrastruktur Modern Lumpuh Total
Kamada memperingatkan bahwa jika Gunung Fuji kembali meletus dengan skala seperti pada masa lalu, abu vulkanik dapat menyebabkan kerusakan masif terhadap infrastruktur vital:
· Sistem listrik, air bersih, dan gas akan lumpuh
· Transportasi dan komunikasi akan terputus total
· Aktivitas ekonomi dan kehidupan perkotaan akan berhenti, menjadikan kota-kota modern Jepang kembali hidup seperti era Zaman Edo
Pemerintah Jepang sebelumnya telah mengeluarkan estimasi bahwa jika letusan Gunung Fuji sebanding dengan letusan Hoei terjadi, kerugian minimal akan mencapai 2,5 triliun yen. Namun, para ahli menyebut angka sebenarnya bisa jauh lebih besar, terutama jika letusan disertai gempa besar di Palung Nankai, dengan total kerugian bisa mencapai beberapa triliun yen.
Gunung Fuji: Diam Selama 300 Tahun, Ancaman Energi Terpendam
Secara historis, interval letusan Gunung Fuji berkisar antara 50 hingga 100 tahun. Namun, sejak letusan terakhir tahun 1707, gunung ini telah tertidur selama hampir 300 tahun. Para ahli menyebut, energi vulkanik yang terakumulasi selama 3 abad bisa sangat besar, dan apabila dilepaskan, dampaknya akan sangat dahsyat dan sulit dibayangkan.
Frekuensi Gempa Global Meningkat: Apakah Kita Mendekati “Siklus Gempa Abad Ini”?
Beberapa waktu terakhir, dunia menyaksikan peningkatan frekuensi gempa bumi dengan kekuatan di atas magnitudo 6. Fenomena ini memicu spekulasi bahwa siklus gempa besar dalam skala seabad sedang mendekat.
Kekhawatiran publik di Jepang juga semakin diperburuk oleh prediksi kontroversial dari Ryuuju Ryou, penulis manga “Yang Kulihat di Masa Depan”, yang meramalkan akan terjadi gempa bumi dan tsunami besar pada 5 Juli 2025.
Meski sang penulis telah meminta masyarakat untuk bersikap rasional terhadap ramalan tersebut, prediksi ini tetap menyebar luas dan meningkatkan keresahan masyarakat. Sementara itu, para pakar gempa menegaskan bahwa hingga kini belum ada indikasi ilmiah yang jelas bahwa gempa besar akan terjadi dalam waktu dekat, namun tingkat kewaspadaan masyarakat tetap sangat tinggi.
Kesimpulan: Jepang Di Ambang Krisis Multibencana?
Dengan sejarah yang penuh luka, posisi geografis yang rawan bencana, dan ketidakpastian ilmiah mengenai waktu pasti bencana berikutnya, Jepang sekali lagi berdiri di ambang potensi bencana berantai yang bisa mengguncang fondasi kehidupannya.
Apakah Jepang siap menghadapi kemungkinan terburuk? Dan apakah dunia bersiap untuk menghadapi efek domino jika ekonomi terbesar ketiga dunia mengalami stagnasi akibat bencana besar? (jhn/yn)
Jumlah Korban Sebenarnya Mungkin Jauh Lebih Tinggi karena Rezim Tiongkok Sering Menyembunyikan atau Mengubah Informasi
EtIndonesia. Sebuah ledakan besar mengguncang pabrik kimia di Tiongkok bagian timur sekitar tengah hari pada 27 Mei 2025. Menurut media pemerintah Xinhua, ledakan tersebut menewaskan sedikitnya lima orang, melukai 19 orang lainnya, dan menyebabkan enam orang hilang.
Ledakan terjadi di Shandong Youdao Chemical Co., Ltd., yang terletak di kota Gaomi, Provinsi Shandong. Rekaman video yang beredar secara daring menunjukkan asap tebal membumbung ke langit, debu putih keabu-abuan mengepul puluhan meter, serta pipa-pipa yang menyemprotkan gas ke segala arah. Terlihat orang-orang melarikan diri dari lokasi kejadian, beberapa dengan wajah dan tubuh berlumuran darah.
Menurut media lokal, sejumlah korban luka dilarikan ke setidaknya dua rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Rakyat Kota Gaomi dan Rumah Sakit Umum Kota Gaomi.
Hingga pukul 17:35 waktu setempat pada 27 Mei, media pemerintah Tiongkok belum mengungkapkan penyebab ledakan maupun memberikan rincian lebih lanjut mengenai korban.
Jumlah korban sebenarnya dari kejadian seperti ini mungkin jauh lebih tinggi. Angka sebenarnya sulit diverifikasi karena rezim Tiongkok secara rutin menyembunyikan atau mengubah informasi.
Gelombang kejut dari ledakan yang dahsyat itu menyebabkan kerusakan signifikan hingga sejauh 5 kilometer. Seorang pemilik toko bernama Zhang mengatakan kepada sebuah akun berita di platform media sosial Tiongkok Weibo bahwa toko kendaraan listrik miliknya mengalami langit-langit runtuh dan kaca pecah. Bingkai pintu toko sampai bengkok sehingga pintu tak bisa dibuka.
Seorang pemilik restoran yang juga berlokasi sekitar 5 kilometer dari lokasi ledakan mengatakan kepada media lokal YCWB bahwa ia dengan jelas mendengar ledakan tersebut. Demi keselamatan, ia dan keluarganya mengungsi ke tempat sekitar 15 kilometer jauhnya.
Menurut media lokal, warga di beberapa pemukiman terdekat, termasuk Komunitas Fenghuang, telah dievakuasi. Ledakan tersebut memecahkan kaca jendela sekolah-sekolah di sekitar lokasi, menyebabkan penghentian sementara kegiatan belajar, dan beberapa siswa terluka akibat serpihan kaca.
“Hampir semua kaca bangunan di sekitar lokasi hancur. Saya bahkan tak berani melepas masker karena bau menyengat,” ujar seorang pemilik toko di dekat lokasi.
Pemilik toko lainnya, yang berada sekitar 3 kilometer dari lokasi ledakan, melaporkan bahwa suara ledakan sangat keras hingga memecahkan jendela yang menghadap ke arah ledakan. “Sepertinya ada kabel tegangan tinggi yang terputus, dan wilayah sekitar kini mengalami pemadaman listrik,” tambahnya, serta mengatakan bahwa pihak berwenang segera menutup area setelah ledakan.
Shandong Youdao Chemical Co., Ltd., didirikan pada tahun 2019, merupakan anak perusahaan dari Shandong Haomai Group. Perusahaan ini mengkhususkan diri dalam produksi pestisida berkinerja tinggi dan beracun rendah serta bahan antara (intermediates) pestisida.
Menurut situs web perusahaan, pabrik ini menempati lahan seluas lebih dari 114 hektare di taman kimia Gaomi Renhe dan mempekerjakan lebih dari 300 orang.
EtIndonesia. Sebuah laporan baru memperingatkan bahwa kemajuan teknologi Tiongkok di bidang kecerdasan buatan (AI) dan pengumpulan data—termasuk kemunculan model bahasa besar seperti DeepSeek—dapat memperluas kontrol sosial Beijing terhadap masyarakat dalam negeri. Tak hanya itu, ekspor teknologi tersebut juga berpotensi menyediakan alat baru bagi rezim otoriter di seluruh dunia untuk menindas oposisi dan kebebasan berekspresi.
“Kita hidup di era otoritarianisme berbasis data yang semakin menguat. Teknologi kecerdasan buatan dan sistem pengumpulan serta analisis data digital tengah mengubah cara para diktator membungkam perbedaan pendapat,” tulis laporan tersebut.
“Saat ini, Republik Rakyat Tiongkok menonjol dalam hal pengumpulan dan pemanfaatan data dalam skala serta jenis yang belum pernah terjadi sebelumnya, mencakup sektor publik dan swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri—semua demi mencapai kendali sosial,”lanjutnya.
Laporan ini diterbitkan oleh International Forum for Democratic Studies, lembaga riset dari National Endowment for Democracy (NED) Amerika Serikat, dan ditulis oleh Valentin Weber, peneliti senior di German Council on Foreign Relations.
Empat Bidang Teknologi yang Patut Diwaspadai
Dalam laporannya, Weber mengidentifikasi empat kemajuan teknologi di Tiongkok yang sangat perlu diwaspadai:
1. Aplikasi AI dalam sistem pengawasan
2. Teknologi imersif dan neuroteknologi
3. Komputasi kuantum yang dapat memecahkan enkripsi data
4. Mata uang digital yang dikendalikan secara terpusat
Tiongkok kini menjadi salah satu pemimpin dunia dalam pengembangan sistem pengawasan berbasis AI. Teknologi ini dapat menganalisis ekspresi wajah, gaya berjalan, dan bahkan mengenali suara, untuk mengidentifikasi perilaku yang dianggap “tidak normal”—semua ini digunakan oleh otoritas untuk mendeteksi potensi gangguan sosial sedini mungkin. Contohnya adalah sistem “Otak Kota” (City Brain), yang sempat digunakan selama pandemi COVID-19 untuk memantau pergerakan warga. Teknologi serupa juga dilaporkan digunakan di wilayah Xinjiang.
“Jika kita membagi pengawasan gaya Tiongkok menjadi tiga tahap: tahap pertama adalah membangun infrastruktur—memasang kamera di mana-mana,” jelas Dr. Weber kepada Voice of America (VOA). “Tahap kedua adalah dukungan pengambilan keputusan, di mana sistem bisa memberi peringatan seperti, ‘akan ada aksi protes di sini’, dan memungkinkan tindakan preventif.”
Tahap ketiga kini diperkuat oleh munculnya model AI seperti DeepSeek, yang dapat menjalankan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh aparat, seperti secara otomatis membatalkan reservasi hotel milik aktivis atau mencegah mereka berpindah lokasi untuk berunjuk rasa.
Teknologi Imersif dan Neuro: Pengawasan Lewat Pikiran
Teknologi imersif mencakup perangkat seperti virtual reality headset dan kacamata pintar, yang dapat mengumpulkan data seperti pergerakan pupil mata atau reaksi tubuh yang sulit diamati. Sementara itu, teknologi saraf (neurotechnology), termasuk chip otak, memungkinkan pengumpulan data langsung dari otak pengguna.
Teknologi semacam ini bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda politik yang disetujui negara, bahkan dimanfaatkan dalam proses interogasi oleh aparat keamanan. Di Tiongkok, hukum mewajibkan penyedia perangkat semacam itu menyerahkan data pengguna kepada aparat jika diminta.
Komputasi Kuantum dan Risiko Dekripsi Global
Tiongkok juga menjadi negara terdepan dalam komputasi kuantum dan komunikasi kuantum. Jika terus berkembang, teknologi ini secara teoritis dapat memecahkan enkripsi yang saat ini melindungi komunikasi pribadi maupun data perusahaan di internet.
“Jika suatu negara berhasil membangun komputer kuantum yang cukup kuat, dia akan mampu mendekripsi data digital terenkripsi yang tersimpan di internet—baik itu komunikasi pribadi maupun data korporasi,” tulis Weber.
Digital Yuan: Alat Kendali Finansial
Sebagian besar mata uang digital yang beredar saat ini bersifat terdesentralisasi dan tidak berada di bawah kendali pemerintah. Namun Tiongkok telah meluncurkan versi digital dari yuan, yang disebut Digital Renminbi. Laporan menyatakan bahwa penggunaan mata uang ini memungkinkan pemerintah mengakses data keuangan pribadi pengguna, termasuk pola pengeluaran dan lokasi geografis.
“Mata uang ini memungkinkan pemerintah memantau aktivitas pengguna secara relatif mudah dan menjadikannya alat untuk menghukum perilaku yang dianggap tidak pantas—misalnya dengan membatasi atau memutus akses pembelian,” sebut laporan tersebut.
Ekspor Teknologi Pengawasan Gaya Otoriter
Tiongkok telah lama mengekspor teknologi pengawasan ke berbagai negara. Perusahaan seperti Hikvision dan Dahua Technology menguasai sekitar 34% pasar kamera pengawas global. Laporan juga menyebut bahwa teknologi kuantum Tiongkok kemungkinan besar akan diekspor ke Rusia. Negara-negara BRICS seperti Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, bahkan tengah mempertimbangkan untuk membangun jaringan komunikasi kuantum bersama.
Laporan mengungkap bahwa sejak pertengahan 2000-an, Tiongkok sudah mulai mengekspor teknologi pengawasan. Misalnya, pemerintah Beijing dilaporkan pernah mengirimkan perangkat pengganggu sinyal radio ke Zimbabwe, yang kemudian digunakan untuk menyadap percakapan jarak jauh antarwarga.
Kini, ekspor teknologi pengawasan Tiongkok dilakukan secara lebih sistematis—melalui skema “uji coba gratis”, subsidi, atau ditukar dengan sumber daya alam—terutama ditujukan kepada negara-negara berpenghasilan rendah atau sedang.
Tak hanya negara otoriter, Tiongkok juga menjual teknologinya ke negara-negara “abu-abu” atau swing states—negara demokrasi lemah yang rentan terjerumus ke arah otoritarianisme. Selain menjual perangkat keras, perusahaan Tiongkok juga memberikan pelatihan dan dukungan teknis kepada negara pembeli.
“Tiongkok secara tidak proporsional mengekspor sistem pengawasan berbasis AI ke negara-negara otoriter dan demokrasi rapuh, yang cenderung membeli teknologi ini saat mengalami ketidakstabilan domestik atau sedang meningkatkan penindasan,” tulis laporan.
Ekspor teknologi ini juga memperluas kapasitas represif lintas negara milik Beijing. Misalnya, lembaga penegak hukum asing yang menggunakan teknologi Tiongkok dapat lebih efisien memantau atau bahkan menangkap individu yang dianggap tidak disukai oleh Pemerintah Tiongkok. Laporan menyoroti kasus Thailand, yang kerap memulangkan para pembangkang Tiongkok yang melarikan diri ke sana—disebut sebagai konsekuensi langsung penggunaan sistem pengawasan asal Tiongkok.
“Setiap kali sebuah negara baru mengadopsi alat dan strategi ala Tiongkok untuk menindas warganya, dunia pun sedikit demi sedikit mulai menyerupai Tiongkok,” tulis laporan tersebut.
Perangkat Lunak dan Aplikasi Sebagai Alat Pengawasan Global
Perangkat lunak buatan perusahaan Tiongkok juga berfungsi sebagai saluran untuk mengumpulkan data pengguna asing. Contohnya adalah aplikasi TikTok milik ByteDance dan WeChat milik Tencent. Bahkan platform belanja Temu dari Pinduoduo pernah diturunkan dari Google Play Store karena ketahuan mengakses dan menganalisis data pribadi pengguna tanpa izin.
Rekomendasi: Perlu Aksi Bersama dari Negara Demokratis
Laporan ini menyarankan agar pemerintah negara-negara demokratis dan masyarakat sipil:
· Mengembangkan teknologi yang melindungi privasi,
· Membangun ekosistem teknologi berbasis nilai-nilai demokrasi, dan
· Terlibat aktif dalam menetapkan standar teknologi internasional, agar praktik otoriter gaya Tiongkok tidak menjadi norma global.(jhn/yn)
EtIndonesia. Karena kekhawatiran akan kemungkinan serangan Rusia dalam beberapa tahun ke depan dan keraguan terhadap keberlanjutan jaminan keamanan dari Amerika Serikat, Uni Eropa (UE) hari ini resmi menyetujui pembentukan dana militer besar-besaran senilai 150 miliar euro.
Menurut laporan Reuters, para menteri dari negara-negara anggota Uni Eropa mengesahkan pembentukan dana ini dalam pertemuan di Brussel. Ini menandai langkah hukum terakhir untuk pendirian SAFE (Security Action for Europe), sebuah dana pertahanan bersama yang memungkinkan UE memberikan pembiayaan kepada negara-negara yang ikut serta dalam program pertahanan kolektif melalui skema pinjaman bersama antarnegara Eropa.
Menurut sumber diplomatik, dari 27 negara anggota Uni Eropa, sebanyak 26 negara mendukung pembentukan dana ini. Satu-satunya negara yang abstain adalah Hungaria.
Sebagai negara yang memegang presidensi bergilir Uni Eropa saat ini, Polandia mengumumkan di platform media sosial X: “Kami telah mengesahkan SAFE—ini adalah rencana investasi pertahanan besar pertama yang diluncurkan di tingkat Uni Eropa.”
Polandia menambahkan: “Semakin besar investasi kami untuk menjaga keamanan sendiri, semakin besar pula kemampuan kami untuk mencegah pihak-pihak yang ingin mencelakai kami.”
Kekhawatiran terhadap komitmen Amerika Serikat terhadap pertahanan Eropa semakin meningkat, terutama di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, yang kerap mempertanyakan peran AS dalam NATO dan keengganannya untuk menjamin perlindungan militer terhadap Eropa. Karena ketidakpastian ini, pada bulan Maret lalu Komisi Eropa mengusulkan pembentukan dana militer SAFE.
Setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, negara-negara Eropa makin khawatir akan kemungkinan menjadi target Moskow berikutnya. Dalam tiga tahun terakhir, Eropa telah meningkatkan belanja pertahanan lebih dari 30%. Namun, menurut para pemimpin UE, hal itu masih belum cukup.
Moskow sendiri telah mengecam rencana rearmament (persenjataan ulang) Uni Eropa sebagai tanggapan terhadap “ancaman fiktif” yang diklaim berasal dari Rusia. Namun, pernyataan seperti ini tidak cukup meyakinkan Eropa, apalagi Rusia pernah menyampaikan retorika serupa sebelum akhirnya benar-benar menyerbu Ukraina.
Melalui SAFE, UE berupaya mengatasi hambatan antarnegara dengan menyatukan pembelian alat pertahanan dan memprioritaskan produk buatan Eropa. Salah satu ketentuan utama agar proyek dapat memenuhi syarat pembiayaan dari SAFE adalah bahwa minimal 65% nilai proyek harus berasal dari perusahaan yang berbasis di dalam wilayah Uni Eropa, Kawasan Ekonomi Eropa (EEA), atau Ukraina.
Proyek-proyek yang melibatkan perusahaan dari negara-negara non-UE yang telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Keamanan dan Pertahanan dengan UE juga berpeluang mendapatkan pendanaan—selama memenuhi syarat tambahan tertentu.
Britania Raya, misalnya, baru-baru ini menandatangani perjanjian semacam itu dengan Uni Eropa. Hal ini membuka peluang lebih besar bagi perusahaan Inggris seperti BAE Systems untuk berpartisipasi dalam program SAFE.
Komisi Eropa telah mengaktifkan mekanisme legislasi cepat untuk mempercepat pembentukan dana ini, dengan menghindari proses pemungutan suara di Parlemen Eropa. Cukup dengan persetujuan dari negara-negara anggota Uni Eropa, dana SAFE dapat segera diluncurkan.(jhn/yn)
EtIndonesia. Apakah Benua Eropa tengah menuju perang besar yang tak terhindarkan? Menurut laporan terbaru dari media Inggris Daily Star dan Daily Mail, potensi konflik besar di Eropa kembali mencuat ke permukaan. Laporan tersebut mengutip hasil riset dari International Institute for Strategic Studies (IISS)—sebuah lembaga think tank pertahanan terkemuka asal Inggris—yang menyatakan bahwa Rusia bisa saja melancarkan serangan terhadap negara-negara Eropa paling cepat pada tahun 2027, dengan skenario tertentu.
Skenario Ancaman: Jika Gencatan Senjata dan Penarikan AS Terjadi
Analisis IISS didasarkan pada sejumlah asumsi strategis yang sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat:
1. Ukraina dan Rusia menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada akhir tahun ini.
2. Donald Trump kembali berkuasa di Amerika Serikat dan menarik diri dari NATO atau secara drastis mengurangi kehadiran militer AS di Eropa.
3. Amerika Serikat mengalihkan fokus strategisnya untuk menghadapi ancaman dari Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.
Berdasarkan skenario ini, IISS memperingatkan bahwa jika perang Rusia–Ukraina berhenti sementara, Rusia akan memiliki waktu dua hingga tiga tahun untuk memulihkan kekuatan militernya ke tingkat sebelum invasi 2022. Artinya, mulai tahun 2027, Rusia berpotensi kembali menjadi ancaman militer serius bagi kawasan Eropa, terutama terhadap negara-negara kecil dan rentan di Timur Eropa.
Baltik dalam Ancaman: NATO Didesak untuk Tidak Lengah
IISS secara khusus menyebut bahwa negara-negara Baltik—Estonia, Latvia, dan Lituania—akan menjadi titik panas yang paling terancam jika Rusia kembali menyerang. Laporan itu menekankan bahwa meskipun saat ini kemungkinan Rusia menyerang anggota NATO secara langsung masih tergolong rendah, namun situasi dapat berubah drastis jika pertahanan kolektif NATO melemah.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Kaja Kallas juga telah menyuarakan kekhawatiran serupa. Keduanya memperingatkan bahwa ambisi militer Rusia tidak hanya terbatas pada Ukraina, dan bahwa Eropa perlu waspada terhadap niat jangka panjang Moskow.
Amerika Tak Lagi Dapat Diandalkan?
Dalam laporan tersebut, IISS juga menyoroti keretakan dalam hubungan trans-Atlantik, khususnya ketergantungan Eropa terhadap kekuatan militer Amerika Serikat.
Lembaga itu memperingatkan:“Negara-negara Eropa tidak bisa lagi mengasumsikan bahwa Amerika Serikat akan selalu memberikan dukungan militer yang dibutuhkan untuk mempertahankan benua ini dari agresi Rusia.”
Apabila pemerintahan AS berikutnya—misalnya di bawah kepemimpinan Trump—memulai penarikan bertahap pasukan Amerika dari Eropa pada pertengahan 2025, maka Eropa akan segera memasuki fase kerentanan militer, membuka celah bagi Rusia untuk bertindak lebih jauh.
Rusia Tak Akan Melepas Mode Perang
Laporan IISS sejalan dengan hasil riset dari lembaga think tank Amerika Serikat, RAND Corporation, yang dalam laporannya berjudul “Postwar Russian Military Power” menyatakan:
“Meski tercapai gencatan senjata dengan Ukraina, Kremlin kemungkinan besar tetap mempertahankan sistem ekonomi masa perang dan akan terus mendorong proses rekonstruksi militer.”
Artinya, Rusia tidak akan mundur dari jalur militernya, melainkan akan terus membangun kembali kekuatan dan kapabilitas tempurnya.
Peringatan Keras: Waktu Tidak Banyak
Ed Arnold, peneliti senior bidang keamanan Eropa di Royal United Services Institute (RUSI)—lembaga pertahanan ternama Inggris—menegaskan kepada Daily Mail: “Para pengambil keputusan di Barat tidak boleh lagi berpikir naif bahwa mereka masih memiliki waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri menghadapi Rusia.”
Dia menekankan bahwa Eropa harus mulai bertindak sekarang, bukan menunggu hingga ancaman menjadi kenyataan.
Kesimpulan: Hitung Mundur Dimulai?
Meski belum ada tanda pasti bahwa Rusia akan memulai serangan ke negara-negara Eropa dalam waktu dekat, laporan-laporan dari IISS, RAND, dan RUSI jelas memperlihatkan satu hal: waktu untuk berjaga-jaga hampir habis. Kombinasi dari potensi gencatan senjata di Ukraina, berkurangnya dukungan militer AS, dan kebangkitan kembali mesin perang Rusia bisa menjadi resep bencana bagi keamanan Eropa.
Apakah kita akan melihat perang besar di Eropa terjadi kembali dalam dekade ini? Para analis menjawab—kemungkinan itu tidak bisa diabaikan.(jhn/yn)
Hanya beberapa hari setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) meneriakkan “tidak akan berlutut” kepada AS. Pada 12 Mei, PKT dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan penurunan tarif selama 90 hari dalam negosiasi di Swiss. PKT setuju untuk menurunkan tarif 125% atas komoditas yang diimpor dari AS hingga menjadi 10%, dan membatalkan tarif balasan lainnya yang diberlakukan terhadap AS sejak 2 April tahun ini. Sedangkan Amerika Serikat setuju untuk menurunkan tarif impor atas sebagian besar komoditas yang diimpor dari Tiongkok dari 145% menjadi 30%. Namun, tarif hukuman sebesar 20% yang terkait isu fentanil tidak dibatalkan, yang berarti bahwa tarif yang dikenakan AS terhadap komoditas impor dari Tiongkok masih cukup tinggi.
Pada 13 dan 14 Mei, juru bicara PKT membuat dua pernyataan terkait masalah fentanil. Awalnya, ia mengatakan bahwa tanggung jawab dari masuk dan beredarnya fentanil di dalam negeri Amerika Serikat adalah urusan Washington, bukan urusan Beijing, dan menuduh Amerika Serikat yang bertindak kurang adil karena mengaikan tarif untuk fentanil, menuntut agar tindakan “fitnah dan upaya pengalihan kesalahan” ini dapat dihentikan. Namun dalam pernyataakn berikutnya, juru bicara PKT mengatakan bahwa pihak Tiongkok memberlakukan dua putaran tarif terhadap fentanil dari Amerika Serikat, dan tindakan balasan tarif dan non-tarif yang telah diambilnya masih tetap berlaku.
Dapat dikatakan bahwa PKT berupaya untuk menghindari tanggung jawab atas produksi dan peredaran narkotika jenis fentanil ini, sehingga tidak membantu utusan PKT dalam negosiasi penurunan labih jauh tarif. Karena dalam pandangan pemerintahan Trump, fentanil yang membunuh sedikitnya 70.000 warga Amerika Serikat setiap tahun, adalah suatu isu serius yang harus diatasi. Sebagai sumber, Partai Komunis Tiongkok dipaksa mengambil tindakan substantif dan efektif untuk mengekang aliran narkoba ke Amerika Serikat. Sebelum ada kemajuan nyata pada masalah ini, pemerintahan Trump tidak akan membatalkan tarif hukuman tersebut.
Sikap pemerintahan Trump yang telah meramalkan perang dagang dapat dilihat dari laporan CNN Amerika Serikat. Ketika Presiden Trump ditanya mengenai apakah tarif AS atas barang-barang asal Tiongkok akan kembali ke 145% jika batas waktu 90 hari berakhir, dan kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan jangka panjang, Trump menjawab: “Tarif dapat meningkat secara signifikan.” Dengan kata lain, Amerika Serikat akan tetap menaikkan tarif, meskipun tidak sampai ke tingkat yang keterlaluan.
Karena hakikat perang tarif AS-PKT adalah pertarungan sistem, maka tidak akan mudah bagi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan jangka panjang yang dapat diterima oleh kedua belah pihak jika PKT tidak melakukan perubahan mendasar. Jika PKT memilih untuk menghadapi Amerika Serikat demi mempertahankan rezimnya, maka hasil prediksi Deng Xiaoping di tahun 1970-an bakal menjadi kenyataan.
Pada 16 Desember 1978, PKT dan Amerika Serikat mengeluarkan komunike tentang pembentukan hubungan diplomatik, mengumumkan bahwa kedua negara akan saling mengakui dan menjalin hubungan diplomatik mulai 1 Januari 1979. Segera setelah itu, sebagai seorang Wakil Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, Deng Xiaoping mengunjungi Amerika Serikat selama 9 hari dari 28 Januari hingga 4 Februari 1979. Meskipun ada masalah status di internal PKT, tetapi kedatangan Deng di AS masih mendapat sambutan tingkat tinggi.
Menurut laporan media Tiongkok daratan, Li Shenzhi, Wakil Presiden Akademi Ilmu Sosial Tiongkok dan Direktur Institut Studi Amerika, yang mendampingi Deng Xiaoping dalam kunjungan tersebut, bertanya kepada Deng dalam pesawat: “Mengapa kita begitu mementingkan hubungan kita dengan Amerika Serikat?” Deng Xiaoping menjawab: “Dengan menengok kembali ke beberapa dekade terakhir, kita melihat bahwa semua negara yang memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat telah menjadi kaya.” Subteksnya adalah bahwa negara-negara yang tidak memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat relatif miskin, karena itu RRT juga perlu melakukan hal yang sama.
Kenyataan membuktikan bahwa ekonomi Eropa, Jepang, Korea Selatan usai Perang Dunia II telah mengalami peningkatan pesat dan pembangunan yang sukses dengan bantuan Amerika Serikat. Namun, negara-negara Eropa Timur seperti Jerman Timur dan lainnya yang mengikuti Uni Soviet, serta negara-negara sosialis yang anti-AS seperti Korea Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Kuba, manakah dari mereka ini yang tidak berada di bawah pemerintahan yang otokratis, bukan saja tanpa kebebasan, tetapi juga dengan ekonomi yang terbelakang dan rakyat yang sengsara?
Jelas, Deng Xiaoping juga menyadari pentingnya menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat, oleh karena itu ia menempatkan pengembangan hubungan baik PKT-AS di urutan tertinggi dalam kepemimpinannya. Pada 24 Januari 1979, saat Deng Xiaoping bertemu dengan tamu dari Amerika Serikat sebelum kunjungannya ke Washington ia mengatakan: “Kami percaya bahwa normalisasi hubungan PKT-AS akan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi Amerika Serikat untuk menggunakan produk-produk canggihnya membantu PKT mencapai Empat Modernisasi, yang juga bermanfaat bagi Amerika Serikat.”
Di kemudian hari Li Shenzhi pun menulis catatan berikut dalam memoarnya: “Deng Xiaoping sangat mementingkan Amerika Serikat karena ia percaya bahwa untuk melaksanakan kebijakan reformasi dan keterbukaan, kita harus terlebih dahulu membuka diri terhadap Amerika Serikat. Tanpa membuka diri terhadap Amerika Serikat, tidak ada gunanya membuka diri terhadap negara lain.”
Perkembangan ekonomi Tiongkok yang terjadi di era 1980-an tidak dapat dipisahkan dari investasi modal dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, tetapi keberhasilan negosiasi dengan Amerika Serikat dan bergabungnya PKT secara resmi ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia pada tahun 2001-lah yang benar-benar mendongkrak perkembangan pesat ekonomi Tiongkok. Pada saat itu, para faksi “pemeluk panda” dalam pemerintahan AS tidak menyadari sifat jahat PKT, mereka cuma berharap PKT dapat bertransformasi politiknya melalui pembangunan ekonomi dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem ekonomi global.
Namun, setelah sekian dekade berlalu, dan PKT mengalami perkembangan ekonomi yang cepat, orang Amerika Serikat baru menemukan bahwa PKT tidak hanya gagal memenuhi janjinya ketika bergabung dengan WTO, tetapi juga meningkatkan infiltrasi menyeluruhnya ke Amerika Serikat dan Eropa, dengan maksud untuk menguasai dunia dengan ideologi komunis. Menyadari akan adanya ancaman serius terhadap Amerika Serikat yang belum pernah terjadi sebelumnya, Trump melancarkan perang dagang AS-PKT selama masa jabatan pertamanya, kemudian melancarkan perang tarif selama masa jabatan keduanya, selain itu juga melakukan pengekangan multi-segi terhadap PKT.
Tidak diragukan lagi, akan sulit bagi Partai Komunis Tiongkok yang ingin mempertahankan kekuasaan untuk menyetujui tuntutan wajar pemerintahan Trump, seperti membuka pasar secara menyeluruh. Tetapi membuka pasar secara menyeluruh berarti rezim otoriter akan ambruk atau tidak dapat dipertahankan. Maka untuk menipu rakyat Tiongkok, PKT menciptakan opini publik yang menggambarkan dirinya sebagai korban atas perundungan pemerintah Amerika Serikat, dan menunjukkan sikap tegas untuk “tidak akan berlutut” kepada AS. Tetapi di bawah tekanan situasi, PKT terpaksa juga “berlutut” meskipun ia tetap mengaku telah “mencapai kemenangan”, hanya saja ia menggunakan metode kemenangan spiritual.
Jadi, pilihan apa yang akan diambil PKT setelah masa jeda perang tarif 90 hari? Para pemimpin tingkat atas di Zhongnanhai sebaiknya mempertimbangkan pernyataan Deng Xiaoping, apakah mereka sanggup menanggung konsekuensi dari konfrontasi dengan Amerika Serikat. Selain itu, para pemimpin tinggi di Zhongnanhai tidak boleh melupakan apa yang dikatakan Deng Xiaoping pada sidang khusus keenam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 1 April 1974: “Jika suatu hari Tiongkok berubah warna dan menjadi negara adikuasa, serta menjadi negara yang mendominasi dunia, menindas, menginvasi, dan mengeksploitasi pihak lain, maka warga dunia patut melabeli rezim Tiongkok sebagai ‘imperialisme sosial’. Hal itu harus diekspos, ditentang, dan digulingkan bersama rakyat Tiongkok.”
Tak seorang pun menyangkal bahwa Tiongkok di bawah kekuasaan PKT saat ini telah memenuhi apa yang pernah diucapkan oleh Deng. Dalam hal ini, bukankah pilihan yang paling tepat bagi warga dunia yang telah melihat wajah asli PKT yang jahat untuk bersama-sama dengan rakyat Tiongkok membubarkan PKT, memulihkan perdamaian di Tiongkok daratan dan dunia? (***)
Pada 7 Oktober 2023, kelompok militan Hamas Palestina di Jalur Gaza tiba-tiba melancarkan serangan teroris terhadap Israel, mereka memasuki komunitas Israel di Gaza untuk melakukan pembunuhan dan penyanderaan sejumlah warga sipil dari pintu ke pintu. Kekejaman Hamas membuat Israel marah dan tindakan keras militer Israel terhadap Hamas masih berlanjut hingga kini.
Namun, Partai Komunis Tiongkok yang telah lama mendukung kemerdekaan Palestina, enggan secara terbuka mengutuk Hamas, kecuali hanya dengan himbauan agar “semua pihak terkait tetap tenang dan menahan diri, segera menghentikan baku tembak, melindungi warga sipil, dan mencegah supaya situasi tidak semakin memburuk.”
Jelas sikap seperti itu secara objektif menguntungkan Hamas. Tidak hanya itu, Partai Komunis Tiongkok juga secara sepihak berkolaborasi dengan beberapa anggota inti Hamas dan Hizbullah untuk melakukan beberapa tindakan dari belakang layar.
Anehnya, sikap Partai Komunis Tiongkok (PKT) tiba-tiba berubah drastis setelah serangan teror lebih dari setahun lalu itu, dan setelah militer Israel berhasil melumpuhkan Hamas. Pada 20 Mei, Xiao Jun, Dubes Partai Komunis Tiongkok untuk Israel melalui membacakan teks yang sudah dipersiapkan menyatakan dalam sebuah wawancara dengan reporter ILTV NEWS: “Kekejaman Hamas tidak manusiawi, tidak dapat ditolerir, dan memalukan. PKT menentang dan mengutuk apa yang telah dilakukan Hamas pada 7 Oktober. Hal ini sangat jelas.”
Dalam konferensi pers rutin Kementerian Luar Negeri PKT pada 21 Mei, seorang wartawan media asing bertanya: “Apakah ini merupakan pertama kalinya PKT secara tegas mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023? Jika benar, mengapa sikap PKT berubah saat ini?”
Kendati Mao Ning, juru bicara PKT tidak memberikan penjelasan yang menjawab topik pertanyaan, melainkan dengan serangkaian ungkapan yang tidak terarah, tetapi juga tidak memberikan penyangkalan. Dari sini terlihat bahwa PKT memang telah mengubah sikapnya terhadap Hamas, dan ini memang untuk pertama kalinya PKT mengutuk kekejaman Hamas.
Mengapa sikap Partai Komunis Tiongkok berubah 180 derajat? Dilihat dari tanda-tanda dan laporan sebelumnya, seperti diketahui bahwa PKT, Rusia dan Iran adalah tiga rezim utama yang mendukung Hamas. Meskipun di permukaan Iranlah yang menyediakan senjata untuk Hamas, tetapi peran yang dimainkan oleh Partai Komunis Tiongkok dari balik layar juga tidak boleh diremehkan.
Tentu kita semua masih ingat, setelah Hamas melakukan serangan teror di Jalur Gaza, seorang juru bicara Hamas mengatakan kepada BBC bahwa serangan itu selain didukung oleh Iran juga oleh negara lain, tetapi ia tidak mengungkap negara mana yang dimaksud. Apakah negara tersebut bukan Partai Komunis Tiongkok? Karena saat itu Rusia sendiri sedang terjebak dalam Perang Rusia-Ukraina dan menghadapi penurunan ekonomi lantaran sanksi, sehingga tidak memiliki kekuatan ekonomi tambahan untuk mendukung Hamas. Jadi satu-satunya pilihan jatuh pada PKT yang berambisi, punya kekuatan, sumber daya keuangan dan niat untuk mengacaukan situasi di Timur Tengah.
Saat itu, beberapa media di Tiongkok mengungkap bahwa dalam konflik lanjutan Israel-Hamas, roket yang ditembakkan ke Israel bukan roket “Qassam” tanpa sistem pemandu (low-end rokets) yang dibuat Hamas sebelumnya, melainkan sistem peluncur roket ganda yang lebih mirip dengan yang digunakan pasukan reguler dan roket dengan spesifikasi seragam yang dapat menembus pertahanan udara Israel “Iron Dome.” Bahkan dalam artikel itu disebutkan bahwa Partai Komunis Tiongkok adalah “militer di dunia yang paling tidak kekurangan senjata penekan seperti peluncur roket ini.”
Kemudian, setelah Israel menyerang bunker bawah tanah Hamas, roket buatan PKT ditemukan di sana. Padahal di awal 2009, media Jerman sudah menerbitkan sebuah artikel berjudul “Roket Hamas buatan PKT.”
Faktanya, Hamas telah lama bersekongkol dengan Partai Komunis Tiongkok, yang merupakan pendukung finansial terbesar Hamas. Jadi bahwa PKT berada di belakang serangan Hamas ke Israel itu bukan spekulasi tanpa dasar.
Adapun PKT menimbulkan kekacauan dunia, di Timur Tengah lewat mendukung Iran dan Hamas, di Eropa lewat mendukung Rusia, di Semenanjung Korea lewat mendukung Korea Utara, juga rencana mencaplok Taiwan lewat kekuatan, semua tujuannya tak lain adalah mengalihkan perhatian dan menguras energi AS, dan membuatnya tidak dapat berfokus pada kawasan Indo-Pasifik, yang intinya adalah tidak dapat sepenuhnya menanggapi provokasi PKT. Ini sebenarnya yang diharapkan oleh PKT.
Dengan cara ini, PKT juga dapat mengurangi tekanan akibat terjebak dalam krisis internal dan eksternal serta menghadapi pengepungan dunia. Selain itu, sepanjang sejarah Partai Komunis Tiongkok, taktik umum yang ia gunakan untuk mengalihkan, menyita perhatian dan kekuatan nasional Amerika Serikat adalah melalui cara mendukung negara, rezim, atau organisasi teroris.
Yang sangat mengecewakan PKT adalah gagasan MAGA (Make America Great Again) Trump. Sejak kembali menjabat Presiden AS pada Januari tahun ini, Trump selain mereformasi kebijakan sebelumnya yang dianggap buruk dan mempromosikan pembangunan ekonomi di dalam negeri, tetapi juga menunjukkan pengaruh global Amerika Serikat yang unik kepada dunia luar.
Contohnya, Amerika Serikat sedang membentuk kembali tatanan ekonomi dunia melalui perang tarif, yang menjadi pukulan telak bagi PKT, yang dianggap sebagai “ancaman nomor satu”. Selain itu AS juga mempromosikan pembicaraan damai Rusia-Ukraina. Di Timur Tengah, AS memberikan peringatan keras kepada Iran, Hamas, Hizbullah, dan angkatan bersenjata Houthi, memperkuat kerja sama dengan Israel, Arab Saudi, dan negara Timur Tengah lainnya, serta mendorong dimulainya kembali perundingan gencatan senjata di Gaza.
Pada awal masa jabatannya, Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Hamas, menuntut agar Hamas segera membebaskan para sandera atau mereka akan menghadapi pukulan yang menghancurkan. Pada 12 Mei, Hamas membebaskan seorang sandera warga AS etnis Israel terakhir.
Dalam konferensi pers bersama PM. Kanada Mark Carney yang sedang berkunjung pada 6 Mei, Presiden Trump menyatakan bahwa angkatan bersenjata Houthi Yaman telah sepakat untuk menghentikan tindakan mengancam keselamatan navigasi di perairan Timur Tengah, dan atas dasar ini Amerika Serikat akan menghentikan pemboman terhadap angkatan bersenjata Houthi. Pernyataan Trump yang sebenarnya adalah bahwa Houthi telah mengumumkan bahwa mereka “tidak ingin berperang lagi”, “mereka telah menyerah.”
Pada 14 Mei, sebagai tanggapan terhadap usulan Trump untuk menghancurkan energi nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi, Ali Shamkhani, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran Khamenei, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan NBC bahwa Iran telah berjanji untuk tidak lagi memproduksi senjata nuklir, dan melenyapkan uranium yang diperkaya tinggi yang digunakan untuk memproduksi senjata nuklir, setuju untuk memperkaya uranium ke konsentrasi tingkat rendah yang diperlukan bagi penggunaan sipil, selain itu juga mengizinkan inspektur internasional untuk memantau seluruh proses, dengan imbalan pencabutan segera semua sanksi ekonomi terhadap Iran. Ia juga mengatakan Iran bersedia menandatangani perjanjian dengan pemerintahan Trump di Amerika Serikat.
Dari 13 sampai 16 Mei, Trump mengunjungi tiga negara Timur Tengah (Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab) untuk mempraktikkan gagasan baru usungan Amerika Serikat yakni “non-intervensionisme”.
Sebuah konsep dimana Amerika Serikat tidak akan lagi mendikte gaya hidup negara-negara Timur Tengah, tidak akan terlibat dalam penggulingan rezim, tetapi akan berfokus terhadap kerjasama ekonomi dan penciptaan perdamaian regional. Trump selain berhasil membawa kembali kesepakatan bisnis bernilai triliunan dolar, perjalanan Trump ke Timur Tengah kali ini juga mengkonsolidasikan kerja sama ekonomi, teknologi, dan militer dengan sekutunya di Timur Tengah. Ia juga memperkuat hubungan dengan Suriah, mengisolasi Iran, dan berhasil mencapai reposisi geostrategis Timur Tengah untuk sepenuhnya mengepung PKT.
Bagaikan mengisi air ke dalam keranjang rotan, upaya habis hasil tidak kelihatan. Partai Komunis Tiongkok yang menginvestasikan sejumlah besar dananya untuk “sahabat-sahabat karib” nya di Timur Tengah, dengan maksud membuat gangguan situasi di Timur Tengah untuk mengalihkan perhatian AS dari strategi Indo-Pasifik, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa satu per satu dari mereka pergi menjauh.
Memang kasihan. Agar tidak tampak kesepian dan terasa sendirian, Partai Komunis Tiongkok terpaksa mengubah pendiriannya terhadap Hamas. Namun, kendati sikap diubah, pemerintahan Trump tidak akan menganggap enteng kemampuan kamuflase bunglon tiruan PKT yang merupakan akar penyebab kekacauan dunia. Tampaknya, kisah petani dan ular tidak akan terulang kembali. (sin/whs)