EtIndonesia. Peta geopolitik investasi global kembali berguncang setelah Pemerintah Kongo secara resmi meninjau ulang perjanjian investasi raksasa senilai 7 miliar dolar AS dengan Tiongkok. Langkah berani ini diiringi pernyataan terbuka pemerintah Kongo bahwa mereka kini mengundang Amerika Serikat untuk turut berinvestasi, sebagai strategi menyeimbangkan dominasi ekonomi dan industri Tiongkok di negara tersebut.
Evaluasi Kritis: Kongo Tuntut Keadilan Ekonomi dari Tiongkok
Menurut laporan eksklusif dari Dabaikan Finance pada 27 Mei 2025, Pemerintah Kongo menyoroti bahwa selama ini proyek-proyek pertambangan dan infrastruktur yang didanai Tiongkok hanya memberikan manfaat besar bagi pihak Tiongkok. Sementara itu, kontribusi ekonomi bagi Kongo dinilai sangat minim—hanya berupa pajak dan sedikit pembagian laba. Akibat ketimpangan ini, Kongo tidak segan-segan menegosiasikan ulang seluruh kontrak dengan Tiongkok dan tengah membuka pintu lebar-lebar untuk investasi Amerika, termasuk di sektor pertambangan strategis seperti tembaga, kobalt, dan emas.
Pejabat Pemerintah Kongo menargetkan, kesepakatan kerja sama baru dengan Amerika bisa tercapai sebelum akhir Juni 2025. Upaya ini juga didorong oleh situasi dalam negeri, di mana pemerintah ingin memperkuat stabilitas ekonomi sekaligus mendukung penyelesaian konflik berdarah di perbatasan Rwanda yang telah berkecamuk selama 30 tahun.
Dominasi Tiongkok di Afrika Mulai Ditantang
Tiongkok selama dua dekade terakhir memang dikenal sebagai investor terbesar di Afrika, terutama dalam pembangunan infrastruktur, energi, dan penguasaan sumber daya mineral. Namun, di balik masifnya aliran dana investasi, negara-negara Afrika, termasuk Kongo, mulai mempertanyakan keadilan dan transparansi perjanjian tersebut.
Kondisi ini diperparah oleh tren deindustrialisasi di Amerika, sehingga sebagian besar hasil tambang dari negara-negara Afrika justru diekspor ke Tiongkok. Data menunjukkan, Tiongkok kini mengimpor hampir 80% komoditas tambang utama dari seluruh dunia. Sikap baru Kongo yang berbalik arah dan mulai berpihak pada Amerika diyakini berpotensi membuat seluruh investasi Tiongkok di negeri itu, senilai 7 miliar dolar AS, hangus begitu saja—sebuah pukulan telak bagi strategi “One Belt One Road” milik Beijing.
Tak heran, kebijakan Kongo ini langsung memicu kecemasan dan kemarahan di kalangan pejabat pemerintah Tiongkok, yang melihat keputusan tersebut sebagai sinyal awal efek domino pergeseran geopolitik di Afrika.
Niger, Tiongkok, dan Potensi Efek Domino di Afrika
Tidak hanya di Kongo, ketegangan serupa kini mengemuka di Niger. Berdasarkan laporan Radio France Internationale, Menteri Perminyakan Niger, Mahaman Moustapha Barke Bako, secara resmi mengirimkan surat kepada CEO perusahaan minyak Tiongkok yang beroperasi di negaranya. Dalam surat itu, Barke Bako menuntut agar seluruh agen, kontraktor, dan penyedia jasa yang bekerja sama dengan Tiongkok segera menghentikan semua operasi dan meninggalkan Niger sebelum akhir bulan.
Langkah tegas ini mengancam investasi Tiongkok senilai 4,6 miliar dolar AS yang sudah digelontorkan ke sektor minyak Niger. Chen Gong, pendiri lembaga riset Anbound di Tiongkok, menyebut di media sosial bahwa dana miliaran dolar tersebut besar kemungkinan tidak akan pernah kembali.
“Jika negara-negara Afrika mulai berani mengambil langkah terang-terangan seperti ini, efek domino akan sulit dihindari. Negara-negara lain bisa saja meniru kebijakan Kongo dan Niger, memaksa Tiongkok keluar dari berbagai proyek strategis,” ujarnya.
Pertanyaan besar pun mengemuka: Akankah militer Tiongkok turun tangan jika aset-aset nasional mereka di Afrika benar-benar dirampas secara masif? Situasi ini menjadi perhatian serius para analis geopolitik dunia.
Amerika Perkuat Sistem Pertahanan di Afrika dan Kutub Utara
Di tengah memanasnya kompetisi investasi di Afrika, Amerika Serikat juga mulai mengambil langkah-langkah strategis di bidang pertahanan dan keamanan. Menurut laporan Defense News, akhir Mei lalu militer Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengerahkan sistem rudal pertahanan udara Stinger dan Avenger ke dua kawasan strategis: Arktik (Kutub Utara) dan Tunisia di Afrika.
Latihan Militer Besar di Arktik
Di wilayah Arktik, AS menggelar latihan militer besar-besaran di sekitar perairan Norwegia, yang berfokus pada pengujian pertahanan terhadap serangan drone rendah dan rudal jelajah. Langkah ini secara kasat mata ditujukan untuk menghadapi ancaman dari Rusia, namun para analis percaya bahwa Amerika juga sedang mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan ekspansi strategis Tiongkok di kawasan udara Rusia bagian utara.
Avenger di Afrika: Respons atas Ekspansi Ekonomi Tiongkok
Di Afrika, sistem rudal Avenger Amerika ditempatkan di Tunisia—negara yang kini dianggap strategis dalam menghadapi pengaruh ekonomi dan teknologi Tiongkok di Benua Afrika. Penempatan sistem pertahanan ini dinilai sebagai sinyal tegas bahwa Amerika tidak hanya bersaing di bidang ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi militer dan keamanannya untuk mengimbangi dan, jika perlu, membendung penetrasi Tiongkok.
Para pengamat menilai, penempatan sistem pertahanan di dua wilayah vital secara bersamaan merupakan bagian dari skenario besar Amerika untuk menghadapi kemungkinan “benturan kepentingan” global. Langkah ini juga sejalan dengan rencana “Golden Dome” era Trump serta adopsi teknologi baru, seperti drone canggih dan jaringan satelit militer “kill chain”, yang telah diterapkan di kawasan Indo-Pasifik.
Kesimpulan: Peta Baru Persaingan Global di Afrika
Rangkaian peristiwa yang terjadi di Kongo dan Niger menunjukkan bahwa Afrika sedang memasuki babak baru dalam perebutan pengaruh global antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Keputusan Kongo yang secara terbuka menantang dominasi Tiongkok, serta langkah tegas Niger terhadap investasi minyak Tiongkok, berpotensi menciptakan efek domino di seluruh Benua Afrika.
Sementara itu, langkah Amerika memperkuat sistem pertahanan di Afrika dan Kutub Utara merupakan sinyal bahwa rivalitas kedua raksasa dunia ini akan semakin sengit, tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga pada aspek keamanan dan militer.
Bagaimana akhir dari drama geopolitik ini? Dunia tengah menunggu babak berikutnya, di mana Afrika bukan lagi sekadar “ladang investasi”, melainkan arena pertarungan utama kepentingan global abad ke-21.