Karyawan Tiongkok Diduga Terlibat Penipuan, Mitsubishi Rugi Lebih dari Rp 1,4 Triliun
EtIndonesia. Mitsubishi Corp., Jepang, mengungkapkan bahwa seorang trader tembaga Tiongkok di bawah naungan perusahaan tersebut diduga terlibat dalam penipuan yang menyebabkan kerugian lebih dari Rp 1,4 triliun.
Menurut laporan dari Bloomberg, sumber yang mengetahui hal tersebut mengatakan bahwa Mitsubishi telah memecat trader tembaga yang berbasis di Shanghai, Gong Huayong.
Gong Huayong adalah trader tembaga yang bekerja untuk divisi perusahaan di Tiongkok dan ditemukan melakukan transaksi yang tidak sah dengan beberapa perusahaan lokal, termasuk perusahaan yang terkait dengan Gong Huayong sendiri.
Dalam laporan keuangan kuartalannya yang terbaru, Mitsubishi Corp. mengungkapkan kerugian sebesar 13,8 miliar yen (sekitar Rp 1,46 triliun) yang dikaitkan dengan “kerugian bisnis perdagangan di Tiongkok,” namun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Seorang juru bicara perusahaan pada hari Rabu (4/12) mengkonfirmasi bahwa kerugian tersebut terkait dengan tindakan Gong, tetapi menambahkan bahwa tidak akan ada kerugian lebih lanjut yang timbul dari masalah ini. Saham Mitsubishi turun sebanyak 2,1% akibat berita ini, namun kemudian membaik, dan pada hari Rabu pukul 11 pagi waktu Timur AS, sahamnya turun 1,1%.
Juru bicara tersebut juga mengonfirmasi bahwa Gong telah dipecat dan telah diajukan tuntutan pidana. Perusahaan menyatakan akan bekerja sama dengan pihak berwenang, namun menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut mengenai kasus pidana yang disebutkan.
Menurut laporan tersebut, Gong mungkin telah meninggalkan Tiongkok untuk urusan dinas sebelum Mitsubishi sepenuhnya mengungkapkan tindakannya, dan tidak kembali lagi.
Sumber mengatakan bahwa skandal ini mungkin membuat Mitsubishi yang konservatif, menjadi lebih berhati-hati lagi. Khususnya, staf Tiongkok di perusahaan tersebut khawatir mereka mungkin akan tertekan atau terpengaruh oleh insiden ini. Namun, ini bukan pertama kalinya sebuah perusahaan multinasional terlibat dalam skandal perdagangan komoditas.
Pada tahun 2019, Mitsubishi menutup divisi perdagangan minyaknya di Singapura setelah kerugian lebih dari 300 juta dolar AS akibat perdagangan yang tidak sah oleh seorang trader Tiongkok, meskipun trader tersebut melalui pengacara mengatakan bahwa ia bertindak sesuai arahan manajemen dan kerugian tersebut disebabkan oleh “penyelesaian posisi derivatif yang terlalu dini.”
Selain itu, pada Oktober lalu, Trafigura Group, raksasa perdagangan Swiss, menghadapi kerugian sebesar 1,1 miliar dolar AS di Mongolia karena perilaku tidak pantas oleh staf internal.(jhn/yn)
Tinju Shaolin Trump dan Pukulan Tai Chi Biden Membuat Xi Kewalahan
Tang Qing
Pada 16 November, Presiden AS Biden dan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping mengadakan pembicaraan di Lima, Peru. Ini adalah pertemuan perpisahan Biden. Dua bulan kemudian, Trump kembali dengan situasi kuat, berkuasa di Gedung Putih, maka Xi Jinping akan menghadapi lawan yang lebih tidak terduga.
Empat tahun yang lalu, Biden telah melanjutkan hampir semua kebijakan keras Trump terhadap PKT, dan atas dasar ini, dia telah meningkatkan upayanya. Dia juga telah bersatu dengan sekutu dari banyak negara untuk melawan PKT.
Kali ini, Trump mencoba yang terbaik, memanfaatkan keunggulan Partai Republik dalam mengendalikan DPR dan Senat untuk berkuasa kembali di Gedung Putih. Dia menunjuk pejabat kabinet yang paling hawkish (tangkas bagai elang) dan yang termuda dalam sejarah, dendam lama dan baru harus diselesaikan dengan PKT.
Trump memainkan tinju Shaolin yang keras dan tidak dapat diprediksi, sementara Biden memainkan Tai Chi jurus jarum yang tersembunyi di kapas. Xi semakin tua. Sangat sulit bagi Xi untuk bertahan dalam kompetisi estafet seperti Trump dan Biden.
Ayam berbicara dengan bebek, balas-berbalas
Menurut risalah pertemuan yang dikeluarkan Gedung Putih, Biden mendesak Partai Komunis Tiongkok untuk “mengakhiri aktivitas militer yang mengganggu stabilitas di sekitar Taiwan.” Biden juga menyoroti masalah perdagangan Tiongkok yang tidak adil, Laut Cina Selatan dan masalah hak asasi manusia dalam pertemuan tersebut.
Menurut laporan dari Kantor Berita Xinhua Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping mengajukan tujuh saran atas hubungan AS-Tiongkok pada pertemuan tersebut, dan secara khusus menarik empat garis merah yang tidak dapat ditentang : masalah Taiwan, demokrasi dan hak asasi manusia, sistem jalan raya dan hak untuk pembangunan.
Terlihat dari persoalan Taiwan hingga persoalan HAM, kedua belah pihak sebenarnya saling balas-membalas dan tidak memiliki konsensus yang substantif. Masalah-masalah lain seperti ayam berbicara dengan bebek, masing-masing bercerita sendiri. Khususnya “empat garis merah”, coba kita lihat, bukankah secara khusus ditujukan kepada Trump dari kejauhan? Karena Xi Jinping tahu bahwa setelah Trump menjabat, dia pasti akan meningkatkan tekanan terhadap Taiwan dan masalah hak asasi manusia.
Yang lebih aneh lagi adalah para pejabat Partai Komunis Tiongkok dan media bersama-sama mengadakan “kontes palsu”, mengklaim bahwa Xi Jinping secara terbuka menunjuk Lai Ching-te, Presiden Republik Tiongkok untuk pertama kalinya, dan menekankan bahwa “kemerdekaan Taiwan dan tindakan separatis tidak sesuai dengan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan”.
Media resmi Partai Komunis Tiongkok mengklaim bahwa Xi menuntut agar Amerika Serikat “mengakui sifat kemerdekaan Taiwan dari Lai Qing-te dan otoritas Partai Progresif Demokratik”. Namun, unit terkait di Taiwan mengonfirmasi kepada Amerika Serikat bahwa Xi Jinping tidak pernah menyebut kata “Lai Qing-te” dalam percakapan publik atau pribadi.
Surat kabar Taiwan mengutip orang dalam yang pergi ke Peru untuk menghadiri pertemuan tersebut yang mengatakan bahwa KTT APEC adalah kesempatan bagi negara-negara peserta untuk bekerja sama dan menjalin persahabatan, dan “tidak ada orang yang menyebut Lai Ching-te.”
Serigala perang berubah menjadi domba dalam semalam
Untuk meningkatkan hubungan Tiongkok-AS, kali ini Xi menggunakan taktik lunak dan keras, menggunakan seluruh kekuatannya. Anda tahu, dia kembali menunjukkan kelembutan kepada Biden, dengan mengatakan bahwa “negara-negara besar tidak boleh membangun halaman kecil dan tembok tinggi”, “Jika memperlakukan pihak lain sebagai lawan atau musuh….. akan mengganggu hubungan Tiongkok-AS……” Dia juga mengatakan bahwa kedua negara besar harus terus mengeksplorasi “jalan yang benar untuk hidup berdampingan secara harmonis”, merealsasikan “hidup berdampingan secara damai dalam jangka panjang” antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Dia juga memberikan tanda damai kepada Trump : “Tiongkok siap menjaga komunikasi dengan pemerintahan baru AS, memperluas kerja sama, mengelola perbedaan, dan berusaha keras untuk mencapai transisi hubungan Tiongkok-AS yang mulus…”
“Sikap melunak” Xi Jinping mengingatkan penulis pada pernyataan terbaru Xie Feng, Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat. Xie Feng membuat pernyataan yang mengejutkan pada 15 November, mengatakan bahwa “kita melindungi hubungan Tiongkok-AS seperti kita melindungi sungai induk.”
Dengar, apakah ini serigala perang yang pernah berteriak kepada Amerika Serikat bahwa pihak AS “tidak hanya ingin melakukan semua hal buruk, tetapi juga ingin memanfaatkan semua keuntungannya”? Netizen menyesalkan bahwa para serigala perang ini benar-benar “berubah menjadi domba dalam semalam”.
Kompetisi Estafet Bipartai Amerika
Para ahli pro-Komunis sering mengatakan bahwa presiden AS dianggap sebagai “pekerja sementara” yang berganti setiap empat tahun dan tidak memiliki kesinambungan kebijakan ; Sementara Partai Komunis Tiongkok bangga dengan “kekuasaan jangka panjang” dan memiliki “tekad strategis” yang konsisten. Ini mungkin terdengar masuk akal, tetapi di bawah tekanan berulang dari Trump dan Biden, pernyataan ini telah sepenuhnya digulingkan.
Setelah Biden berkuasa, alih-alih melonggarkan sanksi terhadap Partai Komunis Tiongkok, mereka malah meningkatkan sanksi berdasarkan sanksi Trump. Misalnya saja blokade teknologi semikonduktor, sanksi terhadap pejabat senior Partai Komunis Tiongkok dan aliansi dengan sekutu untuk membentuk penahanan internasional. Kebijakan Biden seperti pukulan “Tai Chi”, dengan jarum tersembunyi di dalam kapas, membuat PKT terpaksa sambil berdialog sambil dicecar pukulan.
Model estafet ini membuat Partai Komunis Tiongkok bingung kewalahan. “Tinju Shaolin yang keras” dari Trump ditambah “pukulan Tai Chi yang lembut” dari Biden yang terbentuk, saling melengapi dengan sempurna, memaksa Xi Jinping capai mengatasi kesulitan internal dan eksternal
Pada pemilu 2024, kedua partai dan kandidatnya bersaing untuk menunjukkan ketangguhan mereka melawan Partai Komunis Tiongkok di bawah tekanan opini publik. Kembalinya Trump yang kuat dalam pemilihan umum telah membuat stuasi kedua partai di Amerika Serikat “bergantian memberikan tekanan pada Partai Komunis Tiongkok” menjadi lebih jelas.
Tinju Shaolin Trump : Kuat dahsyat Tak Terduga
Ada yang mengatakan gaya bertarung Trump seperti tinju Shaolin, gerakannya langsung, cepat dan dahsyat, sama sekali tidak bertele-tele. Melihat kembali ke 2017, setelah Trump berkuasa, beberapa kebijakan utamanya menyebabkan kerugian langsung dan parah terhadap Partai Komunis Tiongkok :
1. Tarif dan perang dagang. Trump melancarkan perang dagang yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Partai Komunis Tiongkok dan mengenakan tarif tinggi terhadap impor Tiongkok senilai ratusan miliar dolar, yang secara langsung berdampak pada keunggulan ekspor Tiongkok. Hal ini tidak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi Partai Komunis Tiongkok, namun juga memaksa Xi Jinping terpecah antara “mempromosikan kemenangan” dan “respons pasif” aktual di dalam negeri.
2. Blokade teknologi. Trump telah menambahkan Huawei, Semiconductor Manufacturing International Corporation, dan raksasa teknologi Tiongkok lainnya ke dalam daftar sanksi, memutuskan hubungan mereka dengan rantai pasokan AS dan mencegah Partai Komunis Tiongkok membuat terobosan lebih lanjut di bidang teknologi utama seperti 5G. Kebijakan ini membuat “kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi” PKT menjadi omong kosong belaka.
3. Konfrontasi ideologis: mengungkap wajah sebenarnya dari PKT. Pemerintahan Trump dengan jelas membedakan PKT dari rakyat Tiongkok dan secara blak-blakan mengkritik rezim PKT sebagai ancaman terbesar bagi dunia bebas. Istilah “virus Tiongkok” yang digunakan Trump menunjukkan kebenaran bahwa PKT menutup-nutupi epidemi, sehingga semakin melemahkan kredibilitas PKT di dunia internasional.
Pukulan Tai Chi Biden : Jarum tersembunyi dalam kapas
Ketika Trump mengakhiri masa jabatan pertamanya pada awal tahun 2021, Xi Jinping mengira Biden akan meredakan ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat setelah menjabat, namun dia kecewa. Berbeda dengan gaya bertarung keras dan dahsyat Trump, Biden menampilkan gaya “Tai Chi” : Menggunakan kelembutan untuk mengatasi ketangguhan, selangkah demi selangkah, yang tercermin dalam tiga aspek berikut :
1. Aturan Xiao diikuti Cao, melanjutkan kebijakan Trump. Pemerintahan Biden tidak pernah melonggarkan sanksi teknologi tinggi terhadap PKT, namun justru memperkuat konsistensi kebijakan terhadap Tiongkok. Mulai dari terus memberlakukan larangan terhadap perusahaan seperti Huawei hingga memperluas pembatasan ekspor semikonduktor, Biden telah menargetkan ambisi ekonomi dan teknologi Partai Komunis Tiongkok dengan tepat.
2. Satukan sekutu untuk meluncurkan kampanye pembendungan. Biden telah menggunakan platform seperti G7, Dialog Keamanan Quad (Quad) dan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk memenangkan sekutu guna membendung PKT. Dalam situasi diplomatik, pemerintahan Biden mengklaim “mengelola risiko,” memaksa Partai Komunis Tiongkok untuk berpartisipasi dalam dialog dengan senyuman di wajahnya. Namun pada kenyataannya, Partai Komunis Tiongkok sambil berdialog sambil terkena pukulan, disini kebijakan “jarum tersembuny dalam kapas” membuat PKT semakin tidak nyaman.
3. Ofensif hak asasi manusia dan nilai-nilai. Pemerintahan Biden telah berulang kali secara terbuka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok terhadap masalah Xinjiang, Hong Kong, Tibet dan Falun Gong, dan telah bergabung dengan komunitas internasional untuk bersama-sama memberikan sanksi kepada pejabat senior Partai Komunis Tiongkok, secara terbuka menyebut Xi Jinping sebagai “Diktaktor”. Tindakan-tindakan ini semakin merusak citra PKT di dunia internasional dan memicu ketidakpuasan dalam negeri.
Trump Kembali : Badai Meningkat
Sekarang, kembalinya Trump menunjukkan bahwa Partai Komunis Tiongkok akan menghadapi badai yang lebih dahsyat. Kali ini “Tinju Shaolin Trump” akan didasarkan pada “Pukulan Tai Chi Biden” yang menyebabkan cedera internal dan eksternal pada PKT. Itu juga dapat diringkas dalam tiga aspek :
1. Perang dagang meningkat. Trump mengklaim akan mengenakan tarif sebesar 10% hingga 20% pada seluruh negara di dunia, namun hanya mengenakan tarif sebesar 60% atau lebih pada seluruh produk impor dari Tiongkok. Gaya permainan ini secara langsung mengambil 2,5 poin persentase PDB Tiongkok. Ini merupakan balas dendam yang pantas atas penggunaan perjanjian perdagangan sebelumnya oleh Xi Jinping untuk menipu Trump. Pada saat yang sama, dia juga dapat merundingkan kembali perjanjian perdagangan dengan berbagai negara untuk semakin melemahkan pengaruh Partai Komunis Tiongkok di pasar internasional.
2. Meningkatnya konfrontasi militer dan geopolitik. Trump mungkin meningkatkan dukungan militer untuk Taiwan, termasuk memperluas penjualan senjata ke Taiwan dan mempromosikan hubungan Taiwan dengan organisasi internasional. Dia juga dapat memperkuat kehadiran militer AS di Laut Cina Selatan dan secara langsung menantang “hegemoni maritim” PKT.
3. Kabinet terkuat dalam sejarah menghadapi PKT. Kabinet baru Trump memiliki sikap keras yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap PKT, dan mungkin secara komprehensif mendukung pembendungan strategis PKT. Sebagian besar pejabat senior ini bersikap keras terhadap kebijakan Tiongkok, tujuan bersama mereka adalah untuk sepenuhnya menekan ambisi ekspansi global PKT. Mereka tidak menyembunyikan sikap terbuka mereka terhadap PKT. Banyak dari mereka adalah anak muda berusia 40-an, kabinet Gedung Putih termuda dalam sejarah, penuh semangat dan energik.
Kontes terakhir antara Tiongkok dan Amerika Serikat
PKT pada awalnya berpikir bahwa keunggulan dari “pemerintahan jangka panjang” dapat mengalahkan model “pekerja sementara” Amerika Serikat, namun kenyataannya justru sebaliknya. Strategi estafet yang dilakukan Trump dan Biden menunjukkan fleksibilitas sistem AS, sementara kekakuan Partai Komunis Tiongkok telah menjadi beban strategis bagi Tiongkok.
Saat ini, Partai Komunis Tiongkok sedang menghadapi pengepungan yang berpusat pada Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri sedang melambat, pengangguran kaum muda melonjak, konflik sosial semakin meningkat dan perebutan kekuasaan semakin intensif. Hal ini sama berbahayanya seperti duduk di kawah gunung berapi .
Setelah Trump kembali, badai ini akan semakin hebat. Dari ekonomi, militer, hingga hak asasi manusia, “Tinju Shaolin” Trump dan “Pukulan Tai Chi” Biden membombardir bolak-balik. Penderitaan yang dihadapi PKT hanya dia sendiri yang tahu. Dan, apakah penguasa PKT dapat bertahan dari krisis ini, mungkin sudah berada di luar kendali mereka. (lin/mgl)
Tiongkok Memasuki Era Mengerikan, Perilaku Agresif Tanpa Pandang Bulu Merebak di Mana-Mana
Forum Elite
Tiongkok tampaknya sedang memasuki era yang mengerikan dengan meningkatnya secara signifikan jumlah perilaku agresif di tempat-tempat umum sejak memasuki November tahun ini. Selain kejadian mobil yang sengaja menabrak orang di Zhuhai sehingga jatuh banyak korban, masih banyak kejadian serupa yang muncul di berbagai tempat sehingga berdampak buruk bagi masyarakat di Tiongkok daratan. Karena itu, orang bertanya: Apa yang sedang terjadi di Tiongkok saat ini?
Jelang musnahnya PKT, warga putus asa, perilaku agresif tanpa pandang bulu merebak hebat
Produser TV independen Li Jun mengatakan bahwa Tiongkok akhir-akhir ini memasuki era merebaknya berbagai tindakan dari yang membahayakan, mencelakakan sampai pembunuhan tanpa pandang bulu. Pada 11 November, sebuah mobil yang melaju di Distrik Xiangzhou, Kota Zhuhai, Provinsi Guangdong secara sengaja menabrak kerumunan orang sehingga menimbulkan 35 orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka, demikian menurut laporan pejabat berwenang Tiongkok. Namun menurut berita terbaru, jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 65 orang. Pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Qiang keduanya sampai secara khusus memberikan instruksi pengusutannya.

Hanya dalam waktu 3 hari dari 15 hingga 17 November, di platform X setidaknya 5 atau 6 kasus pembunuhan tanpa pandang bulu yang terjadi di Wuxi, Shenyang, Guiping dan tempat lainnya. Pada 16 November, insiden penusukan dengan senjata tajam terjadi di Poliklinik Wuxi, menewaskan sedikitnya 8 orang dan melukai 17 orang lainnya.
Kabarnya, bahwa beberapa anak laki-laki yang putus asa dikarenakan pihak sekolah dengan niat buruk telah menahan sertifikat kelulusan mereka, dan memaksa mereka bekerja magang selama 16 jam sehari di pabrik, dan upahnya pun ditunggak. Mereka yang mencoba segala macam cara untuk bernalar demi menyelesaikan masalah telah menemui jalan buntu, yang akhirnya memicu beberapa orang itu untuk membentuk geng pembunuh yang membalas dendam terhadap masyarakat.
Pada 19 November pagi hari, sebuah mobil dengan sengaja menabrak orang-orang di depan Sekolah Dasar Yong’an yang berlokasi di Distrik Dingcheng, Kota Changde, Provinsi Hunan. Banyak siswa sekolah dasar tewas dan terluka. Kabar yang beredar menyebutkan, bahwa anak laki-laki berusia 9 tahun dari pria yang menabrakkan mobilnya ke siswa telah mengalami perundungan fisik dari siswa lainnya di sekolah, sampai buah zakarnya pecah. Pria tersebut mencoba mendapatkan penjelasan dari sekolah dan polisi tetapi tidak mendapat tanggapan yang semestinya, membuat pria yang cemas tersebut naik pitam dan terjadilah tragedi itu.
Li Jun mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kasus balas dendam terhadap masyarakat serupa yang terjadi, namun media tidak berani memberitakannya. Kali ini Xi Jinping memberikan instruksi agar terungkap sumbernya.
Beberapa netizen berkomentar bahwa sumbernya tak lain adalah Partai Komunis Tiongkok sendiri, yang dari awal menerapkan pendidikan kebencian yang ekstrim, sehingga masyarakat telah kehilangan rasa keadilan yang paling mendasar. Gabungan dari kedua faktor itulah yang menghantarkan masyarakat Tiongkok selangkah demi selangkah menuju kondisi saat ini.
Ketika Li Jun bekerja di media, ia menyadari ada fenomena yang sangat aneh dalam cara Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengelola masyarakat. Jika seseorang mencoba berbicara secara masuk akal dengan PKT, maka itu tidak akan berhasil. Alias mereka tidak akan peduli. Namun, jika Anda menggunakan cara yang lebih ekstrem, misalnya melakukan pembunuhan, pembakaran, atau memperbesar masalah, barulah mereka akan menyelesaikannya.
Oleh karena itu, kata Li Jun, banyak warga sipil mengatakan, tidak perlu bernalar dengan pemerintah. Semakin kejam dan keras atau ekstrem Anda bertindak, maka akan semakin efektif dalam menarik kepedulian PKT untuk memperhatikan masalah yang sedang Anda hadapi. Li Jun berpikir ini adalah semacam panduan yang kejam, dan PKT harus memikul tanggung jawab penuh.
Shi Shan, editor senior dan kepala penulis The Epoch Times, mengatakan bahwa hal ini memang sangat menakutkan. Sudah menjadi hukum alam bahwa semua kebaikan maupun kejahatan akan terbalas. Hukum juga untuk membatasi orang bertindak jahat dan mendorong orang bertindak bajik.
Namun demikian, dalam sistem pendidikan Partai Komunis Tiongkok, ketika orang melakukan hal-hal jahat, mereka justru mendapatkan pahala. Di bawah sistem ini, masyarakat akan berubah menjadi jahat. Apa pun yang dilakukan seseorang, yang dilihat adalah sejauh apa galak dan kejamnya, siapa yang paling tidak tahu malu, dan siapa yang lebih mampu menipu. Ini sangat menakutkan.
Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan larangan bagi warga sipil untuk membawa senjata api atau senjata tajam, apakah sekarang pihak berwenang akan mengeluarkan larangan membawa mobil? Larangan apa pun sudah tidak ada gunanya, “nasi sudah menjadi bubur”, rasanya momen paling gelap bagi Tiongkok telah mendekat.
Wang Juntao, ketua Partai Demokrasi Tiongkok dalam rantau mengatakan bahwa masyarakat sudah tidak puas dengan situasi sosial saat ini, tidak hanya situasi ekonomi, tetapi juga ketidakpuasan terhadap tata kelola pemerintah, hal inilah yang menyebabkan kemarahan masyarakat.
Pada tahun 1990-an, ketika terjadi gelombang PHK di Tiongkok, 20 juta pekerja sangat tidak puas dengan penutupan dan pengalihan 200.000 hingga 300.000 perusahaan milik negara oleh Perdana Menteri Zhu Rongji. Saat itu juga terjadi berbagai tragedi seperti anggota keluarga membakar diri, mengakhiri hidup dengan meminum racun, dan lain sebagainya.
Pada dekade pertama abad ke-21, setelah Tiongkok masuk ke WTO, pemerintah daerah berlomba melakukan pembangunan infrastruktur, yang juga memicu terjadinya pembongkaran paksa dan pembebasan lahan warga sipil, sehingga banyak insiden berdarah terjadi, sampai ada beberapa warga nelayan di Shanwei yang menggunakan peledak penangkap ikan untuk melawan polisi bersenjata. Beberapa tahun yang lalu, seorang pria Shanghai bernama Yang Jia telah menikam 11 orang polisi, menewaskan 6 orang dan melukai 5 lainnya, tetapi perbuatannya itu justru mendapat tepuk tangan dari para netizen Tiongkok.
Berbagai insiden keji nyaris tidak berhenti sejak rezim Partai Komunis Tiongkok berkuasa, namun kasus yang terjadi belakangan ini disebut tindakan membahayakan orang lain secara tidak pandang bulu. Di masa lalu, pembalasan atas suatu kesalahan umumnya diarahkan kepada pelakunya yang menimbulkan masalah, yaitu siapa yang menimbulkan masalah baginya, maka dialah yang harus menerima balas dendam dari dirinya. Tapi sekarang balasan dendam itu diarahkan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Para pelaku sekarang telah benar-benar putus asa terhadap masyarakat ini, sehingga mereka berusaha membalas dendam kepada masyarakat. Ini adalah fenomena baru, yang menjadi semakin serius di era Xi Jinping berkuasa.
Meskipun dalam kenyataannya, hal-hal semacam ini juga terjadi pada masa kekuasaan Hu Jintao, Wen Jiabao, dan Jiang Zemin, tetapi para elit tidak peduli. Kini para elit sangat tersentuh dan bersedia membicarakan penyebab mendasar dari peristiwa-peristiwa ini, yang pada akhirnya sumber penyebab akan mengarah pada Xi Jinping dan kegagalan rezim Partai Komunis Tiongkok dalam mengelola masyarakat.
Shi Shan berpikir ini adalah tanda bahwa PKT tidak hanya kehilangan kepercayaan dari masyarakat kelas bawah karena tidak peduli terhadap kehidupan mereka, seperti contohnya gelombang PHK yang terus meluas dan perampasan tanah, penggusuran rumah warga juga menimbulkan antipati dari para pekerja dan petani Tiongkok. Selain itu, Tiongkok saat ini juga telah kehilangan dukungan populer dari para teknokrat, pengusaha, dan intelektual yang semua ini merupakan pilar masyarakat modern.
Guo Jun mengatakan bahwa masalah utama di Tiongkok adalah pengangguran, tunggakan gaji, penggusuran rumah warga, dan perampasan kekayaan rakyat oleh pemerintah daerah yang disebabkan oleh ketidakadilan sosial, yang sepenuhnya dilakukan dengan mengabaikan hukum. Kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyebabkan ketidakadilan sosial yang tidak terbatas.
Guo Jun mengatakan, perekonomian telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Meski pada masa itu juga terjadi banyak masalah ketidakadilan sosial, namun lantaran ada banyak jalan keluarnya sehingga masalah tidak begitu menonjol.
Namun demikian, sekarang perekonomian Tiongkok sedang terpuruk, dan pendapatan fiskal banyak pemerintah daerah telah menurun. Para pejabat pemerintah pun mengalami kemerosotan penghasilan, sehingga mereka berusaha melalui berbagai cara illegal untuk memeras rakyat. Di sisi lain, karena perekonomian sedang terpuruk, masyarakat tidak punya jalan keluar, sehingga kebencian dan kemarahan lebih mudah tersulut.
Beberapa orang mengatakan bahwa tahun ini mungkin merupakan tahun terbaik bagi perekonomian Tiongkok dalam 20 tahun ke depan. Jika hal ini benar, kita tidak akan melihat bahwa berbagai insiden sosial yang keji terjadi semakin banyak dan serius. Sia-sia saja untuk membungkus api dengan kertas. Guo Jun khawatir tindakan yang diambil oleh pihak berwenang tidak akan ada gunanya.
Gerakan kelompok muda merupakan kekuatan kunci yang mempengaruhi situasi sosial
Wang Juntao mengatakan bahwa sebenarnya, mahasiswa sudah mulai bergerak melalui teriakan “Hallo (Deng) Xiaoping” pada tahun 1984, kemudian menjadi gerakan yang lebih besar pada tahun 1985. Wang Juntao ingat ketika dirinya kembali ke Beijing dari Wuhan pada tahun 1985, seorang reporter media asing mewawancarai dirinya dan bertanya, apakah mahasiswa saat ini masih tetap menganggap dunia sebagai tanggung jawab mereka, dan apakah mereka bersatu untuk merevitalisasi Tiongkok seperti yang Anda lakukan saat itu? ia mengatakan bahwa generasi muda sekarang tampaknya cukup puas dengan Partai Komunis, ia juga berpikir mereka tidak lagi memiliki kesadaran politik. Berbeda dengan kelompok muda generasi kami saat itu, mereka telah mengumpulkan banyak pengalaman politik, pengalaman hidup serta mengetahui beberapa masalah negara.
Akan tetapi 2 minggu setelah itu, yakni 18 September, terjadi gerakan mahasiswa di Universitas Peking, yang kemudian berkembang menjadi gerakan mahasiswa tahun 1986, yang juga berujung pada pengunduran diri Hu Yaobang dan gerakan mahasiswa besar-besaran pada tahun 1989.
Pada 14 Maret 2022 setelah insiden pembunuhan pengacara Li Jinjin, media asing yang mewawancarai dirinya bertanya, bagaimana menurut dirinya apakah gerakan pro-demokrasi Tiongkok masih memiliki prospek? ia katakan itu pasti akan terjadi. Hasilnya, Gerakan Buku Putih berkobar pada November, dan generasi muda Tiongkok pasti akan terus turun ke jalan di masa mendatang.
Juntao berpikir selama kaum nasionalis muda Tiongkok di internet saat ini tidak disuap oleh PKT dan tidak berhati jahat, begitu kaum ini yang percaya kepada PKT karena tertipu atau kebodohan mereka mulai sadar, mereka akan menjadi potensi yang dapat sangat merugikan PKT, dan mereka juga akan tanpa ragu-ragu untuk melawan PKT. Oleh karena itu, Juntao yakin selama benih demokrasi dan ketidakpuasan terhadap Partai Komunis masih tumbuh, suatu saat akan menjadi kobaran api yang sangat besar.
Guo Jun mengatakan, bahwa kekacauan sosial (social chaos) yang terjadi dalam sejarah umumnya berkaitan erat dengan gerakan kaum muda. Analisa umum berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan karena generasi muda relatif lebih idealis, tidak mempunyai beban hidup yang terlalu berat, belum mengalami kesulitan dalam masyarakat, dan kurang memahami kompleksitas permasalahan sosial dan penyebabnya.
Namun, yang lebih menonjol adalah mereka ini lebih tidak sabar dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Mereka menghendaki penyelesaian begitu masalah muncul, harus ada solusi, sehingga lebih impulsif. Namun di sisi lain, tentu saja banyak kaitannya dengan perekonomian, namun biasanya juga ada hubungannya dengan proporsi generasi muda dalam populasi.
Guo Jun mengatakan bahwa pada tahun 1960-an dan 1970-an, terjadi gelombang gerakan perlawanan generasi muda di seluruh dunia. Di Tiongkok terjadi Revolusi Kebudayaan, di Amerika Serikat terjadi gelombang anti-Perang Vietnam dan gerakan hippie. Di Eropa juga sama. Kali ini bertepatan dengan booming bayi pascaperang.
Sejak akhir Perang Dunia II hingga awal tahun 1950-an, terjadi ledakan bayi di seluruh dunia. Pada pertengahan tahun 1960-an dan 1970-an, kelompok orang ini mulai memasuki usia dua puluhan yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan psikologis yang cepat, sehingga mereka dapat berdampak besar terhadap masyarakat.。
Guo Jun mengajak melihat situasi di Amerika Serikat. Pada tahun 1960an dan 1970an, tingkat kejahatan di Amerika Serikat terus meningkat. Mengambil contoh New York, tingkat kejahatan terus meningkat hingga pertengahan tahun 1990an, namun tiba-tiba menurun mulai tahun 1996. Ada banyak penelitian mengenai masalah ini yang dilakukan di Amerika Serikat. Salah satu teorinya adalah pada akhir tahun 1990-an, proporsi generasi muda di Amerika Serikat sudah mulai menurun karena mereka sudah beranjak dewasa, sehingga para peneliti yakin bahwa proporsi generasi muda berdampak besar terhadap permasalahan sosial.
Namun kenyataannya, Amerika Serikat mulai memasuki stagnasi ekonomi pada tahun 1960an dan 1970an. Melalui penerapan kebijakan ekonomi konservatif Presiden Reagan pada tahun 1980an, perekonomian AS mulai tumbuh kembali pada pertengahan tahun 1990an dengan bantuan teknologi baru dan model ekonomi yang inovatif dan kewirausahaan.
Pada tahun 1990-an, pertumbuhan internet dan ekonomi teknologi baru di Amerika Serikat telah membuka lapangan kerja bagi kaum muda. Tidak hanya kaum muda memiliki tingkat pengangguran yang relatif rendah, namun karena munculnya teknologi baru, pendapatan mereka juga lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Saat itu, status ekonomi generasi muda di Amerika Serikat jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi muda sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.
Jadi menurut Gou Jun penurunan proporsi generasi muda dalam populasi, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang memberikan prospek lebih baik bagi generasi muda, mungkin menjadi alasan utama mengapa tingkat kejahatan di Amerika Serikat menurun secara signifikan setelah tahun 1990an.
Mari kita lihat kembali situasi di Tiongkok saat ini. Dalam 2 atau 3 tahun terakhir, perekonomian Tiongkok mengalami penurunan drastis, industri yang dapat memberikan upah lebih tinggi kepada kaum muda telah jauh berkurang. Ini adalah alasan utama merebaknya masalah sosial di Tiongkok.
Misalnya, jika terjadi permasalahan dalam industri internet dan industri game, maka akan timbul permasalahan dalam mencari jalan keluar bagi generasi muda, dan permasalahan sosial yang berkaitan dengan generasi muda pun akan semakin serius. Salah satu wujudnya adalah memburuknya keamanan publik.

Ada kejadian besar di Tiongkok baru-baru ini. Mahasiswa Kaifeng dan Zhengzhou, Henan, mengisi acara kumpul-kumpul dengan berkuliner naik sepeda. Banyak orang mengatakan bahwa mahasiswa ini tidak mengajukan tuntutan sosial atau politik, bahkan ada yang meneriakkan “Hidup Partai Komunis”, jadi tidak menjadi masalah. Gou Jun berpikir ide ini terlalu sederhana. Dalam Parade Hari Nasional di Beijing pada tahun 1984, mahasiswa bahkan memasang spanduk bertuliskan “Hallo Xiaoping”. Namun 5 tahun kemudian, mahasiswa di Beijing menjadi kekuatan utama dalam “Gerakan Demokrasi 1989”.
Gou Jun juga berpikir mahasiswa di Tiongkok saat ini mirip dengan mahasiswa tahun 1980an yang menghadapi masa depan suram. Tapi mereka tahu apa yang sedang terjadi di dunia. Ini adalah lanskap yang sensitif dan terus berubah, dan tidak menutup kemungkinan ada pergerakan mahasiswa dalam skala besar yang muncul tanpa diduga. Apalagi di saat perekonomian sedang lesu, tertutupnya lapangan kerja bagi mahasiswa setelah lulus, dalam situasi seperti ini, berbagai masalah bisa muncul kapan saja. PKT pasti akan melakukan segala upaya untuk membasmi gerakan mahasiswa.
Li Jun mengatakan, bahwa ada satu hal yang menarik perhatian dirinya, yaitu kaum muda di Tiongkok saat ini tidak memiliki rasa takut terhadap PKT. Rezim Partai Komunis Tiongkok memerintah dengan menebarkan rasa takut. Mereka meluncurkan gerakan politik berskala besar setiap 7 atau 8 tahun sekali, dan mengandalkan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan PKT untuk menciptakan mentalitas ketakutan pada masyarakat.
Tetapi, kata Li jun, walau kaum muda yang lahir setelah tahun 1990-an dan 2000-an ini tumbuh di bawah kendali ketat dan mengalami pencucian otak oleh PKT, tetapi mereka sangat berbeda dengan orang yang segenerasi dengan ayahnya. Saat itu, ayahnya gemetar ketakutan ketika mendengar tentang gerakan politik PKT karena ia sangat terpatri dengan kejadian dalam sejarah, namun generasi muda saat ini tidak demikian. Oleh karena itu, begitu kaum muda ini sadar, mereka pasti akan lebih berani dalam melawan PKT demi menuntut hak-hak dasar mereka ketimbang para revolusioner veteran. (sin)
Sumber : NTDTV.com
FBI Selidiki Keberadaan Drone di Dekat Klub Golf Donald Trump
Pembatasan penerbangan telah diterapkan di atas klub Bedminster milik Trump, serta fasilitas penelitian dan manufaktur militer dikarenakan adanya penampakan drone
ETIndonesia. FBI dan otoritas lokal di negara bagian New Jersey, Amerika Serikat meminta bantuan publik untuk memberikan informasi terkait serangkaian penampakan drone yang tidak dapat dijelaskan di wilayah tersebut selama beberapa minggu terakhir.
Pada Selasa 3 Desember, FBI, Kepolisian Negara Bagian New Jersey, dan Kantor Keamanan Dalam Negeri dan Kesiapsiagaan Negara Bagian mengeluarkan pernyataan bersama terkait objek terbang yang terlihat di sepanjang Sungai Raritan sejauh 70 mil di Morris County.
“Saksi mata melaporkan melihat sekumpulan objek yang terlihat seperti drone dan kemungkinan pesawat bersayap tetap,” menurut pernyataan tersebut. “Kami menerima laporan dari masyarakat dan penegak hukum sejak beberapa minggu lalu.”
Penampakan ini menimbulkan kekhawatiran tambahan karena lokasinya yang dekat dengan National Golf Club milik Presiden terpilih Donald Trump di Bedminster, yang terletak di selatan Morris County.
Administrasi Penerbangan Federal (FAA) telah mengeluarkan dua Pembatasan Penerbangan Sementara (TFR) di atas klub golf Trump, serta Picatinny Arsenal, sebuah fasilitas penelitian dan manufaktur militer, akibat penampakan tersebut. TFR membatasi operasi pesawat, termasuk drone, tanpa izin di area tertentu untuk waktu tertentu.
Video penampakan drone telah muncul di media sosial, memicu keraguan dari beberapa orang terkait keaslian gambar tersebut. Namun demikian, yang lain mengungkapkan kekhawatiran apakah objek tersebut digunakan untuk mengawasi warga atau mungkin menimbulkan ancaman terhadap masyarakat.
Saksi mata mengatakan kepada media lokal bahwa drone tersebut terbang hampir setiap malam di wilayah tersebut selama beberapa minggu terakhir.
“Kami melihatnya setiap malam, kecuali pada Hari Thanksgiving. Sepertinya mereka libur malam itu,” kata Mike Walsh kepada NBC New York pada Senin.
Walsh juga mengatakan bahwa objek tersebut terdengar mirip dengan helikopter dan terbang dalam waktu yang lama. Ia juga menyebutkan bahwa ia tidak dapat memastikan dari mana drone tersebut diluncurkan dan di mana mereka mendarat.
“Langit di New Jersey penuh aktivitas!” tulis seorang pengguna di X. “FBI sedang menyelidiki kasus ini setelah penampakan drone misterius dan [objek terbang tak dikenal] diamati di wilayah utara New Jersey! Apa ini? Alien, teknologi mata-mata, atau sesuatu yang lain?”
Menurut FAA, pilot drone yang melanggar pembatasan penerbangan atau membahayakan pesawat atau orang dapat dicabut izinnya atau dikenakan denda hingga $75.000.
Situs web FAA menunjukkan bahwa TFR di atas lapangan golf Trump akan berakhir pada 6 Desember, sementara TFR di atas Picatinny Arsenal akan berakhir pada 26 Desember.
Siapa pun yang memiliki informasi tentang drone tersebut diminta untuk menghubungi FBI di 1-800-CALL-FBI atau mengirimkan informasi secara daring di tips.fbi.gov.
Sumber : The Epoch Times
Survei Mengungkapkan Perusahaan Inggris Hadapi Tantangan yang Meningkat di Tiongkok
Faktor ekonomi, hambatan regulasi, dan ketegangan geopolitik menjadi faktor utama yang berkontribusi pada lingkungan yang menantang, menurut sebuah kelompok lobi bisnis.
ETIndonesia. Berbisnis di Tiongkok menjadi lebih berat bagi perusahaan Inggris pada tahun ini dibandingkan tahun lalu, menurut survei yang diterbitkan oleh British Chamber of Commerce in China pada 3 Desember.
“Perusahaan Inggris terus menghadapi hambatan besar, mulai dari perlambatan ekonomi Tiongkok hingga hambatan regulasi,” ujar kelompok lobi bisnis tersebut.
“Ekspektasi pendapatan menurun, dan optimisme bisnis untuk tahun 2025 rendah meskipun ada pengumuman langkah-langkah stimulus.”
Dari 311 perusahaan Inggris yang disurvei, 58 persen melaporkan bahwa berbisnis di Tiongkok menjadi lebih sulit selama setahun terakhir. Perusahaan tersebut mengidentifikasi berbagai alasan kesulitan ini: 86 persen menyebutkan faktor ekonomi, 49 persen faktor geopolitik, dan 39 persen faktor regulasi.
Tahun ini menandai tahun kelima berturut-turut perusahaan Inggris merasa lingkungan bisnis di Tiongkok semakin sulit. Ketika ditanya tentang prospek bisnis untuk 2025, hanya 41 persen yang optimis, turun dari 46 persen yang berharap kondisi lebih baik pada 2024.
Ekonomi Tiongkok terus bergulat dengan sektor properti yang bermasalah dan kepercayaan konsumen yang melemah. Pertumbuhan output industri Tiongkok melambat pada Oktober, dan PDB kuartal ketiga tumbuh pada laju paling lambat sejak awal 2023. Sebuah survei Reuters yang diterbitkan pada Oktober menunjukkan bahwa Tiongkok mungkin tidak mencapai target pertumbuhan PDB tahun ini.
British Chamber of Commerce menggelar survei ini antara 23 September dan 4 November, sehari sebelum pemilu AS digelar.
“Di bidang geopolitik, perusahaan tetap waspada terhadap lingkungan global yang lebih luas, terutama dengan kenaikan tarif baru-baru ini oleh Uni Eropa dan meningkatnya retorika politik AS-Tiongkok serta UE-Tiongkok,” demikian laporan survei tersebut.
Uni Eropa memutuskan untuk mengenakan tarif hingga 45 persen pada kendaraan listrik buatan Tiongkok. Di Amerika Serikat, Presiden terpilih Donald Trump mengatakan bulan lalu bahwa ia akan memberlakukan tambahan tarif 10 persen pada semua impor Tiongkok.
Menurut survei tersebut, 33 persen perusahaan berharap pendapatan mereka meningkat dari tahun ke tahun pada 2024, turun dari 45 persen pada 2023.
Hanya 8 persen yang berencana mengurangi investasi pada 2025, tingkat terendah sejak 2021. Namun, rekor tertinggi sebesar 16 persen tidak yakin tentang tingkat investasi tahun depan.
Navigasi regulasi keamanan siber dan teknologi informasi telah menjadi perhatian utama perusahaan Inggris di Tiongkok selama dua tahun berturut-turut.
“Pengawasan yang meningkat dan implementasi cepat kebijakan siber baru membuat organisasi menghadapi tuntutan kepatuhan yang lebih tinggi, dengan banyak yang melaporkan ini sebagai prioritas utama regulasi mereka,” kata survei tersebut.
“Tantangan ini semakin diperburuk bagi perusahaan yang sangat bergantung pada infrastruktur digital, dengan sektor seperti industri kreatif, teknologi informasi, dan layanan keuangan merasakan dampak yang mendalam.”
Undang-Undang Keamanan Siber Beijing, yang mulai berlaku pada Juni 2017, mengharuskan semua perusahaan yang beroperasi di Tiongkok menyimpan data mereka di dalam perbatasan negara itu.
Beberapa responden survei mengatakan mereka menghadapi tantangan yang meningkat dalam mengakses sumber daya online di luar perbatasan Tiongkok, sementara yang lain mengatakan pembatasan transfer data lintas negara “telah berdampak negatif” pada penelitian dan pengembangan.
Kekhawatiran regulasi lainnya termasuk transparansi lingkungan bisnis Tiongkok, kesulitan dalam memperoleh lisensi dan izin usaha, serta perlindungan kekayaan intelektual (IP).
Kantor Perwakilan Dagang AS, dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 2018, menyebutkan Tiongkok sebagai “pelanggar IP Amerika terburuk,” yang merugikan ekonomi AS antara $225 miliar hingga $600 miliar setiap tahun.
Survei British Chamber of Commerce menemukan bahwa 29 persen responden memperkirakan jumlah tantangan regulasi akan meningkat dalam lima tahun ke depan, sementara 31 persen percaya jumlahnya akan tetap sama, dan 9 persen berharap ada pengurangan. Sisanya, 31 persen, mengatakan mereka “tidak dapat mengatakan dengan yakin.”
“Meskipun ada upaya pemerintah Tiongkok untuk mengurangi hambatan regulasi dan menarik investasi asing, banyak bisnis belum merasakan stabilitas regulasi yang signifikan,” demikian survei tersebut.
“Ketidakpastian yang terus berlangsung ini terus meredam kepercayaan jangka panjang di pasar.”
Reuters berkontribusi pada laporan ini.
Sejumlah Rantai Restoran dan Minuman dengan Harga Murah dari Tiongkok Memicu Kekhawatiran Dumping Layanan
Jon Sun, Xin Ning dan Olivia Li – The Epoch Times
Sejumlah rantai restoran asal Tiongkok secara agresif menerapkan strategi harga murah untuk memasuki pasar internasional, menciptakan tantangan baru bagi bisnis domestik
Analisis Berita
Praktik dumping dari Tiongkok kini tidak lagi terbatas pada barang fisik, tetapi juga meluas ke sektor layanan. Beberapa rantai restoran asal Tiongkok menawarkan harga jauh lebih rendah dibandingkan tingkat harga domestik di negara penerima, yang mana berdampak terhadap dinamika pasar global.
Sun Kuo-Shyang, seorang pakar studi Asia–Pasifik, memperingatkan bahwa fenomena dumping layanan ini berpotensi mengganggu pasar global. Ia menekankan pentingnya respon cepat dari komunitas internasional.
Salah satu contoh mencolok adalah Mixue Ice Cream & Tea, rantai populer asal Tiongkok yang fokus pada es krim dan minuman teh. “Mixue,” yang berarti salju manis dalam bahasa Mandarin, sedang bersiap memasuki pasar Amerika Serikat. Sebelumnya, strategi harga rendah Mixue menyebabkan gangguan signifikan di Asia Tenggara.
Di Vietnam, harga super murah yang ditawarkan Mixue memicu keluhan dari pemegang waralaba. Pada September tahun lalu, puluhan pemilik waralaba Mixue di negara tersebut memprotes persyaratan diskon reguler yang dianggap tidak masuk akal dan merugikan investasi mereka, menurut laporan media pemerintah Tiongkok.
Setelah berhasil mendirikan hampir 4.000 toko di kawasan Asia–Pasifik, Mixue kini berencana memperluas jaringan waralabanya ke AS, dengan menonjolkan “harga ekonomis” sebagai keunggulan utamanya.
Para ahli memperingatkan bahwa masuknya layanan makanan murah dari Tiongkok mencerminkan “China Shock 2.0,” yang didorong oleh permintaan domestik rendah dan mentalitas perang harga.
Tren ini kemungkinan besar akan terus berlanjut di tengah melemahnya ekonomi Tiongkok, mendorong pemerintah di negara-negara terdampak untuk melindungi bisnis lokal.
Pemimpin Harga Rendah Tiongkok Merambah Pasar Global
Didirikan pada 1997 oleh Zhang Hongchao dan Zhang Hongfu, Mixue memimpin perang harga di antara rantai minuman Tiongkok. Salah satu inovasi unggulannya adalah minuman es 22 ons dengan harga hanya 1 yuan atau Rp 2.000 per cangkir, yang memaksa pesaing untuk menurunkan harga mereka.
Hingga September 2023, Mixue telah memiliki lebih dari 30.000 toko di Tiongkok, sebagian besar berupa waralaba. Perusahaan menyediakan bahan baku, kemasan, dan peralatan kepada mitra waralabanya, menjadikan operasional waralaba sebagai sumber utama pendapatannya.
Ekspansi internasional Mixue dimulai enam tahun lalu, membawa taktik harga murahnya ke pasar luar negeri. Setelah membuka toko pertama di Vietnam pada 2018, Mixue telah berkembang pesat hingga mencapai 1.000 lokasi di negara itu pada 2023. Jaringan ini juga menjangkau Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, dengan total hampir 4.000 toko secara global.
Strategi Mixue berfokus pada menyediakan produk dengan harga terjangkau untuk konsumen muda.
Di Vietnam, misalnya, secangkir teh lemon Mixue dijual seharga sekitar Rp 10.000, sementara es krimnya dijual setara Rp 6.000 —30% hingga 50% lebih murah dibanding pesaing lokal seperti ToCoToCo, waralaba bubble tea asal Vietnam.
Sun, asisten profesor di Universitas Nanhua, Taiwan, menyebut pendekatan harga rendah Mixue berdampak negatif pada bisnis kecil dan menengah lokal, mengurangi keragaman pasar, dan berpotensi memicu investigasi anti-dumping yang dapat berujung pada hambatan perdagangan.
“Meskipun konsumen mendapatkan harga yang lebih murah, hal ini juga dapat menurunkan kualitas dan mengancam budaya kuliner tradisional,” ujar Sun kepada The Epoch Times.
Namun, strategi harga rendah Mixue juga memiliki konsekuensi pada kualitas layanan. Pada paruh pertama 2023, 28 toko Mixue di Beijing dilaporkan melanggar aturan keamanan pangan, menjadi jumlah tertinggi di antara merek restoran rantai. Pelanggaran tersebut termasuk tidak memakai sarung tangan, penyimpanan makanan yang tidak benar, serta kebersihan peralatan yang buruk.
Permintaan Lemah di Tiongkok Memicu Harga Rendah
Mixue bukan satu-satunya yang terlibat dalam tren ini. Merek layanan makanan Tiongkok lainnya, seperti Cotti Coffee, rantai teh susu Chagee, dan rantai hotpot Haidilao, juga melakukan ekspansi secara agresif ke Asia Tenggara.
David Huang, seorang ekonom berbasis di AS, mengaitkan perang harga yang sudah berlangsung lama di Tiongkok dengan rendahnya permintaan domestik, yang mana memaksa para pemilik bisnis bersaing melalui penurunan harga.
Meskipun Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir, rata-rata pendapatan warga Tiongkok tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada Mei 2020, dalam konferensi pers setelah sesi pleno tahunan Beijing yang dikenal sebagai “Dua Sesi,” Perdana Menteri saat itu, Li Keqiang, mengungkapkan bahwa lebih dari 600 juta orang di Tiongkok memiliki pendapatan bulanan kurang dari 1.000 yuan
Laporan yang dirilis oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa 964 juta orang di Tiongkok memiliki pendapatan bulanan kurang dari 2.000 yuan. Namun demikian, dikarenakan rekam jejak otoritas Tiongkok yang sering menutupi atau melaporkan data secara tidak akurat, sulit untuk menilai data pendapatan yang sebenarnya.
Huang menyoroti bahwa PKT tidak memprioritaskan peningkatan pendapatan bagi populasi umum. Sebaliknya, fokusnya adalah memperluas ekonomi secara keseluruhan melalui pendekatan terencana yang terpusat. Salah satu contohnya adalah industri baja Tiongkok, yang menyumbang lebih dari separuh total produksi dunia.
Huang menambahkan PKT melihat rendahnya pendapatan warga sebagai keuntungan.
“Dengan mempertahankan kemiskinan yang meluas, otoritas mampu memanfaatkan tenaga kerja ini dengan biaya minimal—orang-orang bekerja dalam jam panjang, sering kali pada pekerjaan yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan, mendukung mesin ekonomi Tiongkok sambil menjaga biaya tenaga kerja tetap rendah,” katanya kepada The Epoch Times.
China Shock 2.0
Sun mengatakan bahwa ekspansi merek-merek Tiongkok ini dapat dianggap sebagai bagian dari China Shock 2.0, di mana harga rendah mereka menciptakan tantangan signifikan bagi pesaing lokal.
“China Shock” mengacu pada gelombang kehilangan pekerjaan massal di banyak negara, terutama di sektor manufaktur, ketika barang-barang murah buatan Tiongkok membanjiri pasar global setelah Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia pada 2001.
“Berbeda dengan gelombang sebelumnya yang berfokus pada manufaktur, gangguan baru ini meluas ke sektor layanan dan konsumen, menciptakan tantangan baru bagi bisnis lokal. Banyak usaha kecil akan kesulitan dan mungkin terpaksa tutup,” kata Sun.
Negara-negara Asia Tenggara mulai menyadari dampaknya.
Di Thailand, tempat Mixue telah membuka 200 gerai dalam waktu kurang dari dua tahun, Asosiasi Restoran Thailand secara terbuka menyatakan kekhawatiran atas masuknya bisnis yang dimiliki oleh Tiongkok.
Federasi Industri Thailand, khususnya Divisi Industri Makanan dan Minuman, memperingatkan tentang pesatnya pertumbuhan rantai restoran murah dari Tiongkok, ini berpotensi merugikan industri layanan makanan domestik. Selain itu, federasi meminta pemerintah memastikan keamanan dan kepatuhan bahan impor serta memperkuat langkah-langkah terhadap dumping layanan murah.
Di Vietnam, rantai lokal ToCoToCo menghadapi penurunan penjualan di kalangan konsumen muda akibat persaingan ketat dari merek-merek Tiongkok. Menurut laporan media lokal, perusahaan ini mengalami kerugian selama tiga tahun berturut-turut hingga memaksanya menyesuaikan strategi bisnisnya.
Sun menyarankan bahwa negara-negara yang terdampak China Shock 2.0 mungkin akan segera menerapkan kebijakan untuk membatasi dampak merek-merek murah dari Tiongkok demi melindungi pasar domestik dan mendukung bisnis lokal.
Vietnam dan Thailand baru-baru ini memperkuat langkah anti-dumping terhadap barang-barang dari Tiongkok. Namun, undang-undang anti-dumping yang berlaku di kedua negara saat ini hanya berfokus pada barang nyata dan belum mengatur secara khusus layanan yang disediakan oleh merek-merek dari Tiongkok. (asr)
Langkah Kontroversial! Yoon Suk-yeol Berlakukan Darurat Militer, Negeri di Ambang Perang
EtIndonesia. Pada 3 Desember, pukul 22:30 waktu setempat, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, secara tiba-tiba mengumumkan penerapan darurat militer di seluruh negeri melalui siaran televisi nasional. Langkah drastis ini menandai peristiwa besar yang jarang terjadi dalam sejarah politik Korea Selatan.
Dalam pidatonya, Yoon menuduh Partai Oposisi Demokrat Korea Selatan yang menguasai parlemen telah berulang kali mengeluarkan pernyataan simpati kepada Korea Utara dan melakukan serangkaian tindakan anti-negara yang bertujuan melumpuhkan pemerintahan saat ini.
“Saya mengumumkan darurat militer untuk melindungi Republik Korea dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara, untuk segera memberantas kekuatan anti-negara pro-Korea Utara yang merampas kebebasan dan kebahagiaan rakyat kita,” ujar Yoon dalam pidatonya dengan tegas.
Langkah Konkret Penerapan Darurat Militer
Dalam waktu yang bersamaan dengan pengumuman tersebut, Kementerian Pertahanan Korea Selatan segera mengadakan rapat para komandan militer. Kendaraan lapis baja militer mulai melaju di jalan-jalan ibu kota Seoul, menandakan penerapan hukum militer secara nyata. Untuk memahami konsekuensi penerapan hukum militer ini, mari kita telaah langkah-langkah konkret yang diambil oleh Jenderal Park An-su, Kepala Staf Angkatan Darat Korea Selatan.
Enam Poin Utama Perintah Darurat Militer:
- Larangan Kegiatan Politik: Semua aktivitas politik dilarang, termasuk parlemen nasional dan lokal, partai politik, pertemuan politik, asosiasi, dan demonstrasi.
Tindakan ini langsung memicu konflik ketika beberapa orang mencoba memasuki gedung parlemen, yang kemudian disusul oleh tindakan oposisi yang memicu ketegangan lebih lanjut.
- Penolakan Terhadap Sistem Demokrasi Liberal: Segala bentuk penolakan atau upaya menggulingkan sistem demokrasi liberal dilarang. Ini mencakup larangan terhadap berita palsu, manipulasi opini publik, dan propaganda yang menyesatkan.
- Kontrol Media dan Publikasi: Semua media dan publikasi berada di bawah kendali hukum militer. Pemogokan, perusakan, atau pertemuan yang menghasut kekacauan sosial juga dilarang.
- Penanganan Petugas Medis: Semua petugas medis yang mogok kerja atau meninggalkan tempat kerja wajib kembali ke posisinya dalam waktu 48 jam.
- Minimisasi Ketidaknyamanan Warga Sipil: Warga sipil diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan ketidaknyamanan dalam kehidupan sehari-hari.
- Penegakan Hukum: Pelanggaran terhadap perintah hukum militer dapat dikenai hukuman penjara, penahanan, penggeledahan tanpa izin, penyitaan, dan hukuman sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Hukum Militer.
Reaksi dari Partai Oposisi dan Masyarakat
Setelah pengumuman tersebut, pemimpin oposisi, Lee Jae-myung, segera memberikan pernyataan melalui mobil yang terlihat terburu-buru. Dia menyatakan bahwa pengumuman darurat militer oleh Presiden Yoon adalah tindakan ilegal dan berjanji akan mengerahkan semua anggota parlemen untuk membatalkan keputusan tersebut.
“Presiden Korea Selatan hari ini mengumumkan darurat militer tanpa alasan yang jelas. Militer tidak bisa mengendalikan negara ini. Sistem kekerasan semacam ini melalui pengadilan juga tidak cukup. Tentara bersenjata dengan senapan ingin mengendalikan negara ini,” tegas Lee Jae-myung.
Namun, situasi semakin memanas ketika sekitar 190 anggota parlemen oposisi menyerbu gedung parlemen untuk melakukan pemungutan suara darurat. Dalam suara bulat, mereka berhasil mengesahkan pembatalan perintah hukum militer.
Ketua Parlemen Korea Selatan, Oh Won-jin, mengumumkan bahwa semua tentara yang terus menerapkan darurat militer akan diadili karena pengkhianatan. Pasukan khusus Korea Selatan yang hadir akhirnya mundur dari gedung parlemen setelah keputusan tersebut.
Dampak Politik dan Reaksi Internasional
Keputusan Presiden Yoon untuk mencabut perintah darurat militer datang hanya enam jam setelah pengumuman awal. Kegagalan penerapan darurat militer ini dianggap sebagai pukulan berat bagi kepemimpinan Yoon Suk-yeol, yang kini menghadapi risiko politik serius, termasuk kemungkinan penahanan terkait tuduhan korupsi.
Jika Partai Oposisi Demokrat, dipimpin oleh Lee Jae-myung, berhasil naik ke tampuk kekuasaan, Korea Selatan diperkirakan akan berbalik ke arah kebijakan kiri. Hal ini juga berdampak pada hubungan internasional, terutama mengenai keberadaan tentara Amerika Serikat di Semenanjung Korea dan stabilitas di Selat Taiwan.
Pengaruh Terhadap Taiwan dan Hubungan dengan Tiongkok
Sementara itu, di Taiwan, situasi serupa juga tengah berkembang. Mahasiswa dari Tiongkok yang dikirim oleh Tiongkok untuk mengunjungi Taiwan menemukan lingkungan yang sangat berbeda, dengan spanduk dukungan demokrasi dan berbagai tuntutan politik yang bertolak belakang dengan kebijakan di Tiongkok.
Suriah Geger! Rusia Tarik Mundur Armada, Pemberontak Gempur Simbol Putin, Irak Kirim Tank
EtIndonesia. Pada tanggal 3 Desember, situasi di Suriah semakin memanas dengan meningkatnya ketegangan antara pasukan pemberontak dan pasukan Rusia. Informasi yang beredar di media sosial mengungkapkan bahwa pasukan pemberontak Suriah menunjukkan kemarahan mereka terhadap Putin. Hal ini diperkuat oleh laporan bahwa Rusia tengah melakukan pemindahan kapal perang dari wilayah Tartus, Suriah, sebagai respons terhadap eskalasi konflik di darat.
Serangan Simbolik terhadap Rusia
Laporan Newsweek tanggal 3 Desember menyebutkan bahwa jurnalis Green mengunggah video di platform X yang menunjukkan potret diktator Bashar al-Assad dan pendukungnya, termasuk Putin, diinjak-injak oleh pasukan pemberontak Suriah di wilayah barat Arab.
Surat kabar Inggris, The Sun, juga merilis video lain yang memperlihatkan pemberontak sedang merobek dan membakar bendera Rusia di Lapangan Basel. Tindakan ini diinterpretasikan sebagai peringatan keras kepada Presiden Rusia.
Intervensi Internasional: Irak dan Turki Terlibat
Media Timur Tengah melaporkan bahwa Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia’ Al Sudani, telah menyampaikan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa pasukan Israel telah melakukan pemboman terhadap pangkalan militer Suriah. Serangan ini diyakini membuka peluang bagi kelompok pemberontak untuk merebut lebih banyak wilayah. Dalam menanggapi situasi ini, Irak tidak akan tinggal diam.
Menurut Kantor Berita Irak, juru bicara militer Irak, Jenderal Moqdad Miri, menyatakan bahwa Irak telah mengirimkan pasukan lapis baja ke perbatasan Suriah untuk memperkuat pertahanan. Pasukan ini akan ditempatkan langsung di daerah perbatasan guna menghadapi potensi ancaman yang semakin meningkat.
Rusia Menarik Kapal Perangnya: Indikasi Kekhawatiran Strategis
Laporan dari Navy News sebelumnya mengindikasikan bahwa Rusia sedang menarik kapal-kapal perangnya dari Suriah. Saat ini, Rusia memiliki lima kapal perang dan satu kapal selam di wilayah Tartus. Namun, kapal pendukung, kapal selam, fregat, dan lainnya kini telah berlayar keluar dari Tartus. Langkah ini kemungkinan besar terkait dengan situasi pertempuran darat yang semakin intens di Suriah. Selain itu, ada indikasi bahwa Rusia sedang memindahkan aset militernya yang berharga keluar dari negara tersebut, menunjukkan kekhawatiran terhadap keamanan pangkalan mereka.
Amerika Serikat dan Aliansi Melawan Iran
Sumber dari Reuters mengungkapkan bahwa Amerika Serikat bekerja sama dengan Uni Emirat Arab untuk memanfaatkan situasi di Suriah dalam upaya melemahkan pengaruh Iran. Koalisi pemberontak yang dipimpin AS dikabarkan terlibat dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah di timur laut Suriah, membuka front baru dalam konflik ini. Sementara itu, pesawat tempur Suriah dan Rusia melakukan serangan udara di daerah pedesaan utara Hama, menambah kompleksitas situasi.
Analis senior dari perusahaan konsultasi risiko geopolitik dan siber SRM, Atassi, menyatakan bahwa sumber daya yang dikerahkan untuk mendukung rezim Assad dapat mengorbankan ofensif Rusia di Ukraina. Hal ini memperlihatkan dampak dari keterlibatan Rusia di Suriah terhadap konflik yang lebih luas di wilayah Eropa.
Dinamika NATO dan Permintaan Ukraina
Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri NATO di Brussel pada tanggal 3 Desember, Menteri Luar Negeri Ukraina, Andrii Sybiha, mengajukan permintaan agar 20 sistem pertahanan udara diberikan kepada Ukraina.
Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, menegaskan bahwa setiap perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina harus adil dan tidak menguntungkan bagi pemimpin seperti Kim Jong-un, Putin, Xi Jinping, dan Iran. Mark Rutte menambahkan bahwa hubungan antara Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran harus dipertimbangkan dalam setiap upaya perdamaian untuk menjaga keamanan Eropa, Amerika Serikat, dan kawasan Indo-Pasifik.
Negosiasi dan Sanksi: AS dan Uni Emirat Arab di Persimpangan
Menurut Reuters tanggal 2 Desember, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab tengah membahas kemungkinan mencabut sanksi terhadap Assad, asalkan dia menjauhkan diri dari Iran dan memutus jalur persenjataan menuju Lebanon. Dengan sanksi penuh AS terhadap Suriah yang akan berakhir pada 20 Desember 2024, diskusi mengenai pembekuan aset Israel di Suriah yang terkait dengan Hizbullah, Hamas, dan Iran semakin intensif. Kemajuan terbaru yang dicapai oleh pemberontak Suriah menunjukkan adanya kelemahan dalam aliansi antara rezim Assad dan Iran, yang dimanfaatkan oleh AS dan Uni Emirat Arab untuk memisahkan kedua negara tersebut.
Ancaman dari Israel: Tekanan terhadap Hizbullah di Lebanon
The Jerusalem Post melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, saat mengunjungi perbatasan utara Israel, mendesak pemerintah Lebanon untuk memberikan wewenang kepada tentara mereka dalam melaksanakan tugas. Dia juga menekankan perlunya mendorong Hizbullah untuk menjauh dari Sungai Litani.
Israel Katz menyatakan kepada Divisi ke-146 Pasukan Pertahanan Israel bahwa pemerintah Israel akan melaksanakan perjanjian gencatan senjata dengan pengaruh maksimal dan tanpa toleransi. Namun, jika perjanjian tersebut runtuh dan perang kembali, Israel siap mengambil tindakan dengan kekuatan yang lebih besar, yang akan berdampak luas pada seluruh Lebanon.
Pernyataan ini merupakan peringatan tegas dari pejabat pertahanan senior Israel bahwa mereka tidak akan lagi membedakan antara Lebanon dan Hizbullah. Meskipun perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah berlaku, bentrokan masih terjadi sesekali.
Israel Katz sebelumnya menyatakan bahwa tidak akan ada gencatan senjata sebelum Hizbullah dilucuti senjatanya. Militer Israel juga menyatakan bahwa serangan baru-baru ini merupakan bentuk protes terhadap Hizbullah yang mengirim senjata ke Lebanon selatan.
Kesimpulan: Kompleksitas Konflik Regional dan Internasional
Situasi di Suriah menunjukkan betapa kompleksnya konflik regional yang melibatkan berbagai aktor internasional. Dengan Rusia menarik kapal perangnya dan Amerika Serikat bersama Uni Emirat Arab memanfaatkan ketegangan untuk melemahkan Iran, medan perang di Suriah menjadi ajang pertempuran politik dan militer yang berdampak luas. Selain itu, intervensi dari negara-negara tetangga seperti Irak, Turki, dan Israel semakin menambah dinamika konflik ini. Perkembangan ini menunjukkan bahwa Suriah tetap menjadi pusat konflik yang mempengaruhi stabilitas kawasan dan hubungan internasional secara lebih luas.