EtIndonesia. Krisis di puncak kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT) memasuki babak baru yang mengguncang dunia. Pada 4 Juni, Presiden Amerika, Serikat Donald Trump menuliskan kalimat yang tampak sopan namun sejatinya menyindir keras Xi Jinping di platform Truth Social:
“Saya suka Presiden Xi, tapi dia terlalu sulit diajak bicara, hampir tidak mungkin bernegosiasi.”
Ucapan yang sepintas terdengar diplomatis itu seolah jadi tanda “surat perpisahan” kepada pemimpin tertinggi Tiongkok tersebut. Tak lama berselang, Gedung Putih menerbitkan dokumen kebijakan besar: penangguhan visa bagi mahasiswa asing Harvard, dan lebih mengejutkan, dokumen itu secara gamblang menyebut nama Xi Mingze, putri Xi Jinping sendiri. Dunia maya, baik di Tiongkok maupun mancanegara, pun langsung heboh.
Namun, di balik semua kejadian ini, tersembunyi drama kudeta politik yang jauh lebih rumit daripada sekadar pemutusan hubungan pendidikan antara AS dan Tiongkok. Berbagai sumber dan sinyal kuat mengindikasikan: Amerika Serikat tahu lebih dulu bahwa kekuasaan Xi Jinping di Beijing telah berakhir secara de facto.
Serangan Langsung ke Xi Jinping dan Keluarga
Serangkaian kejadian pada hari itu jelas bukan kebetulan. Trump, yang dikenal mahir menggunakan diplomasi dua muka, dengan cerdik menyampaikan kritik pedas dalam balutan pujian. Dalam budaya politik Amerika, frasa “Saya suka kamu, tapi…” sering kali menjadi awal dari kritik atau perpisahan yang menyakitkan.
Tak lama kemudian, Gedung Putih meluncurkan kebijakan penangguhan visa F/J/M bagi mahasiswa asing di Harvard selama enam bulan ke depan—bahkan visa yang sudah berlaku pun bisa dicabut sewaktu-waktu. Bukan hanya itu, dua pernyataan dalam dokumen itu sangat menusuk jantung kekuasaan di Zhongnanhai:
- “PKT telah mengirim ribuan pejabat ke universitas-universitas Amerika, di mana Harvard dianggap sebagai ‘sekolah partai utama PKT’ di luar negeri.”
- “Putri Xi Jinping pernah belajar di Harvard pada dekade 2010-an.”
Ini jelas bukan sekadar kebijakan imigrasi, melainkan sinyal perang psikologis: “Xi sudah tidak lagi berkuasa, dan kami tak segan mempermalukan keluarganya di depan dunia.” Di dunia maya, para pengamat dan jurnalis segera menangkap makna serangan ini, menganggapnya sebagai “pengadilan politik terbuka” terhadap Xi Jinping.
Respons Tiongkok: Tanda-tanda Kelemahan yang Mencolok
Biasanya, isu yang menyentuh keluarga Xi atau struktur inti PKT akan dijawab dengan kecaman keras dari Beijing. Namun kali ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lin Jian, hanya memberikan respons lemah: “Kami selalu menentang politisasi kerja sama pendidikan. Langkah AS mencoreng citranya sendiri.”
Tak ada kecaman, tak ada protes keras, bahkan media nasional Tiongkok memilih diam seribu bahasa. Dalam tradisi politik PKT, ini menandakan tak ada lagi yang berani membela Xi. Ketika nama Xi Mingze muncul secara resmi dalam dokumen Gedung Putih, dan tidak ada satu pun pejabat PKT yang bereaksi, artinya posisi Xi sudah sangat rapuh.
Lukashenko Datang, ‘Operasi Penyelamatan’ Gagal Total
Dua hari sebelumnya, Presiden Belarus, Alexander Lukashenko tiba di Beijing tanpa upacara kenegaraan. Menurut bocoran, kunjungan ini adalah bagian dari upaya “penyelamatan politik” terhadap Xi Jinping yang dilaporkan dalam situasi “tahanan rumah”. Pesan itu dibawa sendiri oleh Liu Guozhong, loyalis Xi, yang terbang ke Minsk untuk meminta Lukashenko bertindak sebagai penengah.
Namun, dua hari di Beijing, Lukashenko tak kunjung diizinkan bertemu Xi. Baru pada 4 Juni, pertemuan itu terjadi di ruang privat Zhongnanhai, bukan di Balai Rakyat atau Diaoyutai yang biasa digunakan untuk tamu negara. Pertemuan itu digambarkan sangat formal dan singkat, hanya minum teh, tanpa pembahasan substansial—seakan-akan hanya untuk memastikan Xi masih “hidup”.
Video yang dirilis kantor berita Belarus memperlihatkan Xi dalam kondisi fisik menurun: wajah pucat, ekspresi lelah, suara lirih, dan gestur kaku. Tidak tampak penerjemah ataupun diskusi berarti; kedua pemimpin bicara dalam bahasa masing-masing tanpa saling memahami. Media resmi Tiongkok hanya menyiarkan potongan narasi tanpa suara asli, mengindikasikan tingkat pengendalian informasi yang sangat ketat.
Bocoran Daftar Politbiro: Nama Xi Jinping Hilang
Pada hari yang sama, bocoran daftar anggota tetap Politbiro PKT yang baru beredar luas di kalangan pengamat politik dan media asing. Yang paling mencolok, tidak ada lagi nama Xi Jinping di daftar tersebut.
- Wang Yang kembali sebagai Sekjen, simbol transisi stabil.
- Hu Chunhua menjadi Perdana Menteri, mirip Li Keqiang dari kelompok reformis.
- Zhang Youxia, perwakilan militer, turut masuk sebagai anggota tetap.
- Sisanya diperebutkan teknokrat dan loyalis Xi, namun kali ini mereka berada di bawah kendali kelompok baru, bukan lagi sebagai “tangan kanan” Xi.
Sistem telah bergerak melakukan “pembersihan total model cabang”—tidak ada pengumuman pemecatan, tidak ada sidang terbuka. Xi Jinping secara simbolis “dimatikan”, posisinya dipertahankan di permukaan hanya untuk menghindari gejolak politik dan menjaga citra partai di hadapan dunia. Semua proses ini dilakukan secara sunyi, hati-hati, dan sistematis—ciri khas Partai Komunis Tiongkok dalam merombak sejarahnya sendiri.
Xi Jinping, ‘Simbol Manusia’ Tanpa Kuasa
Menjelang akhir hari, diumumkan Trump dan Xi melakukan panggilan telepon resmi. Isi komunikasi itu sangat normatif: “kerja sama”, “konsensus”, “kunjungan balasan”—tanpa kebijakan konkret atau hasil nyata.
Trump hanya berkomentar singkat di Gedung Putih: “Pembicaraan berjalan baik, semua persoalan rumit sudah dirapikan.”
Hal ini menegaskan: Xi Jinping kini hanya jadi juru bicara, bukan pengendali kekuasaan.
Di musim panas 2025 ini, kekuasaan Xi Jinping tinggal “tanda kehidupan”. Daftar Politbiro baru keluar: nama-nama lama seperti Xi, Cai Qi, Li Qiang hilang dari peta kekuasaan. Yang tersisa hanyalah bayang-bayang kekuasaan sepuluh tahun yang dipudarkan secara halus, tanpa pengumuman, tanpa gemuruh.
Akhir Kekuasaan, Awal Babak Baru Politik Tiongkok
Pembersihan di puncak PKT ini bukan hanya mengakhiri era Xi, melainkan juga menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana sistem otoriter mampu mempertahankan kekuasaannya lewat rekayasa politik tanpa jejak. Xi mungkin diganti, namun sistem sensor, represi, dan pengendalian tetap berjalan. Semua kegagalan—proyek infrastruktur, utang triliunan, gelembung ekonomi, diplomasi agresif, tsunami PHK—bukan hanya salah satu orang, melainkan produk sistem yang menolak pertanggungjawaban kolektif.
Kini, pertanyaan besar tersisa: Siapa yang akan menutup “buku hutang” sepuluh tahun terakhir?
Dan, lebih penting lagi, apakah rakyat Tiongkok siap menghadapi babak baru tanpa perubahan nyata pada sistem yang telah mendominasi lebih dari satu abad?