EtIndonesia. Pertemuan langsung pertama antara Rusia dan Ukraina berakhir dengan kegagalan. Rusia langsung mengajukan tuntutan agar Ukraina menyerahkan empat wilayah yang saat mereka duduki. Hasil ini sebenarnya sudah diperkirakan oleh banyak pengamat, dan Presiden Rusia Vladimir Putin tampaknya sudah sangat yakin akan skenario ini. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy juga tidak terkejut.
Keduanya sama-sama tahu bahwa posisi mereka tidak bisa didamaikan. Bagi Putin, ini adalah respons terhadap strategi gencatan senjata selama tiga bulan yang sebelumnya diusulkan oleh Zelenskyy bersama para pemimpin Eropa dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Putin mencoba memanfaatkan perundingan langsung Rusia-Ukraina di Istanbul untuk mengendurkan tekanan dari tuntutan gencatan senjata yang semakin keras.
Zelenskyy tak punya banyak pilihan. Meski Rusia menolak gencatan senjata tanpa syarat, jika dia menolak usulan perundingan dari Putin, maka Moskow bisa mengklaim bahwa Kyiv-lah yang menolak dialog. Hal ini juga bisa memicu ketidaksenangan dari Presiden Trump yang sangat ingin segera tercapai gencatan senjata. Maka, Zelenskyy pun memutar strategi: dia menyambut ajakan untuk berunding secara langsung, tetapi mengusulkan agar pertemuan itu dilakukan secara tatap muka antar-presiden di Turki. Zelenskyy bahkan menjadi pihak pertama yang terbang ke Turki.
Ketika Zelenskyy mengusulkan pertemuan langsung dengan Putin, mayoritas pengamat sudah memperkirakan bahwa Putin tidak akan datang. Moskow memang tidak berniat menghentikan perang. Dalam hal ini, Zelenskyy seolah sedang menantang Putin.
Prediksi itu terbukti. Rusia hanya mengirimkan delegasi dengan tingkat perwakilan rendah. Meski begitu, sikap delegasi ini sangat keras. Perundingan dipimpin oleh Vladmir Medinsky, mantan Menteri Kebudayaan Rusia dan pakar ideologi yang dikenal sebagai penggagas narasi “Impian Rusia Raya”.
Putin memilih Medinsky, yang tidak memiliki pengalaman diplomatik, karena pandangan ideologisnya sangat selaras dengan Putin. Dia punya kerangka teori revisionis tentang sejarah Rusia. Sebagai salah satu pemikir utama Partai Rusia Bersatu yang setia pada Putin, Medinsky pernah berkata pada 2017: “Siapa yang menguasai sejarah, maka dia menguasai masa depan.”
Pada tahun 2023, Putin menugaskan Medinsky untuk menyusun ulang buku pelajaran sejarah bagi siswa sekolah menengah atas di Rusia. Dua jilid buku tebal itu mencakup sejarah dari abad ke-20 hingga masa kini, dengan fokus besar pada 20 tahun kekuasaan Putin. Dalam narasi revisionis yang dirancang Medinsky, agresi Rusia ke Ukraina pada 2022 digambarkan sebagai aksi heroik yang setara dengan perjuangan Uni Soviet melawan Nazi Jerman. Rusia saat ini digambarkan sedang melawan “Fasis Ukraina”.
Hasil dari perundingan Istanbul sangat jelas: pertemuan itu hanya berlangsung kurang dari dua jam. Setelah sesi perkenalan dan pernyataan pembuka dari kedua pihak, waktu diskusi yang tersisa hanya sekitar beberapa puluh menit.
Berdasarkan informasi yang kemudian dibocorkan, delegasi Rusia hanya menyampaikan kembali tiga tuntutan lama:
- Ukraina harus menghentikan niatnya untuk bergabung dengan NATO;
- Ukraina harus menyerahkan empat wilayah yang sebagian telah diduduki Rusia — yaitu Zaporizhzhia, Kherson, Donetsk, dan Luhansk — serta mengakui aneksasi Krimea sejak 2014;
- Barat harus menghentikan seluruh bantuan militer kepada Ukraina.
Tak diketahui bagaimana Medinsky mencoba meyakinkan Ukraina untuk menerima tuntutan itu. Namun jelas, Ukraina tidak akan menerimanya. Jika Kyiv memang bersedia menyerahkan wilayah demi perdamaian, maka tidak mungkin mereka bertahan dan bertempur selama ini, setiap hari mengorbankan darah dan nyawa.
Meski perundingan gagal total, pihak Ukraina tetap menyatakan bahwa mereka terbuka untuk pertemuan langsung antara kedua pemimpin. Pada Sabtu, juru bicara Kremlin akhirnya memberikan tanggapan: pertemuan antara Putin dan Zelenskyy tidak akan terjadi kecuali telah ada kesepakatan konkret antara kedua pihak.
Pesan Kremlin sangat jelas: Putin hanya akan bersedia bertemu jika Ukraina sudah menyerah dan bersedia memberikan wilayah — dengan kata lain, Putin ingin tampil sebagai penakluk.
Putin dan Impian “Rusia Raya”
Pada Rabu, 14 Mei , Presiden Rusia, Vladimir Putin menggelar rapat di Kremlin menjelang perundingan Istanbul. Seperti banyak pemimpin otoriter lainnya, Putin memiliki mimpi besar — mimpi yang bisa menggerakkan dirinya sendiri dan ingin dia tanamkan ke hati orang lain. Impiannya adalah membangun kembali kejayaan “Rusia Raya”. Sebagai mantan agen KGB yang sangat menyesali runtuhnya Uni Soviet, impian Putin adalah memperluas wilayah Rusia sejauh mungkin, meskipun tak bisa lagi menyatukan wilayah bekas Uni Soviet sepenuhnya.
Beberapa waktu lalu, impian Putin sempat hampir menjadi kenyataan. Presiden Trump, yang sangat ingin menghentikan perang Rusia-Ukraina, sempat memperlihatkan simpati pada narasi Kremlin. Ukraina justru diposisikan sebagai pihak yang memicu konflik.
Bahkan pernyataan Menteri Pertahanan AS dalam Konferensi Keamanan Munich semakin membuat Eropa khawatir. Inti pernyataannya adalah: Ukraina harus melupakan keanggotaan NATO, dan keinginan untuk merebut kembali wilayah yang diduduki Rusia dianggap tidak realistis.
Pernyataan itulah yang kemudian menyebabkan Zelenskyy menjadi bahan ejekan di Gedung Putih. Setelah itu, AS dan Rusia diam-diam mengadakan dua putaran negosiasi tanpa sepengetahuan Ukraina dan Uni Eropa — namun semuanya berakhir tanpa hasil.
Zelenskyy Tetap Bertahan, Dunia Menunggu Reaksi Trump
Beruntung, semangat juang Zelenskyy untuk melawan Rusia tetap teguh. Rakyat Ukraina terus bertahan melawan musuh yang jauh lebih besar, menolak untuk menyerahkan wilayah mereka. Uni Eropa juga terus memberikan dukungan penuh, dan Ukraina tetap menjaga komunikasi intensif dengan Trump serta menjelaskan dampak besar jika AS tidak memberikan dukungan maksimal.
Semua usaha ini membuat impian Putin masih tetap menjadi sekadar mimpi.
Presiden Trump sendiri dikabarkan akan berbicara langsung dengan Putin pada hari Senin mendatang. Dia menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk “mengakhiri pertumpahan darah”.
Namun darah rakyat Ukraina terus mengalir. Pada 17 Mei, sebuah drone Rusia menyerang sebuah minibus di Ukraina bagian utara, menewaskan sembilan orang dan melukai empat lainnya.
Beberapa jam setelah serangan itu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron menyatakan di Tirana kepada media: “Menghadapi ketidakpunyaan rasa malu Presiden Putin, saya percaya — bahkan yakin — bahwa Presiden Trump, yang peduli terhadap reputasi Amerika Serikat, akan memberikan tanggapan.” (jhn/yn)