EtIndonesia. Menurut laporan Bloomberg pada Selasa (22/4), Departemen Perdagangan Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk memberlakukan tarif impor sebesar 3521% terhadap panel surya yang berasal dari empat negara Asia Tenggara.
Keputusan ini berasal dari penyelidikan yang dimulai setahun lalu. Menurut The Guardian, penyelidikan tersebut diajukan oleh Hanwha Q CELLS asal Korea Selatan, perusahaan First Solar yang berbasis di Arizona, serta beberapa produsen panel surya kecil dan menengah di AS. Mereka menuduh perusahaan-perusahaan Tiongkok memindahkan produksi panel surya ke Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam, lalu menjual produk tersebut ke pasar AS dengan harga di bawah biaya produksi, berkat dukungan subsidi tidak adil dari negara.
Negara-negara yang terdampak dari tarif baru ini adalah Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Perusahaan-perusahaan dari negara tersebut dituduh menerima subsidi dari pemerintah Tiongkok dan melakukan dumping (menjual dengan harga sangat rendah) di pasar Amerika.
Komisi Perdagangan Internasional AS (International Trade Commission) dijadwalkan akan mengeluarkan keputusan akhir mengenai tarif baru ini pada bulan Juni.
Tarif yang direncanakan tersebut tergolong dalam kategori “anti-subsidi” dan “anti-dumping”, dengan tingkat tarif bervariasi tergantung pada asal negara dan perusahaan masing-masing.
Karena dianggap tidak kooperatif dalam proses investigasi, beberapa eksportir asal Kamboja akan dikenakan tarif setinggi 3521%.
Produk yang dibuat oleh Jinko Solar, produsen asal Tiongkok yang beroperasi di Malaysia, dikenakan tarif yang relatif rendah, yaitu sekitar 41%, termasuk salah satu yang terendah dalam penyelidikan ini.
Sementara itu, Trina Solar, perusahaan Tiongkok yang memproduksi di Thailand, menghadapi tarif 375% atas produknya.
Selama beberapa tahun terakhir, untuk menghindari tarif impor yang diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump, banyak perusahaan Tiongkok memindahkan operasional produksinya ke Asia Tenggara.
Hasil penyelidikan Departemen Perdagangan AS disambut baik oleh “Aliansi Perdagangan Industri Panel Surya AS” (American Alliance for Solar Manufacturing Trade Committee), kelompok yang mewakili produsen dalam negeri dan juga pihak yang menginisiasi penyelidikan.
Penasihat hukum utama aliansi tersebut, Tim Brightbill, menyatakan: “Ini adalah kemenangan besar bagi industri manufaktur Amerika dan mengonfirmasi keyakinan kami selama ini—bahwa perusahaan-perusahaan panel surya yang bermarkas di Tiongkok telah memanfaatkan celah dalam sistem untuk keuntungan mereka.”
Menurut data dari Biro Sensus AS (US Census Bureau), pada tahun 2023, nilai impor perangkat panel surya dari keempat negara tersebut mencapai hampir 12 miliar dolar.
Meskipun kebijakan tarif ini bisa mendukung produsen panel surya dalam negeri, dampak lainnya adalah peningkatan biaya bagi perusahaan dan konsumen yang selama ini bergantung pada panel surya berharga murah dari luar negeri.
Tarif ini juga akan ditumpuk di atas tarif-tarif lain yang sebelumnya telah diberlakukan oleh pemerintahan Trump. Beberapa hari sebelum pengumuman tarif ini, Presiden Tiongkok Xi Jinping baru saja menyelesaikan kunjungannya ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja.
Saat ini, AS telah memberlakukan tarif hingga 145% terhadap barang-barang dari Tiongkok, sementara sebagian besar negara lainnya menghadapi tarif umum sekitar 10% hingga bulan Juli tahun ini.
Pemerintahan Trump pekan lalu menyatakan bahwa ketika tarif baru ini digabungkan dengan tarif lama, tingkat tarif terhadap beberapa produk Tiongkok bisa mencapai hingga 245%. Sebagai respons, pemerintah Tiongkok mengumumkan tarif balasan sebesar 125% terhadap produk AS.(jhn/yn)