Media Hong Kong mengungkapkan bahwa Indonesia berencana melanjutkan proyek perluasan kereta cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Para pakar memperingatkan bahwa meskipun kereta cepat yang dibangun dengan dukungan Beijing ini memiliki volume penumpang tinggi, proyek ini mengalami kerugian besar dan diperkirakan baru akan mencapai titik impas dalam waktu 40 tahun. Ditambah lagi, inisiatif “Belt and Road” (Sabuk dan Jalan) dinilai kurang transparan, dan Indonesia kini mendekati batas utang besar kepada pihak Tiongkok. Jika perluasan proyek tetap dikerjakan oleh pihak Tiongkok, maka keberlanjutan utang serta kedaulatan nasional bisa terancam.
EtIndonesia Menurut laporan South China Morning Post (SCMP) pada 1 Juni, pemerintah Indonesia sedang menghidupkan kembali rencana perluasan proyek kereta cepat yang didukung oleh pemerintah Tiongkok, untuk menghubungkan ibu kota Jakarta dengan kota terbesar kedua, Surabaya.
Proyek perluasan ini mengacu pada Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), salah satu proyek andalan strategi “Belt and Road” PKT. Kereta cepat ini didanai besar-besaran oleh pemerintah PKT dan dibangun oleh perusahaan Tiongkok, yang membuat Indonesia terjerat utang dalam jumlah besar.
Kereta cepat Jakarta–Bandung (KCJB) mulai dibangun pada 2016, menghubungkan Jakarta dengan kota Bandung. Awalnya, biaya proyek ini diperkirakan sebesar 4 miliar dolar AS, namun membengkak menjadi 7,3 miliar dolar AS (sekitar RMB.52,6 miliar ). Proyek ini direncanakan selesai pada 2019, namun karena keterlambatan konstruksi dan pembengkakan biaya, baru mulai beroperasi secara resmi pada Oktober 2023.
Terkait rencana perluasan KCJB, para ahli Indonesia memperingatkan bahwa negara ini sudah memiliki utang besar kepada Tiongkok akibat proyek tersebut, dan operasional KCJB masih mengalami kerugian besar yang tidak akan segera pulih. Ditambah lagi, proyek “Belt and Road” dinilai kurang transparan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia disarankan mempertimbangkan mitra investasi yang lebih beragam.
Menurut SCMP, Peneliti dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Muhammad Zulfikar Rahmat mengungkapkan bahwa berdasarkan dokumen dari perusahaan kereta api negara Indonesia, KCJB mencatat kerugian sekitar 193 juta dolar AS di tahun pertama operasinya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa KCJB membutuhkan waktu setidaknya 40 tahun untuk mencapai titik impas.
Rakhmat menyebutkan bahwa investasi dari Tiongkok menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan utang dan kedaulatan nasional, apalagi inisiatif “Belt and Road” banyak dikritik karena kurang transparan dan minimnya evaluasi dampak lingkungan. Ia menyarankan agar Indonesia mencari mitra investasi yang lebih beragam dan memastikan bahwa kerja sama dengan pihak asing bersifat seimbang serta melindungi kepentingan nasional.
Informasi publik menunjukkan bahwa sejak mulai beroperasi pada Oktober 2023 hingga 17 Februari 2025, KCJB telah melayani lebih dari 8 juta penumpang, dengan jumlah penumpang harian tertinggi mencapai 24.400 orang. Namun, meskipun jumlah penumpangnya tinggi, KCJB terus merugi. Pada paruh pertama 2024 saja, kerugian mencapai sekitar 3,53 triliun rupiah (sekitar RMB.1,6 miliar ).
KCJB adalah salah satu proyek andalan PKT dalam inisiatif “Belt and Road”. Meski pihak PKT mengklaim bahwa program ini mengusung prinsip “kerja sama saling menguntungkan”, kenyataannya banyak proyek serupa justru membebani negara-negara berkembang dengan utang yang sangat sulit dibayar kembali. Beberapa negara bahkan terpaksa “menjual” sebagian kedaulatan negaranya. Kondisi ini sering disebut sebagai “Perangkap Utang Belt and Road”, dan korbannya umumnya adalah negara-negara kecil di Asia Selatan, Asia Tenggara, serta Afrika yang ekonominya lemah.
Salah satu contoh klasik adalah Sri Lanka, yang akibat terlilit utang dari proyek “Belt and Road” harus menyerahkan pengelolaan Pelabuhan Hambantota kepada perusahaan pelabuhan milik negara PKT. Pelabuhan ini kemudian menjadi titik strategis militer PKT di Samudra Hindia.
Contoh lain adalah Koridor Ekonomi China–Pakistan (CPEC), proyek unggulan lainnya dalam “Belt and Road”. Namun, proyek ini gagal membawa pertumbuhan ekonomi yang diharapkan ke Pakistan dan justru membebani negara itu dengan utang besar yang sulit dibayar.
Sebuah laporan dari think tank Australia, Lowy Institute, menyebutkan bahwa pada tahun 2025 negara-negara berkembang harus membayar utang ke PKT sebesar 35 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, 75 negara yang paling banyak berutang memiliki kondisi ekonomi sangat rentan dan hampir tidak mampu membayar kembali. (Hui)
Sumber : NTDTV.com
Reporter: Li Ming – Laporan komprehensif / Editor penanggung jawab: Lin Qing