Home Blog Page 7

Kerusuhan Besar di California: Trump, Newsom, dan Misteri Bendera PKT di Jalanan Amerika

EtIndonesia. Situasi di Los Angeles kian membara setelah gelombang kerusuhan yang dipicu protes terhadap operasi penegakan hukum Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) AS berlangsung tanpa henti selama beberapa hari terakhir. Aksi yang bermula dari demonstrasi menolak penangkapan besar-besaran imigran ilegal itu kini berubah menjadi bentrokan yang melibatkan ribuan orang, aksi pembakaran, penjarahan, hingga dugaan campur tangan asing.

Trump Ambil Langkah Ekstrem, Kerahkan Marinir dan Garda Nasional

Presiden Donald Trump langsung turun tangan dengan langkah-langkah luar biasa. Pada sore hari tanggal 9 Juni, Trump memerintahkan mobilisasi 700 personel marinir aktif ke Los Angeles—pengiriman militer ke wilayah sipil yang sangat jarang terjadi dalam sejarah Amerika. Tak hanya itu, dia juga mengizinkan penambahan 2.000 pasukan Garda Nasional untuk memperkuat barisan aparat keamanan di tengah kota yang memanas.

Tak berhenti di situ, Presiden Trump secara terbuka menyerukan penangkapan Gubernur California, Gavin Newsom, yang dianggap menghalangi operasi federal dan membangkang terhadap kebijakan pusat. Seruan keras ini segera menuai reaksi di seluruh negeri, apalagi muncul kabar bahwa tokoh serikat pekerja berpengaruh, Randy Weingarten, tengah menggalang rencana pemberontakan nasional pada 14 Juni mendatang.

Media Terbelah: Kerusuhan atau Kudeta?

Pemberitaan media semakin memperkeruh suasana. Media yang dikenal anti-Trump mengecam penggunaan peluru karet dan gas air mata oleh pemerintah federal terhadap demonstran, menyebut tindakan tersebut sebagai kekerasan berlebihan terhadap aksi damai. Sebaliknya, media pendukung Trump menegaskan, ini bukan sekadar unjuk rasa damai melainkan kerusuhan yang sudah direncanakan dan didalangi kelompok terorganisir yang ingin menggulingkan pemerintah.

Situasi di lapangan pun memperkuat narasi kerusuhan: video dan foto yang viral di media sosial menunjukkan massa menyerang aparat dengan bom molotov dan batu, membakar mobil polisi serta bendera AS, menjarah toko-toko, hingga membawa bendera Partai Komunis Tiongkok (PKT). Muncul spekulasi adanya unsur campur tangan asing di balik kekacauan ini, apalagi banyak peserta aksi didominasi laki-laki muda, bukan warga biasa yang spontan berdemo.

Pernyataan Pejabat dan Ancaman “Perang Terhadap Amerika”

Mantan pejabat CIA, Sam Faddis, dalam wawancaranya menyebut: “Mereka ingin menghancurkan negara, menghancurkan ekonomi, dan tatanan sosial. Ini bukan protes damai, ini perang terhadap Amerika.” 

Pernyataan ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa kerusuhan Los Angeles merupakan bagian dari agenda yang lebih besar untuk mengacaukan stabilitas Amerika Serikat.

Opsi Undang-Undang Pemberontakan dan Ultimatum Presiden Trump

Sinyal keras pun datang dari Gedung Putih. Pejabat di lingkaran dalam presiden disebut tengah mempertimbangkan penerapan Undang-Undang Pemberontakan (Insurrection Act)—langkah hukum yang sangat langka, hanya dipakai saat negara menghadapi krisis besar.

Trump sendiri menyatakan siapa pun yang menghalangi operasi deportasi imigran ilegal akan dikenai tindakan hukum tegas. 

“Jika ada yang meludahi personel Garda Nasional, mereka akan menerima balasan setimpal. Perilaku tidak hormat semacam ini tidak akan ditoleransi,” tegas Trump.

Pada 9 Juni, Komando Utara AS resmi mengumumkan pengerahan 700 personel marinir dari Batalyon ke-2, Resimen Marinir ke-7, Divisi Marinir ke-1 ke Los Angeles. Mereka bergabung dalam Satgas 51 bersama 2.100 anggota Garda Nasional. Seluruh personel ini sudah terlatih untuk penanganan kerusuhan dan penggunaan kekuatan secara proporsional.

Gubernur Newsom Lawan Balik, FBI dan Aparat Federal Tegas Bertindak

Gubernur Gavin Newsom menantang Menteri Perbatasan, Tom Homan untuk langsung datang menangkapnya, dan secara terbuka mengadukan pemerintah federal atas dugaan pengambilalihan wewenang Garda Nasional secara ilegal. California kini menginstruksikan seluruh kepolisian dan kantor sheriff untuk menolak bekerja sama dengan lembaga federal, bahkan jika pelaku kejahatan berat sudah tertangkap.

Direktur FBI, Kash Patel, mengingatkan: “FBI tidak butuh izin siapa pun untuk menegakkan konstitusi. Saya bertanggung jawab kepada rakyat Amerika. Los Angeles sedang dikepung kriminal. Kami akan mengembalikan hukum dan ketertiban—ini perintah, bukan permintaan.”

Dukungan pun datang dari Ketua DPR AS, Johnson, yang menyebut bahwa keterlibatan presiden sudah tepat, sesuai hak dan tanggung jawab konstitusional.

Aksi Nasional dan Ancaman Pemberontakan 14 Juni

Ketegangan bertambah setelah Senator dari Demokrat,  Chris Murphy menyerukan aksi nasional menentang ICE, dan Randy Weingarten dari serikat pekerja mendorong pemberontakan besar pada 14 Juni. Associated Press melaporkan bahwa Trump sudah mengizinkan penambahan hingga 2.000 personel Garda Nasional ke Los Angeles, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya tanpa permintaan resmi pemerintah lokal.

Brigade Infanteri ke-79 telah menurunkan 300 personel, menandai pengerahan pasukan secara sepihak oleh pemerintah federal.

Marinir AS dan Helikopter Tempur Mulai Beroperasi

Menteri Pertahanan AS sudah menempatkan seluruh marinir di California dalam status siaga penuh. Helikopter serang AH-1Z Viper milik marinir terpantau beroperasi di atas langit Los Angeles sebagai bagian dari operasi keamanan dan intimidasi bagi pelaku kerusuhan.

Tom Homan dari otoritas perbatasan mengonfirmasi lebih dari 100 tim khusus sedang menjalankan operasi rahasia di berbagai sudut Los Angeles.

“Kami akan membanjiri wilayah ini,” Homan di Fox News.

Dalam salah satu pernyataan terakhir kepada media, Trump mengatakan: “Saya tidak ingin perang saudara. Kalau diserahkan pada Newsom, baru akan terjadi perang saudara. Saya sebenarnya tak pernah punya masalah dengannya, tapi dia benar-benar tidak kompeten.”

Polisi Los Angeles kini telah berstatus siaga penuh, dengan seluruh personel dikerahkan untuk menjaga kemungkinan terburuk saat malam tiba.

Penutup: Amerika Serikat di Persimpangan Jalan

Gelombang kerusuhan di Los Angeles ini menjadi ujian besar bagi persatuan nasional Amerika, sekaligus menandai babak baru dalam tarik-menarik kekuasaan antara pemerintah federal dan negara bagian California. Apakah langkah keras Trump mampu mengembalikan ketertiban, atau justru memicu konflik lebih besar? Masyarakat Amerika dan dunia internasional menunggu dengan cemas bagaimana babak berikutnya akan terungkap.

Kerusuhan Besar Imigran di California: 2.000 Pasukan Turun, Negara Bagian Melawan Perintah Trump!


EtIndonesia. Kota terbesar kedua di Amerika Serikat, Los Angeles, tengah diguncang gelombang kerusuhan besar akibat aksi protes terhadap penangkapan massal imigran ilegal. Sejak akhir pekan lalu, ribuan warga memadati jalan-jalan utama, memprotes operasi besar-besaran yang dilakukan aparat Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di berbagai wilayah California. Kerusuhan ini tidak hanya melanda Los Angeles, tetapi juga merembet ke San Francisco, menandai eskalasi keresahan sosial yang belum pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Gelombang Aksi dan Penangkapan Massal

Kepolisian Los Angeles melaporkan sedikitnya 56 orang ditangkap sejak awal kerusuhan. Sementara di San Francisco, pihak kepolisian menahan sekitar 60 orang dalam demonstrasi yang berlangsung dengan tensi tinggi. Beberapa kelompok demonstran bahkan terang-terangan mengancam akan melakukan aksi pendudukan dan penyerangan terhadap gedung-gedung pemerintah pada Selasa mendatang, memperlihatkan ancaman meluasnya kekacauan di seluruh negara bagian.

Kerusuhan ini dipicu oleh penangkapan besar-besaran terhadap imigran ilegal, yang disebut-sebut sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum imigrasi pemerintahan Presiden Donald Trump. Dalam beberapa hari terakhir, berbagai aksi protes berkembang menjadi anarkis, dengan aksi pembakaran kendaraan, blokade jalan tol, penjarahan toko, serta bentrokan langsung antara demonstran dan aparat penegak hukum.

Respon Keras Pemerintah Federal

Menyikapi situasi yang semakin memburuk, pada dini hari 9 Juni, Presiden Donald Trump memerintahkan pengerahan 2.000 personel Garda Nasional ke Los Angeles. Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa para provokator dan perusuh profesional harus segera diamankan demi mengembalikan stabilitas dan hukum di kota tersebut.

“Kelompok penghasut dan pemberontak yang membuat onar di jalanan harus segera ditangkap. Mereka bukan pembela keadilan, tetapi kriminal yang pantas dipenjara,” tegas Trump dalam pidatonya di Gedung Putih.

Pejabat tinggi urusan perbatasan pemerintahan Trump, Thomas Homan, memperingatkan bahwa ICE akan terus melaksanakan operasi di Los Angeles tanpa kompromi. Menurut Homan, sebagian demonstran sudah mulai bertindak anarkis, bahkan melakukan serangan dengan bom molotov ke arah petugas. Dia mengingatkan bahwa jika situasi dibiarkan tanpa kendali, kemungkinan korban jiwa sangat besar.

Konflik dengan Pemerintah Negara Bagian

Langkah keras pemerintah federal langsung mendapat reaksi keras dari Gubernur California, Gavin Newsom. Pada Minggu malam, Newsom melayangkan protes terhadap keputusan Trump yang mengerahkan Garda Nasional tanpa izin negara bagian.

“Tindakan ini nyaris belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika. Penggunaan kekuatan militer federal tanpa persetujuan gubernur adalah pelanggaran terhadap prinsip negara bagian,” ujar Newsom.

Ketegangan bertambah ketika Menteri Keuangan AS, Besant, mengancam Newsom terkait dana pajak federal. Jika gubernur tetap menahan aliran dana pajak pusat, Newsom dapat dijerat tuntutan pidana penggelapan pajak.

Kecaman dari 22 Gubernur Negara Bagian

Pada 9 Juni, sebanyak 22 gubernur dari berbagai negara bagian mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam langkah Presiden Trump. Mereka menuding penggunaan Garda Nasional California tanpa persetujuan gubernur serta pengerahan pasukan Marinir sebagai pelanggaran hak otonomi negara bagian dan penyalahgunaan kekuasaan federal.

Salah satu suara dari publik bahkan menyindir: “Kalau begitu, biarlah 22 negara bagian ini juga ikut membantu menanggung beban masalah imigran ilegal di California.”

Eskalasi Kekerasan dan Tindakan Anarkis

Gelombang protes semakin tak terkendali sejak Jumat lalu. Berbagai aksi kekerasan terjadi di beberapa titik: taksi tanpa sopir dibakar, mobil polisi diledakkan, dan massa melempar beton serta botol ke arah petugas. Dalam sebuah video yang viral di media sosial, tampak massa memblokir Jalan Tol 101 hingga arus lalu lintas lumpuh total, memaksa kendaraan untuk memutar balik.

Di kawasan Balai Kota, seorang demonstran membakar mobil, sementara yang lain mengibarkan bendera Meksiko di atas mobil yang terbakar. Kekacauan ini juga dimanfaatkan oleh pelaku kriminal untuk menjarah toko-toko dan SPBU di tengah kekacauan.

Laporan dari media konservatif Breitbart menyebutkan, banyak dari imigran ilegal yang ditangkap ICE di Los Angeles memiliki rekam jejak kriminal berat seperti kekerasan, penganiayaan, mengemudi dalam pengaruh alkohol, hingga terlibat penembakan. Data dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menegaskan, mayoritas dari mereka memang memiliki catatan kejahatan, menimbulkan pertanyaan tajam di kalangan publik tentang prioritas perlindungan pemerintah negara bagian California.

Bendera Amerika Dibakar, Ancaman dari Trump

Aksi-aksi protes juga memperlihatkan simbol-simbol yang memancing kemarahan nasional. Video yang beredar luas menunjukkan massa membakar bendera Amerika dan meludahinya sambil meneriakkan slogan “pemberontakan itu benar”. 

Presiden Trump pun bereaksi keras: “Jika ada perusuh yang meludah ke arah anggota Garda Nasional—termasuk perempuan—kami akan membalas. Saya jamin mereka akan dihajar habis-habisan.” .

Reaksi Kongres dan Aparat Federal

Anggota Kongres Partai Republik dari California, Lamarfa, menyatakan bahwa bendera Amerika, bisnis, dan kendaraan sudah dibakar habis oleh perusuh yang menghalangi penegakan hukum. 

Direktur FBI, Kash Patel , menegaskan bahwa FBI akan bertindak tegas menegakkan konstitusi tanpa harus menunggu izin siapa pun.

“Los Angeles sedang diserang para kriminal. Saya tidak sedang meminta Anda, tapi memberi tahu—kami akan memulihkan hukum dan ketertiban,” tegas Patel dalam konferensi pers.

Meski Presiden Trump belum secara resmi mengaktifkan Undang-Undang Pemberontakan (Insurrection Act), dia memperingatkan, jika aksi protes semakin brutal dan menghalangi penegakan hukum, maka penerapan undang-undang tersebut tidak bisa dihindari.

Dukungan Warganet dan Ajakan Menegakkan Hukum

Di media sosial, banyak warganet Amerika menyuarakan dukungan untuk ketegasan pemerintah. 

Seorang netizen menulis: “Konstitusi bukan hanya milik kaum elit cerdas, tapi milik seluruh rakyat Amerika. Pejabat punya tanggung jawab bertindak. Jangan biarkan kota Anda membusuk, rakyat menderita, polisi diserang. Tegakkan keberanian dan kewarasan. Rakyat Amerika sejati mendukung Anda.”

Sebagian publik juga menuding ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mendalangi kerusuhan ini untuk kepentingan politik. Seruan tegas muncul agar pemerintah tidak ragu-ragu menindak para pelaku kerusuhan, karena kebebasan Amerika tidak boleh menjadi alasan untuk menghancurkan ketertiban dan keamanan masyarakat.

Situasi Terkini: Militer Turun ke Jalan, Protes Belum Mereda

Hingga Minggu malam, sekitar 300 anggota Brigade Infanteri ke-79 Garda Nasional California sudah aktif berpatroli di wilayah Los Angeles dan sekitarnya. Suasana masih mencekam, sementara demonstrasi diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat.

Pemerintah pusat dan negara bagian masih saling berhadapan soal solusi terbaik untuk mengatasi krisis ini. Satu hal yang pasti: Kerusuhan imigran ilegal di California telah menjadi ujian besar bagi kekuatan hukum, politik, dan identitas Amerika Serikat sebagai negara hukum.

Ramalkan Gempa Besar pada Juli, Kartunis Ryo Tatsuki Kembali Ceritakan “Apa yang Dilihatnya dalam Mimpi”

Kartunis Jepang Ryo Tatsuki  yang dikenal pernah meramalkan sejumlah peristiwa besar secara akurat, kembali menghebohkan publik dengan ramalannya bahwa akan terjadi gempa bumi besar dan tsunami dahsyat pada Juli tahun ini. Kebenaran rumor ini masih sulit dipastikan. Menanggapi hal tersebut, Ryo Tatsuki baru-baru ini meluncurkan karya terbarunya berjudul “Pesan Terakhir Malaikat” untuk menjelaskan kebenaran dari apa yang ia lihat dalam mimpi.

EtIndonesia. Ryo Tatsuki mengaku sering mengalami mimpi prekognitif (mimpi yang meramalkan masa depan) sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1999, ia menerbitkan manga “Apa yang Kulihat di Masa Depan”, yang menggambarkan bencana besar yang ia lihat sebelumnya dalam mimpi. Beberapa ramalan yang disebutkan kemudian terbukti akurat, seperti:

  • Gempa Besar dan Tsunami Jepang 11 Maret 2011 (3.11),
  • Pandemi COVID-19, dan
  • Kematian Putri Diana.

Keakuratan ramalannya membuat nama Ryo Tatsuki melambung dan menarik perhatian luas.

Namun, setelah popularitasnya meningkat, mulai muncul berbagai rumor dan klaim palsu yang menggunakan namanya, sehingga masyarakat kesulitan membedakan mana yang benar-benar berasal darinya. Untuk meluruskan hal tersebut, pada tahun 2021 Ryo Tatsuki menerbitkan versi lengkap dari “Apa yang Kulihat di Masa Depan” guna mengklarifikasi fakta. Ironisnya, buku ini justru menimbulkan diskusi dan kehebohan baru.

Pada sampul pembungkus buku itu tertulis, “Bencana besar yang sesungguhnya akan datang pada Juli 2025.” Dalam isi buku, ia menggambarkan mimpinya:

“Aku bermimpi tentang sebuah bencana besar. Di bagian selatan Kepulauan Jepang, permukaan laut Pasifik naik.”

Ramalan tersebut menimbulkan perdebatan hangat. Beberapa orang bahkan menyimpulkan bahwa tanggal pastinya adalah 5 Juli 2025. Seiring semakin dekatnya tanggal tersebut, rumor ini semakin menyebar dan menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Dampaknya sudah terlihat, salah satunya dari maskapai Greater Bay Airlines di Hong Kong, yang sejak April tahun ini mengumumkan akan mengurangi frekuensi penerbangan ke Jepang mulai 13 Mei hingga 25 Oktober. Rute Hong Kong–Sendai dikurangi dari 4 kali menjadi 3 kali seminggu, dan rute Hong Kong–Tokushima dari 3 menjadi 2 kali seminggu. Alasannya adalah adanya manga Jepang yang “meramalkan” gempa besar di Jepang pada Juli, yang menyebabkan penurunan jumlah penumpang.

Meski pemerintah Jepang telah mengeluarkan klarifikasi untuk menepis rumor ini, namun ramalan Ryo Tatsuki tetap menjadi bahan perbincangan hangat dan membuat masyarakat semakin khawatir akan kemungkinan bencana besar yang akan datang.

Buku Baru: Pesan Terakhir Malaikat

Untuk menjelaskan lebih lanjut, Ryo Tatsuki akan menerbitkan buku barunya berjudul “Pesan Terakhir Malaikat” pada 15 Juni. Buku ini terdiri dari tiga bagian:

  1. Bagian pertama: Kisah masa kecil Ryo, kejadian tak terduga yang mengubah hidupnya, perjalanan menjadi mangaka, alasan ia mulai mencatat mimpi, serta pelajaran yang ia peroleh dari penderitaan.
  2. Bagian kedua: Sembilan manga bertema misteri supranatural, yang menggambarkan pengalaman spiritual yang dialami oleh dirinya dan teman-temannya.
  3. Bagian ketiga: Refleksi Ryo tentang arti mimpi, dengan penekanan bahwa mimpi prekognitif adalah bentuk peringatan — tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, tetapi agar manusia dapat bersiap, menghindari, atau mengurangi dampak bencana.

(Hui/asr)

Sumber : NTDTV.com 

Terowongan Bawah Tanah di Rumah Sakit Khan Younis: Israel Temukan Jenazah Pimpinan Hamas 

EtIndonesia. Militer Israel mengumumkan bahwa pada  8 Juni, mereka telah menemukan jenazah pimpinan Hamas, Mohammed Sinwar, di terowongan bawah tanah yang berada di bawah Rumah Sakit Eropa Khan Younis, Gaza. Sebelumnya, Mohammed Sinwar dikabarkan tewas dalam serangan udara Israel pada 13 Mei.

Dalam pernyataan militer Israel disebutkan, “Dalam operasi militer yang ditargetkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF)… dan setelah proses identifikasi selesai, kami dapat memastikan bahwa jenazah Mohammed Sinwar ditemukan di jalur terowongan bawah tanah di bawah Rumah Sakit Eropa Khan Younis.”

Israel menyatakan bahwa dalam pencarian terowongan tersebut, mereka juga menemukan sejumlah barang milik Mohammed Sinwar, serta informasi intelijen lainnya yang kini sedang diselidiki lebih lanjut.

Juru bicara militer Israel, Effie Defrin, mengatakan bahwa jenazah telah dikonfirmasi melalui pemeriksaan DNA dan tes lainnya sebagai milik Mohammed Sinwar.

Mohammed Sinwar adalah adik dari Yahya Sinwar, mantan pemimpin tertinggi Hamas di Gaza, yang tewas dalam serangan militer Israel pada Oktober 2024 selama pecahnya perang Gaza.

Israel menuduh Yahya Sinwar sebagai dalang serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang memicu dimulainya konflik berskala penuh di wilayah Gaza. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

(Edisi Khusus): “Misteri Senyap Xi Jinping: Panggung Terakhir Kekuasaan Beijing Dibuka!”

EtIndonesia. Awal musim panas 2025 membawa hawa panas ke seluruh Tiongkok. Namun, bukan isu Taiwan atau ekonomi yang menjadi perbincangan paling hangat—melainkan teka-teki besar tentang Xi Jinping. Apa yang sebenarnya terjadi pada pemimpin Tiongkok itu? Pertanyaan yang menghantui ini hanya berputar di lingkaran tertutup para pejabat tertinggi di Zhongnanhai dan petinggi militer. Sementara di luar sana, baik rakyat Tiongkok maupun masyarakat dunia hanya melihat wajah-wajah yang berusaha tampak tenang—seolah segalanya baik-baik saja.

Rutinitas birokrasi berjalan seperti biasa, hingga sebuah momen menggetarkan terjadi: Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Publik hanya melihat Xi Jinping muncul di layar televisi—dia hanya mengangguk, sama sekali tak bersuara. Dia hadir, namun hanya sebagai sosok pendengar, bukan pengendali.

Puncak ketegangan terjadi saat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menelpon langsung Xi Jinping pada pukul sembilan malam. Xi, yang dikenal sangat jarang menerima panggilan langsung dan biasanya membiarkan protokol mengatur segala sesuatu, kini secara pribadi mengangkat telepon itu. Dunia pun sadar: ya, Xi memang masih menjabat, namun sesuatu jelas telah berubah. Ada kekuatan lain yang kini mengatur ritme kekuasaan di Beijing.

Perang Dingin Baru—Trump, Perjanjian Jenewa, dan Teka-Teki Kekuasaan

Pada 12 Mei 2025, dunia sempat berharap pada secercah perdamaian. Tiongkok dan Amerika Serikat menandatangani Pernyataan Bersama Perundingan Ekonomi dan Perdagangan di Jenewa, Swiss. Isinya sangat eksplisit: penurunan tarif, ekspor logam tanah jarang, pengembangan teknologi AI, penguatan kerja sama komoditas strategis, hingga pembangunan mekanisme kepercayaan lintas sektor—semua diberi tenggat waktu 90 hari.

Gedung Putih menganggap ini kemajuan bersejarah. Trump bahkan menyebutnya sebagai “terobosan damai” setelah bertahun-tahun perang dagang. Namun, hanya dalam hitungan hari, sinyal aneh muncul dari Beijing. Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan normatif: “saling menguntungkan, mengutamakan kerja sama”. Kementerian Perdagangan bahkan hanya berkomentar, “akan berusaha melaksanakan”. Media utama seperti Xinhua dan People’s Daily justru memilih diam seribu bahasa. Internet Tiongkok, seperti terkena sensor senyap, membiarkan peristiwa besar ini tenggelam tanpa jejak.

Para pelaku bisnis internasional yang jeli langsung membaca gelagat:

“Ini seperti sebuah perusahaan cangkang yang bosnya baru saja wafat. Yang mengelola hanya bagian keuangan, pura-pura tidak tahu apa-apa. Tidak ada keputusan. Semua hanya menunggu.”

Pemerintahan Xi Jinping, atau lebih tepatnya sistem Partai Komunis Tiongkok (PKT), sedang lumpuh karena satu hal—tak ada lagi yang benar-benar berani mengambil keputusan. Aparat kementerian hanya menunggu, bertanya-tanya: “Siapa pemegang kekuasaan yang sesungguhnya sekarang?” Trump murka, bukan karena PKT ingkar janji, melainkan karena Dia melihat—mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Tiongkok—tak ada satu pun sosok di Beijing yang benar-benar berani memutuskan.

Eskalasi Tekanan—Serangan Amerika ke Titik Lemah Keluarga Elite PKT

Situasi ini berubah drastis pada 4 Juni. Gedung Putih merilis kebijakan baru: pembatasan visa bagi mahasiswa asing, khususnya yang belajar di Harvard. Sekilas terlihat biasa—seperti isu imigrasi rutin—tapi kenyataannya, kebijakan ini adalah serangan presisi ke jaringan modal dan kepentingan keluarga elite PKT.

Dalam dokumen resmi, disebutkan: Harvard memiliki relasi finansial dengan PKT, ribuan perwira militer dikirim ke AS untuk belajar, dan ada skema penyusupan tiga sistem utama PKT (partai, pemerintahan, militer) ke institusi pendidikan Amerika. Bahkan, nama anak perempuan pemimpin Tiongkok pun disebutkan secara eksplisit—sebuah pelanggaran keras atas “garis merah” tak tertulis di Beijing. Puluhan tahun, Amerika menghindari menyentuh keluarga para penguasa PKT, kini Trump justru menyerang langsung ke titik terlemah: keluarga.

Pesannya jelas: “Saya tahu di mana anakmu berada.”

Ini adalah perang psikologis tingkat tinggi. Dalam sejarah modern, hanya beberapa pemimpin dunia yang pernah mengalami situasi di mana anak-anak mereka dijadikan target publik oleh Amerika Serikat—Osama Bin Laden, Muammar Gaddafi, dan Saddam Hussein. Semua berakhir tragis bagi rezim mereka.

Bagi elite PKT, ini adalah ultimatum: “Kalian masih ingin setia pada Xi, atau mulai menghubungi CIA?”

Panggung Sandiwara Kekuasaan—Xi Jinping dalam Bayang-Bayang

Trump tidak berhenti di situ. Kali ini, dia mempermalukan Xi Jinping secara terbuka di hadapan seluruh dunia, lewat telepon tengah malam yang tidak terjadwal dan tidak diberi protokol khusus. Berbeda dengan percakapan bilateral resmi antara Trump dan Putin—yang selalu penuh pemberitahuan dan koordinasi lintas kementerian—telepon kepada Xi berlangsung dadakan, tanpa skenario. Media Tiongkok pun sempat gagap, hanya menuliskan “Xi Jinping berbicara dengan Trump”, tanpa embel-embel jabatan, isi percakapan, atau detail lain. Baru kemudian, gelar “Presiden” disisipkan di rilis berikutnya—menandakan ini adalah panggilan darurat yang tak bisa ditolak.

Xi Jinping berada dalam posisi yang sangat lemah:

  • Jika dia menerima telepon, berarti dia tunduk di depan dunia.
  • Jika dia menolak, dia bisa saja kehilangan kekuasaan secara instan.

Di balik layar, tekanan datang bukan hanya dari Amerika, tetapi juga dari sesepuh PKT dan militer yang khawatir masa depan mereka ikut terancam. Akhirnya, Xi terpaksa tampil di kamera, sekadar menjadi simbol “kesetiaan” sampai urusan transisi kekuasaan benar-benar tuntas.

Misteri Fisik dan Isolasi Xi Jinping—Dari Stroke hingga Karantina Politik

Mengapa Xi bisa begitu terpuruk? Jawabannya: kondisi fisiknya benar-benar sudah rapuh. Setelah serangan stroke mendadak pada Juli 2024, Xi menjalani operasi otak darurat. Sejak itu, kesehatannya tak pernah benar-benar pulih untuk menghadapi tekanan politik tingkat tinggi. Pembersihan besar-besaran di tubuh militer, pergantian total sistem pengawal, dan isolasi penuh di Zhongnanhai menunjukkan bahwa lingkaran dalam sudah tidak lagi mempercayai siapa pun.

Setiap tamu, baik asing seperti Lukashenko, maupun tokoh domestik seperti Panchen Lama, hanya bisa diterima di ruangan yang sama—ruangan yang kini lebih mirip “kamar rawat inap” daripada kantor pemimpin negara. Pada minggu pertama Juni, Xi benar-benar “terpaku” di tempat itu, tak lagi melakukan inspeksi luar ruangan sejak 20 Mei.

Penjelasan paling masuk akal: Xi baru saja menjalani operasi besar dan masih dalam masa pemulihan. Bahkan, sangat mungkin detail kondisi fisiknya dirahasiakan dari dirinya sendiri—seperti yang pernah terjadi pada Mao Zedong di penghujung hayatnya.

Inilah ironi tragis sistem otoriter: pemimpin sakit, tapi bukan dirinya yang memutuskan, melainkan kolektif kekuasaan yang penuh intrik.

Sejarah Kelam, Ketakutan, dan Sandiwara Transisi

Partai Komunis Tiongkok belajar banyak dari tiga tragedi besar dalam sejarah kepemimpinan mereka:

  1. 1976 – Setelah Mao wafat, mitos kekuasaan komunis runtuh saat istri Mao diadili publik.
  2. 1987 – Sekretaris Jenderal reformis “mengundurkan diri” secara misterius, memicu gelombang demonstrasi mahasiswa.
  3. 1989 – Perdana Menteri “menghilang” selamanya di sebuah rumah tahanan rahasia.

Kini, elite PKT terlalu takut mengulangi “revolusi internal” yang dramatis. Karena Xi adalah simbol generasi “merah murni”—putra asli revolusi—kejatuhannya tidak boleh terjadi dengan kekerasan, tetapi dengan transisi yang “terhormat” di depan kamera. Namun, kehormatan itu hanya sebuah sandiwara. Semua adalah rekayasa panggung agar rakyat dan dunia melihat kekuasaan berpindah tangan secara “normal”.

Parade Terakhir, Ancaman AI, dan Diplomasi Senyap Barat

Semua persiapan menuju satu puncak: parade militer besar pada 3 September 2025 di Beijing, memperingati 80 tahun kemenangan Perang Dunia II. Namun, di balik parade ini, sesungguhnya adalah “foto bersama terakhir” dua rezim besar yang berada di ujung tanduk: Tiongkok dan Rusia.

Tamu kehormatan adalah Vladimir Putin, yang baru saja lolos dari percobaan pembunuhan lewat serangan drone di Kursk—serangan yang terdeteksi hanya mungkin dilakukan dengan teknologi intelijen dan AI tingkat tinggi milik Amerika. Ini bukan sekadar ancaman fisik, tapi uji coba pembersihan kekuasaan secara diam-diam. Media Amerika hanya menyebutnya “eskalasi taktis”. Tak ada kata “garis merah” atau “pelanggaran batas”—ini kode bahwa operasi seperti itu telah “diizinkan”.

Sistem AI seperti Palantir, Spark, Cognition, dan terutama Gotham kini telah naik ke level berikutnya—bukan hanya memonitor, tetapi juga mensimulasikan langkah para pemimpin dunia:

  • Siapa yang bisa menjadi target?
  • Siapa pengganti yang paling stabil?
  • Seberapa besar risiko jika seorang pemimpin jatuh?

Keberlangsungan Putin dan Xi bukan lagi soal keberanian atau kekuatan, melainkan soal kalkulasi AI dan waktu politik Amerika.

Penutup—Foto Bersama di Ujung Zaman

Ketika parade digelar, kamera dunia akan mengarah ke satu titik: Xi Jinping dan Vladimir Putin, berdiri bersama, tersenyum kaku di tengah dentuman meriam kehormatan—namun mereka tahu, semuanya hanya sandiwara. CIA, NATO, dan tim Trump akan menilai siapa yang hadir, siapa yang absen, siapa yang wajahnya paling tegang, dan siapa yang mobilnya berganti tipe.

Ini bukan pesta kemenangan Tiongkok-Rusia. Ini adalah ultimatum terakhir Amerika.

“Kalian masih berdiri hari ini, karena kami belum menekan tombol ‘eksekusi’.”

Pada akhirnya, dunia hanya tinggal menghitung hari. Ketika tirai ditutup dan lampu dipadamkan, babak baru akan dimulai—tanpa Xi, tanpa Putin, dan mungkin, tanpa sistem lama yang pernah mereka wakili.

Kekacauan Politik di Zhongnanhai: Dua Petinggi Media Partai Nomor Satu “Hilang” dari Situs Resmi

Situasi politik internal Partai Komunis Tiongkok (PKT) tengah mengalami kekacauan, disertai berbagai fenomena tak biasa di kalangan elit. Publik mencermati bahwa dua petinggi media utama partai, Harian Rakyat (People’s Daily), menghilang dari situs resmi mereka dan keberadaan mereka saat ini tidak diketahui.

EtIndonesia. Laporan Sing Tao Daily (Hong Kong) pada 9 Juni menyebutkan, pada bagian “Pengenalan Pimpinan” di situs resmi Harian Rakyat, dua nama telah hilang, yakni Wakil Presiden Harian Rakyat Hu Guo dan Anggota Komite Editorial sekaligus Sekretaris Jenderal Yu Jijun. Saat ini belum diketahui ke mana mereka pergi.

Profil singkat kedua tokoh yang menghilang:

  • Hu Guo, lahir setelah 1970, pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Redaksi Umum, Kepala Biro Tianjin, Direktur Departemen Kerja Sama Eksternal, dan Direktur Departemen Ekonomi dan Sosial. Pada September 2023, ia dipromosikan menjadi wakil presiden Harian Rakyat, setara dengan pejabat setingkat wakil menteri. Ia juga merupakan anggota tim penulis komentar politik utama “Ren Zhongping” — nama pena kolektif yang digunakan untuk propaganda partai.
  • Yu Jijun, lahir pada November 1969, dikenal sebagai “pengurus besar” media tersebut. Ia pernah menjadi kepala biro di Xiamen dan Chongqing. Pada 2010, ia diangkat sebagai Direktur Kantor Komunikasi Digital dan menjabat sebagai ketua serta manajer umum perusahaan komunikasi digital milik Harian Rakyat.

Latar belakang:
Pada Oktober tahun lalu, diumumkan bahwa 34 lembaga akan menjadi sasaran inspeksi rutin putaran keempat Komite Sentral PKT, termasuk:

  • Departemen Propaganda,
  • Departemen Front Persatuan,
  • Harian Rakyat,
  • Majalah Qiushi,
  • Guangming Daily,
  • China Daily,
  • Economic Daily, dan
  • Science and Technology Daily.

Kemudian, pada  28 Desember malam, situs resmi Komisi Disiplin Pusat mengumumkan bahwa tiga pejabat dari Harian Rakyat sedang diselidiki, yaitu:

  • He Yong (Kepala Biro Shanxi),
  • Xu Tao (mantan ketua & manajer umum divisi digital), dan
  • Liu Jianlin (mantan ketua Partai & direktur grup komunikasi energi-otomotif).

Pergantian pimpinan juga terjadi tahun lalu:

  • Pada September, Yu Shaoliang menggantikan Tuo Zhen sebagai presiden Harian Rakyat.
  • Pada Oktober, Chen Jianwen, mantan anggota Komite Tetap Partai Provinsi Guangdong dan Menteri Propaganda, diangkat sebagai Pemimpin Redaksi baru.

Konflik Internal Memuncak Pasca Kongres ke-20 PKT

Sejak Kongres Nasional ke-20 PKT, konflik di tingkat tinggi semakin intens. Banyak pejabat militer, politik, dan diplomatik yang merupakan loyalis Xi Jinping telah diturunkan atau menghilang. Termasuk di antaranya:

  • Li Shangfu (Menteri Pertahanan),
  • Qin Gang (Menteri Luar Negeri),
  • Miao Hua (Kepala Departemen Politik Militer),
    dan sejumlah jenderal serta pejabat tinggi industri pertahanan lainnya.
Setelah Kongres Nasional PKT ke-20, pertikaian internal di antara para pemimpin puncak menjadi semakin sengit. Gambar tersebut menunjukkan diagram skematik. (Guang Niu/Getty Images)

Kondisi Xi Jinping dan Peran Cai Qi

Cai Qi, tangan kanan Xi dan pejabat tinggi Partai yang mengawasi keamanan nasional, ideologi, dan propaganda, tampak makin tidak aktif secara publik. Ia bahkan beberapa kali tidak mendampingi Xi dalam acara penting — sebuah sinyal perubahan kekuasaan yang menjadi sorotan pengamat.

Menurut informasi dari sumber internal terpercaya yang diperoleh Epoch Times, Xi Jinping sebenarnya telah kehilangan kekuasaan sejak April tahun lalu. Meski masih tampil secara resmi, kekuasaan nyata disebut telah beralih ke tangan tokoh-tokoh tua partai seperti Wen Jiabao dan Zhang Youxia, yang kini dikabarkan memegang peran kunci dalam mengendalikan arah politik Tiongkok. (Hui)

Sumber : NTDTV.com

Zhongnanhai : Kantor pusat dan Komplek Partai Komunis Tiongkok di Beijing

PKT Guncang! Xi Jinping ‘Diamankan’, Amerika dan Rusia Turun Tangan—Siapa Dalang Sebenarnya?”

EtIndonesia. Aroma perubahan tajam sedang menggelayut di langit Tiongkok. Isu suksesi kepemimpinan Xi Jinping, yang selama ini tampak tak tergoyahkan, kini perlahan-lahan muncul ke permukaan, menebar kecemasan bukan hanya di Beijing, tetapi juga di seluruh dunia. Jika Xi Jinping benar-benar lengser, dampaknya akan sangat luas—mulai dari relasi Amerika Serikat-Tiongkok, stabilitas regional Asia Timur, hingga tatanan geopolitik global.

Para pengamat sepakat: krisis suksesi ini bukan hanya urusan domestik Tiongkok, melainkan juga telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan internasional. Presiden AS, Donald Trump, misalnya, disebut tidak hanya sekadar mengamati dari jauh, melainkan aktif menekan dan bahkan mengirimkan sinyal langsung ke lingkaran dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT), memperlihatkan kehendak politik Washington terhadap masa depan kekuasaan di Beijing.

Hilangnya Pejabat Kunci Media PKT: Tanda-tanda Guncangan di Elite Beijing

Salah satu sinyal utama dari instabilitas ini terekam pada laporan eksklusif harian Sing Tao Daily (Hong Kong), 9 Juni 2025. Media ini menyoroti perubahan mencurigakan di situs resmi People’s Daily, corong utama propaganda PKT. Pada laman “Pengenalan Pimpinan”, dua nama pejabat puncak mendadak hilang: Hu Guo (Wakil Presiden People’s Daily) dan Yu Jijun (Sekretaris Jenderal Dewan Redaksi).

Absennya dua sosok penting tersebut memicu spekulasi liar di kalangan pengamat politik Tiongkok. Hu Guo bukan figur sembarangan; dia setingkat wakil menteri dan berperan sebagai arsitek opini publik rezim. Yu Jijun, di sisi lain, kerap disebut sebagai “pengelola besar”—otak di balik banyak kebijakan editorial strategis PKT.

Penghilangan nama mereka secara diam-diam dari situs resmi mengindikasikan adanya pembersihan internal atau “penonaktifan” sebelum pengumuman resmi. Banyak yang mengaitkan hal ini dengan pengaruh politbiro urusan propaganda, khususnya sosok Cai Qi, yang selama ini menjadi tangan kanan Xi Jinping di bidang pengendalian informasi.

Ketidakhadiran Cai Qi dan Isu Retaknya Loyalitas

Ada kejanggalan lain yang menjadi sorotan. Ketika Xi Jinping melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Henan pada Mei lalu, Cai Qi yang menjabat Kepala Kantor Umum (dan notabene penanggung jawab keamanan pribadi Xi) tidak tampak mendampingi. Dalam tradisi PKT, absennya pejabat setingkat Cai Qi saat kunjungan penting adalah hal yang sangat luar biasa—bahkan mencurigakan.

Produser independen Li Jun (forum Elite New Tang Dynasty) mengibaratkan: jika Kepala Kantor Umum menghilang, itu seperti kepala pengawal istana mendadak absen—menandakan ada potensi perebutan kendali atas keamanan “Sang Kaisar”.

Spekulasi pun bermunculan: Apakah Cai Qi sudah berpaling dan bergabung ke faksi anti-Xi? Atau justru dia “diamankan” oleh rival politik, sehingga kehilangan akses langsung ke Xi? Apa pun jawabannya, jelas ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi di jantung kekuasaan Beijing.

Pertemuan Xi Jinping, Lukashenko, dan Lama: Pesan Simbolis atau Sinyal Bahaya?

Pekan lalu, publik Tiongkok dan internasional dikejutkan dengan munculnya Xi Jinping di taman Fengze Yuan, Zhongnanhai, bertemu Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko dan—yang lebih mengejutkan lagi— Lama. Dalam sistem PKT, bertemu Lama adalah tabu berat, karena dianggap separatis.

Pengamat politik senior Wu Jialong menyebut, kejadian ini memperkuat spekulasi bahwa Xi Jinping tengah “dikarantina” atau bahkan “diamankan” oleh faksi internal PKT. Xi tidak menyambut Lukashenko di forum resmi, tanpa bendera nasional, tanpa karpet merah, dan tanpa didampingi politbiro. Bahkan, penerjemah Tiongkok terlihat lebih dominan dalam komunikasi, sementara Xi sendiri tampak pasif.

Sebagai perbandingan, sehari sebelumnya Lukashenko bertemu pejabat PKT lain di tempat resmi, lengkap dengan protokol kenegaraan. Ini memperkuat dugaan bahwa ada kekuatan lain yang kini lebih berkuasa dan sedang mempersiapkan transisi ke kepemimpinan baru.

Putin, Trump, dan “Pengecekan Langsung” terhadap Xi Jinping

Wu Jialong juga menyoroti bagaimana perubahan elite PKT kini diawasi ketat oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden AS, Donald Trump. Di masa lalu, Amerika mengirim senator ke Taipei untuk “mengecek kesehatan” Chiang Ching-kuo secara diam-diam, dengan berjabat tangan dan merekam ekspresi wajah. Kini, Putin mengutus Lukashenko untuk “mengecek kondisi” Xi Jinping—dengan tujuan mengamati langsung respons elite Beijing.

Strategi Tekanan Trump dan Respons Militer Tiongkok

Trump, menurut berbagai analis, secara aktif menekan elite militer PKT. Sanksi visa terhadap keluarga pejabat, terutama pelarangan atau pembatasan visa pelajar—termasuk kepada putri Xi Jinping, Xi Mingze, yang kuliah di Harvard—disebut sebagai pesan langsung kepada lingkaran dalam kekuasaan. Pesan itu jelas: jika Anda tetap mendukung Xi, Anda bisa ikut tumbang; jika memilih menjauh, ada pintu kompromi dengan Barat.

Situasi ini membuat kubu militer Tiongkok, yang selama ini menjadi pilar kekuasaan PKT, kini dalam posisi sulit. Mereka tak ingin menjadi korban konflik besar antara AS-Tiongkok, dan mulai mempertimbangkan jalan selamat jika terjadi perubahan rezim. Sejumlah bocoran intelijen menunjukkan, dukungan militer kepada Xi mulai goyah—dan masa depan kepemimpinan Tiongkok sangat ditentukan oleh sikap tentara.

Ke Mana Arah Suksesi Tiongkok?

Dalam kondisi serba tak pasti, pengamat sepakat bahwa jatuh-bangun elite di Beijing tak hanya akan mengguncang negeri Tirai Bambu, tapi juga bisa memicu perubahan besar di kancah global. Dunia kini menanti: akankah Xi Jinping benar-benar turun? Jika ya, siapa penggantinya, dan bagaimana nasib hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat, Rusia, serta negara-negara besar lain?

Semua pihak kini menahan napas, menanti langkah selanjutnya dari Washington, Moskow, dan tentu saja—militer serta faksi-faksi dalam Partai Komunis Tiongkok sendiri.

Proyek Riset Laut Dalam Misterius Tiongkok-Rusia: Kompetisi Strategis di Dasar Samudra

EtIndonesia. Menjelang pembukaan Konferensi Laut PBB 2025 di Kota Nice, Prancis, pada 9 Juni, edisi akhir pekan harian Le Monde menempatkan isu perlindungan laut sebagai berita utama, menyebutnya sebagai tantangan hidup dan mati bagi umat manusia. Editorial surat kabar tersebut menyoroti makna khusus dari pertemuan kali ini. Namun di saat perhatian internasional tertuju pada ekologi laut, majalah mingguan L’Express justru mengangkat sisi lain dari samudra: persaingan strategis bawah laut antar negara besar, terutama Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat.

Peringatan AS di Shangri-La: Taiwan dalam Bahaya

Editorial L’Express membahas pernyataan tegas Menteri Pertahanan AS dalam Dialog Shangri-La yang baru saja usai di Singapura. Dia memperingatkan bahwa skala manuver militer Tiongkok terus membesar, dengan provokasi terhadap Taiwan yang kini jumlahnya tak terhitung. Menurutnya, bahaya konflik di Selat Taiwan kini benar-benar mengancam dalam waktu dekat.

Peneliti dari lembaga kajian Asia Prancis, 高敬文 (Gaon Kim-wen), menyebut bahwa pernyataan keras itu mencerminkan kekhawatiran Washington bahwa jika perang pecah, artinya strategi pencegahan AS gagal total. Maka dari itu, AS harus tampil tegas demi menjaga kredibilitasnya dalam menghalau Tiongkok.

Meskipun Menteri Pertahanan Tiongkok absen dalam forum tahun ini, Beijing bereaksi cepat dengan menolak keras narasi yang menyamakan hubungan Taiwan dengan model Jerman Timur-Barat, Korea Utara-Selatan, atau Vietnam Utara-Selatan. Artikel L’Express mencatat bahwa:

·        Jerman kini telah bersatu dalam sistem demokratis.

·        Korea tetap terpecah.

·        Vietnam sudah sejak 50 tahun lalu dikuasai oleh rezim komunis.

Taiwan, tegas artikel itu, adalah seperti Ukraina—rakyatnya berharap mempertahankan sistem demokrasi yang mereka miliki.

Di Balik Konferensi Perlindungan Laut: Ketidakhadiran AS dan Kepentingan Tersembunyi

Sementara itu, Le Monde menyoroti bahwa dalam kondisi upaya mitigasi perubahan iklim yang sering gagal, serta multilateralisme yang goyah, kehadiran hampir 60 kepala negara atau pemerintahan dalam Konferensi Laut PBB di Nice patut diapresiasi. Namun, penulis editorial memperingatkan bahwa target pertemuan ini sangat terbatas dan tidak akan menghasilkan kesepakatan konkret terkait komitmen perlindungan laut.

Sebagai tuan rumah, Prancis berharap dapat mendorong lebih banyak negara meratifikasi Perjanjian BBNJ 2023 (untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional). Namun, ketidakhadiran Amerika Serikat dinilai akan melemahkan dorongan global dalam upaya perlindungan laut.

Samudra dalam Genggaman Strategi Global: Kompetisi di Dasar Laut

Di saat dunia sibuk menyelamatkan ekosistem laut, tiga kekuatan besar—Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia—sudah memulai kompetisi strategis di wilayah paling dalam dari bumi: dasar laut.

Artikel utama L’Express menyoroti keberadaan kapal mata-mata Rusia Yantar yang beberapa waktu lalu muncul di Selat Inggris. Meskipun secara resmi adalah kapal riset oseanografi, kapal ini diyakini memiliki misi intelijen: memata-matai dan mengidentifikasi infrastruktur bawah laut milik negara-negara yang dianggap target strategis oleh Rusia.

Sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina, telah terjadi lebih dari 10 kasus pemutusan kabel bawah laut di Laut Baltik, yang diyakini bukan insiden biasa, melainkan perluasan konflik darat ke bawah laut. Samudra kini menjadi arena strategis yang diperebutkan, tak hanya untuk tujuan militer, tetapi juga untuk eksplorasi sumber daya mineral yang masih tersembunyi di palung terdalam.

“Tembok Bawah Laut” Tiongkok dan Ambisi Globalnya

Tiongkok tidak mau ketinggalan. Dengan angkatan laut yang berkembang pesat, Beijing sedang membangun apa yang disebut sebagai “Tembok Bawah Laut” untuk menghalangi masuknya kapal asing ke perairannya. Seorang narasumber yang tidak ingin disebut namanya mengatakan bahwa Tiongkok kini memiliki sejumlah kapal seperti Yantar, yang diam-diam melakukan pemetaan dasar laut di berbagai kawasan.

Selain itu, Tiongkok terus memperluas jaringan kabel bawah laut secara agresif. Menurut narasumber tersebut:

·        Amerika Serikat masih merupakan pemilik jaringan kabel bawah laut terbesar di dunia.

·        Prancis berada di posisi ketiga.

·        Tiongkok saat ini berada di peringkat ke-10, dan merasa peringkat ini tidak mencerminkan statusnya sebagai kekuatan global.

Amerika Serikat dan Senjata Rahasia Laut Dalam

Meskipun informasi mengenai operasi bawah laut di kawasan Pasifik sangat terbatas, AS diyakini memiliki “senjata rahasia”—kapal selam nuklir kelas Sea Wolf, USS Jimmy Carter, yang mampu mengirim drone laut dalam atau pasukan khusus ke lokasi rahasia.

Namun, detail operasionalnya sangat dirahasiakan. Para ahli menyatakan bahwa hingga kini belum memungkinkan untuk “melihat” drone laut dalam bertenaga nuklir yang berfungsi sebagai sistem pencegah baru. Namun, dengan perkembangan pesat teknologi AI dan kendaraan bawah air nirawak, kemungkinan itu suatu hari akan menjadi kenyataan—entah dalam hitungan tahun atau beberapa dekade ke depan.

Kesimpulan: Ekologi dan Strategi Bertabrakan di Laut Dalam

Sementara Konferensi Laut PBB berusaha menyelamatkan ekosistem laut dan membangun komitmen internasional untuk keanekaragaman hayati, kenyataannya dasar samudra telah berubah menjadi ** medan persaingan strategis** yang dipenuhi kapal mata-mata, operasi intelijen, hingga ekspansi jaringan bawah laut oleh negara-negara besar.

Laut dalam kini bukan hanya tentang ikan, karang, dan terumbu, tapi tentang data, kekuasaan, dan dominasi geopolitik. (jhn/yn)

Mimpi Melihat Masa Depan: Ketika Bayangan dari Dunia Mimpi Menjadi Kenyataan

EtIndonesia. Sebagian mimpi hanyalah bayangan samar dari kenangan yang tertinggal, tapi ada pula mimpi yang seperti bisikan dari masa depan—misterius, halus, dan sulit dijelaskan. Mimpi sering kali berada di antara batas nyata dan ilusi, namun ketika adegan-adegan yang terasa kebetulan itu perlahan terwujud dalam kenyataan dengan presisi mencengangkan, kita pun mulai bertanya ulang: apakah mimpi hanya bunga tidur, atau justru cermin waktu yang menembus dimensi ruang dan masa?

Kisah-kisah nyata berikut berasal dari orang-orang dengan latar belakang berbeda. Mereka pernah mengalami mimpi yang ternyata menjadi semacam peringatan halus, atau bahkan rekaman masa depan yang belum terjadi. Pengalaman ini mengajarkan kita satu hal: tidak semua mimpi boleh dianggap enteng.

Rumah yang Belum Ditemui dan Konsol Game yang Belum Dimiliki

Bagi George, mimpi terasa seperti pengulangan kenangan—yang belum terjadi. Suatu musim panas, dia dan keluarga sahabatnya berencana mengunjungi desa ayah sahabatnya. Beberapa hari sebelum berangkat, George bermimpi sedang mengobrol dengan ibu dan anak dari keluarga sahabatnya di sebuah rumah asing.

Beberapa bulan kemudian, ketika dia benar-benar menjejakkan kaki di rumah itu dan mendengar percakapan yang persis sama seperti dalam mimpi, barulah dia sadar bahwa mimpi tersebut bukan sekadar mimpi—melainkan sebuah cuplikan dari masa depan.

Namun yang lebih mengejutkan adalah mimpi lainnya. Dia bermimpi bermain PlayStation 5 di ruang tamu, padahal saat itu dia belum memilikinya. Beberapa minggu setelahnya, secara kebetulan dia mendapatkan konsol tersebut. Saat dia menggenggam pengontrolnya untuk pertama kali, perasaan déjà vu yang kuat menghantamnya. Dia sadar: mimpinya telah lebih dulu memperlihatkan momen itu. Mimpi itu seperti bocoran waktu—rekaman kecil dari masa depan yang menyelinap ke malam-malamnya.

Peringatan Sebuah Bahaya

Reifen, seorang mantan mahasiswi keperawatan, pernah bermimpi tentang seorang teman pria yang tak begitu dekat dengannya. Dalam mimpinya, pria itu meninggal akibat kecelakaan karena menyetir dalam keadaan marah.

Keesokan harinya, dia tak bisa menahan diri untuk memperingatkan pria tersebut, meminta agar dia lebih hati-hati saat mengemudi. Sang pria hanya tertawa, tak menanggapinya serius. Namun tiga minggu kemudian, kecelakaan itu benar-benar terjadi—meski untungnya dia selamat tanpa cedera serius.

Bagi Reifen, pengalaman itu menjadi titik balik. Dia menyadari bahwa tidak semua mimpi adalah khayalan; sebagian bisa jadi sinyal dari alam bawah sadar, atau bahkan bentuk komunikasi dari sesuatu yang lebih dalam.

Mimpi Berantai dan Bayangan Kematian

Seorang wanita anonim membagikan kisahnya tentang mimpi-mimpi yang tak biasa. Dia pernah bermimpi bahwa teman kekasihnya meninggal dalam kecelakaan mobil. Beberapa minggu kemudian, peristiwa itu benar-benar terjadi.

Pada kesempatan lain, dia bermimpi selama tiga malam berturut-turut bahwa ayahnya meninggal. Namun kenyataannya, yang meninggal adalah sepupunya, yang memiliki kemiripan wajah luar biasa dengan ayahnya. Lebih menyeramkan lagi, jasad sepupunya ditemukan setelah tiga hari tak diketahui—sama persis seperti durasi mimpinya.

Mimpi lainnya juga menyiratkan kematian—kali ini tentang kucing peliharaannya. Dia terbangun dari mimpi karena mendengar suara benturan keras dan secara refleks menutup matanya dengan tangan. Beberapa minggu kemudian, kucingnya benar-benar tertabrak. Di detik dia menyaksikan kejadian itu, suara benturan yang sama terdengar di telinganya, dan tangannya secara naluriah menutupi mata—persis seperti dalam mimpi.

Dia bahkan pernah bermimpi dirinya kembali bersama cinta pertamanya, tinggal di rumah bata merah bertingkat dengan teras belakang menghadap laut. Tahun-tahun berlalu—dan saat mereka benar-benar bersama lagi, rumah yang mereka tinggali identik dengan apa yang mereka berdua pernah mimpikan. Ya, keduanya ternyata bermimpi hal yang sama, seolah dua jiwa itu telah menerima fragmen masa depan yang sama di waktu berbeda.

Dari Seorang Gadis Remaja Menjadi Seorang Ibu

Saat masih remaja, Angela pernah bermimpi dirinya akan mengandung anak kembar. Bertahun-tahun kemudian, ketika dia hamil untuk pertama kali, dokter mengonfirmasi bahwa dia memang mengandung kembar.

Sejak itu, Angela sering bermimpi tentang masa depan: wajah anak-anaknya, kedatangan anak keduanya, bahkan jenis kelamin dan karakter mereka. Semuanya menjadi kenyataan.

Angela percaya bahwa mimpi-mimpinya adalah bentuk dari naluri keibuan, atau mungkin juga secercah takdir yang terbuka melalui alam bawah sadar. Dia juga kerap merasakan firasat yang kuat sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Dan firasat itu, menurutnya, tidak pernah salah.

Mimpi: Ingatan yang Belum Terjadi?

Hingga kini, sains belum mampu menjelaskan fenomena mimpi yang tampak seperti ramalan ini. Mungkin itu hanya kebetulan. Mungkin pula hasil kerja alam bawah sadar yang menyusun potongan informasi yang kita tak sadari.

Namun ketika kejadian demi kejadian terjadi persis seperti dalam mimpi, dan terlalu banyak “kebetulan” yang terjadi secara beruntun, sulit untuk menolak kemungkinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik mimpi-mimpi itu.

Sebagian mimpi adalah peringatan, menyuruh kita lebih waspada. Sebagian lainnya adalah isyarat, yang menyingkap harapan maupun bahaya yang tersembunyi. Ada pula mimpi yang seperti surat rahasia dari masa depan, dikirim pelan-pelan saat malam tiba dan dunia sunyi.

Kita mungkin belum mampu memahaminya sepenuhnya, tapi kita bisa belajar menghargainya. Karena mungkin saja—beberapa mimpi memang bukan sekadar mimpi.(jhn/yn)

Dalang Operasi “Jaring Laba-laba”  Ukraina Terungkap: Mantan DJ Asal Rusia yang Berusia 37 Tahun 

Baru-baru ini, Ukraina melancarkan serangan drone bersandi “Jaring Laba-laba” terhadap pangkalan udara Rusia, yang menyebabkan 41 pesawat militer Rusia mengalami kerusakan. Menurut badan intelijen Rusia, seorang mantan DJ berusia 37 tahun bernama Artem Tymofieiev, yang lahir di Ukraina namun menetap dan menjadi warga negara Rusia, diduga sebagai otak di balik serangan tersebut. Media Prancis melaporkan bahwa Ukraina kemungkinan terlebih dahulu merekrut istrinya yang dikenal mendukung militer Ukraina. Saat ini, keberadaan keduanya tidak diketahui.

EtIndonesia. Artem Tymofieiev, yang sebelumnya tidak dikenal publik, pertama kali disebut dalam surat perintah penangkapan yang diterbitkan sehari setelah insiden (2 Juni). Berjanggut dan memiliki alis tebal serta mata besar, fotonya kini tersebar luas di media dan internet Rusia. Ia dijuluki oleh media Rusia sebagai “serigala berbulu domba.”

Begitu informasi tentang Tymofieiev bocor, hal ini memicu kemarahan besar di kalangan petinggi Rusia. Pemerintah Kota Ust-Kut di Rusia timur sempat memposting informasi tersebut namun menghapusnya dua jam kemudian. Namun sudah terlambat, nama tersangka utama dari Moskow itu telah tersebar ke seluruh dunia.

Menurut sumber keamanan Ukraina, rencana serangan dilakukan dengan menyelundupkan drone ke wilayah Rusia terlebih dahulu dan menyembunyikannya di dalam struktur kayu di atas truk. Bagian atas struktur ini kemudian dibuka dari jarak jauh, memungkinkan drone meluncur ke sasaran serangan.

Pada  1 Juni, sebanyak 117 drone keluar dari truk dan menyerang pangkalan udara Rusia. Setidaknya 13 pesawat tempur Rusia rusak, dan menurut pihak Ukraina, totalnya mencapai 41 pesawat, termasuk pesawat pembom strategis Tu-95, Tu-22, serta pesawat peringatan dini A-50. Ini merupakan kekalahan paling parah dalam sejarah angkatan udara Rusia.

Karena skala operasi “Jaring Laba-laba” sangat besar dan terorganisir rapi, pihak Rusia sejak awal mencurigai adanya keterlibatan orang dalam. Intelijen Rusia menyebut bahwa Tymofieiev kemungkinan memegang peran penting dalam logistik dan komunikasi dalam serangan 1 Juni, dan menyelundupkan drone dengan metode seperti “Kuda Troya.”

Menurut laporan Central News Agency, sebelum serangan terjadi, Tymofieiev menghubungi setiap sopir truk secara terpisah untuk memberitahukan lokasi berhenti yang tepat sepanjang perjalanan. Ia juga merupakan pemilik truk-truk pengangkut drone tersebut. Para sopir yang kini ditahan semuanya memberikan pernyataan serupa: mereka mengira hanya mengangkut struktur kayu untuk bangunan rumah.

Dalam rekaman yang diambil, terlihat para sopir menghentikan truk mereka di pinggiran area target yang sepi. Ledakan kecil membuka atap bak truk, dan drone meluncur dalam kelompok berisi belasan unit menuju pangkalan strategis yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Sistem peringatan Rusia tidak sempat merespons, menyebabkan kerugian besar dan mempermalukan militer Rusia.

Artem Tymofieiev yang kini berusia 37 tahun lahir di Ukraina, menikah dengan istrinya pada 2016 dan pindah ke Rusia, menjadi warga negara Rusia pada 2018. Dalam foto yang beredar, ia tampak bertato di lengannya dan memakai kacamata hitam. Ia dikabarkan pernah menjadi DJ, namun pada 2024 tiba-tiba terdaftar sebagai pengusaha transportasi jalan. Intelijen Ukraina disebut sudah mulai merancang serangan besar ini sejak lebih dari setahun yang lalu.

Menurut laporan Le Parisien pada 8 Juni, istri Tymofieiev, Ekaterina Tymofieiev, kemungkinan juga terlibat dalam aksi ini, dan kini menjadi target pengawasan intelijen Rusia.

Le Parisien mengungkapkan bahwa Ekaterina memiliki gelar hukum dan pernah belajar di Universitas Pertahanan Nasional Ukraina. Ia adalah ketua dari sebuah LSM yang mendukung pasukan khusus Kyiv. Pada 2019, ia bahkan sempat mencalonkan diri secara terbuka untuk posisi wakil menteri pertahanan.

Petinggi Rusia menduga bahwa agen intelijen Ukraina pertama-tama merekrut Ekaterina, lalu melalui dirinya menjalin kontak dengan Tymofieiev. Selama seminggu terakhir, keluarga mereka terus-menerus diinterogasi oleh penyelidik Rusia dan menjadi sasaran media.

Nenek Tymofieiev yang tinggal di pinggiran kota berteriak kepada wartawan dari Ria-Novosti:
“Semua orang menanyakan hal ini. Tapi kalian polisi? Saya tidak mau bicara dengan siapa pun, karena kami benar-benar tidak tahu apa-apa.”

Mungkin demi menjaga muka, pihak Moskow mengklaim bahwa tersangka telah ditangkap. Namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa semua pelaku telah meninggalkan Rusia sehari sebelum operasi dimulai dan kini berada dalam kondisi “aman”. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

Ukraina Klaim Hancurkan Sepertiga Pesawat Pembom Rusia, Rusia dan Ukraina Berselisih soal Pertukaran Jenazah Prajurit

Pada Minggu (8 Juni), Ukraina menyatakan bahwa dalam serangan drone terbaru, mereka telah menghancurkan sekitar sepertiga pesawat tempur strategis Rusia. Sementara itu, Rusia mengklaim telah merebut sebuah desa lagi di wilayah Ukraina. Di tengah meningkatnya eskalasi perang, kedua belah pihak juga saling menyalahkan terkait pertukaran jenazah prajurit yang gugur.

EtIndonesia. Dalam wawancara dengan ABC News pada Minggu (10/6/2025), Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa militer Ukraina menggunakan drone murah untuk menghancurkan lebih dari 30% pesawat pembom strategis Rusia.

Presiden Zelenskyy:  “Kami setidaknya telah menghancurkan sekitar 30% hingga 34% dari pesawat tempur Rusia. Menurut informasi kami, jumlahnya sekitar 41 pesawat, mungkin 42, tapi perhitungan kami menyebut 41 unit.”

Serangan drone ini diketahui memiliki nama sandi “Jaring Laba-laba”, dan menurut laporan, dinas intelijen Ukraina telah mempersiapkannya selama 18 bulan.

Pada Minggu yang sama, Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan bahwa pasukan Rusia telah merebut desa Zoria di wilayah Donetsk, Ukraina. Dalam sebuah video, Rusia menunjukkan bahwa mereka telah mengibarkan bendera nasional Rusia di desa tersebut.

Perselisihan Soal Pertukaran Jenazah

Pada saat bersamaan, terjadi perselisihan terbuka antara Rusia dan Ukraina terkait pertukaran tawanan perang dan jenazah prajurit yang gugur. Berdasarkan kesepakatan yang dicapai di Istanbul, kedua pihak merencanakan pertukaran 1.000 tawanan perang dan 6.000 jenazah.

Namun, Rusia menuduh Ukraina menunda proses pertukaran. Ukraina membantah tuduhan itu, dan menuduh balik bahwa Rusia sedang “memainkan permainan informasi” terkait isu ini.

Letnan Jenderal Zorin, Wakil Kepala Pertama Direktorat Informasi Staf Umum Militer Rusia, pada  Sabtu (7 Juni) menyatakan bahwa pihak Rusia telah mengirimkan 1.212 jenazah prajurit Ukraina ke titik pertukaran di perbatasan. Namun, menurutnya, Ukraina belum memberi konfirmasi penerimaan selama dua hari terakhir.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Intelijen Militer Ukraina, Kyrylo Budanov, mengatakan pada  Minggu bahwa Ukraina serius mematuhi perjanjian Istanbul, dan bahwa proses pertukaran baru akan dimulai minggu depan. (Hui)

Laporan oleh Zhang Qin untuk NTD

Gempa Kuat Magnitudo 6,3 Guncang Kolombia — Alarm di Bogotá Berbunyi, Warga Berhamburan ke Jalanan 

EtIndonesia. Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) melaporkan bahwa pada  8 Juni 2025 pagi, sebuah gempa bumi berkekuatan 6,3 magnitudo terjadi di Kolombia, dengan pusat gempa berada di dekat kota Paratebueno, sekitar 170 kilometer sebelah timur ibu kota Bogotá. Guncangan juga terasa di berbagai gedung di Bogotá. Meski belum ada laporan korban jiwa atau luka-luka, beberapa bangunan mengalami kerusakan.

Badan Geologi Nasional Kolombia mencatat gempa ini berkekuatan 6,5, menjadikannya sebagai gempa terkuat dengan durasi guncangan terlama di Bogotá dalam beberapa tahun terakhir. Pusat Penelitian Geologi Jerman (GFZ) juga mencatat kekuatan 6,5 dengan kedalaman hanya 10 kilometer, menjadikannya gempa dangkal.

Gempa terjadi pada pukul 08:08 pagi waktu setempat, dengan pusat gempa berjarak sekitar 17 kilometer dari Paratebueno.

Setelah gempa, alarm darurat di Bogotá berbunyi nyaring, dan warga panik berhamburan keluar gedung ke jalanan. Banyak orang masih enggan kembali ke dalam bangunan meskipun guncangan telah usai.

Untuk memeriksa dampak dan memberikan bantuan, otoritas keamanan Kolombia menyatakan melalui platform X (sebelumnya Twitter) bahwa tim tanggap darurat sedang melakukan inspeksi menyeluruh di seluruh kota.

Wali Kota Bogotá, Carlos Fernando Galán, menyatakan bahwa semua lembaga penanggulangan bencana telah dikerahkan. Guncangan juga terasa di kota-kota lain seperti Medellín, Cali, dan Manizales.

Beberapa menit setelah gempa utama, serangkaian gempa susulan terjadi di wilayah yang sama, dengan kekuatan antara 4,0 hingga 4,6 magnitudo, menurut Badan Geologi Nasional Kolombia.

Kolombia terletak di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) — kawasan sepanjang 40.000 km yang berbentuk tapal kuda, dikenal sebagai daerah rawan gempa dan letusan gunung berapi yang mengelilingi Samudra Pasifik. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

Menyeimbangkan Pengaruh Tiongkok—Perubahan Sikap Macron yang Terlambat

EtIndonesia. Kawasan Indo-Pasifik kini semakin menampakkan dirinya sebagai “zona patahan geopolitik” (shatter belt), tempat bertemunya konflik internal dan kompetisi strategis antar negara besar, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perang Rusia-Ukraina telah memperparah situasi ini dengan menyita sumber daya strategis Amerika dan Eropa, menimbulkan kekhawatiran bahwa perhatian terhadap kawasan Indo-Pasifik akan berkurang.

Strategi Indo-Pasifik Jadi Kunci Prancis Menyeimbangkan Tiongkok dan Rusia

Sebagai negara Eropa yang sangat mendukung Ukraina, Prancis—setelah mengalami kegagalan beruntun di kawasan Sahel, Afrika Barat—mencari jalur alternatif untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok dan Rusia. Dalam hal ini, wilayah-wilayah seberang laut Prancis di Indo-Pasifik menjadi aset penting dalam memperkuat posisi diplomatik dan strategisnya.

Menghadapi sikap Tiongkok yang semakin agresif di kawasan, Prancis dan Eropa kini lebih serius memusatkan perhatian ke Indo-Pasifik. Apabila Barat bersikap lunak terhadap Rusia, hal ini bisa memberi isyarat keliru kepada Tiongkok dan mendorongnya bertindak lebih berani di Indo-Pasifik. Presiden Emmanuel Macron pun mengaitkan nasib Ukraina dengan Taiwan, menyiratkan bahwa jika Rusia dibiarkan mencaplok wilayah secara brutal, maka nasib Taiwan pun akan di ujung tanduk.

Perubahan Sikap Macron dalam Strategi Indo-Pasifik

Macron kini secara terbuka menekankan pentingnya “kemandirian strategis” bagi Eropa dan Asia, menyerukan agar negara-negara tidak terjebak dalam dikotomi AS-Tiongkok. Dalam kunjungan ke kawasan Indo-Pasifik pada Mei, dia secara eksplisit mengingatkan bahwa fokus berlebihan pada Tiongkok tidak boleh mengorbankan Ukraina, karena kredibilitas Barat di Indo-Pasifik sangat bergantung pada keberhasilan mereka di Ukraina.

Pada Forum Dialog Shangri-La 2025, ketegangan antara AS dan Tiongkok memuncak akibat isu Taiwan dan Laut China Selatan. Namun menariknya, Macron menjadi kepala negara Eropa pertama yang diundang menyampaikan pidato utama pembukaan di forum ini. Hal ini dianggap sebagai pengakuan terhadap kontribusi Prancis bagi stabilitas kawasan.

Evolusi Kebijakan Luar Negeri Prancis

Dibandingkan dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, perjalanan Macron kali ini menunjukkan perubahan yang signifikan dalam strategi dan narasi. Pada 2018, dia mempromosikan konsep “Indo-Pasifik yang terbuka dan inklusif”—berbeda dari pendekatan AS yang lebih bersifat “bebas dan terbuka”. Saat itu, Prancis menolak memilih kubu dan menawarkan “jalan ketiga”, dalam semangat Gaullisme.

Namun, pasca krisis AUKUS tahun 2021—di mana Australia membatalkan kontrak pembelian kapal selam Prancis demi bergabung dengan aliansi AS-Inggris—Prancis mulai mengalihkan fokus ke mitra lain di kawasan, khususnya India.

India kini dianggap sebagai mitra strategis utama Prancis di Indo-Pasifik. Prancis mendukung modernisasi militer India dengan menjual jet tempur Rafale dan kapal selam. Di balik ketegangan antara India dan Pakistan, terdapat dukungan diam-diam Prancis terhadap India sebagai pengimbang pengaruh Tiongkok.

Prancis Perluas Keterlibatan di Asia Tenggara dan Pasifik

Tahun 2025, Macron melakukan kunjungan bersejarah ke negara-negara Pasifik Selatan seperti Kaledonia Baru, Vanuatu, dan Papua Nugini—yang belum pernah dikunjungi presiden Prancis sejak era Charles de Gaulle pada 1966. Kunjungan ini disebut sebagai “misi pemecah es” yang mencerminkan pergeseran strategis Prancis yang semakin sadar terhadap pengaruh Tiongkok di kawasan.

Sementara itu, Prancis juga memperkuat kerja sama ekonomi dan strategis dengan Vietnam, termasuk dalam proyek kereta cepat, teknologi nuklir, ruang angkasa, dan farmasi. Prancis juga menandatangani kesepakatan pembelian 20 pesawat Airbus oleh Vietnam, sebagai simbol penguatan hubungan ekonomi dan penyeimbang dominasi AS dan Tiongkok.

Demikian pula dengan Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, Prancis menjalin kerja sama militer intensif. Indonesia membeli 42 jet Rafale, menjalin kemitraan pembangunan kapal selam, dan menggelar latihan angkatan laut bersama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia juga berupaya mengurangi ketergantungan terhadap AS dan Rusia dalam hal pertahanan.

Prancis Semakin Waspada terhadap Ancaman Tiongkok

Perubahan sikap ini juga dipicu oleh meningkatnya ancaman Tiongkok terhadap wilayah-wilayah seberang laut Prancis di Indo-Pasifik, yang mencakup sekitar 1,5 miliar warga negara dan 10,2 juta km² zona ekonomi eksklusif—terbesar kedua di dunia setelah AS.

Contohnya, Beijing menunjukkan minat besar terhadap gerakan kemerdekaan di Kaledonia Baru, wilayah strategis yang kaya nikel dan pernah menjadi pangkalan penting Sekutu dalam Perang Dunia II. Tiongkok juga aktif membina hubungan dengan elite politik dan ekonomi lokal serta memanfaatkan komunitas Tionghoa untuk menanamkan pengaruh.

Selain itu, beberapa wilayah Prancis di Samudera Hindia seperti Mayotte juga terancam. Pulau tersebut diklaim oleh Komoro dan kini didukung oleh Tiongkok dan Rusia. Sementara itu, Madagaskar juga mengklaim pulau-pulau yang dikuasai Prancis, seperti Tromelin, dengan dukungan Tiongkok. Prancis kini menilai hal ini sebagai bentuk “perang hibrida” yang dilakukan Tiongkok untuk melemahkan kehadiran Prancis secara sistematis.

Ambisi Prancis vs Realitas Kapasitas

Meski ambisi Prancis besar, ada batasan nyata dalam sumber daya dan kemampuan. Dibandingkan dengan AS yang mengucurkan miliaran dolar tiap tahun untuk program “Pacific Deterrence Initiative” (PDI), Prancis hanya memiliki sekitar 3.000 personel militer tetap di Indo-Pasifik.

Kapal perang dan pesawat Prancis yang tersebar di Pasifik sudah lama bekerja di luar kapasitas. Misi pengiriman kapal induk atau jet tempur ke kawasan hanya bersifat simbolis jangka pendek, bukan kehadiran jangka panjang. Untuk benar-benar mencapai tujuannya, Prancis harus meningkatkan anggaran pertahanan, memperkuat pangkalan luar negeri, dan mengakuisisi kapal dan sistem pengintaian jarak jauh—namun hal ini terkendala krisis ekonomi pasca-pandemi dan perang Ukraina.

Dilema Strategis dan Politik Dalam Negeri

Strategi Prancis untuk tetap menjadi kekuatan global juga dihadapkan pada dilema politik domestik. Publik Prancis lebih fokus pada ancaman langsung di Eropa Timur, terutama karena perang Ukraina masih berlangsung. Banyak pihak mempertanyakan apakah masuk akal mengalokasikan dana militer ke wilayah yang sangat jauh dari tanah air.

Selain itu, Prancis mencoba memainkan dua peran sekaligus: sebagai penyeimbang dan sebagai pengimbang. Satu sisi tidak sepenuhnya mengikuti AS, namun di sisi lain juga ingin membendung pengaruh Tiongkok. Posisi yang ambigu ini kerap membingungkan sekutu dan lawan.

Meski begitu, Prancis sudah mulai menyelaraskan posisi dengan Barat. Baru-baru ini, penasihat diplomatik Macron menyatakan bahwa jika terjadi konflik di Selat Taiwan, Prancis tidak akan tinggal diam—menunjukkan komitmen yang lebih tegas.

Kesimpulan: Prancis Tidak Bisa Lagi Ragu

Kebijakan Prancis terhadap Tiongkok kini lebih realistis dan berorientasi pada kekuatan, bukan lagi idealisme inklusif. Macron ingin agar Prancis tetap menjadi kekuatan global yang mampu membentuk aturan dan menyediakan “barang publik” seperti keamanan dan stabilitas kawasan.

Namun, jika Prancis tidak bisa menjaga pengaruhnya di Indo-Pasifik setelah kehilangan posisi di Afrika, maka statusnya sebagai kekuatan global akan semakin memudar. Maka, baik Macron maupun presiden selanjutnya tak punya pilihan selain mengusung strategi nyata untuk menyeimbangkan Tiongkok —meskipun hal itu membawa risiko konfrontasi langsung.(jhn/yn)