Epochtimes.id– Sejumlah nama-nama dari berbagai lembaga dan Kementerian Korea Utara dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran HAM serius yang diungkap dalam laporan dua tahunan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dirilis pada 26 Oktober.
Setiap enam bulan, Kemenlu AS harus melapor kepada anggota kongres mengenai nama perorangan dan kegiatan yang secara serius melanggar hak-hak dasar warga Korea Utara.
Laporan pada Kamis lalu membidik sejumlah nama-nama dan lembaga tempat mereka bekerja. Sungguh ironi dengan nama lembaga dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan.
Komando Keamanan Militer atau Military Security Command (MSC) yang bekerja di bawah Kementerian Keamanan Negara Korut adalah lembaga yang membantu memastikan setiap warga Korea Utara terus-menerus merasa tidak aman dengan memata-matai loyalitas kepada rezim.
Secara teknis, lembaga ini dibuat untuk memantau personil militer untuk kegiatan anti-rezim dan menyelidiki kejahatan politik di militer. Namun demikian, lingkup kewenangan diperluas yang mencakup kepada warga negara untuk mengungkap siapa pun yang memiliki kecenderungan anti-partai atau anti-negara.
Laporan Departemen Luar Negeri menyebutkan, bukti membeberkan MSC menggali informasi melalui penyiksaan. Sedangkan mereka yang dituduh oleh lembaga ini karena melakukan kejahatan politik dapat dieksekusi tanpa pengadilan.
MSC juga mengoperasikan kamp penjara khusus di mana personil militer ditahan tanpa batas waktu tanpa diadili karena melakukan pelanggaran politik.
Sosok sebagai aktor MSC adalah Jo Kyong Chol, salah satu malaikat Korea Utara yang disebut malaikat kematian.
Departemen Luar Negeri juga menggunakan ungkapan tersebut dalam laporan sebelumnya, mengacu pada orang yang berbeda yang memimpin Divisi Inspeksi dari Departemen Organisasi dan Bimbingan.
Pria itu, Min Byong Chul, dia mengawasi dan secara pribadi melakukan penyelidikan terhadap orang-orang berprofil tinggi di Partai Pekerja Korea Utara yang berkuasa. Dia mengarahkan pembersihan anggota partai yang tidak setia, sering mengirim mereka ke penjara atau eksekusi tanpa pengadilan.
Dia juga mengumpulkan anggota keluarga mereka, mengirim mereka ke kamp-kamp penjara politik tanpa diadili. Cara ini adalah sebuah praktik yang digunakan rezim Korea Utara untuk menanamkan ketakutan yang mendalam kepada calon pembangkang siapapun.
Laporan baru ini mengatakan Jo sebagai “malaikat kematian” lainnya menyebabkan pelanggaran di dalam kompleks industri pertahanan Korea Utara.
Seperti Min, Jo juga memainkan peran sentral yang mengarahkan pembersihan dan mengumpulkan anggota keluarga sebagai target untuk dipenjara.
Wakil Jo di MSC adalah Sin Yong Il, yang tugas utamanya adalah untuk terus mengawasi upaya penyensoran rezim Korut.
Di luar penyensoran, Sin mengawasi penculikan warga Korea Utara di luar negeri yang dicurigai mencari suaka.
Warga Korea Utara yang hilang dari jumlah Korea Selatan dalam jumlah ratusan. Beberapa diketahui telah kembali ke Korea Utara, namun lebih banyak lagi yang tidak diketahui keberadaannya.
Departemen luar negeri AS juga mencantumkan Departemen Tenaga Kerja Korut, yang diketahui mengelola angkatan kerja tanpa bayaran.
Departemen negara menyetujui Jong Yong Su, Menteri Tenaga Kerja Korea Utara untuk bekerja dengan Komisi Perencanaan Negara “untuk menerapkan sistem ekonomi berdasarkan kerja paksa.”
Usaha itu termasuk brigade kerja paksa yang bekerja tanpa bayaran hingga 14 jam sehari selama tujuh hari seminggu.
Dikarenakan sudah dijatuhi sanksi, maka sebagian besar jalur perdagangan barang Korea Utara terpotong. Maka Korut menjadi lebih bergantung pada pekerja sewaannya dan Departemen Luar Negeri memilih Kim Kang Jin, Direktur Biro Konstruksi Eksternal, atas perannya dalam perdagangan budak Korea Utara.
Biro tersebut mengelola perusahaan konstruksi yang mengirim buruh dari Korea Utara untuk bekerja di negara-negara di seluruh dunia.
Para pekerja ini menghadapi kondisi kerja yang berbahaya dan kemelaratan dengan sebagian besar gaji mereka dipulangkan kembali ke rezim tersebut dan sisanya diserahkan kepada manajer di tempat mereka.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menggambarkan mereka sebagai “budak yang disponsori negara,” dan memberi nama Kim bertanggung jawab atas kebijakan yang membuat mereka seperti itu.
Daftar nama lainnya yang dibeberkan AS adalah Ri Thae-chol adalah wakil menteri pertama Kementerian Keamanan Rakyat (MPS) dan seorang kolonel jenderal di Angkatan Darat Korea.
Dalam laporan 6 Juli 2016, Departemen Luar Negeri mengidentifikasi MPS sebagai bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan penyensoran yang serius. Ri melapor langsung kepada menteri keamanan rakyat dan mengkomunikasikan kebijakan ke seluruh kementerian melalui kepala staf.
Ri secara langsung mengawasi 50 biro MPS karena membatasi kebebasan berekspresi dan melakukan gerakan dan mengoperasikan kamp kerja paksa yang dikenal karena penganiayaan dan penyiksaan.
Nama lainnya, Ku Sung Sop (AKA Ku Young Hyok) adalah konsul Korea Utara di Shenyang, Tiongkok. Sebelum bertugas dalam jabatan ini, Ku adalah direktur Kementerian Keamanan Negara untuk Kontra Intelijen Asing.
Menurut laporan pemerintah asing, tanggung jawab utama Ku di Tiongkok meliputi pengawasan dan pemantauan pekerja luar negeri, yang dipaksa bekerja berjam-jam dan mendapatkan gaji mereka dipotong oleh pemerintah DPRK, dan mengawasi pemulangan paksa pencari suaka Korea Utara di Tiongkok.
Kim Min Chol adalah sekretaris kedua di kedutaan rezim Korut di Vietnam dan perwakilan keamanan Kementerian Keamanan Negara.
Tanggung jawab Kim di kedutaan termasuk partisipasi langsung dalam pemulangan paksa dan penghilangan orang di Vietnam dari pencari suaka Korea Utara.
Menurut pemerintah asing, pada tahun 2013, dia memimpin penculikan misionaris Korea Selatan Kim Jong Wook, yang kemudian dijatuhi hukuman kerja paksa di Korea Utara.
Chol Hyun Construction adalah perusahaan Korea Utara, bertindak atas nama pemerintah Korut, yang mengekspor pekerja dari DPRK ke negara lain, terutama di negara-negara Teluk dan Afrika.
Dosa Chol Hyun Construction adalah mewajibkan para pekerjanya di Kuwait untuk mencatat jam kerja yang sangat panjang (rata-rata, 14 jam per hari) dan membatasi pekerjanya ke tempat tinggal mereka saat mereka tidak bekerja.
Laporan yang sama menunjukkan bahwa pekerja ini dibayar dengan gaji rendah.
Sebuah laporan media Korea Selatan juga menyebutkan pekerja Korea Utara di Timur Tengah, termasuk pegawai Konstruksi Chol Hyun berada dalam kondisi seperti budak, termasuk gaji dan paspor yang ditahan oleh petugas keamanan Korut yang ditugaskan sebagai pengawas lokasi, ransum makanan yang sedikit dan pembatasan ketat atas kebebasan beraktivitas. (asr)
Sumber : The Epochtimes