Tahun Baru dan Resolusi
Kebanyakan orang di dunia menyongsong tahun baru dengan memahatkan sebuah resolusi. Resolusi adalah sebuah harapan yang ingin diwujudkan pada satu titik durasi waktu yang satu ke titik durasi waktu yang lain.
Diawali tentang suatu introspeksi pada apa yang sudah tercapai dan belum dicapai. Resolusi bisa diformulasikan sebagai hasil refleksi tahun lalu plus harapan di hari depan dan ditambah aksi untuk mewujudkan harapan.
“Resolusi = Refleksi tahun lalu + Harapan di hari depan + Aksi”
Banyak pemberitaan media dalam dan luar negeri yang memetakan resolusi apa saja yang dibuat oleh manusia di seluruh bumi. Resolusi yang paling banyak dibuat manusia di bumi sering kali berkisar tentang: karir, kesuksesan, keluarga, hubungan dengan orang lain, kesehatan dan lain-lain.
Jarang sekali dibuat sebuah resolusi yang mendasar yang mempertimbangkan segala faktor atau potensi yaitu bumi, manusia dan langit. Kebanyakan demi diri sendiri (egosentrisme) dan sangat jarang ditemukan demi kehidupan lain.
Padahal bila temuan dan himbauan dari 15.000 ilmuwan itu benar yaitu ancaman kemusnahan bumi, walaupun resolusi egosentrisme itu tercapai, maka resolusi dan pencapaian itu semua tak akan bernilai sama sekali. Diperlukan sebuah resolusi nurani bersama dari segenap ras manusia bahwa bumi ini ibarat sebuah bahtera besar yang menampung seluruh ras manusia.
Komitmen bersama dari seluruh umat manusia untuk merawat bumi adalah sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bumi dan makhluk yang ada di atasnya ibarat ibu dan anaknya. Kebanyakan manusia memperlakukan bumi sebagai obyek eksploitasi. Ini ibarat seorang anak yang durhaka pada ibunya.
Untuk membuat resolusi yang demi semua makhluk dan demi kesinambungan semua kehidupan di bumi, ras manusia harus sejenak merenungkan eksistensinya. Inti dari eksistensi jati dirinya yang murni adalah suara hatinya.
Suara hati atau nurani adalah benang antara manusia dengan Sang Pencipta dan seluruh kehidupan dalam semesta. Bumi pada hakikatnya juga mengandung suatu sifat hakiki yang bisa menjadi penghubung keharmonisan antara manusia, bumi dan langit.
Ras manusia perlu menemukan bahasa universal yang bisa mengharmoniskan hubungan antara ketiganya sehingga kesinambungan eksistensi terwujud.
Manusia zaman now menyebutnya karakter atau nilai. Bila orang berhasil mensinkronkan karakter diri, karakter bumi dan karakter langit, maka itulah sebuah kemujuran besar. Namun di tengah karakter dan nilai yang saling paradox satu sama lain akan sulit bagi manusia menemukan karakter apa yang merupakan “bahasa bersama” yang mengharmoniskan tiga potensi (manusia, bumi dan langit).
Kita banyak menemukan manusia mempunyai karakter yang paradox. Misalnya di satu sisi dia adalah pejuang HAM tapi di sisi lain dia melanggar HAM. Di satu sisi dia pejuang anti korupsi namun di sisi lain ia bagian dari korupsi itu sendiri. Di satu sisi dia seorang tokoagama dan spititual namun di sisi lain ia melanggar nilai agama dan spiritualitas.
Fenomena inilah yang menunjukkan adanya Paradox nilai. Memperjuangkan kebenaran tapi tidak tulus. Memperjuangkan eksistensi lingkungan tapi dengan muatan kepentingan. Memperjuangkan agama dan spiritualitas tapi demi kekuasaan dan ketenaran.
Baik kerusakan dan kesinambungan, peperangan dan perdamaian, semuanya dimulai dari kepedulian dari individu ras manusia pada nuraninya. Pada Tahun baru 2018 ini sejenak manusia seharusnya memprasastikan resolusi nurani di tengah segala macam paradox nilai yang seakan tak terbendung lagi.
Penulis menawarkan cukup tiga karakter ajaib yang harus disemaikan (dikultivasikan). Tiga karakter ini bisa dibilang karakter atau atau bahasa bersama yang bisa menghubungkan tiga potensi. Tiga karakter ini adalah Sejati (Thurthfulness), Baik (Benovelence) dan Sabar (Forbearence).
Hampir seluruh karakter positif yang tercatat dalam sejarah manusia bisa diringkas menjadi tiga karakter ini. Ia berada pada puncak hirarkis piramida dari karakter-karakter positif di dunia.