Tahun Baru dan Resolusi Nurani di Tengah Paradox Nilai

Oleh Iswahyudi

Selamat jalan tahun 2017. Selamat datang tahun 2018. Momen tahun baru bagi umat manusia di bumi selalu dimaknai dengan ekspresi dan pemaknaan yang berbeda-beda.

Ada yang menyambutnya dengan penuh gempita. Dirayakan dengan pesta kembang api, berwisata dan bersuka ria. Di tempat yang monumental mereka berkumpul, meniup keras-keras trompet sehingga menggema di angkasa. Ekspresi kegembiraan muncul di mana-mana. Tradisi ini terjadi hampir di seluruh pelosok dunia dari gurun sampai dinginnya Kutub Selatan dan Utara. Dari sisi ini pergantian tahun dimaknai sebagai peristiwa budaya pesta dan peristiwa ekonomi yang sangat besar di seluruh dunia yaitu pesta belanja.

Namun ada sebagian kecil yang berfikir jernih. Apa artinya pergantian tahun? Apakah ini tentang kembang api yang membahana di seluruh angkasa? Apakah hanya tentang pesta? Apakah tentang plesiran saja? Apakah ini tentang belanja dan menghamburkan sumber daya?

Bukankah pergantian tahun sebenarnya hanya proses hitungan astronomi dan penangalan belaka? Ya.

Ini hanya tentang pergantian dari durasi waktu yang satu ke durasi waktu yang lain sesuai kalender Masehi yang digunakan secara universal saat ini. Manusia hidup dalam suatu rentang ruang dan waktu, setiap manusia lahir ke dunia dengan kontrak durasi waktu dengan Sang Pencipta. Lahir-tua-sakit-mati itu adalah siklus yang terjadi bagi setiap kehidupan di dunia.

Setiap orang punya durasi waktu yang berbeda-beda. Ini sudah ada dalam dokumentasi Langit sebelum proses kelahiran itu terjadi.

Lalu, apa makna waktu bagi kita? Waktu sebenarnya mempunyai makna yang sangat penting bagi manusia. Waktu yang dijatahkan kepada setiap manusia di muka bumi ini adalah bentuk belas kasih dan kasih sayang dari Sang Pencipta agar setiap manusia menunaikan misi masing-masing sesuai kehendak-Nya.

Baru-baru ini ada temuan bahwa manusia bukan berasal dari bumi tetapi datang dari suatu tempat yang sangat jauh milyaran tahun cahaya. Barangkali berasal dari tempat yang belum kita bayangkan sebelumnya (neverland).

Epoch Times Indonesia versi cetak Edisi 534 tangal 24 – 30 Desember 2017 menulis Headline tentang “Ubah Konsep Lama”.

Sebuah riset para ahli Astronomi yang dipublikasikan pada Juli 2017 pada Montly Notice of the Royal Astronomical Society tentang Analisa Materi Galaksi menemukan bahwa 50% dari partikel atom yang ada di sistem Galaksi Bima Sakti, di bumi dan pada manusia – bukan dari tempat ini, melainkan berasal dari luar sistem tata surya nan jauh.

Siapakah kita? Dari manakah kita berasal? Kenapa kita berada disini? Dan kemanakah kita akan pergi? Adalah pertanyaan filosofis mendasar yang sering ditemukan pada kebudayaan tradisional ortodoks/murni di seluruh dunia.

Pertanyaan Filosofis ini seiring orientasi pemikiran manusia yang semakin hari semakin materialistis menjadi terabaikan dan seperti lelucon saja. Mungkin temuan ilmiah di atas merupakan seruan terakhir bagi umat manusia untuk kembali menyadari  tujuan dari penciptaannya. Sebuah peringatan yang begitu keras bagi seluruh ras umat manusia untuk kembali ke jati diri kemanusiaanya.

Pada 13 November 2017 lalu sebanyak 15.000 ilmuwan dari 184 negara memberikan pernyataan bersama yang dipublikasikan pada majalah Bio Science  bahwa bila umat manusia tidak menghentikan perilaku tidak terpujinya terhadap bumi maka bumi akan segera mengalami kehancuran.

Eksploitasi yang besar-besaran terhadap bumi,  pembakaran bahan bakar fosil yang masif, penggundulan hutan, penangkapan organisme laut yang berlebihan, pencemaran, penghamburan air bersih, perlombaan senjata nuklir dan perilaku tidak terpuji lainya – akan membuat bumi semakin sakit dan menua lebih cepat dari sebelumnya. Dan bila bumi sudah tak layak huni bukankah berarti musnahnya ras manusia di bumi?