EpochTimesId – Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi Tiongkok pada 8 hingga 10 Januari untuk melakukan kunjungan kenegaraan selama 3 hari. Tujuan kunjungan menurut istana kepresidenana Prancis adalah menjalin hubungan persahabatan dengan Presiden Xi Jinping, sekaligus membangun kerjasama strategis dengan Beijing.
Media Prancis selain memberi perhatian pada masalah kerjasama ekonomi dengan Tiongkok, juga khawatir tentang bagaimana Macron yang berani mengkritik Putin ketika berhadapan, dalam menghadapi rezim diktator Tiongkok.
Kantor Berita Agence France-Presse (AFP) melaporkan bahwa pemerintah Prancis berharap melalui perjalanan Macron ke Tiongkok dapat mencapai misi ekonomi. Prancis berharap kunjungan ini bisa menyeimbangkan transaksi perdagangan, sekaligus mengurangi defisit yang sudah mencapai 30 miliar Euro.
Macron diperkirakan akan menandatangani sejumlah perjanjian kerjasama ekonomi dengan Tiongkok dalam berbagai bidang, termasuk penerbangan, energi dan elektronika. Sebagaimana diketahui, sejumlah menteri kabinet Macron, para legislator, politisi yang akrab dengan urusan Tiongkok dan lebih dari 50 eksekutif puncak perusahaan mengiringi kunjungan Macron ke Tiongkok.
Menurut berita resmi Prancis, pasangan Macron akan memulai kunjungan mereka di Tiongkok dari Xi’an. Jurubicara Istana Elysee mengatakan bahwa sebagai tempat yang memegang peran penting dalam perkembangan kebudayaan Tiongkok, Xi’an juga merupakan titik awal dari Jalur Sutra Tiongkok kuno.
Setelah mengunjungi Pasukan Terakota Kaisar Qin, Macron akan menyampaikan pidato utama mengenai kecenderungan hubungan Prancis-Tiongkok. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Beijing untuk mengunjungi Kota Terlarang dan Akademi Teknologi Antariksa Tiongkok.
Selain kerjasama dalam bidang diplomatik dan perdagangan, perjalanan Macron kali ini juga akan menyinggung soal bagaimana menghadapi isu kediktatoran pemerintah komunis. Hal ini menjadi fokus perhatian media Prancis.
“Dapatkah Presiden Macron memperlakukan Presiden Xi Jinping seperti yang dia lakukan terhadap orang kuat dunia lainnya, dengan tanpa basa-basi mengucapkan yang benar secara berhadapan?” Demikian pertanyaan yang dikemukakan dalam artikel yang dimuat media Prancis ‘le Monde’.
Media tersebut percaya bahwa dengan bertambahnya kediktatoran yang muncul di kancah internasional membuat para pemimpin demokrasi semakin merasakan ketidaknyamanan dalam memperlakukan mereka.
Radio France International mengutip pemberitaan ‘le Monde’ menyebutkan, esensi dari ‘Macron way’ dalam menghadapi diktator adalah dengan upacara yang paling meriah menyambut kunjungan semua diktator, atau dengan upacara yang paling meriah untuk membalas kunjungan mereka.
Tetapi, diharapkan kesempatan konfrensi pers regular bersama dapat digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang sesuai fakta dan mengkritisi isu-isu HAM satu sama lain.
‘Macron way’ mulai populer pada 29 Mei 2017, saat Presiden Rusia Putin mengunjungi Prancis.
Ketika itu, Macron menyambut kunjungan kenegaraan Presiden Putin dengan mengadakan upacara penyambutan yang meriah di Istana Versailles. Kemudian memanfaatkan kesempatan pada konfrensi pers bersama untuk mengkritik media Rusia.
Ia menyebut media Rusia sudah menjadi mesin propaganda untuk menyebarkan pengaruh pemerintah Rusia.
Pada 5 Januari, ketika menyambut orang kuat Turki Recep Tayyip Erdogan, Macron juga tanpa ragu-ragu mengecam perbedaan besar tentang penanganan isu HAM antara uni Eropa dengan Turki di depan para wartawan.
‘Le Monde’ percaya bahwa ‘Macron way’ akan kembali mengalami ujian di Tiongkok, dalam pertemuan dengan orang paling kuat di Tiongkok saat ini. Apakah isu-isu sensitif menyangkut keseimbangan dalam neraca perdagangan, kebebasan pribadi, perlindungan kepentingan strategis Eropa dan lain-lainnya dapat memperoleh perubahan yang membaik melalui ‘inti yang mengungkap kebenaran’.
Direktur Kehormatan Pusat Studi Internasional Prancis yang juga ahli urusan Tiongkok, Jean-Philippe Beja mengatakan bahwa dalam kunjungan ke Tiongkok ini Macron harus membela hak asasi manusia. Seperti yang ia sampaikan dalam forum di media ‘le Monde’ bahwa akan tanpa ragu dalam memperjuangkan atau mempertahankan nilai-nilai universal.
Beja berpendapat, memanfaatkan kerjasama dengan rezim komunis untuk mengatasi krisis dunia mengandung banyak resiko. Meskipun setiap kepala negara yang ingin memainkan peran internasional harus menjaga hubungannya dengan negara terbesar kedua di dunia, namun, untuk membuat hubungan menjadi produktif, mau tidak mau harus memahami esensi rezim komunis Beijing.(ET/Guan Yuning/Sinatra/waa)