EpochTimesId – Tekanan internasional membuat sejumlah perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Korea Utara menarik diri. Beberapa analis percaya bahwa hal ini menunjukkan bahwa hubungan RRT-DPRK sedang memburuk.
Situs Korea Selatan pada 30 Januari 2018 mengutip berita dari beberapa sumber. Mereka memberitakan bahwa dengan diberlakukannya resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2375, sejumlah perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Korea Utara berangsur-angsur meninggalkan negara itu sejak 10 Januari yang lalu.
Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang kendaraan roda empat, sepeda, pertambangan dan industri ringan. Perusahaan itu rata-rata masuk negara itu sekitar tahun 2000.
Perusahaan Tiongkok yang kabur itu termasuk HuaChen Group Auto Holding Co., Ltd yang memproduksi kendaraan besar dan menengah, dan Hawtai Motor yang mengekspor kendaraan roda 4 ke Korea Utara sejak tahun 2013.
Ada pula perusahaan tembakau dan rokok asal Jilin, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara, bijibesi, emas, tembaga dan sektor lainnya. Semua perusahaan tersebut umumnya beroperasi secara patungan dengan warga Korut.
Huawei dan ZTE, perusahaan telekomunikasi Tiongkok yang memasuki Korea Utara dalam bentuk usaha non-patungan juga telah meninggalkan Korea Utara. Maskapai Air China cabang Korea Utara, baru-baru ini juga memutuskan untuk menarik diri sepenuhnya dan sudah menghentikan rute penerbangan Beijing-Pyongyang sejak bulan November tahun lalu.
Sumber berita menyebutkan bahwa keluarnya perusahaan-perusahaan Tiongkok dari Korut tersebut merupakan instruksi otoritas Beijing. Dari seorang sumber yang berada di dalam negeri Korut diketahui, hubungan diplomatik kedua negara jadi memburuk gara-gara perusahaan Tiongkok hengkang.
Sebelumnya ada beberapa perusahaan Korea Utara di Tiongkok juga menghentikan usaha mereka dan menarik diri. Sebagaimana dilaporkan media Jepang pada 10 Januari 2018, bahwa sehari sebelumnya ada beberapa perusahaan Korut di Tiongkok dipaksa menutup usaha oleh pihak berwenang Tiongkok.
Saksi juga melihat sejumlah tenaga kerja asal Korut berada di perbatasan dengan membawa kopor dan barang-barang berukuran besar. Nampaknyamereka seperti sedang dalam suasana pulang kampung.
Namun, ada juga perusahaan Korut di Tiongkok yang mengakali dengan ‘menjual saham’ kepada warga negara Tiongkok. Tujuan itu tidak lain adalah guna menghindari sanksi Internasional yang harus diterapkan oleh Tiongkok.
Sejak Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir yang keenam mereka, DK PBB pada 11 September 2017 mengeluarkan sanksi ekonomi kepada negara itu. Dan pada tanggal 28 bulan itu juga, Kementerian Perdagangan Tiongkok bersama Kementerian Industri dan Ketenagakerjaan mengeluarkan keputusan yang menghendaki perusahaan milik Korut di Tiongkok menutup usaha dalam batas waktu 120 hari atau sebelum 9 Januari 2018.
Begitu pula untuk perusahaan Tiongkok yang berada di Korut juga harus menutup usaha.
Di sisi lain, Pyongyang melalui berbagai cara untuk melampiaskan ketidakpuasannya kepada Beijing atas pelaksanaan sanksi yang pro-PBB. Media Amerika Serikat pada 23 Januari memberitakan, media resmi Korut menuduh rezim Tiongkok yang mempengaruhi PBB untuk mengeluarkan saksi kepada Korut. Pyongyang kemudian menyebut Tiongkok sebagai musuh bebuyutan.
Baru-baru ini ‘Daily NK’ mengungkapkan, sejak bulan Desember tahun lalu otoritas Pyongyang mulai melarang penjualan barang-barang produksi Tiongkok termasuk makanan dan peralatan rumah tangga di seluruh pasar Korea Utara.
Di masa lalu, barang-barang yang dilarang untuk dijual di pasar itu adalah barang-barang produksi Korea Selatan. Jadi, baru pertama kali ini Tiongkok mengalami ‘nasib’ serupa.
Namun, warga mengaku sangat banyak jenis barang produksi Tiongkok yang masih mendominasi pasar di Korea Utara. Sehingga, banyak warga Korea Utara berpikir bahwa larangan penjualan oleh pihak berwenang itu adalah sebuah tindakan yang ceroboh. (ET/Sinatra/waa)