oleh Qin Yufei
Perdana Menteri Inggris Theresa May pada 31 Januari tiba di Beijing untuk melakukan kunjungan kenegaraan di Tiongkok. Tetapi tanpa basa-basi langsung mengingatkan Beijing agar hubungan perdagangan dengan Inggris dan negara-negara Barat dijalankan di atas rel yang mematuhi rambu-rambu internasional, termasuk melindungi kekayaan intelektual.
Financial Times dalam laporannya menyebutkan bahwa 3 hari sebelum May berangkat ke Beijing, hubungan Inggris – Tiongkok sempat menjadi tegang akibat pemerintahan May menolak secara resmi mengumumkan dukungannya kepada proyek OBOR (One Belt One Road) inisiatif Tiongkok.
Sabuk ekonomi jalur sutra melalui penyelesaian serangkaian proyek pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan Tiongkok dengan 70 negara di Asia, Eropa, Timur Tengah dan Afrika.
Selain dengan menyelesaikan perbedaan yang ada antara Inggris dengan Tiongkok, maka perselisihan dapat mempengaruhi lusinan perjanjian komersial antar kedua negara yang telah ditandatangani sejak tahun 2015.
Kritikus mengatakan bahwa OBOR bertujuan untuk membawa negara-negara lain kian terjerumus ke dalam lingkupan kekuasaan Tiongkok komunis, dan Beijing juga akan berat sebelah dalam memilih kontraktor pelaksana.
Dalam perjalanan ke Tiongkok, May memastikan bahwa dia akan mengemukakan soal kekhawatiran tentang inisiatip OBOR. Ia sangat mengharapkan proyek pembangunan infrastruktur yang bakal menelan biaya sangat besar tersebut bisa dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku internasional.
Dalam siaran pers yang dilakukan bersama PM. Li Keqiang pada Rabu, May menyebutkan bahwa Inggris adalah “mitra alami” proyek OBOR namun tidak memberikan dukungan yang jelas.
Sebaliknya, May dalam menanggapi kerjasama dalam proyek OBOR mengatakan : “Untuk memberikan kepastian kepada kita dalam kerjasama, sujauh mana kita dapat memastikan bahwa pelaksanaan proyek-proyek pembangunan sabuk ekonomi jalur sutra dapat memenuhi standar internasional ?” Ucapan tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan mungkin belum tercapai.
Seorang pejabat pemerintah Inggris mengatakan kepada The Guardian : “Memorandum belum ditandatangani … dan mereka masih akan melanjutkan diskusi.”
OBOR sampai sekarang masih kurang mendapat dukungan dari kekuatan negara kuat di Barat. Australia, Prancis, Jerman, Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak ada yang menunjukkan sikap mendukung.
Selama kunjungannya ke Tiongkok pada awal tahun ini, Presiden Perancis Macron mengatakan bahwa dia tidak memberikan komentaran panjang lebar tentang inisiatif OBOR kecuali pernyataan bahwa proyek tersebut harus membawa kemakmuran bagi kawasan, tetapi tidak dibangun untuk jalan satu arah.
Kepada The Guardian pejabat Inggris mengatakan bahwa Inggris tidak memiliki daftar resmi kondisi untuk menandatangani memorandum kerjasama tersebut. “Syarat utamanya adalah mematuhi standar internasional untuk memastikan transparansi rantai pasokan dan untuk menjamin keadilan dalam proses tender”
Dalam siaran pers, May juga menekankan bahwa pemerintah Tiongkok harus mengikuti praktik perdagangan yang adil. Dia mengatakan bahwa dia sudah mengangkat permasalahan tentang pencurian kekayaan intelektual saat berdiskusi dengan Li Keqiang. Ini juga merupakan tuntutan utama Presiden Trump.
Ketegangan hubungan antara Tiongkok dengan Inggris terjadi bertepatan dengan pada saat Amerika Serikat meningkatkan penentangannya terhadap pengaruh Tiongkok yang semakin meningkat.
Bulan lalu, Gedung Putih melabeli Tiongkok dengan “Lawan Strategis” dan administrasi Trump memandang inisiatif OBOR dengan skeptis.
Perdana Menteri May menulis di Financial Times bahwa dia sangat berharap dapat meningkatkan perdagangan dengan Tiongkok, namun mempertahankan sikap lebih skeptis daripada pendahulunya, Cameron terhadap hubungan kedua negara. Dia mengatakan : “Pandangan dua negara tidak dapat selalu konsisten.”
May juga mengangkat topik sensitif tentang dumping produk Tiongkok, dengan mengatakan bahwa Inggris akan menemukan solusi untuk mengatasi kelebihan kapasitas global. Ia juga menuduh Tiongkok melanggar hak kekayaan intelektual.
Theresa juga melakukan kunjungan ke kota Wuhan, Beijing dan Shanghai.
Ia menyebutkan bahwa ia akan mengangkat isu HAM, Hongkong, dan akan tetap mempertahankan strategi Satu Negara Dua Sistem.
Meskipun duta besar Tiongkok untuk Kerajaan Inggris, Liu Xiaoming, berulang kali mengacu pada “zaman keemasan” melalui media ‘The Telegraph’ tetapi PM May tetap saja menjaga kewaspadaan dalam hubungannya dengan pemerintah Tiongkok.
Salah satu tindakan pertama Theresa May setelah menjadi perdana menteri adalah mengesampingkan penawaran investasi Tiongkok untuk membangun proyek pembangkit listrik tenaga nuklir Hinkley.
Mantan penasihatnya Nick Timothy pernah mengingatkan bahwa pemerintah Tiongkok dapat memotong pasokan listrik Inggris jika suatu saat terjadi ketegangan antara kedua negara. (Sinatra/asr)
Sumber : Epochtimes.com