EpochTimesId – Hampir 350 korban perbudakan modern diselamatkan oleh Interpol, baru-baru ini. Penyelamatan itu adalah bagian dari penggrebekan polisi lintas negara yang digelar di 13 negara di Amerika.
Operasi anti-perdagangan orang dilakukan oleh Organisasi Polisi Kriminal Internasional, yang juga dikenal sebagai Interpol. Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, organisasi itu mengatakan lebih dari 500 petugas polisi terlibat dalam operasi kali ini.
“Operasi seperti ini menunjukkan kekuatan INTERPOL yang menyediakan platform untuk 13 negara yang berpartisipasi. Akan tetapi apa yang ada di balik angka-angka ini, adalah kisah nyata umat manusia,” kata Direktur Eksekutif Pelayanan Polisi pada Interpol, Tim Morris dalam sebuah pernyataan.
“Apakah itu ibu dari seseorang, ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, putra atau putri, ada kisah yang sangat pribadi yang biasanya, sayangnya, disertai dengan banyak penderitaan,” Morris menambahkan.
Petugas juga menangkap 22 orang tersangka pelaku perdagangan orang sepanjang operasi di belasan negara. Polisi juga menyita peralatan komputer, ponsel, dokumen perjalanan, dan uang tunai.
Penggerebekan tersebut mengikuti pernyataan Presiden Donald Trump bulan lalu bahwa perdagangan manusia telah mencapai rekor tertinggi. Trump mengatakan bahwa perdagangan orang kini, “lebih buruk daripada yang pernah ada dalam sejarah dunia.”
Para korban, yang terdiri atas pria, wanita, dan anak-anak, ditemukan bekerja di klub malam, pertanian, tambang, pabrik, dan pasar terbuka. Beberapa korban bekerja dalam kondisi yang sangat sempit. Pelaku perdagangan seringkali menargetkan anggota masyarakat yang putus asa dan rentan, dengan diiming-imingi janji kehidupan yang lebih baik.
“Pedagang yang tidak menjelaskan seperti apa kondisi kerja yang akan dialami oleh korban mereka, setelah tiba di tujuan akhir mereka,” kata Cem Kolcu, koordinator unit Perdagangan Orang-Orang Lintas Manusia pada Interpol, dalam sebuah pernyataan.
“Selama operasi ini, kami mengidentifikasi wanita yang dipaksa untuk bekerja di luar ruang yang tidak lebih besar dari peti mati, misalnya.”
Dalam sebuah kasus, perempuan muda di Guyana ditemukan bekerja sebagai pelacur di samping tambang emas terpencil. Dengan kondisi tersebut, dia tidak akan mungkin melarikan diri.
Lokasi-lokasi terpencil ini juga membuat sulit bagi polisi untuk melakukan razia. Sebab, pelaku sering kali memiliki banyak waktu untuk bertindak dan memindahkan para korban.
Kasus lainnya, di Saint Vincent dan Grenadines menyoroti bagaimana pedagang mempertahankan kontrol dan kekuasaan dengan menyita dokumen perjalanan dari para korban.
Pekerja dari Asia di sebuah pabrik mengatakan paspor mereka diambil. Mereka juga tidak pernah menerima upah. Mereka mengandalkan penanganan ‘pedagang’ untuk segala hal termasuk perumahan, transportasi, makanan, dan kebutuhan paling mendasar.
“Saya khawatir ketika saya membaca tentang kondisi bagaimana orang-orang di luar sana, yang dikuasai jaringan (perdagangan orang) itu,” kata Denise Brennan, profesor di Georgetown University, kepada NBC News.
“Kondisi tersebut dapat menyebabkan pengusaha mengeksploitasi tanpa ampun, tanpa ada yang mengetahuinya. Ini bisa menjadi teknik untuk menyalahgunakan dan mengintimidasi.”
Korban yang dibebaskan dalam operasi bersandi ‘Libertad’ yaitu dari Antigua dan Barbuda, Aruba, Barbados, Belize, Brazil, Curacao, Guyana, Jamaika, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Trinidad dan Tobago, Kepulauan Turks dan Caicos, dan Venezuela.
Operasi Libertad adalah puncak dari program dua setengah tahun yang didanai oleh Kanada. (Bowen Xiao/The Epoch Times/waa)
Video Rekomendasi :