Kemungkinan Batalnya Pertemuan Trump-Kim : Di Balik Perubahan Sikap Kim Adalah Ketakutan

Pada tanggal 16 Mei Korea Utara tiba-tiba mengumumkan dibatalkannya Rapat Tingkat Tinggi Korsel-Korut yang diselenggarakan hari itu, dan ditunda tanpa ada batas waktu, alasannya adalah karena AS dan Korsel mengadakan latihan perang bersama dan menurut pihak Korut ini adalah latihan persiapan untuk menginvasi Korea Utara. Beberapa jam kemudian, Korut kembali mengeluarkan pernyataan, mengatakan jika AS bersikukuh “denuklirisasi sepihak”, maka Korut akan membatalkan pertemuan dengan Trump. Padahal minggu lalu, Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan pertemuannya dengan Kim Jong-Un akan digelar di Singapura pada tanggal 12 Juni mendatang.

Zhou Xiaohui

Perubahan sikap Kim Jong-Un secara mendadak sudah diduga, dan latihan militer AS-Korsel itu hanya alasan saja, penyebab utamanya adalah Kim Jong-Un sendiri tidak sungguh-sungguh berniat melakukan denuklirisasi, maka dengan sendirinya tidak mau menerima persyaratan yang dikemukakan AS.

Sebelumnya saat bertemu dengan Presiden Korsel Moon Jae-In dan dua kali pertemuan dengan Xi Jinping sempat menyebutkan “denuklirisasi”, bisa dikatakan pada dasarnya hanya sekedar lagak yang lebih besar daripada isi perutnya.

Denuklirisasi yang diharapkan oleh Kim Jong-Un adalah diwujudkan secara “bertahap dan serempak”. Dengan kata lain, Korut berjanji akan denuklirisasi, dengan cara setahap demi setahap, dan saat Korut melakukannya, AS dan masyarakat internasional akan mencabut semua sanksi, dan bahkan mendapat bantuan dan subsidi dari Amerika dan negara lain. Pada pertemuan terakhirnya dengan Xi Jinping ia telah mengemukakan pemikirannya tersebut.

Hal ini mau tidak mau memperbesar kecurigaan berbagai pihak, Kim Jong-Un tengah memainkan sandiwara usang versi ayahnya, yakni di satu sisi mengendurkan sanksi dan tekanan ancaman militer, dan di sisi lain mengulur-ulur waktu untuk mendapatkan teknologi rudal nuklir yang lebih canggih, kemudian mempermaikan masyarakat internasional lebih lanjut.

Karena sikap plin plan rezim keluarga Kim sudah dikenal dunia, ditambah lagi dengan sejumlah fenomena baru-baru ini, seperti rapat rahasia yang digelar Korut untuk melindungi fasilitas nuklir Yongbyon, mengisyaratkan Korut layak disebut sebagai negara “pemilik nuklir” dan lain-lain, semua itu membuat AS dan masyarakat internasional ekstra waspada, sama sekali tidak bisa mempercayai kemauan Korut “secara bertahap secara serempak”.

Pemerintah Trump sama sekali tidak bisa mentolerir: terus memberlakukan sanksi sampai Kim Jong-Un benar-benar telah merampungkan denuklirisasi. Dan Amerika bahkan telah memberikan berbagai data terkait teknik pemusnahan nuklir, migrasi teknisi nuklir dan lain sebagainya, serta menyatakan setelah Korut benar-benar telah melakukan denuklirisasi, Amerika baru akan memberikan bantuan ekonomi.

Menurut berita, Kim Jong-Un belum menanggapi rekomendasi dari AS tersebut. Jelas tindakan Amerika yang hendak menyelesaikan masalah secara tuntas, telah membuat Kim Jong-Un yang tidak sungguh-sungguh berniat denuklirisasi sangat cemas dan ketakutan.

Kim Jong-Un cemas akan AS yang mungkin telah melihat niat busuknya, dan Beijing belum tentu mau memberikan dukungan padanya; dan Kim takut, jika melakukan sesuai rekomendasi AS, di masa mendatang Korut sangat tidak mungkin lagi mengembangkan senjata nuklir, Korut akan kehilangan modal untuk menakuti (memeras) dunia dan juga menipu rakyatnya, yang terpenting adalah, berapa lama lagi rezim diktator Kim Jong-Un bisa bertahan masih menjadi suatu tanda tanya.

Selain itu Kim juga cemas, jika tiba saatnya menghadiri “Pertemuan Puncak Trump-Kim”, namun tidak bisa memenuhi tuntutan AS, menolak pemeriksaan nuklir oleh Badan Atom Internasional, maka digelarnya “pertemuan Trump-Kim” bukan saja sama sekali tidak bermakna, tapi juga mungkin akan membuat AS dan Trump geram.

Senator senior AS Lindsey Graham pernah memperingatkan Kim secara langsung, jika Kim mau “bertemu langsung” dengan Trump dan “mempermainkan Presiden Trump”, ia tidak akan menuai hasil yang baik. Karena “jika melakukan hal itu, maka Anda dan rezim Anda akan berakhir [“A word of warning to North Korean (leader) Kim Jong Un – the worst possible thing you can do is meet with President Trump and try to play him,” kata senator Graham. “If you do that, it will be the end of you – and your regime.”]

Dan menjelang pertemuan Trump-Kim yang akan segera tiba, Trump juga secara lugas menyatakan, “Hasil akhir seperti apa yang akan terjadi, kita lihat saja nanti. Mungkin akan ada hal baik terjadi, mungkin kita semua hanya buang-buang waktu saja, tapi semoga berbagai hal terkait akan menjadi baik. Saya mungkin akan dengan cepat meninggalkan tempat, bahkan mungkin juga tidak akan terlaksana, siapa pun tidak bisa memprediksi.”

Subteks mengatakan jika Kim Jong-Un tidak bisa memenuhi persyaratan AS, maka pertemuan belum tentu akan digelar, walaupun dilaksanakan pun Trump akan meninggalkan lokasi. Oleh sebab itu, pilihan Kim Jong-Un hanya ada satu, dan tidak bisa mempermainkan AS.

Oleh karenanya, perubahan sikap Kim Jong-Un sebenarnya adalah refleksi dari isi hatinya yang sebenarnya, yakni setelah bersandiwara dan menyadari ternyata tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan, maka terpaksa mencari berbagai alasan untuk menolak “pertemuan Trump-Kim”, dan akan membuat seolah-olah tidak terselenggaranya “pertemuan Trump-Kim” disebabkan oleh ulah Amerika, untuk menghindari membuat berang Amerika.

Dilihat dari pernyataan sikap Korut baru-baru ini dan kebijakan AS yang tidak mengalah terhadap Korut, “pertemuan Trump-Kim” sangat mungkin akan batal dilangsungkan, kecuali Kim Jong-Un dengan senang hati menerima tuntutan Amerika.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah, apakah yang akan dilakukan Kim Jong-Un selanjutnya? Tidak diragukan lagi, selama Kim Jong-Un tidak melakukan denuklirisasi hingga tuntas, sanksi ekonomi dari AS dan masyarakat internasional tidak akan pernah berakhir.

Jika Kim Jong-Un tetap nekad, atau tetap melakukan uji coba nuklir, atau membalas dengan menyerang negara tetangga, maka nyawanya akan terancam. Karena Amerika selama ini tidak pernah mengabaikan opsi untuk menggunakan kekuatan militer.

Penulis menduga, “pertemuan Trump-Kim” jika batal, jika Kim Jong-Un ingin tetap bertahan, sangat besar kemungkinan akan menunda sementara pengembangan nuklirnya, dan akan meminta bantuan ekonomi dari PKT karena terdesak, dan apa keputusan para petinggi Beijing adalah suatu tanda tanya besar. (SUD/WHS/asr)