oleh Xu Zhenqi
AS – Tiongkok berperang dengan mengenakkan tarif impor dan ada kemungkinan untuk berperang jangka panjang. Media Amerika Serikat merilis sebuah artikel yang mengatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) akan kalah perang tetapi itu bermanfaat bagi rakyat Tiongkok.
Amerika Serikat telah memberlakukan kenaikan tarif 25% atas komoditas impor Tiongkok senilai USD. 34 miliar, dan Tiongkok pun telah membalas dengan jumlah yang sama terhadap komoditas impor dari AS.
Pada 1 Agustus Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer menegaskan bahwa presiden Trump menginstruksikan dirinya mempertimbangkan untuk menaikkan tarif pajak dari 10 % menjadi 25 % atas komoditas impor senilai USD. 200 miliar.
Pada 3 Agustus, Departemen Perdagangan Tiongkok mengumumkan pemberlakuan pembalasan senilai USD. 60 miliar dengan tarif kenaikan dari 5% hingga 25%.
Tututan AS dalam perang perdagangan ini sangat jelas, yaitu ingin mengurangi defisit perdagangan dengan Tiongkok, mendesak Tiongkok membuka pasarnya, menghentikan praktik perdagangan yang tidak adil dan menghentikan pencurian teknologi.
Beijing tidak cukup siap untuk berperang dagang
Profesor Panos Mourdoukoutas, Direktur Institut Ekonomi Universitas Long Island New York pada 5 Agustus dalam artikelnya yang dipublikasikan Forbes dengan judul ‘Tiongkok (PKT) yang tidak cukup siap untuk berperang dagang dengan AS akan mengalami kekalahan, tetapi hal itu bermanfaat bagi rakyat Tiongkok’
Artikel menyebutkan bahwa tidak siapnya Tiongkok menghadapi perang, salah satu alasannya adalah karena pertumbuhan ekonomi negara itu sedang melambat, akibat terjebak ke dalam ‘perangkap pendapatan menengah’ dan Lewis Turning Point.
Perangkap pendapatan menengah mengacu pada saat pendapatan per kapita suatu negara memasuki tingkat menengah di dunia, karena ketidakmampuannya dalam mewujudkan secara lancar transformasi dari modus pengembangan ekonomi, maka menyebabkan kurangnya momentum pertumbuhan baru yang akhirnya menimbulkan keadaan stagnasi ekonomi.
Lewis Turning Point mengacu pada penyusutan persediaan tenaga kerja cadangan yang mendorong kenaikan upah dan melemahkan keunggulan kompetitif negara dalam industri padat karya. Dibandingkan dengan India, Vietnam dan Indonesia, tenaga kerja Tiongkok menjadi mahal, memberikan tekanan tambahan pada pertumbuhan ekonomi negara itu.
Pada saat yang sama, Tiongkok belum membentuk pasar konsumen domestik yang kuat untuk beradaptasi dengan kapasitas produksi yang terus meningkat.
Artikel itu mengatakan bahwa inilah alasannya mengapa Tiongkok (PKT) harus tunduk pada tuntutan Amerika Serikat.
Pasar keuangan saat ini sudah merasakan akibat tersebut. Dalam tiga bulan terakhir, pasar saham Tiongkok turun 9,1%, sedangkan pasar saham AS naik 7,1%.
Presiden Trump menulis pesan di Twitter pada 4 Agustus : (Efek) tarif jauh lebih banyak dari yang diperkirakan orang. Pasar saham Tiongkok turun 27% dan mereka sedang berbicara dengan kami.
Data menunjukkan bahwa harga pasar saham Tiongkok sejak mencapai puncaknya pada bulan Januari tahun ini, hingga sekarang telah kehilangan 2,29 triliun dolar AS. Jatuh sebesar 27% dalam 8 bulan. Penurunan ini mencerminkan kecemasan investor tentang sengketa perdagangan Tiongkok – AS dan kekhawatiran tentang beban utang Tiongkok yang meningkat dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
John Rutledge, kepala dari perusahaan investasi terkemuka Safanad pada hari Jumat (3 Agustus) di situs keuangan CNBC mengatakan bahwa pasar Tiongkok sangat dipengaruhi oleh arus modal asing, dan modal mengalir keluar dari Tiongkok.
Jika AS memenangkan perang, maka rakyat Tiongkok akan memiliki pasar terbuka
Brett F. Ewing, pemilik, Penasihat Keuangan Senior dan Kepala Strategi Pasar First Franklin Financial Services mengatakan, bagi AS, pandangan kemenangan dalam perang dagang dengan Tiongkok adalah memaksa rezim komunis itu untuk menghentikan praktik perdagangan tidak adil, menghentikan pencurian kekayaan intelektual dan melakukan reformasi yang berarti terhadap kemampuan penegakan hukum WTO.
Artikel Forbes mengatakan bahwa meskipun kalah dalam perang dagang dapat menjadi hal yang buruk bagi pemerintah Tiongkok, tetapi hal ini mungkin justru bermanfaat bagi rakyat Tiongkok.
Salah satu alasannya adalah Tiongkok akan menjadi unit ekonomi yang terbuka, menawarkan pilihan produk lebih banya kepada konsumen dalam negeri dengan harga yang lebih kompetitif.
Artikel menyebutkan : Hal ini karena mereka (Tiongkok) akan memiliki perekonomian yang lebih terbuka, persaingan yang nyata dari seluruh masyarakat internasional, bagi konsumen di negara manapun, hambatan perdagangan yang lebih rendah dan kontrol pemerintah yang berkurang adalah sebuah hal yang baik, tak terkecuali konsumen Tiongkok.
Wall Street Journal mengutip ucapan para ahli memberitakan bahwa kebijakan pemerintah Tiongkok adalah untuk mendorong rakyatnya membeli lebih banyak barang produksi domestik. Dengan kata lain, karena harga barang-produksi Tiongkok mahal, maka tarif tambahan untuk barang-barang impor diperlukan dalam rangka untuk mengimbangi harga barang-barang impor. Pada saat yang sama, kualitas barang-barang luar negeri yang lebih unggul juga merupakan alasan mengapa masyarakat Tiongkok suka membeli barang impor.
Profesor Frank Tian Xie, Guru besar University of South Carolina juga mengatakan bahwa tujuan dari Presiden Trump mengenakan kenaik pajak untuk barang-barang buatan Tiongkok adalah untuk mengurangi defisit perdagangannya dengan Tiongkok. Ia tidak bermaksud untuk membatasi masuknya komoditas Tiongkok ke Amerika Serikat, tetapi berharap bahwa lebih banyak barang AS untuk masuk ke Tiongkok.
Frank menjelaskan bahwa Trump menggunakan kenaikan tarif untuk memaksa Beijing membuka pasar domestiknya. Ketika barang AS yang berkualitas dan harganya murah masuk ke Tiongkok, rakyat Tiongkok benar-benar dapat menikmati manfaatnya dan menyadiri perbedaananya yang ada.
Artikel Forbes menyebutkan bahwa alasan lain jika PKT kalah perang dagang tapi menguntungkan rakyatnya adalah bahwa, mencegah pecahnya gelembung real estat, dan memperbesar peluang kaum generasi muda untuk membeli rumah sendiri, menyadari akan beban perumahan yang terjangkau merupakan faktor penting dalam komposisi rumah tangga dan belanja konsumen. (Sin/asr)