Untuk pertama kalinya sejak kemenangannya yang mengejutkan dalam pemilihan bulan Mei, perdana menteri veteran Malaysia Tun Dr. Mahathir Mohamad pada 17 Agustus melakukan kunjungan resmi ke Tiongkok dalam perjalanan lima hari, atas undangan dari perdana menteri Li Keqiang.
Mahathir, perdana menteri Malaysia yang ketujuh, bertemu dengan mitranya di Balai Agung Rakyat di Beijing pada 20 Agustus sebelum mengumumkan pembatalan dua proyek besar yang didukung negara Tiongkok sebagai bagian dari inisiatif ‘One Belt, One Road’ (OBOR) ) selama konferensi pers pada hari terakhir kunjungan resminya.
‘One Belt, One Road,’ pertama kali diumumkan pada tahun 2013 oleh Presiden Xi Jinping, adalah proyek perdagangan dan infrastruktur yang saat ini bertujuan untuk menghubungkan 70 negara di seluruh Eropa, Asia, Afrika, dan Oseania ke Tiongkok.
Great map illustrating the scope of #China's “One Belt, One Road” (#OBOR) strategy. If successful, it would arguably be the largest overseas investment drive ever launched by a single country. Via @TheEconomist. pic.twitter.com/UcwjXqAhLB
— Lukas Trakimavicius (@LukasTraki) June 6, 2018
Perdana Menteri Malaysia telah membatalkan East Coast Rail Link (ECRL) dan proyek Trans-Sabah Gas Pipeline (TSGP), mengatakan prioritas utama negara tersebut sekarang adalah untuk meminimalkan utang dan pinjamannya.
Dia mengatakan pada 21 Agustus sebelum berangkat ke Kuala Lumpur, “Proyek-proyek itu tidak akan berjalan … itu akan ditunda sampai saat ketika kita mampu, dengan begitu kemungkinan kita akan mengurangi biayanya.
“Saya percaya Tiongkok sendiri tidak ingin melihat Malaysia menjadi negara bangkrut.”
Mahathir menambahkan: “Jika kita harus membayar kompensasi, kita harus bayar. Ini adalah kebodohan negosiasi kita sebelumnya. Kita harus menemukan cara untuk keluar dari proyek-proyek ini.”
Hasil dari perjalanan diplomatik tersebut sangat diharapkan di seluruh dunia setelah pemimpin berusia 93 tahun itu memperingatkan pekan lalu bahwa pemerintahnya, Pakatan Harapan (Alliance of Hope), ingin membatalkan atau menegosiasikan kembali inisiatif OBOR atau biasa juga disebut Belt and Road (Sabuk dan Jalan) yang kontroversial. Inisiatif bernilai miliaran dolar yang didukung oleh negara Tiongkok tersebut telah ditandatangani di bawah pemerintahan Datuk Seri Najib tun Razak, pendahulunya yang dilanda skandal.
Menteri keuangan Malaysia, Lim Guan Eng, telah mengecam inisiatif itu karena “benar-benar berat sebelah,” sementara Mahathir mengatakan kepada The Associated Press pekan lalu: “Di mana kita dapat membatalkan proyek ini, kita akan melakukannya. Tetapi kita mungkin harus menunda beberapa karena kita telah membuat perjanjian, dan melanggar perjanjian akan sangat merugikan kita.”
Ketika ditanya oleh Li apakah Malaysia berjuang bersama Tiongkok dalam perdagangan bebas selama konferensi pers pada 20 Agustus, pemimpin Malaysia itu menjawab, “Perdagangan bebas juga harus adil.”
Malaysia supports free trade, but it should also be fair trade. Malaysia will not support any form of colonisation under the name of trade: PM @chedetofficial pic.twitter.com/Q7MdTL21dK
— The Malaysian Reserve (@TMReserve) August 20, 2018
Mahathir juga memperingatkan bahwa negara-negara yang kurang maju tidak boleh dimanfaatkan oleh negara-negara kaya.
“Anda tidak ingin situasi dimana ada kolonialisme versi baru terjadi karena negara-negara miskin tidak dapat bersaing dengan negara-negara kaya dalam hal perdagangan bebas yang terbuka,” katanya.
Kekhawatiran Mahathir Tentang Inistiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road) Tiongkok
Sejak kembali berkuasa tiga bulan lalu, Mahathir telah mengecam keras proyek-proyek infrastruktur yang didukung pemerintah Tiongkok senilai 23 miliar dolar yang telah ditandatangani oleh pendahulunya di tengah tuduhan korupsi. Baru bulan ini, Najib dituntut dengan tiga tuduhan pelanggaran pencucian uang terkait dengan dana negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Malaysia saat ini sedang menyelidiki apakah pemerintah koalisi Najib, Barisan Nasional (BN), menggunakan uang tunai yang ditujukan untuk proyek infrastruktur bernilai miliaran dengan Tiongkok untuk melunasi utangnya sendiri pada saat itu.
Diperkirakan bahwa jumlah hingga $700 juta yang diutang oleh 1MDB dibayar dengan dana yang ditransfer melalui perusahaan-perusahaan kerang (shell companies) lepas pantai, menurut pejabat pemerintah yang terlibat dalam meninjau proyek.
Shell company adalah perusahaan yang hampir mati, tetapi mempertahankan pendaftarannya di bursa efek, digunakan sebagai kendaraan untuk perusahaan lain yang baru berkembang untuk menghindari biaya dan kesulitan dalam mendaftarkan perusahaan baru.
Dakwaan tersebut, dimana Najib mengaku tidak bersalah, dapat menghadapi hukuman 15 tahun penjara dengan denda paling sedikit lima kali dari jumlah dana yang tersangkut. Pada bulan Juni, mantan perdana menteri Malaysia itu juga mengaku tidak bersalah atas tuduhan pelanggaran kriminal kepercayaan dan korupsi.
Ada juga kekhawatiran yang meningkat atas manfaat jangka panjang Sabuk dan Jalan untuk negara. Mahathir khawatir transaksi saat ini, yang disepakati oleh Najib, dapat menyebabkan tingginya tingkat utang dan ketergantungan keuangan pada Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Proyek kereta api senilai $20 miliar yang ambisius dan kesepakatan $2.5 miliar untuk dua proyek pipa gas, yang akan dibangun oleh raksasa energi milik negara, China National Petroleum Corporation, adalah salah satu rencana yang dibatalkan oleh pemimpin Malaysia, yang mengatakan bahwa proyek tersebut tidak menciptakan keuntungan finansial untuk negara.
OBOR mungkin Merugikan Malaysia untuk Jangka Panjang
Beberapa negara yang telah melaksanakan inisiatif OBOR mengalami kesulitan keuangan sejak proyek infrastruktur mereka dimulai, memicu lonceng peringatan lebih lanjut tentang seberapa menguntungkan proyek-proyek tersebut untuk Malaysia.
Tahun lalu, dalam kesepakatan utang, Sri Lanka telah menyerahkan pelabuhan strategis utama, bersama dengan 15.000 hektar lahan pada Tiongkok dengan sewa 99 tahun, setelah utangnya ke perusahaan milik negara Tiongkok menggelembung. Pelabuhan Hambantota telah diakuisisi oleh Tiongkok setelah beberapa bulan negosiasi dan tekanan kuat.
Jens Roehrich, Profesor Inovasi Rantai Pasokan di University of Bath, mengatakan kepada The Epoch Times, “Kekhawatiran tentang utang-utang yang tidak dapat dikelola terhadap Tiongkok telah ditampakkan oleh negara-negara seperti Sri Lanka, dan dengan pengambilalihan oleh Tiongkok atas pelabuhan yang bermasalah tersebut, ini telah menimbulkan pertanyaan tentang hilangnya sebuah kedaulatan.”
Roehrich mengatakan ada kekhawatiran bahwa ekonomi Tiongkok yang melambat dan pertumbuhan yang lamban dapat memaksa perusahaan-perusahaannya untuk memindahkan fasilitas-fasilitas produksi ke negara-negara lain di Asia untuk membantu mereka membangun infrastruktur mereka.
Dia menambahkan, “Ini mungkin berdampak negatif pada pasar negara itu sendiri.”
Demikian pula, komponen Pakistan dari inisiatif OBOR Tiongkok, Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan, China-Pakistan Economic Corridor (CPEC), senilai $62 miliar yang seharusnya menjanjikan pembangunan dan kemakmuran negara tersebut, telah terbukti tidak disukai di kalangan rakyatnya.
Balochistan, di pusat CPEC dan provinsi terbesar di Pakistan berdasarkan wilayah, telah menyaksikan protes-protes yang dipimpin oleh anak-anak karena diabaikan oleh proyek energi dan infrastruktur bernilai miliaran dolar tersebut. Hanya dua dari 21 proyek energi CPEC yang direncanakan akan dipasang di daerah tersebut meskipun kekurangan listrik, dan tidak ada rencana untuk membangun jalan utama enam jalur di kawasan itu, Financial Times melaporkan.
https://twitter.com/bnymn786/status/1029856687518359552
Sementara itu, kereta api Tiongkok-Laos, yang mulai dibangun pada tahun 2016, diperkirakan menelan biaya hingga 50 persen dari PDB negara tersebut.
Setelah kembali ke kantor, Mahathir berkata, “Kita tidak dapat memiliki cukup uang untuk membayar terlalu banyak utang dari Tiongkok.”
Utang nasional Malaysia saat ini mencapai angka sekitar $250 miliar.
Mungkinkah Keputusan Mahathir Merusak Hubungan Malaysia-Tiongkok?
Saat berbicara pada 400 pengusaha dan pemimpin bisnis Tiongkok pada 19 Agustus, Mahathir memperjelas tujuannya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan mitra dagang terbesar Malaysia.
Tahun lalu, total perdagangan Malaysia dengan Tiongkok mencapai lebih dari $92 juta, lebih dari $30 juta dengan Singapura, di tempat kedua, menurut data Bloomberg.
https://twitter.com/DavidInglesTV/status/1031366666624557059
Sosok berusia 93 tahun tersebut mengatakan kepada Forum Pemimpin Pengusaha Tiongkok bahwa jangankan konfrontasi, Malaysia harus fokus pada hubungan ekonomi yang lebih baik, karena hubungan Malaysia-Tiongkok telah hampir 2.000 tahun, katanya.
Mahathir berkata, “Kita tidak menentang perusahaan Tiongkok tetapi melawan orang Malaysia yang meminjam uang dalam jumlah besar untuk melaksanakan proyek yang tidak perlu.”
Mahathir juga mendesak Beijing untuk bersimpati dengan Malaysia mengenai masalah fiskal saat ini selama konferensi pers bersama dengan Li Keqiang pada 20 Agustus.
Dalam wawancara dengan The Epoch Times, Syed Ahmad Israa’, CEO Institut Penelitian Interdisipliner dan Strategi Internasional (IRIS), mengatakan dia percaya ketidaksepakatan dengan Tiongkok atas inisiatif Sabuk dan Jalan tidak akan mengakhiri hubungan positif dengan negara.
“Mahathir sedang berusaha mencari dan menuntut persyaratan yang lebih adil dalam berhubungan dengan Tiongkok, sehingga kita tidak akan terlalu bergantung, kita tidak akan benar-benar menutup pintu kepada siapa pun hanya karena kita memiliki beberapa ketidaksepakatan,” katanya.
Li mengatakan kepada Mahathir, “Tiongkok tidak akan mengubah kebijakan persahabatan jangka panjangnya dengan Malaysia karena perubahan-perubahan situasi dalam negeri.”
Kondisi ‘Ikan Kecil Menyambut Investasi dari Ikan Besar’ Berlaku
Meski membatalkan dua proyek yang terkait dengan proyek Sabuk dan Jalan Tiongkok, Mahathir menegaskan dia terbuka untuk investasi asing.
“Para investor Tiongkok merasa khawatir karena saya mengambil alih, orang-orang mengatakan saya anti Tiongkok, tetapi apa yang saya katakan kepada mereka adalah kita harus menjaga kepentingan Malaysia.
“Apa yang kita khawatirkan adalah proyek-proyek yang tidak layak dan utang besar yang terjadi,” kata Mahathir dalam konferensi pers pada 21 Agustus.
Dia menambahkan: “Sejauh itu bisnis yang bersahabat, itu masih berlaku. Mereka harus menyesuaikan dengan kondisi normal investasi asing.”
Dalam hal investasi dari Tiongkok di masa depan, Mahathir mengatakan akan “ditangguhkan sampai saat ketika kita mampu, maka mungkin kita akan mengurangi biayanya”.
Israa’ berkata, “Mahathir telah menunjukkan bahwa meskipun kita lebih kecil, dan kita benar-benar harus bergantung pada keuangan Tiongkok, kita masih memiliki posisi dan kemampuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi kita, dan kita tidak boleh hanya tunduk pada apa yang Tiongkok inginkan.” (ran)