Rezim Tiongkok melacak pergerakan lebih dari 2,5 juta orang di Xinjiang, sebuah wilayah di mana Uighur dan Muslim Turki lainnya berada di bawah pengawasan negara yang ketat, menurut sebuah bocoran data yang ditandai oleh seorang ahli siber Belanda.
SenseNets Technology, perusahaan teknologi berbasis di Shenzhen yang mengembangkan perangkat lunak pengenal wajah, mengumpulkan sekitar 6,7 juta koordinat GPS (Global Positioning System) dalam waktu 24 jam melalui sistem kamera pengawasannya, menurut Victor Gevers, salah satu pendiri yayasan keamanan siber nirlaba, GDI Foundation.
Gevers pertama kali mengingatkan kerentanan tersebut dalam serangkaian posting online di akun Twitter-nya pada 13 Februari.
Titik-titik data lokasi itu telah terhubung dengan nama, nomor KTP, tanggal lahir, alamat, foto, dan pengusaha, dan juga ditandai dengan deskripsi seperti “masjid,” “hotel,” “warnet,” dan tempat-tempat lain di mana kamera pengintai kemungkinan ditemukan.
“Solusi pengenalan wajah / verifikasi pribadi yang tidak aman ini dibangun dan dioperasikan hanya untuk satu tujuan,” tulis Gevers di Twitter. “Ini adalah ‘pelacak Muslim’ yang didanai oleh otoritas-otoritas Tiongkok.”
Informasi tersebut disimpan pada database SenseNets yang dapat diakses selama berbulan-bulan dan ditemukan oleh Gevers.
“Itu sepenuhnya terbuka dan siapa pun tanpa otentikasi memiliki hak administratif penuh. Anda bisa masuk dalam database dan membuat, membaca, memperbarui, dan menghapus apa saja,” kata Gevers.
Menurut situs webnya, SenseNets adalah kontraktor untuk polisi Tiongkok di beberapa kota. Perusahaan induknya yang terdaftar di Shenzhen, NetPosa Technologies, memiliki kantor di sebagian besar provinsi dan wilayah Tiongkok, termasuk Xinjiang.
Gevers telah mengatakan pada yayasan secara langsung telah memberi tahu SenseNets tentang kerentanan tersebut, sesuai dengan protokol GDI. Dia mengatakan SenseNets tidak merespons, tetapi sejak itu diambil langkah-langkah untuk mengamankan basis datanya, karena dia tidak dapat lagi mengaksesnya.
PENGAWASAN MASSAL
Rezim Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir, telah menahan sekitar 1 juta Uighur dan minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp penahanan di wilayah barat laut Xinjiang, di mana mereka menjalani indoktrinasi politik dan dipaksa untuk mengecam keyakinan mereka. Para mantan tahanan telah melaporkan kasus-kasus penyiksaan, pengobatan paksa, dan pemerkosaan.
Di luar kamp, lebih dari 10 juta Uighur dan minoritas Turki lainnya di Xinjiang harus diawasi melalui jaringan padat sistem pengawasan dan pos pemeriksaan keamanan, tempat KTP-KTP elektronik mereka dipindai.
Wilayah ini telah berfungsi sebagai tempat uji coba untuk bentuk pengawasan dan pengendalian massa yang canggih, yang dimungkinkan oleh adanya pasokan perkembangan terbaru dalam teknologi digital.
Perangkat lunak pengenal wajah yang canggih memberi kemudahan otoritas kepolisian untuk melacak pergerakan hampir setiap orang melalui sistem kamera keamanan yang luas. Ada juga laporan otoritas Tiongkok yang mengumpulkan sampel darah dan air liur dari warga Xinjiang untuk disimpan dalam database DNA negara, serta sidik jari dan sampel suara.
Pada tahun 2017, pihak berwenang memaksa penduduk untuk mengunduh aplikasi pengawasan bernama Jingwang Weishi, yang diterjemahkan menjadi “pembela internet bersih” dalam bahasa Mandarin. Para peneliti dari Open Technology Fund, sebuah program yang didanai pemerintah AS, telah menemukan bahwa aplikasi tersebut mentransfer semua file yang pada ponsel pintar untuk pemantauan pemerintah.
Rezim komunis telah menggunakan dalih “ancaman ekstremis” untuk membenarkan kontrol ketat atas wilayah tersebut.
Pemerintahan Trump dilaporkan sedang mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap para pejabat dan perusahaan Tiongkok yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Tahun lalu, Kongres AS telah melarang kantor-kantor pemerintah membeli produk-produk pengawasan yang dibuat oleh Hikvision, produsen kamera pengintai terkemuka di Tiongkok. Hikvision telah bekerja sama secara mendalam dengan Beijing untuk mengembangkan teknologi yang diperlengkapi kecerdasan buata (AI) untuk memantau warganya, termasuk di Xinjiang.
Perusahaan-perusahaan AS juga telah diundang untuk membantu rezim tersebut dalam membangun infrastruktur pengawasan yang dapat digunakan untuk pengekangan. Senator Marco Rubio, Pada sidang kongres Juli lalu, telah mengkritik Google karena membuka pusat penelitian AI di Tiongkok, dan Thermo Fisher Scientific karena memasok peralatan sekuaensing atau pengurutan DNA ke polisi Xinjiang. (ran)
Video pilihan:
Alat Huawei Dikembangkan untuk Menindas Falun Gong yang Mencekam di Seluruh Tiongkok
https://www.youtube.com/watch?v=l4yQjS1MqNA&t=347s