Epochtimes.id- Pasca proyek 0ne Belt One Road (OBOR) diluncurkan oleh rezim Komunis Tiongkok ke seluruh dunia pada 2013 silam, sejumlah negara-negara di dunia awalnya bersepakat dengan Tiongkok. Akan tetapi pada akhirnya negara-negara ini ada yang mulai berani berpikir panjang ke depan.
Kekhawatiran pun tak terbendung dan terus bermunculan mulai dari debt trapĀ (jebakan utang) dan dugaan adanya niatan infilitrasi komunis Tiongkok di negara-negara tersebut. Hingga akhirnya ada yang nekat dengan perkasa me-retur proyek bernilai miliar dollar AS ini.
Laporan The Financial Times dengan judul āChinaās Belt and Road difficulties are proliferating across the worldā menyebutkan sebanyak 1.674 proyek infrastruktur di 66 negara yang berpartisipasi dalam proyek OBOR Tiongkok ini, sekitar 14 persen atau 234 dari 1.674, Ā mengalami sejumlah persoalan.
Data The Financial Times yang mengutip dari penelitian perusahaan konsultan RWR Advisory Group yang yang berbasis di Washington, menyebutkan bahwa persoalan ini disebabkan oleh administrasi yang buruk, seperti penentangan publik terhadap proyek-proyek, keberatan atas kebijakan tenaga kerja, penundaan pelaksanaan, dan kekhawatiran atas keamanan nasional negara-negara itu.
Ketika Perdana Menteri Malaysia Mahathir bin Mohamad berkunjung ke Tiongkok tahun lalu. Apa agendanya? PM yang berusia 93 tahun tersebut ternyata me-retur proyek OBOR di Malaysia kepada Beijing. Kabar terbaru lagi dari Malaysia, pada 26 Januari 2019 pemerintahan Malaysia membatalkan rencana Sambungan Kereta Api Pantai Timur yang pelaksanaannya dilakukan oleh kelompok usaha Komunikasi Konstruksi Tiongkok (China Communications Construction Group).
Menteri Urusan Ekonomi Malaysia Mohamed Azmin bin Ali pun menegaskan pemerintahannya membatalkan rencana pembangunan konstruksi perkeretaapian pantai timur setelah melakukan kajian. Proyek senilai USD. 20 miliar atau Rp 281 Triliun ini pun tak terwujud. Apa alasan Malaysia mengakhiri proyek dari CCCG ini? tak lain soal beban utang yang harus ditanggung oleh negara tetangga Indonesia itu. Jika pun terlaksana, Malaysia diharuskan merogoh anggaran kerajaan sebesar RM 500 juta (USD. 121 juta) untuk angsuran pembayaran utang.
Bagaimana rencana pembiayaan proyek OBOR di Indonesia? tulisan jurnalis Pril Huseno yang diterbitkan di Watyutink membeberkan bahwa terdapat belasan proyek di bawah skema pembiayaan OBOR/BRI Ā yang direncanakan di Indonesia. Proyek ini bakal direncanakan menelan biaya sebesar 201,6 miliar dolar AS atau Rp2,700 triliun. Lokasinya berbeda-beda yakni di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Kalimantan Utara. Ā Termasuk diantaranya proyek Bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo yang akan menelan biaya sekitar 700 juta dolar AS.
Menurut Pril Huseno, Indonesia semestinya berhati-hati atas adanya jebakan utang. Pasalnya, nominal utang luar negeri di Indonesia yang berasal dari masa ke masa kini sudah berjumlah Rp 5.227 triliun.
Sumber terpercaya lainnya menyebutkan, proyek yang bakal ditawarkan dengan pembiayaan OBOR Tiongkok ini adalah proyek Kuala Tanjung International Hub Port, Kuala Tanjung Industrial Estate, Sei Mangkei Special Economic Zone, New Kuala Namu Industrial Estate (GIIFE) dan Kuala Namu Aerocity di Sumatera.
Calon proyek lainnya adalah proyek Hydropower, Aluminium and Steel Alloy Smelter, Pindada International Port dan INALUM Port di Kalimantan Utara. Adapun di Sulawesi Utara seperti Lembeh International Airport, Likupang Tourist Estate (Casabaio Resort, Sintesa Resort) dan Bitung Industrial Estate. Di Bali adalah proyek Bali Mandara Toll Road dan Kura-Kura Island Tech Park di Bali.
Tawaran pembiayaan proyek OBOR yang diajukan ini dengan skema pendanaan alternatif yakni skema pendanaan campuran (blended finance), kerjasama antara pemerintah dan swasta (public private partnership) dan Non-Government Budget Investment Financing atau Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA).
Namun demikian, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pernah mengakui calon-calon proyek OBOR tersebut masih belum terwujud di Indonesia hingga saat ini. Artinya, masih sebatas diajukan. Terungkap adanya kendala faktor internal dan eksternal. Faktor yang disoroti BKPM yakni adanya pembatalan proyek OBOR di Malaysia serta nasib proyek OBOR di beberapa negara seperti Pakistan, Nepal dan Myanmar.
Sementara ekonom Faisal Basri menuturkan kini sudah bisa terlihat secara terang benderang catatan buruk proyek OBOR di berbagai negara seperti pembatalan di Malaysia. Apalagi secara hakiki peluncuran proyek OBOR tersebut ke seluruh dunia sejatinya hanya untuk kepentingan Tiongkok semata.
Ekonom Faisal Basri dalam konferensi pers berjudul Pemanasan Debat Capres Kedua: Tawaran INDEF untuk Agenda Strategis Pembangunan SDA dan Infrastruktur di ITS Tower Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis 14 Februari 2019
āIni kan sudah ketahuan semuanya borok-boroknya di Malaysia dibatalkan, dan intinya OBOR tersebut, ingat yang ingin dibantu China adalah China itu sendiri,ā katanya ketika diwawancarai Epochtimes.id serta sejumlah wartawan lainnya usai konferensi pers berjudul Pemanasan Debat Capres Kedua: Tawaran INDEF untuk Agenda Strategis Pembangunan SDA dan Infrastruktur di ITS Tower, Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Menurut ekonom Universitas Indonesia ini, ketika Tiongkok kelebihan pasokan semen dan baja, maka harus ada wadahnya sehingga Tiongkok menciptakan proyek-proyek yang membutuhkan semen dan baja mereka.
Apalagi, kata ekonom INDEF ini ditambah adanya terjadinya peningkatan gelombang pengangguran di Tingkok, sehingga pada akhirnya Tiongkok menempuh langkah dengan membuat proyek-proyek di luar negeri yang mana nantinya menyedot pekerja dan bahan-bahan proyek dari mereka.
Ketika pendanaan dari proyek OBOR ingin direalisasikan di Indonesia, Faisal Basri mengajak semuanya bersama-sama memikirkan dampak yang akan terjadi serta konsekuensinya. Dampak yang perlu dipikirkan seperti terhadap PT Krakatau Steel. Apalagi pada kenyataannya realisasi proyek OBOR tersebut nantinya akan membeli semen kepada tiga pabrik semen buatan Tiongkok dengan harga yang lebih mahal.
Lebih jauh Faisal Basri membandingkan dengan realisasi pendanaan proyek yang dibiayai oleh Jepang seperti terkait MRT di Jakarta. Jika dilihat dari proyek pendanaan berasal dari Tiongkok, secara keseluruhan Tiongkok selalu ingin mendominasi mulai dari pekerja, semen, teknologi, besi dan segala macam.
āJadi harus dihitung untung ruginya dulu dengan proyek OBOR, kalau kita mau seperti itu diketiaknya China ya silakan saja, niscaya proyek-proyek China itu-itu saja, lihat saja yang kerjasama sama China itu-itu saja,ā pungkasnya. (asr)