EpochTimesId – Ayah dari pengantin ISIS yang meninggalkan rumahnya di Alabama, Amerika Serikat, untuk melakukan perjalanan ke Suriah mengajukan gugatan ke pengadilan. Sang Ayah menggugat keputusan menteri luar negeri AS dan Presiden AS, Donald Trump yang mencekal anaknya kembali ke AS dari Suriah.
Hoda Muthana, 24 tahun, diduga telah menjadi agitator (penghasut) online terkemuka untuk ISIS, menikahi tiga anggota organisasi teroris setelah melakukan perjalanan ke Suriah pada 2014. Dilacak oleh media di sebuah kamp pengungsi beberapa hari yang lalu, sekarang Dia memiliki seorang putra berusia 18 bulan. Hoda menyatakan keinginannya untuk kembali ke Amerika Serikat, sehingga memicu kontroversi.
Pada 20 Februari 2019, pemerintah Amerika Serikat mengatakan, Dia tidak akan diizinkan kembali ke negara itu.
Gugatan yang diajukan oleh ayahnya, Ahmed Ali Muthana pada 21 Februari 2019, mengklaim bahwa hak putrinya untuk kewarganegaraan tidak dapat dicabut secara sepihak. Namun, Hoda sebelumnya tidak pernah memiliki kewarganegaraan, menurut pernyataan Mike Pompeo.
“Hoda Muthana bukan warga negara AS dan tidak akan diterima di Amerika Serikat. Dia tidak memiliki dasar hukum, tidak ada paspor AS yang sah, tidak ada hak untuk paspor, atau visa untuk bepergian ke Amerika Serikat,” kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Presiden Trump kemudian menyatakan sudah menginstruksikan kepada Pompeo untuk memblokir Hoda untuk masuk ke AS.
Dengan wilayah ISIS terjepit ke titik kota terakhir oleh pasukan pimpinan AS dalam beberapa bulan terakhir, keinginan untuk pengantin ISIS kembali ke negara-negara barat yang pernah mereka tinggali meningkat pesat. Kini mereka terkumpul di kamp-kamp pengungsi di Suriah, ketika kekhalifahan tidak lagi memiliki wilayah kekuasaan.
Menteri Dalam Negeri Inggris, baru-baru ini mengumumkan sudah mencabut kewarganegaraan Shemima Begum, yang melakukan perjalanan ke Suriah ketika masih SMA, atau baru berusia 15 tahun. Dia kabur dari rumahnya di London untuk bergabung dengan apa yang disebut kekhalifahan (ISIS). Dia melahirkan dalam beberapa hari terakhir di sebuah kamp pengungsi Kurdi, setelah memicu kontroversi dengan sejumlah wawancara TV.
Keluarganya juga mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah Inggris.
Menurut Guardian, Hoda Muthana adalah satu-satunya wanita yang melakukan perjalanan dari Amerika dari sekitar 1.500 orang pengantin ISIS di kamp yang sama. Kamp itu diperkirakan menampung hampir 40.000 orang, yang melakukan perjalanan dari negara-negara Barat, terutama Eropa.
Dia meninggalkan negara itu pada tahun 2014 untuk bergabung dengan ISIS, kelompok teroris Islam.
Dia kemudian menyerukan umat Islam yang tinggal di Amerika Serikat untuk meluncurkan serangan teror. Dalam salah satu surat resmi yang diposting di Twitter pada tahun 2015, dia menulis: “Pergilah berkendara dan tumpahkan semua darah mereka, atau sewa truk besar dan kendarai semuanya. Veteran, Patriot, Memorial dll. Parade hari … pergi dengan berkendara + menumpahkan semua darah mereka atau menyewa truk besar dan mengemudi di sekitar mereka. Membunuh mereka.”
Muthana menikah dengan seorang ekstremis jihad Australia yang tewas dalam pertempuran. Sebelum itu, dia menikah dengan seorang teroris ISIS Tunisia yang juga tewas dalam pertempuran. Tidak jelas apakah suami ketiganya, jihadis Suriah, masih hidup.
Dia telah menyatakan penyesalan atas tindakannya dalam wawancara media, di mana dia mengatakan dia dicuci otak dan mengatakan bersedia menghadapi konsekuensi hukum.
Ayahnya diwakili oleh Pusat Hukum Konstitusi untuk Muslim di Amerika (CLCMA), yang didanai oleh Yayasan Hukum Muslim Amerika.
Dalam sebuah pernyataan, mereka mengatakan, “Semua pihak yang terlibat, termasuk Muthana, mengakui bahwa keberhasilan dalam gugatan ini kemungkinan akan menghasilkan penuntutan Muthana atas tuduhan dukungan material terhadap terorisme untuk tindakannya selama di Suriah. Dimana Muthana secara terbuka mengakui tindakannya dan menerima tanggung jawab penuh atas tindakan tersebut.”
Gugatan itu adalah gugatan sipil yang menggugat Presiden Donald Trump, Menlu Mike Pompeo dan Jaksa Agung William Barr.
Gugatan tersebut menuntut, “Bantuan deklarasi yang mengakui Kewarganegaraan AS, dan bantuan ganti rugi yang mengharuskan Amerika Serikat melakukan upaya dengan niat baik untuk mengembalikan dia dan putranya yang masih kecil (ke AS).”
“Kewarganegaraan adalah hak asasi di bawah Konstitusi, sekali diakui seharusnya tidak dapat dicabut secara sepihak,” kata pernyataan itu.
Dalam sebuah wawancara sebelumnya, Pompeo mengatakan kepada FOX Business, “Ini adalah seorang wanita yang telah menimbulkan risiko besar pada tentara Amerika dan warga negara Amerika. Dia seorang teroris.”
Salah satu pengacara untuk kasus ini, Charles Swift, terkenal karena memenangkan kasus Mahkamah Agung pada tahun 2006 yang memutuskan bahwa pemerintahan Bush tidak memiliki wewenang untuk membentuk komisi militer untuk mengadili para tersangka teroris di Teluk Guantanamo. (SIMON VEAZEY/Reuters/The Epoch Times/waa)
Video Pilihan :
https://youtu.be/fTKcu82AtsA
Simak Juga :
https://youtu.be/rvIS2eUnc7M