EpochTimesId – Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menolak lebih dari 37.000 aplikasi visa pada tahun 2018. Jumlah ini melonjak dari hanya kurang dari 1.000 pada tahun sebelumnya.
Lonjakan ini diakibatkan oleh kebijakan larangan perjalanan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Donald Trump. Larangan tersebut belum sepenuhnya berlaku, menurut data agensi.
Amerika Serikat menolak hampir 4 juta aplikasi visa karena berbagai alasan, termasuk dugaan mempraktikkan poligami, menculik anak-anak, atau sama sekali tidak memenuhi syarat untuk jenis visa yang dimohon. Data yang dirilis pada 26 Februari 2019 ini, adalah pandangan komprehensif pertama tentang dampak larangan yang diperintahkan oleh Presiden Donald Trump tidak lama setelah menjabat. Kebijakan Trump ini awalnya sempat diblokir oleh pengadilan federal, namun kemudian disetujui oleh Mahkamah Agung.
Larangan itu terutama mempengaruhi orang-orang dari Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman, negara-negara di mana jumlah visa yang dikeluarkan turun 80 persen pada 2018 dibandingkan dengan tahun 2016, ketika larangan bepergian belum diterapkan.
Perintah eksekutif awal Januari 2017 yang dikeluarkan oleh Trump, melarang masuk ke Amerika Serikat bagi warga negara dari beberapa negara mayoritas Muslim. Kebijakan yang meluncurkan pertarungan sengit di pengadilan federal mengenai apakah kebijakan tersebut merupakan ‘larangan bagi Muslim’, yang dinilai melanggar hukum atau merupakan upaya hukum yang sah dari kekuasaan presiden AS.
Pemerintah AS kemudian merevisi kebijakan sebagai tanggapan atas gugatan di pengadilan. Mahkamah Agung kemudian mengizinkan instruksi presiden itu untuk mulai berlaku pada bulan Desember 2017, ketika gugatan hukum masih terus berlanjut. Pada Juni 2018, Mahkamah Agung mendukung versi baru dari pelarangan tersebut.
Akibatnya, kebanyakan orang dari Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman belum dapat memasuki Amerika Serikat lebih dari setahun. Venezuela dan Korea Utara juga menjadi sasaran dalam kebijakan saat ini, tetapi pembatasan itu tidak digugat di pengadilan.
Angka-angka yang dirilis menunjukkan bahwa pemerintah menolak 15.384 aplikasi untuk visa imigran, diberikan kepada mereka yang ingin tinggal secara permanen di Amerika Serikat, akibat ‘Perintah Eksekutif 2017 untuk Imigrasi’. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri menegaskan bahwa istilah tersebut mengacu pada kebijakan larangan perjalanan.
Selain itu, 21.645 aplikasi untuk visa non-imigran, diberikan kepada orang-orang yang datang untuk kunjungan jangka pendek untuk bisnis, pariwisata atau alasan lainnya, juga ditolak karena larangan tersebut. Sekitar 2.200 aplikasi visa lolos dari potensi penolakan berdasarkan larangan perjalanan tahun lalu. Akan tetapi tidak jelas berapa banyak aplikasi yang awalnya diajukan tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya.
Data tidak termasuk berapa banyak aplikasi visa yang dibuat oleh warga negara dari negara yang terkena larangan perjalanan.
Setiap bulan, Departemen Luar Negeri merilis jumlah visa yang dikeluarkan untuk warga negara dari semua negara, termasuk yang di bawah larangan perjalanan, tetapi tidak menerbitkan informasi bulanan yang setara tentang jumlah aplikasi visa atau penolakan oleh negara.
Data lain yang dirilis sebelumnya dari Departemen Luar Negeri menunjukkan bahwa jumlah visa AS yang dikeluarkan untuk warga negara di bawah larangan perjalanan telah menurun secara drastis sebagai akibat dari implementasinya.
Pada tahun fiskal dari 1 Oktober 2017, hingga 30 September 2018, warga negara Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman, lima negara yang secara konsisten pada daftar larangan perjalanan di seluruh iterasinya yang berbeda. Mereka menerima sekitar 14.600 visa AS. Jumlah itu turun 80 persen dari sekitar 72.000 visa yang dikeluarkan untuk warga negara-negara tersebut pada tahun fiskal 2016, ketika tidak ada larangan perjalanan.
Kenapa Ada Larangan?
Trump mengeluarkan larangan dengan alasan, “Untuk melindungi rakyat dari aktivitas teroris oleh warga asing yang diterima masuk ke Amerika Serikat,” demikian tertulis dalam perintah eksekutif tertanggal 6 Maret. Negara yang ditargetkan tidak bersedia bekerja sama dengan proses penyaringan ketat yang dilakukan oleh AS, atau negara bersangkutan sangat tidak stabil sehingga metode penyaringan saat ini tidak efektif.
Perintah pertama Trump menargetkan tujuh negara, berdasarkan Peningkatan Program Pengabaian Visa dan Undang-Undang Pencegahan Perjalanan Teroris 2015 yang memperketat persyaratan visa AS untuk orang-orang yang datang, atau yang baru-baru ini bepergian ke Iran, Irak, Sudan, dan Suriah.
Awalnya, hanya empat negara yang dimasukkan dalam RUU tersebut, tetapi Departemen Keamanan Dalam Negeri ditugaskan untuk menambahkan negara-negara yang menjadi perhatian. Departemen kemudian menambahkan Libya, Somalia, dan Yaman pada 18 Februari 2016, mengutip sebuah ancaman yang tumbuh dari para pejuang teroris asing.
Ancaman itu didasarkan pada kekhawatiran bahwa ketika kelompok teroris ISIS terus kehilangan tempat di Irak dan Suriah, para pejuangnya bergeser dari pertempuran militer di Timur Tengah ke terorisme terpecah dan berusaha menyusup ke Eropa dan Amerika Serikat sebagai pengungsi, imigran, dan jenis traveler lainnya.
Uni Eropa, yang menerima sejumlah besar pengungsi dari negara-negara sasaran, melihat penangkapan terkait terorisme meningkat hampir 60 persen antara 2014 dan 2017, menurut laporan Europol. Diantara penangkapan di mana jenis terorisme dilaporkan, hampir 90 persen terkait dengan terorisme jihad. (Reuters dan Petr Svab/The Epoch Times)
Video Pilihan :
https://youtu.be/fTKcu82AtsA
Simak Juga :
https://youtu.be/rvIS2eUnc7M