Luo Wentao- EpochWeekly
Beberapa kali gerakan yang pernah terjadi di Prancis selalu membawa nuansa anarkis yang kental. Mulai dari Revolusi Prancis, pemberontakan Jacobin, Komune Paris, sampai yang baru-baru ini terjadi yakni gerakan rompi kuning. Setiap gerakan tersebut mengakibatkan kerusakan peninggalan bersejarah, menginjak-injak karya seni, bahkan membunuh rakyat dalam skala besar. Apakah ini merupakan gen Prancis yang khas?
Paris diakui sebagai ibukota seni oleh seluruh dunia, karena monumen budaya, koleksi seni, bangunan dan karya seni pahat klasik di jalan-jalan bisa dijumpai di seluruh kota ini, sehingga layak disebut sebagai museum seni dunia. Patut diketahui, sekitar dua millenium lalu, kota Paris sebelum meletusnya revolusi, jauh lebih indah berkali-kali lipat daripada sekarang!
Gerakan massa yang terjadi sepanjang sejarah, walaupun mayoritas dikarenakan faktor politik atau ekonomi, pada akhirnya akan selalu berimbas pada hal-hal budaya.
Aksi turun ke jalan oleh gerakan rompi kuning yang berawal sejak pertengahan November 2018 lalu, dikarenakan warga menentang keputusan pemerintah yang kembali menaikkan pajak bahan bakar, kemudian lepas kendali dan berkembang ke arah anarkis, jumlah korban tewas dan luka-luka cukup memprihatinkan, kerugian yang diakibatkan para demonstran mencapai milyaran Euro.
Presiden Prancis Emmanuel Macron awalnya tidak memberikan solusi yang memuaskan para demonstran, peristiwa itu pun terus berkembang memanas, situasi berubah ibarat suatu revolusi yang akan meletus sewaktu-waktu begitu disulut. Ini membuat banyak orang teringat kembali akan Revolusi Prancis yang terjadi 230 tahun silam.
Penyebab Peristiwa Gerakan Rompi Kuning
Karena Presiden Macron berupaya mewujudkan “Perjanjian Iklim Paris” tahun 2016, ia mendorong warga Prancis agar menggunakan mobil listrik dan sarana transportasi sejenisnya, serta menaikkan pajak bahan bakar minyak sangat tinggi. Sehingga dalam 12 bulan terakhir, harga bahan bakar diesel naik sekitar 23%. Di saat yang sama agar aset para konglomerat tidak dibawa keluar negeri, ia menolak mengaktifkan kembali “pajak properti” bagi orang kaya.
Semua kebijakan ini berakibat semakin memperburuk kehidupan kalangan bawah yakni petani, transporter, atau warga yang menetap di pinggiran kota yang tadinya sudah cukup susah, juga semakin memperlebar jurang kesenjangan kaya dan miskin di Prancis. Semakin banyak warga kelas bawah yang tersulut amarahnya.
Hari Sabtu 17 November 2018, sebanyak 300.000 orang dari seluruh Prancis yang mengenakan rompi kuning turun ke jalan memprotes pemerintah, menuntut agar pajak bahan bakar dan mobil diturunkan, menaikkan upah minimum pokok, menaikkan pajak terhadap orang kaya, serta menuntut Presiden Macron agar mundur dari jabatannya.
Pemerintah Macron tidak segera berkompromi, mengakibatkan setiap akhir pekan massa berunjuk rasa di jalanan, dan kian lama kian banyak massa yang ikut bergabung.
“Api amarah revolusi” kian hari kian membara, menyebabkan 10 orang tewas, dan ribuan lainnya luka-luka. Sebagian demonstran yang kehilangan kendali mulai melakukan aksi pengrusakan, membakar kendaraan polisi, ada yang bahkan membakar mobil pribadi yang parkir di pinggir jalan, merusak toko-toko di sepanjang jalan, dan merampok barang-barang di dalamnya.
Akibat tekanan itu, pada akhir tahun 2018 pemerintah Macron menyanggupi menaikkan upah minimum pokok sebesar 100 Euro, dan berjanji dalam 6 bulan ke depan tidak akan menaikkan harga bahan bakar bensin dan diesel. Akan tetapi masalah lain belum terselesaikan, kondisi semakin meluas, menurut survey, sebanyak 80% warga Prancis mendukung aksi unjuk rasa ini.
Di sini kita tidak menilai benar-salah dan tanggung jawab pemerintah Prancis dan massa demonstran, juga tidak bisa memprediksi perkembangan peristiwa ini di masa mendatang, yang kita soroti adalah aksi pengrusakan terhadap benda-benda peninggalan budaya yang terjadi dalam peristiwa anarkis ini.
Hal yang satu ini, walaupun sejak zaman dahulu sulit dihindari dalam setiap peperangan maupun kekacauan, akan tetapi dalam semua revolusi yang terjadi di Prancis selama ini, aksi pengrusakan ini sepertinya sangat menonjol dan hingga saat ini masih belum bisa terlepas dari kutukan iblis tersebut.
Rompi Kuning: Simbol Rakyat Kalangan Menengah Bawah
Simbol bagi massa yang berunjuk rasa turun ke jalan kali ini adalah rompi kuning neon yang dikenakan oleh setiap demonstran. Karena sejak tahun 2008 Prancis telah menetapkan peraturan pada setiap mobil harus dilengkapi dengan rompi berwarna kuning neon yang dapat memantulkan cahaya, dan wajib dikenakan saat memperbaiki mobil yang rusak karena warna ini paling efektif meningkatkan kewaspadaan pengemudi lain.
Rompi kuning ini juga dipergunakan luas oleh warga yang kurang mampu secara ekonomi sehingga harus mengendarai sepeda untuk pergi dan pulang kerja.
Pawai kali ini tidak ada pemimpin, hanya atas inisiatif setiap warga. Rompi kuning sama dengan rakyat kalangan menengah bawah di tengah masyarakat Prancis yang hidup mengandalkan upah minimum pokok, oleh karenanya aksi unjuk rasa kali ini disebut “gerakan rompi kuning” oleh media massa.
Kita tangguhkan dahulu analis latar belakang politik dan ekonomi di balik peristiwa unjuk rasa ini, namun kemiripannya dengan sejarah sangat mencengangkan!
Sulit menentukan benar-salah serta kalah-menang dalam sejarah, tapi umumnya berakibat sangat tragis dan tak ter-reparasikan.
Revolusi Prancis dan Gerakan Rompi Kuning
Saat Raja Louis ke-16 berkuasa, di musim semi tahun 1788 Prancis dilanda bencana kekeringan. Raja Louis ke-16 tak mampu mengatasi musibah yang timbul akibat bencana alam tersebut, harga roti pun melonjak drastis, penderita penyakit dan tingkat kematian melonjak tinggi, wabah kelaparan pun terjadi dimana-mana, berbagai aturan yang ditetapkan di dalam negeri telah membatasi aktivitasf ekonomi, warga tani membanjiri kota menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi, lalu mulai memicu pergolakan di tengah masyarakat.
Partisipasi perang yang berlebihan pada masa kekuasaan Raja Louis ke-15 telah mengakibatkan gudang uang kerajaan kosong. kKondisi keuangan Prancis telah di ambang kehancuran, akhirnya rakyat miskin mencapai 80%, keluarga kerajaan dan para bangsawan tidak mempedulikan krisis sosial ini, dan terus hidup bergelimang kemewahan.
Pada kondisi ini raja malah terus menaikkan pungutan pajak, kesenjangan kaya dan miskin di masyarakat pun semakin menganga lebar. Akhirnya rakyat pun memberontak, kaum petani menyerbu kota, dan mendobrak masuk ke dalam Istana Versailles.
Keberhasilan Macron terpilih sebagai presiden, adalah karena di seluruh Prancis terdapat sebanyak 25% warga pemilih yang tidak memberikan suaranya. Karena tiga periode presiden sebelumnya tidak mampu meredakan tekanan di tengah masyarakat Prancis antara lain: tingkat pengangguran yang terus naik dari tahun ke tahun dan upah minimum pokok yang telah stagnan tidak pernah ada kenaikan selama hampir sepuluh tahun, kenaikan harga barang, sehingga rakyat kehilangan daya beli. Kesenjangan kaya miskin kian besar, kas negara kian menipis. Ditambah lagi para imigran yang datang, terutama pengungsi yang membanjiri Prancis, semakin memperbesar beban dan pergolakan masyarakat, di saat yang sama juga ada ancaman terorisme, bisa dibilang bahaya dari luar dan ancaman dari dalam semakin meningkat!
Walaupun Macron telah menerima kebobrokan pemerintahan sebelumnya, tapi juga tak berdaya memperbaikinya, dan hanya bisa menaikkan pungutan pajak dari berbagai sektor, hanya semakin mengencangkan ikat pinggang rakyat kecil yang mayoritas itu, sedangkan orang-orang kaya sepertinya tidak begitu terpengaruh. Rakyat merasa tidak ada keadilan, dan ini mengakibatkan perpecahan masyarakat.
Di dalam negara yang bebas berpendapat ini, sejumlah akademisi membandingkan Macron dengan Louis ke-16, sejarawan Prancis Stéphane Sirot pernah mengatakan, Macron seperti Raja Louis ke-16 dari era Manor, dan gerakan rompi kuning ibarat Revolusi Prancis. Menurut salah seorang pendiri Associates yakni Bernard Bougel: Macron adalah Raja Louis ke-16 versi modern.
Akan tetapi, Prancis pada dasarnya adalah negara demokrasi di Eropa, setelah minggu ke-9 aksi unjuk rasa tersebut, Macron menyampaikan surat setanah air, isinya sangat tulus, dengan jelas disebutkan menentang aksi anarkis. Namun ia berniat menyelesaikan masalah, serta mengajukan 36 perihal yang dianggapnya dapat menyelesaikan masalah sosial saat ini, dan mengundang seluruh warga Prancis untuk ikut dalam diskusi.
Pada tanggal 15 Januari 2019 hari Selasa, hari kedua setelah demonstrasi minggu ke-9, Macron pergi ke wilayah Normandy Provinsi l’Eure yang terletak tak jauh dari Paris, karena rasio pengunjuk rasa di sana mencapai hampir 100%. Setelah tanya jawab 7 jam tersebut berakhir, Macron memenangkan aplaus yang cukup lama.
Dari awal saat ia tidak bersedia melakukan kompromi, sampai akhirnya dengan rendah hati mendengarkan suara rakyat dengan sungguh-sungguh. Tindakan ini membuat seluruh dunia melihat seorang presiden yang dipilih rakyat di negara demokrasi sangat berpendidikan!
Perilakunya ini akan selalu dikenang dalam sejarah kepresidenan Prancis. Terlepas dari kemampuannya saat ini, tindakan ‘damai’ Macron kali ini tidak menyulut pergolakan masyarakat yang lebih besar dan bentrok berdarah seperti pada masa Raja Louis ke-16, ia dengan status seorang presiden memperlihatkan keunggulan dan nilai suatu masyarakat demokrasi!
Tindakannya itu juga menimbulkan dampak positif, kemudian pada 27 Januari 2019, minggu ke-10 unjuk rasa itu, di kota Paris sebanyak 15.000 massa (data kepolisian) berunjuk rasa menentang aksi anarkis gerakan rompi kuning. Massa mengenakan syal merah, slogannya: “Hentikan kekerasan, dukung demokrasi, menentang revolusi!” Tindakan ‘damai’ Macron telah menyadarkan akal sehat masyarakat Prancis.
Pengrusakan dan Penggerogotan Cagar Budaya, Gen yang Berasal dari Komunisme
Menilik sejarah Prancis, mengapa setiap kali terjadi aksi besar di Prancis, selalu dengan merusak benda peninggalan bersejarah? Apakah ini merupakan produk khas ala Prancis? Apa akar permasalahannya?
Revolusi Prancis (1789-1799) adalah suatu periode radikal masyarakat dan pergolakan politik di Prancis, berlangsung selama 10 tahun.
Pada 14 Juli 1789, pemberontak dan massa unjuk rasa menyerang penjara Bastille. Kepala Lapas/penjara Bastille bernama Bernard-René de Launay yang tidak ingin terjadi bentrok kedua pihak setelah dikeroyok akhirnya dipenggal oleh massa yang dilanda kebencian dan kepalanya diarak keliling kota.
Hari itu banyak warga tak berdosa lainnya ikut menjadi korban. Dan, warga Prancis menganggap hari itu adalah simbol rakyat jelata menggulingkan kekuasaan monarki, sehingga kelak tanggal terjadinya pembantaian dan kekerasan itu ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Prancis.
Komune Paris (*1) yang muncul saat terjadinya Revolusi Prancis itu, menjadi badan pengawas Paris dari tahun 1789 hingga 1795. Didirikan di balaikota Paris setelah penjara Bastille ditaklukkan. Tahun 1792, Komune Paris didominasi oleh kaum Jacobin, yang telah menciptakan ‘Pembantaian September’ yang menggemparkan dunia Barat.
Terjadinya “Pembantaian September” di Paris terkait langsung dengan provokasi oleh kalangan Jacobin. Golongan Jacobin terkait dengan organisasi sesat “Illuminati” (*2), sedangkan partai komunis berasal dari “Illuminati”, adalah negara terorisme pertama di dunia. Korban tewas akibat “Pembantaian September” Paris adalah 1.951 orang.
Setiap kali pembantaian berlangsung 9 hingga 41 jam. Di dalam penjara Abbott, banyak napi wanita diperkosa, banyak yang mengalami siksaan, di antaranya ada yang tubuhnya dimutilasi. Yang paling tipikal adalah teman baik Ratu Marie Antoinette yakni Putri la Princesse de Lamballe yang berusia 43 tahun ikut jadi korban dalam pembantaian tersebut, setelah terlebih dahulu dianiaya dan diperkosa, kemudian massa memutilasi kaki dan tangannya. lalu mengeluarkan isi perutnya dan lehernya ditusuk tombak, kemudian kepalanya diarak di depan jendela di mana sang ratu dipenjara.
Selama satu dekade meletusnya Revolusi Prancis, massa demonstran yang mendobrak masuk ke dalam kota dan Istana Versailles meneriakkan slogan ‘kesetaraan, kebebasan, cinta kasih’, tapi faktanya justru penuh dengan ‘kebencian’ dan kehilangan akal sehatnya dengan menghancurkan penjara Bastille dan karya-karya seni yang ada di sepanjang jalan kota Paris.
Mereka menghancurkan biara, menjarah keluarga kerajaan dan bangsawan, menciptakan terorisme negara yang pertama sepanjang sejarah Prancis. Berdasarkan catatan sejarah, Revolusi Prancis telah mengakibatkan lebih dari 16.000 orang dipenggal kepalanya, ratusan ribu orang tewas mengenaskan, seperempat benda peninggalan sejarah di kota Paris dihancurkan, bahkan makam kuno pun dibongkar dan mayatnya dimusnahkan.
Pasca Revolusi Prancis, tanggal 18 Maret 1871 adalah hari berdirinya rezim komunis yang pertama yakni “Komune Paris”. Tanggal 23 Mei 1871, pasukan pemerintah Prancis menyerbu masuk ke Paris. Komune Paris yang di ambang kegagalan, memerintahkan pembakaran terhadap semua bangunan utama di kota Paris, termasuk Palais des Tuileries, Museum Louvre, Palais du Luxembourg, Palais Opéra Garnier, Hôtel de Ville, Ministre de l’Intérieur, Kementerian Kehakiman, istana raja Palais Royal, serta semua bangunan-bangunan hotel dan kondominium mewah yang terletak di kedua sisi jalan Avenue des Champs-Élysées.
Atas dorongan oleh slogan ‘lebih baik hancur daripada jatuh ke tangan musuh’, tanggal 23 Mei pukul 7 malam hari, sebanyak 12 orang anggota komune membawa minyak tar, bitumen dan terpentin, memasuki istana bergaya arsitektur renaissance Italia yakni Palais des Tuileries lalu melakukan pembakaran.
Kobaran api yang marak itu baru bisa dipadamkan setelah membakar dua hari. Bangunan istana itu terbakar habis, yang tersisa hanya dinding luarnya yang hangus. Tanggal 30 September 1883, puing-puing istana Palais des Tuileries akhirnya selesai dibongkar habis. Dan kini wisata di kota Paris sudah tidak bisa lagi dilihat sosok istana Palais des Tuileries lagi!
Komune Paris — kelompok yang membakar hangus seluruh kota peradaban itu, dipuja sampai ke langit oleh para ‘leluhur komunis’ seperti Marx, Engels, Lenin, Stalin, dan Mao Zedong, dengan mengatakan: “Komune Paris adalah upaya pertama kekerasan bersenjata kaum proletariat yang secara langsung merebut kekuasaan kota Paris.” Marx berpendapat bahwa Komune Paris adalah suatu bukti kuat terhadap teori komunismenya.
Tahun 1871, fotografer bernama Eugène Appert menyaksikan sendiri aksi kekerasan Komue Paris, ia menentang keras pembunuhan brutal dan penghancuran terhadap benda seni dan budaya di kota Paris. Dengan teknologi fotografi di masa itu yang belum begitu maju, dipadu dengan metode Montase yang dikuasainya, ia merekam sepenggal sejarah tragis: dibakarnya gedung pemerintah kota Paris dan bangunan di sekitarnya, bangunan budaya dirobohkan, di jalanan, di penjara, dimana-mana pembantaian, ditembak mati, dipenggal kepalanya.
Tahun 1918, Soviet Rusia mendirikan rezim komunis pertama, yang menerapkan teori komunismenya dengan kekerasan dan otoriter ekstrim. Setelah itu partai komunis pun bermunculan di banyak negara lain dan merebut kekuasaan, menyebabkan sepertiga warga dunia diracun tragis, dan ancaman itu belum pudar hingga kini.
Secara mengejutkan sejarah mengalami kesamaan: selama periode Revolusi Kebudayaan di Tiongkok, perlakuan terhadap para tokoh bijak Tiongkok klasik dengan merusak makam dan menghancurkan jasad mereka, seakan mewarisi apa yang telah dilakukan leluhur komunis lewat Komune Paris. Rincian kejadian tidak akan dibahas lagi lebih lanjut.
Kini kota Paris selamanya telah kehilangan banyak karya seni pahat di jalan-jalan yang dulunya bisa dijumpai di mana-mana dan sangat dibanggakan warga Prancis. Seandainya tidak, sekarang ini wisatawan yang datang ke Paris, akan dapat melihat lebih banyak karya seni pahat dan bangunan bersejarah di berbagai jalanan di Paris.
Arc de Triomphe Dirusak Oleh Aksi Rompi Kuning
Selama gerakan rompi kuning, pelaku kerusuhan yang ikut unjuk rasa membakar kendaraan di tepi jalan, merusak toko-toko, juga merusak banyak bangunan pemerintah dan bangunan bersejarah, patung marmer setengah badan Napoleon pada Arc de Triomphe dipenggal kepalanya, miniatur Arc de Triomphe era tahun 30-an dari gypsum dihancurkan, ukiran timbul dewi kemenangan yang diukir François Rude dihancurkan. Di dalam barisan pawai, warga Prancis yang lepas kendali itu melolong ibarat iblis, menyeramkan, tidak bisa dipercaya itu adalah lolongan manusia!
Jadi saya melihat bahwa gerakan rompi kuning ini adalah lanjutan dari Komune Paris setelah Revolusi Prancis, gen anarkisnya merasuk ke dalam setiap warga Prancis dan menjadi iblis yang telah lepas kendali. Begitu mengamuk, pengrusakannya terhadap benda budaya dan seni di Prancis, tidak terbayangkan!
Beberapa waktu setelah ukiran dan pahatan di Arc de Triomphe dirusak, pemerintah Prancis mengutus Polisi Militer untuk melindunginya, juga untuk menjaga istana presiden Élysée Palace, Martin Palace dan gedung Majelis Nasional (Bourbon Palace) dan bangunan-bangunan penting lainnya.
Saat ini Arc de Triomphe telah dibuka kembali untuk turis, tapi pahatan yang dirusak tidak dapat diperbaiki lagi, dalam bisunya pahatan itu memperlihatkan anarkis dan tidak berakalnya aksi unjuk rasa warga Prancis kali ini.
Rusak Peninggalan Dunia, Adalah Pelaku Anarkis Yang Tak Beradab
Walaupun sebagian warga Prancis merasa bangga akan revolusi besarnya di tahun 1789 itu, mayoritas sejarawan terbiasa membandingkan Revolusi Prancis yang dinilai gagal total itu dengan kemenangan AS dalam perang kemerdekaannya.
Secara objektif, dampak negatif dari Revolusi Prancis terhadap seluruh negeri Prancis masih tetap eksis sampai saat ini. Cara orang Prancis menyampaikan rasa tidak puasnya terhadap pemerintah Prancis, masih tetap terbiasa menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pemikiran untuk mengobarkan kerusuhan bersenjata ala paham komunis seperti yang dilakukan “Komune Paris” masih hidup di tengah masyarakat Prancis.
Walaupun tindakan damai Presiden Macron untuk sementara telah berhasil meredakan aksi ‘revolusi’ kali ini, namun apakah rakyat Prancis dapat menjadi lebih dewasa lewat pelajaran sejarah ini?
Pengrusakan revolusi terhadap benda seni dan budaya, adalah pengrusakan terhadap warisan seni dan budaya seluruh dunia. Di kemudian hari jika tidak merasa puas terhadap pemerintah, akankah mereka mengulangi hal yang sama, merusak benda bersejarah untuk melampiaskan amarah?
Beberapa tahun terakhir, sejumlah turis dari Tiongkok yang berkunjung ke Museum Louvre atau ke tempat-tempat wisata lain di dunia, ada yang buang air sembarangan, sehingga pemerintah banyak negara terpaksa harus membuat tanda “toilet umum” dalam Bahasa Mandarin.
Turis yang datang dari negara yang memiliki budaya lebih dari 5000 tahun, yang melakukan hal-hal tidak beradab terhadap benda budaya dan bersejarah negara lain, juga akan dianggap sama tidak beradabnya dengan peserta unjuk rasa Prencis kali ini yang telah bertindak anarkis.
Semoga masyarakat dunia, menyelesaikan masalah dengan pemerintah secara damai, melindungi benda budaya adalah tindakan beradab. Tanpa pandang negara atau bangsa! (SUD/WHS/asr)
(*1) Komune Paris”, pertama kali muncul saat terjadi Revolusi Prancis antara 1789 – 1795, adalah badan pengawas kota Paris. Identik dengan kekerasan, pembantaian, dan penghancuran bangunan serta benda bersejarah.
Kedua kalinya muncul pasca Revolusi Prancis, yakni tanggal 18 Maret 1871, dibentuk oleh warga anarkis dan gerombolan mafia Paris yang berpaham komunis, pemimpinnya adalah seorang penjahit Jerman bernama Wilhelm Weitling, ia terang-terangan mendirikan rezim komunis Prancis yang pertama, kemudian mengobarkan pembantaian yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Prancis, serta penghancuran berskala besar terhadap peradaban dan seni yang diwariskan para dewa kepada manusia pada peradaban ini, mengakibatkan Paris kota seni yang indah itu kehilangan aura gemerlapnya!
Istilah “Komune Paris” yang dimaksud oleh masyarakat pada umumnya adalah yang dibentuk oleh rezim komunis pada tahun 1871 ini, karena pengrusakan yang diakibatkannya jauh lebih parah daripada “Komune Paris” yang pertama, dan pengaruhnya sampai hari ini menyebar ke seluruh dunia.
(*2) “Illuminati” didirikan di luar kota Frankfurt, Jerman, pada Juli 1782 oleh sejumlah pemimpin Freemasonry berbagai negara. “Illuminati” adalah pendahulu komunisme yang pertama di Prancis, juga merupakan leluhur paham komunis seluruh dunia.
Akibat pengaruh “Illuminati” seorang revolusioner partai komunis pertama Prancis bernama François-Noël ‘Gracchus’ Babeuf ‘memprovokasi kerusuhan, membunuh dan meruntuhkan Majelis Negara’ semasa terjadinya Revolusi Prancis, pada 27 Mei 1797 Babeuf pun dihukum mati dengan penggal kepala Guillotine.
Tahun 1871, seorang penjahit Jerman bernama Wilhelm Weitling membentuk rezim komunis yang pertama yakni “Komune Paris 1871”, mengobarkan pembunuhan dan penghancuran berskala besar, hanya dalam waktu 2 bulan berhasil membunuh ratusan ribu orang, serta menghancurkan seperempat situs bersejarah dan peninggalan budaya di kota Paris.
Sebelumnya Marx dan Engels, dengan mendirikan Communist Correspondence Committee, dan pada 21 Februari 1848 di London, Inggris, menerbitkan “Manifesto Komunis”. Manifesto mengemukakan bahwa “komunisme akan menghapus prinsip keabadian sejati, akan menghapus agama dan moralitas.”
‘Manifesto’ menyangkal moral tradisi dan tanggung jawab pribadi, dan menggantikannya dengan pemerintahan tersentralisasi massive, pemerintahan sentralistis ini akan menghancurkan struktur sosial secara paksa, dan memaksakan ‘atheisme’ serta ‘Perjuangan Kelas’ ke seluruh dunia. Setelah itu membentuk “First International”, yang telah membuat Tiongkok menjadi ‘merah’ hingga sekarang ini.