AS dan Eropa Bersikap Keras, Rusia Mulai Waspada, Apakah Beijing Bisa Tenang?

Zhou Xiaohui

Pemerintah Beijing tahun lalu masih meneriakkan slogan pujian diri “Lihai de guo” yang artinya negara nan hebat. Tetapi tahun ini lebih memilih bungkam. Bahkan program Made in China 2025 yang kenyang akan kritik dari negara Barat, kini perlahan mulai tenggelam dari forum terbuka.

Jika pada tahun lalu Beijing masih bersikap keras terhadap AS dan Eropa, ketika itu masih mengutuk AS agar jangan sampai “mengangkat batu tertimpa kaki sendiri”, maka tahun ini Beijing benar-benar bisa merasakan sendiri betapa sakitnya saat batu menimpa kakinya sendiri.

Sakitnya adalah pada perundingan dagang dalam kondisi terus diulur namun tidak membuahkan hasil, terutama setelah dirilisnya laporan investigasi “Russia Gate.” Kini terdesak tekanan dari dalam dan luar negeri, Beijing mau tak mau harus menunduk. Beijing pun harus mengakui tudingan atas pencurian kekayaan intelektual dan pemaksaan pengalihan teknologi memang eksis. Beijing kini pun harus menerima beberapa tuntutan pihak AS agar segera mencapai kesepakatan sesuai jadwal.

Mengenai apakah dalam empat minggu ke depan kedua pihak akan mencapai sepakat atau tidak, akan bergantung pada pihak Beijing apakah menerima atau tidak  beberapa perbedaan pendapat terakhir. Perbedaan itu adalah menyetujui pihak AS tidak akan segera mencabut sanksi bea masuknya setelah kesepakatan itu ditandatangani, menyetujui AS membentuk mekanisme pelaksana pengawasan secara sepihak. Lalu, apabila Beijing tidak menepati aturan kesepakatan tersebut, maka Washington berhak untuk melakukan pembalasan.

Akan tetapi, terlepas dari kesepakatan apakah terwujud atau gagal sama sekali, sakit yang dirasakan oleh Beijing tidak akan lenyap. Di satu sisi, jika kesepakatan tercapai, Beijing harus memenuhi janjinya, jika tidak akan mendapat pembalasan kejam dari AS dan pembalasan seperti itu sepertinya tidak akan mampu diterima oleh Beijing.

Namun jika benar-benar mewujudkan janjinya, struktur ekonomi Tiongkok harus mengalami perubahan yang substantial, dampak terhadap rezim diktator PKT yang ditimbulkannya adalah hal yang tidak bisa diterima oleh penguasa Beijing.

Di sisi lain, jika Beijing menolak mengalah pada beberapa perselisihan terakhir, maka perundingan akan berakhir tanpa adanya kesepakatan, Amerika pasti akan menaikkan bea masuk 25 persen. Pada saat itu ekonomi Tiongkok yang sudah lemah akan kembali terpukul.  Pada saat itu pula tidak hanya perusahaan investasi asing akan semakin cepat hengkang.

Lesunya ekonomi juga akan memicu pergolakan masyarakat, akibat yang akan ditimbulkannya bahkan tidak berani dibayangkan oleh Partai Komunis Tiongkok. Ini juga alasan utama penguasa Beijing pada tahun baru 2019 ini telah mulai memperkuat pengawasannya ke seluruh masyarakat.

Sebelum Beijing mencapai kesepakatan dagang dengan AS, Eropa yang telah mulai sadar juga mulai mengikuti jejak langkah Amerika dan dengan suara lantang berkata “tidak” pada PKT. Ini juga hal yang paling tidak ingin dilihat Beijing, di saat yang sama juga menandakan gagalnya gerakan komunis Tiongkok berusaha memecahbelah Uni Eropa sebelumnya — walaupun Italia telah menandatangani  kerjasama program “OBOR” yang tidak memiliki kekuatan.

Sebelumnya di sela kunjungan PM Tiongkok Li Keqiang berkunjung ke Eropa, negara Eropa Tengah telah mengeluarkan pernyataan bersama. Pernyataan bersama ini pun baru dikeluarkan setelah pihak Beijing berkompromi, berjanji untuk menyesuaikan kembali subsidi terhadap perusahaan dan pemaksaan pengalihan teknologi terhadap perusahaan asing di Tiongkok.

Jelas bahwa berkomprominya Beijing adalah karena tidak ingin menimbulkan ketegangan hubungan dengan Uni Eropa. Walaupun pernyataan sudah dikeluarkan, akan tetapi perselisihan besar antara Uni Eropa dan Komunis Tiongkok dalam hal benar-benar membuka pasar dan masalah HAM tetap belum juga tersingkirkan.

Sikap keras Uni Eropa dari hari ke hari membuat Beijing semakin sulit, apalagi melihat Amerika bersekutu dengan Eropa menghadapi masalah perdagangan tidak adil Beijing.

Pada 8 April lalu, pejabat dagang senior AS Clete Willems dalam pidatonya di Kamar Dagang AS mengatakan, Amerika dan Uni Eropa saat ini sedang “bergandeng tangan bekerjasama” di forum WTO untuk menghadapi “status ekonomi non-pasar” PKT, dengan inisiatif negara “yang memiliki persyaratan tambahan” memberikan program pengganti yang berlandaskan pada pasar. Tidak ada yang menyangkal, kerjasama seperti ini semakin lama akan semakin banyak, Beijing hanya akan semakin panik.

Kerasnya sikap AS dan Eropa, saat ini tidak bisa ditanggulangi Beijing yang saat ini sangat cemas, kecuali jika Beijing mau melakukan perubahan total dari sisi structural. Jika masih menandatangani kesepakatan, tapi tetap melakukan cara-cara menipu seperti tidak melakukan, negosiasi ulang, tandatangan lagi, lalu ingkar janji lagi, maka akan semakin memberatkan bagi Beijing. Pasalnya, saat ini seluruh dunia telah melihat sosok asli Komunis Tiongkok. Dunia  sudah mengerti bahwa PKT tidak bisa dipercaya, dan harus diawasi tindak tanduknya.

Jika AS dan Eropa telah membuat Beijing sangat kesakitan, maka Rusia yang selama ini selalu memamerkan persahabatan Rusia-Tiongkok dan secara permukaan selalu menjaga hubungan kerjasama strategis dengan Beijing, juga tidak membantu Beijing mengurangi rasa sakitnya.

Baru-baru ini, media massa Rusia mengungkap, proyek besar Kereta Cepat “Moskow – Kazan” yang telah tertunda bertahun-tahun apakah akan ditandatangani kontraknya masih berupa tanda tanya besar, alasannya adalah karena Putin menentang proyek tersebut.

Menurut berita, proyek Kereta cepat Moskow – Kazan selama ini dipropagandakan oleh Beijing sebagai proyek percontohan kerjasama tingkat tinggi antara Tiongkok dengan Rusia. Hampir setiap kali kunjungan Putin ke Tiongkok atau pemimpin Tiongkok berkunjung ke Rusia, kedua negara akan menandatangani serangkaian perjanjian kerjasama.

Jalur KA cepat yang direncanakan pembangunannya ini akan menghubungkan Moskow ibukota Rusia dengan ibukota wilayah otonomi federal Rusia Republik Tatarstan yakni kota Kazan, yang merupakan bagian terpenting dari rangkaian rel KA cepat Beijing – Moskow yang disebut “Jalan Sutra Baru”.

Selain proyek kerjasama KA cepat ini, Rusia-Tiongkok juga memiliki banyak proyek kerjasama berskala besar yang pernah digembar-gemborkan yang pada akhirnya tidak berujung pangkal, atau terus menerus tertunda. Seperti jembatan besar pada sungai perbatasan Tiongkok-Rusia di timur jauh juga telah ditunda bertahun-tahun, hingga kini belum juga rampung.

Sedangkan Jembatan Crimea yang dibangun oleh Rusia kecepatannya justru sangat fantastis, sama sekali tidak kalah dengan kecepatan pembangunan Tiongkok. Dengan alasan apa Putin menentang pembangunan jalur KA cepat ini, apakah akan melunak, tidak diketahui oleh pihak luar. Mungkin Moskow yang keluar dari pemerintahan totaliter itu telah sangat memahami maksud dan tujuan Beijing, maka itu mereka menggunakan jurus Taichi dalam menghadapi Beijing.

Tidak hanya itu, pada 8 April lalu ketika Wakil Menteri Hubungan Internasional Tiongkok yakni Qian Hongshan memimpin rombongan senior berkunjung ke Moskow, PKT telah diperingatkan oleh politisi Rusia Vladimir Zhirinovsky yang pro-Kremlin agar Beijing sebaiknya tidak menyentuh kepentingan Rusia, maka meletusnya konflik antara Tiongkok dengan Rusia akan terhindarkan.

Menariknya adalah, pada 4 April lalu di saat menemui Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He, setelah Presiden AS Trump menyatakan harapannya agar Tiongkok, Rusia dan Amerika bersama-sama mengurangi persenjataan militernya, Rusia terlebih dahulu memberikan tanggapan.

Usulan Trump bertujuan sama seperti ketika AS mengumumkan mundur dari “Perjanjian Rudal Nuklir Jarak Menengah”, yaitu mencegah Beijing memperbanyak gudang rudalnya, mengembangkan senjata konvensional, lalu mengancam Taiwan dan AS serta sekutunya di Asia dan lain-lain. Namun terhadap usulan Trump ini Beijing sama sekali belum menanggapi. Reaksi berbeda antara Moskow dengan Beijing juga menjelaskan permasalahan ini.

Dari perubahan sikap AS dan Eropa beberapa bulan terakhir ini dapat dilihat, sikap keras AS dan Eropa terhadap Beijing tidak akan berubah, ini juga menandakan pemerintahan Beijing akan mengalami masa sulit di sisa tahun 2019 ini.

Jelas berkat kepemimpinan Trump, tidak hanya AS dan Eropa bersikap keras, tidak sedikit negara di dunia seperti Australia, Selandia Baru, Swedia, Brasil, Polandia dan lain-lain juga telah mengubah kebijakannya terhadap Komunis Tiongkok.

Dunia kini telah semakin mengenal bahaya yang ditimbulkan oleh Komunis Tiongkok, juga sangat memahami bila bahaya ini tidak segera disingkirkan. (Sud/WHS/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=QzH1rujss6o

FOKUS DUNIA

NEWS