Erabaru.net. Jaringan Buruh Migran (JBM) mengidentifikasi sebanyak 29 wanita WNI menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka jadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.
Hal demikian diungkapkan oleh Jaringan Buruh Migran dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (23/6/2019). Hadir pada kesempatan itu seorang korban dengan nama Monika (23) yang berasal dari Kalimantan Barat
Dikutip dari pojoksatu.id, Monika menuturkan nasib pilu yang dialaminya bermula ketika ia diperkenalkan temannya yang disebut dengan makcomblang. Mereka ini berasal dari Tiongkok dan seorang dari Indonesia.
Ketika itu, Monika diimingi dengan uang Rp 20 juta. Setelah itu, ia dipertemukan dengan pria asal Tiongkok di Pontianak. Ia pun ditawari menikah. Akan tetapi ia menolak hingga kemudian ia dicarikan dengan pria lainnya.
Monika kemudian dibawa ke Singkawang, Kalimantan Barat. Ia kembali dipertemukan dua orang pria asal Tiongkok. Ketika ia menyatakan setuju untuk menikah, ia langsung mengikuti prosesi pernikahan oleh pihak makcomblang dengan uang mahar Rp 19 juta.
Setelah monika sempat pulang ke rumahnya, ia kemudian diminta menandatangani surat nikah di sebuah rumah. Monika menuturkan, kala itu ada dua orang laki-laki yang tidak dikenalinya. Monika ditanyai, apakah ia ingin ikut ke Tiongkok, monika langsung menandatangani surat nikah setelah ia mengiyakan untuk ikut ke Tiongkok.
Berselang seminggu kemudian, Monika diberangkatkan ke Tiongkok melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 18 September 2018, tanpa dengan suaminya.
Ketika ia tiba di Tiongkok, Monika dibawa ke sebuah apartemen. Ternyata, ada tiga wanita WNI di tempat itu.
Setelah sehari di apartemen, Monika kemudian dijemput ke rumah mertuanya. Tak seperti yang dibayangkan Monika, nasib pilu kemudian dialami oleh dirinya ketika tinggal di lingkungan keluarga suaminya itu. Ia pun dipaksa untuk bekerja tanpa jam kerja.
Data yang dihimpun oleh Jaringan Buruh Migran, mereka yang menjadi korban sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat.
Temuan ini dikuatkan dengan melihat tiga proses pelanggaran TPPO yakni proses, cara, dan untuk tujuan eksploitasi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Menurut JBM, Pertama, proses perekrutan dan pemindahan, di mana terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki asal Tiongkok untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke Tiongkok.
Kedua, Cara penipuan juga digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korbanpun juga diberi sejumlah uang.
Berdasarkan Temuan yang JBM yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Maarif, biaya untuk memesan pengantin perempuan, seorang laki-laki Tiongkok diharuskan menyiapkan uang sebesar Rp 400 juta.
Dari uang tersebut, sebanyak Rp 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.
Dengan memanfaatkan posisi korban yang rentan, karena seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa diantaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan.
Selain itu, ditemukan juga terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan pesanan/kontrak.
Ketiga, Tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah untuk dieksploitasi. Data pelaporan korban yang dihimpun oleh SBMI memperlihatkan bahwa sesampainya di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.
Mirisnya, sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami.
Temuan lainnya, para korban pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga dan bila ingin kembali ke Indonesia, para korban diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami.
Tak hanya itu, mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami serta dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit. Tidak hanya suami dan keluarga suami yang mengeksploitasi para korban, eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.
Berdasarkan data dan fakta-fakta di atas, Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil bersama dengan Komnas Perempuan menyatakan untuk:
1-Mendesak Bareskrim Mabes Polri, Polda Kalimantan Barat, serta Polda Jawa Barat untuk segera membongkar sindikat perekrut yang terorganisir dalam kasus TPPO, pengantin pesanan antar negara. Kami juga mendesak Kepolisian untuk memproses dan menyelesaikan kasus dengan menerapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan anak;
2- Mendesak MA dan Kejaksaan Agung untuk menjatuhkan sanksi pidana maksimal melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan Anak.
3- Mendesak Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, untuk melakukan berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
(asr)