Nicole Hao
Sebanyak 350.000 warga Hongkong kembali turun ke jalan-jalanĀ pada Minggu 20 Oktober. Bersamaan itu, kepolisian Hong Kong mengakui bahwa pemerintah berusaha mencari cara untuk mendaftarkan jurnalis secara resmi. Rencana itu, memicu kritik dari perdagangan lokal dan kelompok kebebasan pers.
Seperti dilaporkan The Epochtimes, sudah ada desas-desus di kalangan pengunjuk rasa dan wartawan lokal selama beberapa bulan terakhir, bahwa pihak berwenang akan meluncurkan sistem lisensi pers resmi pemerintah.
Polisi Hong Kong tidak membantah desas-desus tersebut. Ketika ditanya tentang rencana tersebut dan mengatakan : “Polisi terbuka untuk praktik apa pun yang dapat membantu mengidentifikasi jurnalis.”
Anggota parlemen pro-demokrasi mengkritik rencana itu. Akan tetapi pemimpin Hong Kong Carrie Lam membantah desas-desus itu. Ia menekankan bahwa pemerintah menghormati kekuatan pengawasan dari media.
Pernyataan Bersama
Asosiasi Jurnalis Hong Kong pada 19 Oktober sebuah pernyataan bersama dari Asosiasi Fotografer Pers Hong Kong, Asosiasi Komentator Independen, Federasi Jurnalis Internasional, Pendidik Jurnalisme untuk Kebebasan Pers, Reporters Without Borders (RSF), dan agen enam media
Pernyataan itu berbunyi : āSerikat jurnalis, kelompok, dan akademisi dengan sungguh-sungguh menentang seleksi resmi pengaturan jurnalis, yang pasti akan merusak kebebasan pers dan hak publik untuk informasi.”
Pernyataan itu menegaskan, “Media memainkan peran kekuatan keempat dalam masyarakat, memantau pelaksanaan kekuasaan oleh Pemerintah.”
Pernyataan bersama itu juga menyampaikan : āSegala pengaturan yang memungkinkan Pemerintah untuk menyeleksi jurnalis melalui identifikasi resmi dalam pelaporan di tempat-tempat umum, tidak diragukan lagi akan membatasi ruang kebebasan pelaporan. Itu tidak akan kondusif bagi arus informasi dan pencarian kebenaran yang bebas. ā
Saat ini, jurnalis tidak diharuskan untuk mengajukan identifikasi resmi untuk melakukan pelaporan di Hong Kong.
Pernyataan itu menyimpulkan: āPersyaratan untuk aplikasi identifikasi resmi dapat diubah secara sewenang-wenang. Mereka yang menolak untuk menerima identifikasi resmi atau yang permohonannya ditolak, akan menghadapi lebih banyak ancaman dan risiko dalam kegiatan pelaporan mereka. “
Kong Wing Cheung, kepala pengawas biro informasi dan publisitas kepolisian Hong Kong, mengatakan kepada media pada 18 Oktober: “Petugas polisi mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi wartawan di garis depan.” Ia berdalih adalah alasan bahwa “polisi menerima semua solusi yang dapat mengidentifikasi sebagai wartawan.” Yang mana mencakup kartu pers yang dirilis pemerintah.
Asosiasi Jurnalis Hong Kong tidak setuju dengan pernyataan Kong Wing Cheung. Dikatakan dalam pernyataan: “Faktanya adalah bahwa jurnalis telah berkoordinasi dengan Polisi dalam penegakan hukum mereka dalam protes dan konflik baru-baru ini antara Polisi dan pengunjuk rasa. Petugas polisi telah dapat mengidentifikasi jurnalis dari pakaian, peralatan, kegiatan dan kartu pers mereka. ā
Chan Yik Chiu, ketua Asosiasi Fotografer Pers Hong Kong, mengatakan kepada media lokal HK01 pada 18 Oktober bahwa kartu pers terpadu tidak praktis. Chan mengatakan, ada banyak wartawan dari media luar negeri yang tidak akan mengajukan kartu pers Hong Kong, serta banyak jurnalis lepas dan jurnalis mahasiswa.
Claudia Mo Man Ching, seorang anggota parlemen di Dewan Legislatif, menerbitkan siaran pers pada malam 18 Oktober lalu. Ia mengutuk dan menolak rencana pemerintah dan polisi yang meninjau kualifikasi jurnalis dengan cara apa pun, yang selanjutnya akan menghancurkan kebebasan pers di Hong Kong. ā
Ketegangan Antara Polisi dan Jurnalis
Warga Hongkong telah mulai memprotes aksi protes RUU ekstradisi kontroversial sejak April lalu. RUU itu menarik tentangan luas, dengan banyak yang khawatir bahwa rancangan itu akan memungkinkan rezim Komunis Tiongkok untuk menghukum para pengkritiknya atas tuduhan palsu.
Sejak 12 Juni lalu, ketika polisi mulai menembakkan peluru karet, bean bags, gas air mata, dan semprotan merica untuk membubarkan pengunjuk rasa, jurnalis yang berada di garis api mengatakan polisi menghalangi pelaporan mereka. Bahkan, membahayakan keselamatan mereka saat meliput protes.
Asosiasi Jurnalis Hong Kong merilis video berjudul “Kami Menolak Diam” pada 1 Oktober untuk mengekspos kebrutalan polisi. Video itu memperlihatkan polisi menggunakan semprotan merica, gas air mata, dan meriam air untuk membubarkan jurnalis. Video menunjukkan jurnalis dihina, dipukuli dan diancam oleh polisi. Bahkan, disinari dengan lampu senter yang terang ke kamera wartawan untuk mengganggu kameramen.
Pada 29 September, Jurnalis WNI Veby Mega Indah ditembak oleh aparat. Pengacaranya mengutip pernyataan dokter yang mengatakan, bahwa Veby mungkin mengalami kebutaan secara permanen pada sebelah matanya.
Pada 20 Oktober lalu, sebanyak 350.000 warga Hongkong berpawai menentang undang-undang anti masker. Aksi digelar, meskipun polisi melarang pawai yang direncanakan oleh aparat.
Sekitar sore hari waktu setempat setelah pawai dimulai, polisi mulai menembakkan gas air mata dan meriam air kepada pengunjuk rasa. Tindakan tersebut melukai orang lain termasuk wartawan.
Simon Lau Sai Leung, komentator senior urusan terkini Hong Kong, kepada Epoch Times berbahasa Mandarin pada 19 Oktober mengatakan, bahwa ia khawatir pemerintah Hong Kong mungkin akan mengambil alih media lokal dalam situasi darurat. (asr)