Reuters
Seorang tokoh terkemuka asal Tiongkok dalam gerakan #MeToo telah ditahan oleh aparat polisi. Kejadian itu dilaporkan oleh seorang aktivis HAM pada 24 Oktober lalu yang mengetahui insiden tersebut secara langsung seperti dilaporkan oleh The Epochtimes yang mengutip dari Reuters.
Sophia Huang Xueqin, seorang wartawan freelance yang tinggal di selatan kota Guangzhou, Tiongkok ditahan di sana pada 17 Oktober lalu. Ia diciduk aparat karena dicurigai “memecah pertikaian dan menyulut masalah.”
Menurut Yaqiu Wang, Peneliti Tiongkok untuk Human Rights Watch bahwa tuduhan seperti itu sering digunakan oleh pihak berwenang untuk menahan para aktivis.
Polisi Guangzhou tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar oleh wartawan.
Sophia Huang Xueqin baru-baru ini memang berada di Hong Kong, menurut artikelnya untuk Matters, outlet media yang berbasis di Hong Kong. Ia melaporkan protes pro-demokrasi yang telah mengguncang wilayah yang dikuasai oleh Komunis Tiongkok sejak Juni lalu.
Teman-teman Huang mengatakan, keluarganya diintimidasi setelah dia menerbitkan sebuah esai yang menggambarkan pengalamannya tentang aksi protes di Hong Kong.
“Mungkin, di bawah mesin yang kuat dari negara partai, ketidaktahuan dan ketakutan dapat dipupuk, Tetapi jika Anda secara pribadi mengalaminya, menyaksikannya, Anda tidak bisa berpura-pura bodoh,” demikian tulisan bunyi Sophia Huang Xueqin.
Teman-temannya berbicara kepada wartawan dengan identitas anonim. Hal demikian dikarenakan mereka takut akan pembalasan aparat Komunis Tiongkok karena dikaitkan secara terbuka dengan Huang.
Yaqiu Wang, Peneliti Tiongkok untuk Human Rights Watch menambahkan, tak jelas persis alasan penahanan Huang. Akan tetapi dalam beberapa pekan terakhir, semakin banyak aktivis, penulis dan warga negara biasa di daratan telah ditahan atau dintimidasi oleh pihak berwenang. Tindakan itu dikarenakan atas dukungan mereka yang menyuarakan secara damai untuk aksi rotes Hong Kong.
Yaqiu Wang menjelaskan, penahanan Huang menunjukkan bahwa pemerintah komunis Tiongkok telah mengintensifkan tindakan keras di Tiongkok daratan. Tindakan tersebut dialamtkan kepada orang-orang yang secara damai menunjukkan solidaritas dengan para demonstran Hong Kong.
Selain itu, pihak berwenang takut bahwa protes di Hong Kong dapat menginspirasi perlawanan kepada pemerintah di daratan Tiongkok. Pasalnya, setiap ekspresi gagasan, kebebasan dan demokrasi adalah ancaman bagi cengkeraman mereka yang berkuasa.
Aksi Protes di Hong Kong dimulai selama musim panas dalam menanggapi RUU ekstradisi. Kini RUU tersebut sudah ditarik. Warga menilai jika diwujudkan akan mengancam hak-hak warga Hong Kong.
Aksi demonstrasi yang berlangsung, terkadang disertai aksi kekerasan aparat. Sejak itu, aksi protes meluas kepada seruan untuk reformasi demokrasi dan penyelidikan terhadap dugaan polisi yang sewenang-wenang.
Huang pernah melaporkan tentang gerakan #MeToo di Tiongkok. Dia juga berbagi kisah pelecehan seksual saat magang di kantor berita nasional. Gerakan yang baru lahir tersebut mendapat tekanan dari pihak berwenang.
Dia juga memulai sebuah blog di WeChat, platform percakapan online di Tiongkok. Dia menggunakannya untuk survei tentang pelecehan seksual di tempat kerja di Tiongkok dan membagikan temuannya.
Pada bulan Agustus lalu, polisi Guangzhou menyita paspor Huang dan dokumen perjalanan lainnya. Aparat mencegahnya untuk melanjutkan studinya di program pascasarjana University of Hong Kong. (asr)