Bab XII – Menyabotase Pendidikan -Bagian II- (Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita)

c. Pendidikan: Sarana Siswa yang Merusak

Pada tanggal 20 April 1999, dua siswa di SMU Columbine di Colorado membunuh sepuluh siswa dan seorang guru serta melukai lebih dari dua puluh orang dalam pembantaian yang direncanakan dengan cermat. Tragedi itu mengejutkan Amerika Serikat. Orang-orang bertanya-tanya mengapa kedua siswa tersebut melakukan serangan berdarah dingin, membunuh teman sekelasnya dan seorang guru yang mereka kenal selama bertahun-tahun.

Dengan membandingkan fenomena sosial dalam periode sejarah yang berbeda, para pendidik memperhatikan bahwa hingga tahun 1960-an, masalah perilaku siswa Amerika Serikat adalah masalah kecil, seperti keterlambatan, berbicara di kelas tanpa izin, atau mengunyah permen karet.

Setelah tahun 1980-an, ada masalah perilaku siswa Amerika Serikat menjadi lebih buruk, seperti minum alkohol berlebihan, penyalahgunaan narkoba, hubungan seks pranikah, kehamilan, bunuh diri, aktivitas geng, atau bahkan penembakan tanpa pandang bulu. Tren kemerosotan perilaku ini mengkhawatirkan mereka yang melihat bagaimana hal-hal berkembang, tetapi hanya sedikit orang yang tahu akar perubahan yang sebenarnya, dan tidak ada yang dapat meresepkan pengobatan yang sesuai untuk gangguan tersebut.

Kerusakan dan kemerosotan standar moral anak muda Amerika Serikat yang parah bukanlah suatu kebetulan, melainkan sudah direncanakan.

Ateisme dan Evolusi

Frederick Charles Schwarz, penulis buku You Can Trust The Communists . . . to Be Communists atau Anda Masih Dapat Mempercayai Kaum Komunis….Untuk Menjadi Kaum Komunis, dan pelopor kampanye anti-komunis Amerika Serikat, mengamati: “Tiga prinsip dasar Komunisme adalah ateisme, evolusi, dan determinisme ekonomi.”[21] Maksud Frederick Charles Schwarz adalah bahwa unsur-unsur ideologi komunis yang penting telah diadopsi di sekolah-sekolah negeri Amerika Serikat.

Tuhan menciptakan umat manusia dan meletakkan standar moral yang harus mengatur kehidupan manusia. Kepercayaan pada dewa meletakkan dasar moralitas bagi masyarakat dan mendukung keberadaan dunia manusia. Komunisme secara paksa menyebarkan ateisme dan teori evolusi di sekolah-sekolah sebagai cara menghancurkan moralitas. Hal seperti ini diharapkan terjadi di negara komunis seperti Tiongkok dan bekas Uni Soviet, tetapi hal ini dilakukan secara paksa di Amerika Serikat.

Di bawah dalih pemisahan gereja dan negara, kaum Kiri menentang pengajaran kreasionisme di sekolah-sekolah negeri Amerika Serikat, meskipun kaum Kiri mempromosikan teori evolusi. Sekolah negeri Amerika Serikat tidak berani melampaui batasan seperti itu. Pendidikan semacam ini mau tidak mau mengakibatkan jumlah umat beragama menurun, karena anak-anak diindoktrinasi dengan gagasan bahwa teori evolusi adalah kebenaran ilmiah dan tidak perlu dipertanyakan.

Sejak tahun 1960-an, pengadilan di seluruh Amerika Serikat menutup pelajaran Alkitab di sekolah-sekolah negeri, sekali lagi dengan dalih pemisahan gereja dan negara. Satu pengadilan memutuskan bahwa para siswa menikmati kebebasan berbicara dan pers, kecuali topiknya adalah agama, di mana pidato tersebut menjadi tidak konstitusional. [22]

Pada tahun 1987, siswa di sekolah negeri di Alaska diberitahu untuk tidak menggunakan kata “Natal” karena mengandung kata “Kristus.” Pada tahun 1987, pengadilan federal di Virginia memutuskan bahwa surat kabar homoseksual dapat didistribusikan di sekolah menengah umum, tetapi surat kabar agama dilarang. Pada tahun 1993, seorang guru musik sekolah dasar di Colorado Springs dicegah mengajarkan lagu-lagu Natal karena dugaan pelanggaran pemisahan gereja dan negara. [23]

Bahan pengajaran dan ujian di Amerika Serikat telah menjalani pemeriksaan yang sangat ketat karena orientasi anti-teis dari sistem pendidikan, dalam kombinasi dengan beberapa dekade kebenaran politik. Pada tahun 1997, Diane Ravitch, seorang sejarawan pendidikan, pernah berpartisipasi dalam pemeriksaan konten ujian di kantor di bawah Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Yang sangat mengejutkannya, pepatah bahwa “Tuhan menolong manusia yang menolong dirinya sendiri” diubah menjadi “Manusia harus berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri kapan saja bila memungkinkan” karena ada kata “Tuhan” dalam pepatah asli tersebut. [24]

Di satu sisi, sistem pendidikan publik Amerika menyingkirkan kepercayaan pada Tuhan dari sekolah-sekolah dengan dalih pemisahan gereja dan negara. Di sisi lain, evolusi, dengan celah-celah yang belum terselesaikan, dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya untuk ditanamkan pada anak-anak yang tidak memiliki persiapan atau pertahanan mental. Anak-anak cenderung percaya pada otoritas gurunya.

Orangtua yang beragama mengajar anak-anaknya untuk menghormati orang lain, tetapi anak-anak yang ditanamkan dengan teori evolusi cenderung menantang pendidikan agama yang diberikan oleh orangtuanya.

Setidaknya, anak-anak tersebut tidak akan lagi menganggap serius ajaran agama oleh orangtuanya. Hasilnya adalah bahwa pendidikan menarik anak-anak tersebut menjauh dari orangtua yang beragama. Ini adalah masalah yang paling menantang yang dihadapi keluarga dengan kepercayaan agama ketika tantangan tersebut menghadang pendidikan anak-anaknya, dan itu adalah aspek paling jahat dari sistem pendidikan anti-teistik.

Ideologi Komunis

Bab Lima buku ini mengilustrasikan sifat dasar kebenaran politik: Kebenaran politik bekerja seperti aturan pemikiran komunisme, menggunakan seperangkat standar politik yang rusak untuk menggantikan standar moral yang otentik. Sejak tahun 1930-an, komunisme secara bertahap memasuki sekolah-sekolah Amerika Serikat. Sejak itu, kebenaran politik telah berperan dominan dalam sistem pendidikan Amerika Serikat. Ketika dipraktikkan, kebenaran politik datang dalam berbagai bentuk, beberapa di antaranya sangat menipu.

E. Merrill Root, penulis Cuci Otak di SMU, yang dirilis pada tahun 1950-an, melakukan penelitian terhadap 11 set materi pengajaran sejarah yang digunakan di Illinois antara tahun 1950 hingga 1952 dan menemukan bahwa materi pengajaran tersebut mencirikan sejarah Amerika sebagai sejarah perebutan kekuasaan antara orang kaya dengan orang miskin, antara segelintir orang istimewa dan orang yang kurang mampu. Inilah inti determinisme ekonomi Marxis. Materi pengajaran seperti itu mempromosikan pengembangan pemerintahan global yang menekankan keprihatinan global di atas perhatian setiap orang, dan pada akhirnya mengarah ke sosialisme global. [25]

Pada tahun 2013, sebuah distrik sekolah di Minnesota mengadopsi sebuah proyek bernama Semua untuk Semua, yang menempatkan fokus pengajaran pada kesetaraan ras — kesetaraan di sini merujuk pada politik identitas. Ideologi ini menyalahkan kinerja siswa yang buruk dari beberapa kelompok etnis minoritas pada diskriminasi rasial sistemik, yang mengarah pada upaya yang ditujukan untuk membongkar “hak istimewa kulit putih.” Proyek ini menuntut agar semua kegiatan pengajaran didasarkan pada kesetaraan ras, dan bahwa hanya mempekerjakan guru dan administrator yang sangat menyadari masalah yang terkait dengan kesetaraan ras.

Proyek tersebut dimulai dari taman kanak-kanak. Kelas sepuluh bahasa Inggris berfokus pada tema kolonisasi dan migrasi, serta konstruksi sosial ras, kelas, dan gender. Kerangka kerja kelas 11 menyatakan, “Pada akhir tahun ini, anda akan…belajar bagaimana menerapkan marxis, feminis, pasca-kolonial [dan] psikoanalitik…lensa menuju sastra.” [26]

Pada bulan Juli 2016, California mengadopsi kerangka ilmu sosial baru untuk SMP dan SMU. Kerangka kerja asli berhaluan Kiri dibuat agar terlihat lebih seperti propaganda ideologis sayap Kiri. Konten yang harus ditekankan dalam kursus sejarah dan ilmu sosial – seperti semangat pendiri, sejarah militer, politik, dan diplomatik Amerika Serikat – dipermudah atau diabaikan. Sebaliknya, kontra-kebudayaan tahun 1960-an disoroti dengan penuh semangat dan dibuat tampak seperti prinsip pendiri bangsa.

Kurikulum juga mengartikulasikan kerangka kerja seks dan keluarga yang jelas anti-tradisional. Misalnya, kursus kelas 11. Kerangka tersebut mengklaim fokusnya adalah pada gerakan hak-hak ras, suku, dan agama minoritas, serta wanita dan lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT) Amerika Serikat.

Sebenarnya, agama jarang disebutkan, tetapi yang banyak ditulis adalah minoritas seksual. Secara khusus, kelompok LGBT dimasukkan pertama, memiliki bagian yang bermakna dari kursus sejarah kelas 11. Bagian-bagian LGBT ditulis dengan nada yang jelas mendukung “seks bebas.” Misalnya, pada bagian mengenai AIDS, disarankan bahwa ketakutan orang terhadap AIDS akan menyebabkan seks bebas berkurang. [27]

Konten seksual menduduki banyak bab, mencampakkan konten lain yang jauh lebih layak diperhatikan oleh kaum muda. Misalnya, dalam kursus mengenai Perang Dunia I, siswa hampir tidak belajar mengenai peran penting yang dimainkan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat, tetapi diajari bahwa tentara Amerika menemukan kebiasaan seksual Eropa yang memuaskan. [28] Kerangka kerja yang condong ke Kiri ini penuh dengan kerusakan dan bias, membimbing siswa untuk membenci negaranya sendiri. Meskipun kerangka kerja ini diadopsi oleh California, dampak pendekatan ini bersifat nasional. [29]

d. Manipulasi Psikologis

Cara utama lain bahwa siswa telah rusak secara moral adalah pengenalan kondisi psikologis yang bermakna dalam pendidikan — menyuntikkan siswa dengan relativisme moral.

Pada bulan Maret 1984, ratusan orangtua dan guru menghadiri audiensi untuk amandemen perlindungan hak-hak siswa yang diselenggarakan di tujuh kota, termasuk Washington, Seattle, dan Pittsburgh. Kesaksian dalam audiensi mencapai lebih dari 1.300 halaman. Aktivis konservatif Phyllis Schlafly memasukkan beberapa kesaksian dalam bukunya Pelecehah Anak di Ruang Kelas, yang diterbitkan pada bulan Agustus 1984.

Phyllis Schlafly merangkum isu-isu yang dijelaskan dalam kesaksian, termasuk menggunakan “pendidikan sebagai terapi.” Tidak seperti pendidikan tradisional, yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, pendidikan sebagai terapi berfokus pada perubahan emosi dan sikap siswa. Pendidikan semacam ini menggunakan pengajaran untuk bermain game psikologis pada siswa. Pendidikan semacam ini meminta siswa mengisi survei mengenai masalah pribadi dan memaksa anak-anak untuk mengambil keputusan seperti layaknya orang dewasa, mempertimbangkan isu-isu seperti bunuh diri dan pembunuhan, perkawinan dan perceraian, aborsi dan adopsi. [30]
Psikologi dan Pendidikan

Pendidikan modern sangat didasarkan pada filsafat dan psikologi. Selain pendidikan progresivisme ala John Dewey, yang berdampak besar pada sistem pendidikan Amerika Serikat, ada juga psikoanalisis Sigmund Freud dan psikologi humanistik Carl Rogers.
Teori kritis Sekolah Frankfurt menggabungkan teori Karl Marx dan Sigmund Freud. Herbert Marcuse, seorang ahli teori dari Sekolah Frankfurt, menyerukan penghapusan semua hambatan sehingga orang-orang muda dapat melepaskan naluri alaminya dan menuruti keinginan pribadinya. [31] Pemikiran inilah yang membantu mempercepat lahirnya kontra-kebudayaan pada tahun 1960-an.

Sangat dipengaruhi oleh pemikiran psikologi Sekolah Frankfurt, direktur jenderal pertama Organisasi Kesehatan Dunia, psikolog Kanada Brock Chisholm, mengatakan dalam salah satu pidatonya pada tahun 1946:

“Penyimpangan psikologis yang mendasar macam apa yang dapat ditemukan di setiap peradaban…? Itu harus menjadi kekuatan yang menghambat kemampuan untuk melihat dan mengakui fakta paten… yang menghasilkan inferioritas, rasa bersalah, dan ketakutan…Satu-satunya kekuatan psikologis yang mampu menghasilkan penyimpangan ini adalah moralitas, konsep benar dan salah… Secara artifisial, inferioritas, rasa bersalah, dan rasa takut yang dipaksakan, yang umumnya dikenal sebagai “dosa,”… menghasilkan begitu banyak kesalahan sosial dan ketidakbahagiaan sosial di dunia… Kebebasan moralitas berarti kebebasan untuk mengamati, untuk berpikir dan berperilaku bijaksana…Jika ras harus dibebaskan dari beban baik dan jahat yang melumpuhkannya, maka haruslah psikiater yang mengambil tanggung jawab semula.”[32]

Berdasarkan gagasan yang salah, Brock Chisholm yang adalah seorang psikolog mengusulkan teori yang mengejutkan: Untuk melepaskan seseorang dari nyeri psikologis, maka moralitas dan konsep benar dan salah harus dinetralkan, oleh karena itu Brock Chisholm berperang melawan moralitas. Tampaknya dipengaruhi oleh Brock Chisholm, psikolog humanistik Carl Rogers hadir dengan kelas “klarifikasi nilai”, yang melayani tujuan pemberantasan nilai tradisional serta konsep benar dan salah.

Akhirnya, relativisme moral John Dewey, penolakan Sekolah Frankfurt, dan teori psikologi Brock Chisholm bekerja bersama untuk menyerang dan merusak nilai-nilai tradisional. Mereka menghancurkan benteng moral sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat.

Relativisme Moral

Orang Amerika Serikat yang bersekolah di akhir tahun 1970-an mungkin ingat skenario yang dibayangkan banyak guru dididik di kelas, yang berlangsung seperti ini: Setelah sebuah kapal tenggelam, kapten, beberapa anak, seorang wanita hamil, dan seorang pria homoseksual naik ke sekoci. Sekoci kelebihan muatan sehingga satu orang harus disingkirkan. Para guru akan meminta siswa untuk berdiskusi dan memutuskan siapa yang harus tersingkir dari sekoci tersebut, menyerahkan nyawanya. Guru tidak akan mengomentari atau menilai komentar siswa.

Kisah ini sering digunakan dalam kelas klarifikasi nilai-nilai yang muncul pada tahun 1970-an. Selain digunakan untuk klarifikasi nilai-nilai, kelas tersebut digunakan untuk pengambilan keputusan, pendidikan afektif, program pencegahan narkoba bernama Petualangan, dan pendidikan seks.

William Kilpatrick, penulis Mengapa Johnny Tidak Dapat Menjelaskan Kebenaran Dari Kesalahan, menggambarkan kelas-kelas seperti ini telah “mengubah diskusi kelas menjadi ‘sesi omong kosong’ di mana bolak-balik berpendapat tanpa pernah mencapai kesimpulan.”

William Kilpatrick menulis: “Hal ini telah menghasilkan ruang kelas di mana para guru bertindak seperti pembawa acara bincang-bincang, di mana topik manfaat bertukar istri, kanibalisme, dan mengajar anak-anak untuk masturbasi adalah topik yang dianjurkan untuk diperdebatkan. Hal ini menyebabkan siswa menjadi sangat bingung akan nilai moral: Siswa belajar mempertanyakan nilai-nilai yang jarang diperolehnya, mempelajari nilai-nilai yang diajarkan di rumah, dan menyimpulkan bahwa pertanyaan mengenai yang benar dan yang salah selalu bersifat subjektif. Ini telah menciptakan generasi tuna moral: Siswa memahami perasaannya sendiri tetapi tidak memahami kebudayaannya.”[33]

Cendekiawan Thomas Sowell memahami bahwa sesi-sesi ini menggunakan langkah-langkah yang sama yang digunakan di negara-negara totaliter untuk mencuci otak rakyat. Sesi-sesi tersebut mencakup sebagai berikut: “Stres emosional, syok, atau kurang peka, untuk menghancurkan ketahanan intelektual maupun emosional; isolasi, baik fisik maupun emosional, dari sumber dukungan emosional yang dikenal dalam perlawanan; memeriksa-silang nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya, seringkali dengan memanipulasi tekanan teman sebaya; melepaskan individu dari pertahanan normal, seperti cadangan, martabat, rasa privasi, atau kemampuan untuk menolak berpartisipasi; penerimaan yang memuaskan atas sikap, nilai, dan keyakinan baru.”[34]

Thomas Sowell mencatat bahwa sesi-sesi tersebut adalah serupa karena sesi-sesi tersebut mendorong siswa untuk memberontak dari nilai moral tradisional yang diajarkan oleh orangtua dan masyarakatnya. Kelas dilakukan dengan cara yang netral atau “tidak menghakimi.” Dengan kata lain, guru tidak membedakan mana yang benar dan yang salah, tetapi mencari apa yang terasa nyaman bagi seorang siswa. Guru fokus pada “perasaan siswa, bukan pada persyaratan masyarakat yang berfungsi atau persyaratan analisis intelektual.” [35]

‘Pendidikan Kematian’ dan Pendidikan Pencegahan Narkoba

Pada bulan September 1990, saluran televisi Amerika Serikat ABC menayangkan sebuah program yang membuat pemirsa menjadi sangat peduli, di mana sebuah sekolah membawa para siswa ke kamar mayat sebagai bagian program baru yaitu “pendidikan kematian.” Para siswa melihat dan menyentuh mayat. [36]

Kegiatan umum dari kelas pendidikan kematian mencakup meminta siswa untuk menulis tulisan di batu nisannya sendiri, memilih peti matinya sendiri, mengatur pemakamannya sendiri, dan menulis berita kematiannya sendiri. Kuisioner pendidikan kematian mencakup sebagai berikut: [37]

“Bagaimana anda akan mati?”
“Kapan anda akan mati?”
“Pernahkah anda mengenal seseorang yang meninggal secara kejam?”
“Kapan terakhir kali anda berkabung? Apakah kesedihan anda dinyatakan dalam linangan air mata atau menahan pilu secara diam-diam? Apakah anda berkabung sendirian atau bersama dengan orang lain? “
“Apakah anda percaya adanya kehidupan setelah kematian?”

Jelas, pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan pembelajaran. Pertanyaan tersebut dirancang untuk menyelidiki pandangan siswa mengenai kehidupan, agama kepercayaan, dan kepribadian siswa. Beberapa pertanyaan ditujukan untuk memperoleh reaksi tertentu dan dapat berdampak negatif pada remaja.

Dikatakan bahwa pendidikan kematian dapat membantu siswa membangun sikap yang benar dalam menghadapi kematian. Namun, bunuh diri remaja yang berada di kelas-kelas ini terjadi di seluruh negeri. Meskipun hubungan kausal belum ditetapkan secara ilmiah, tentu masuk akal bagi orangtua untuk mencurigai dan takut bahwa dengan memaparkan siswa yang belum matang secara psikologis terhadap informasi mengenai kematian dan bunuh diri, beberapa siswa lebih cenderung menderita depresi dan keputusasaan, yang dapat berkontribusi pada alasan untuk bunuh diri.

Pendidikan pencegahan narkoba juga menjadi sangat populer di sekolah. Namun, pada tahun 1976, Dr. Richard Blum dari Universitas Stanford melakukan studi empat tahun mengenai kursus pendidikan pencegahan narkoba yang disebut Keputusan. Kelompok yang menjalani kursus memiliki kemampuan yang lebih lemah untuk menolak narkoba dibandingkan kelompok kendali yang tidak menjalani kursus.

Antara tahun 1978 hingga 1985, profesor Stephen Jurs melakukan proyek penelitian yang membandingkan angka merokok dan penyalahgunaan zat di antara siswa yang telah menjalani kursus Petualangan dengan siswa yang tidak menjalani kursus tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang tidak menjalani kursus tersebut mempertahankan angka merokok dan penyalahgunaan narkoba yang stabil atau lebih rendah. [38]

Pendidikan kematian atau pendidikan pencegahan narkoba tidak menghasilkan hasil yang diharapkan — jadi apa tujuan sebenarnya? Tujuannya adalah untuk mencemari anak-anak. Anak-anak sangat ingin tahu, tetapi memiliki fondasi moral yang belum matang. Konten baru dan aneh merangsang keingintahuan mereka dan dapat mengarahkan mereka ke jalan yang gelap.
Sementara itu, pendidikan semacam itu cenderung membuat anak-anak menjadi tidak peka, membuat anak-anak memandang kekerasan, pornografi, teror, dan kemerosotan moral sebagai bagian kehidupan yang normal, sehingga toleransi anak-anak terhadap kejahatan meningkat. Seluruh latihan ini adalah bagian dari setan yang memanfaatkan seni, kekerasan, dan pornografi untuk menggiring siswa menuju ke kemerosotan moral.

Pendidikan Seks Pornografi

Secara tradisional di Timur dan Barat, seks telah menjadi topik tabu di depan umum. Menurut tradisi Timur dan Barat, yang Ilahi menetapkan bahwa perilaku seksual harus terjadi hanya dalam pernikahan. Semua bentuk perilaku seksual lainnya dianggap sebagai bebas bersetubuh dengan siapa saja dan berdosa, yang melanggar standar moralitas Ilahi. Hal ini membuat seks dan pernikahan tidak dapat dipisahkan, dan seks tidak dapat menjadi bahan diskusi publik di masyarakat yang berfungsi dengan baik. Dalam masyarakat tradisional, kaum muda hanya menerima pendidikan dalam fisiologi, dan tidak ada yang membutuhkan pendidikan seks seperti zaman sekarang.

Konsep modern pendidikan seks pertama kali diperkenalkan oleh Georg Lukács, pendiri Sekolah Tinggi teori dan filsafat sosial Frankfurt. Tujuannya adalah untuk membalikkan nilai-nilai tradisional Barat secara sempurna. Pada tahun 1919, Georg Lukács adalah komisaris rakyat untuk pendidikan dan budaya dalam rezim Bolshevik Hongaria yang singkat. Ia mengembangkan program pendidikan seks radikal yang mengajarkan kepada para siswa mengenai cinta bebas dan bagaimana pernikahan yang “ketinggalan zaman” itu. [39]

Revolusi seksual tahun 1960-an memusnahkan nilai-nilai tradisional Barat ini. Angka penyakit menular seksual dan kehamilan remaja mulai meningkat dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, orang yang ingin menyelesaikan masalah sosial seperti itu mempromosikan pendidikan seks.
Tetapi dalam sistem pendidikan yang telah menyimpang dari ajaran moral tradisional, pendidikan seks memperlakukan hubungan seksual yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan, malahan lebih mementingkan masalah keamanan (mencegah penyakit dan kehamilan) —dengan demikian siswa mengikuti model pendidikan seks Georg Lukács dengan mengabaikan semua aspek moral seks.

Bentuk pendidikan ini kemudian menjadi alat untuk menghancurkan kaum muda. Kaum muda juga dipaparkan pada bersetubuh dengan sejenis di luar nikah, dengan demikian kaum muda menormalkan perilaku tersebut. Hasil semua ini adalah bahwa generasi muda menuruti apa yang dipikirkannya adalah kebebasan, tetapi pada kenyataannya, ini adalah jalan berpaling dari standar yang ditahbiskan secara Ilahi. Pendidikan seks semacam ini sejak sekolah dasar dan seterusnya telah menghancurkan nilai-nilai tradisional keluarga, tanggung jawab, cinta, kesucian, rasa malu, kendali diri, kesetiaan seseorang, dan banyak lagi.

Bentuk “pembelajaran dengan cara melakukan” ala pendidikan progresivisme John Dewey adalah alat yang nyaman bagi kaum Marxis. Program pendidikan seks ‘Fokus pada Anak-Anak,’ yang dipromosikan secara luas oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, menganjurkan agar para guru mengatur siswa untuk bersaing dalam “lomba kondom.” Setiap siswa harus memasang kondom pada boneka seks orang dewasa dan kemudian melepasnya. Pemenang lomba adalah siswa yang paling cepat menyelesaikan aktivitas tersebut. [40]

Bangga! Bertanggung jawablah! adalah program lain yang didukung oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat dan dipromosikan oleh Berencana Menjadi Orangtua dan organisasi pendidikan lainnya. Program ini mengharuskan siswa untuk bermain peran – misalnya, dua siswi mendiskusikan seks yang lebih aman. Instruksi yang berpusat pada siswa adalah ide lain dari progresivisme.

Dalam program ini, guru diperintahkan meminta siswa untuk bertukar pikiran soal keintiman dengan pasangan seksual. [41] Bagi sebagian besar orang yang masih memiliki nilai-nilai tradisional di dalam hatinya, adalah sulit untuk membedakan pendidikan yang diwajibkan ini dengan pornografi anak.

Pendukung utama program ini, Berencana Menjadi Orangtua, adalah penyedia terbesar pendidikan seks dan buku-buku di Amerika Serikat, dan memiliki cabang di 12 negara. Berencana Menjadi Orangtua juga mempromosikan hak aborsi. Berencana Menjadi Orangtua sebelumnya dikenal sebagai Liga Kendali Kelahiran Amerika Serikat.
Pendirinya, Margaret Sanger, adalah seorang sosialis progresivisme yang memuja Stalin di Rusia dan melakukan perjalanan ke Rusia untuk memberikan penghormatan kepada Stalin. Ia juga merupakan pendukung kuat gerakan seks bebas.

Dalam rekaman ia mengatakan bahwa hubungan di luar nikah “sungguh memerdekakan saya.” [42] Ia memegang gagasan bahwa wanita berhak menjadi ibu tunggal, dan bahkan menulis kepada cucunya yang berusia 16 tahun mengenai hubungan seksual dengan mengatakan, “Tiga kali sehari adalah sudah tepat.”[43] Ia mendirikan Liga Kendali Kelahiran Amerika Serikat karena gaya hidupnya yang bersetubuh dengan siapa saja membutuhkan liga seperti itu. Dalam kursus pendidikan seks modern yang dibuat oleh organisasi ini, tidak sulitlah untuk melihat bahwa seks bebas menemukan asal-usulnya dalam komunisme.

Normal Secara Sempurna adalah buku teks pendidikan seks yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa berbeda dan telah terjual lebih dari satu juta kopi di seluruh dunia. Buku ini menggunakan hampir seratus kartun telanjang untuk menggambarkan berbagai gerakan, perasaan, dan sensasi fisik normal dan abnormal dari masturbasi antara lawan jenis dan homoseksual, serta metode kendali kelahiran dan aborsi. Penulis mengklaim bahwa anak-anak berhak untuk mengetahui semua informasi tersebut. [44] Tema utama buku ini adalah bahwa variasi perilaku seksual ini semuanya adalah “normal” dan tidak ada yang harus dikenakan penilaian moral.

Dalam buku teks pendidikan seks sekolah menengah umum yang banyak digunakan, penulis mengajar anak-anak bahwa beberapa agama percaya bahwa seks di luar pernikahan adalah dosa dan menulis, “Anda harus memutuskan sendiri seberapa penting pesan-pesan ini untuk anda.” [45] Ringkasnya, pada dasarnya pandangan dunia ini menyatakan bahwa semua nilai adalah relatif, dan bahwa apa yang benar dan apa yang salah adalah diputuskan sendiri oleh anak-anak.

Saat ini, sekolah negeri Amerika Serikat memiliki dua jenis dasar kelas pendidikan seks. Salah satu jenis yang sangat dipromosikan oleh organisasi pendidikan dijelaskan sebelumnya: Kurikulum pendidikan seks yang lengkap, yang mencakup instruksi mengenai perilaku seksual, pengendalian kelahiran, pencegahan penyakit menular seksual, dan sejenisnya. Jenis yang lain mengajarkan orang muda untuk mengendalikan hasrat seksualnya, tidak membahas kendali kelahiran, dan mendorong keterlambatan perilaku seksual sampai setelah menikah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa moralitas sosial, terutama sikap umum terhadap seks, secara umum telah menyimpang jauh dari moralitas tradisional yang berdasarkan agama. Media dan internet dibanjiri konten pornografi, yang semuanya menyeret anak-anak ke tepi jurang.

Dalam bidang pendidikan saat ini yang dikendalikan oleh ateisme, sebagian besar sekolah umum yang mengikuti “netralitas nilai” tidak ingin, atau tidak berani, mengajarkan anak-anak bahwa seks di luar nikah adalah memalukan dan tidak bermoral, sekolah tersebut juga tidak mengajar kebenaran pada anak-anak berdasarkan prinsip moral tradisional.

Pendidikan seksual masih menjadi topik hangat di masyarakat saat ini. Ada banyak argumen di berbagai sektor masyarakat mengenai masalah keamanan dalam aktivitas seksual, dengan fokus pada angka kehamilan remaja dan penyakit menular seksual. Namun, fakta bahwa sekolah secara terbuka mengajarkan remaja mengenai perilaku seksual adalah jelas akan meningkatkan seks di luar nikah, yang melanggar moralitas seksual tradisional. Bahkan jika tidak ada risiko kehamilan remaja atau penyakit menular seksual, apakah berarti semuanya adalah baik-baik saja bila remaja bersetubuh dengan siapa saja?

Di Eropa, di mana kebudayaan seksual bahkan lebih longgar daripada di Amerika Serikat, angka kehamilan remaja Eropa adalah setengah dari angka kehamilan remaja Amerika Serikat, karena pendidikan seks yang “efektif.” Beberapa orang senang dengan hal ini, sementara yang lainnya merasa sangat khawatir. Terlepas dari angka-angka ini, di mana sikap kemerosotan perilaku seksual dalam pengawasan, komunisme bekerja untuk mencapai tujuannya menghancurkan moralitas manusia.

Harga Diri dan Egosentrisme

Sejak tahun 1960-an, dogma baru telah banyak dipromosikan di bidang pendidikan Amerika Serikat, dan bertanggung jawab atas penurunan kualitas pendidikan yang tajam: Kultus “harga diri.”

Di permukaannya, harga diri harus merujuk pada perasaan percaya diri dan hormat diri yang muncul dari kemampuan dan prestasi seseorang. Namun, harga diri yang dipromosikan di sekolah Amerika Serikat adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Dalam bukunya Kurikulum Merasa Nyaman: Memperbodoh Anak-Anak Amerika Serikat Atas Nama Harga Diri, peneliti pendidikan Maureen Stout, Ph.D., menulis mengenai fenomena yang sangat umum di sekolah Amerika Serikat saat ini: Siswa peduli dengan nilai mereka, tetapi tidak peduli dengan apa yang dipelajarinya atau berapa banyak usaha yang dilakukannya. Demi memenuhi tuntutan siswa untuk mendapat nilai yang lebih baik, guru dipaksa untuk mengurangi kesulitan ujian dan tuntutan pada siswa. Tetapi hal ini hanya mengakibatkan kinerja siswa yang buruk bahkan kurang berupaya. Rekan penulis tampaknya terbiasa dengan fenomena itu dan bahkan meyakini bahwa sekolah harus seperti rahim seorang ibu — terisolasi dari dunia luar sehingga siswa dapat memperoleh kenyamanan emosional, tetapi tidak memperoleh perkembangan intelektual atau ketahanan. Tampaknya difokuskan pada perasaan siswa, bukan pada pertumbuhan siswa secara keseluruhan. [46]

Seperti yang ditunjukkan oleh banyak komentator, dogma harga diri membingungkan sebab dan akibat. Harga diri adalah hasil dari upaya, bukan prasyarat untuk sukses. Dengan kata lain, merasa nyaman tidak mengarah pada kesuksesan, tetapi seseorang merasa senang setelah mencapai kesuksesan.

Kesalahpahaman mengenai harga diri ini adalah produk sampingan dari gaya pendidikan psikoterapi yang berpengaruh sejak tahun 1960-an. Pendidikan psikoterapi akhirnya mengindoktrinasi sejumlah besar orang muda dengan perasaan berhak dan menjadi korban. Maureen Stout menggambarkan pola pikir umum dalam bahasa sehari-hari: “Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan, bagaimana saya inginkan dan kapan saya inginkan, dan tidak ada apa pun dan tidak ada siapa pun yang akan menghentikan saya.”

Pendidikan Amerika membesar-besarkan gagasan kebebasan dan egoisme atas nama harga diri sentimental. Gaya pendidikan ini menghasilkan generasi anak muda yang tidak menghargai moralitas dan tidak memikul tanggung jawab. Anak muda hanya peduli dengan perasaannya sendiri daripada perasaan orang lain. Anak muda mengejar kesenangan tetapi berusaha menghindari usaha, pengorbanan, dan penderitaan. Hal ini telah menimbulkan malapetaka pada moralitas masyarakat Amerika Serikat.