Wu Huilin
Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2019 didapatkan oleh tiga orang peneliti “kemiskinan” asal Amerika dan Prancis bersamaan. Masing-masing adalah dosen Massachusetts Institute of Technology (MIT) AS yang berdarah India bernama Abhijit Banerjed dan seorang Prancis bernama Esther Duflo, serta dosen Harvard University bernama Michael Kremer.
Hal yang paling unik dalam penerimaan hadiah Nobel bidang ekonomi kali ini adalah dua orang pertama adalah tim suami istri, dan sang suami adalah dosen pembimbing dalam tesis PhD sang istri, disamping itu Esther Duflo adalah peraih Nobel ekonomi yang paling muda sepanjang sejarah (hanya 46 tahun), juga merupakan wanita kedua peraih hadiah tersebut sejak diadakannya hadiah di bidang ekonomi ini.
Sebelumnya hadiah Nobel ekonomi diberikan pada Elinor Ostrom (1933~2012) pada 2009, di saat meraih hadiah tersebut telah berusia 76 tahun, dan meninggal dunia tiga tahun setelah penganugerahan.
Royal Swedish Academy of Science menyatakan, ketiga pakar ekonomi ini memperlihatkan bagaimana cara menguraikan masalah kemiskinan menjadi masalah pendidikan dan pengobatan yang lebih spesifik dan lebih akurat, sehingga masalah kemiskinan lebih mudah diselesaikan.
“Kemiskinan” bisa dikatakan adalah pelajaran yang sudah eksis sejak terciptanya manusia, dan lahirnya ilmu ekonomi boleh dibilang adalah untuk menyelesaikan masalah ini.
Di tahun 1776 leluhur ilmu ekonomi Adam Smith (1723~1790) dalam mahakaryanya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” adalah buku yang menelaah esensi kekayaan manusia dan bagaimana meningkatkan kekayaan, tujuan terakhirnya adalah “meningkatkan kesejahteraan manusia”, yang tentu saja harus menghapus kemiskinan.
Smith mendapati “pembagian kerja” dan “fungsi pasar, tangan yang tak terlihat” adalah cara yang baik untuk mencapai tujuan ini, dan agar pembagian kerja dapat terjadi dengan lancar, serta pasar berjalan lancar, “kepercayaan atau kredibilitas” adalah “moral etika” yang mutlak harus dimiliki oleh manusia.
Sayangnya, memasuki ilmu ekonomi modern yang menganut sistem digitalisasi dan mekanisasi, hal pokok yang fundamental ini telah dicampakkan, malah lebih parah lagi, justru yang ditekankan adalah “motivasi menguntungkan diri sendiri” dalam buku Adam Smith. Maka “manusia adalah mahluk yang egois” menjadi prasyarat dasar dalam buku pelajaran ilmu ekonom. Perkembangan yang lebih tidak pantas lagi adalah “egois dan serakah” menjadi hal yang lumrah.
Adapun “manusia yang tidak mementingkan diri sendiri, akan ditumpas oleh Langit” pun telah menjadi mantra sehari-hari. Perilaku seperti “merugikan orang lain menguntungkan diri sendiri”, “berbohong” dan “konspirasi kekuasaan” sudah tidak diherankan lagi, bahkan sudah dianggap biasa.
Jadi, ilmu ekonomi dan para profesional di bidang ekonomi terus meneliti cara meningkatkan kesejahteraan manusia, tapi setelah mengabaikan atau membuang jauh-jauh “kepercayaan dan saling membantu” yang paling mendasar, hasil yang minim dengan usaha berlipat pun muncul.
Hingga sekarang, “pertumbuhan ekonomi” dan “kesenjangan negara kaya dan miskin mengapa tidak juga mengecil justru semakin menganga lebar” masih menjadi topik investigasi dalam ilmu ekonomi. Walaupun dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, mayoritas wilayah tidak hanya terhindar dari “jebakan kemiskinan” seperti yang dikhawatirkan oleh T. Malthus (1766~1834), dan kian lama kian kaya, tapi sebagian wilayah lain yang “miskin ekstrim” dan sejumlah daerahnya yang “kesenjangan kaya miskin atau pendapatan tidak merata justru semakin membesar” terjadi dimana-mana.
“Perubahan teknologi yang endogen” pada 1990 yang menggerakkan “teori pertumbuhan baru” atau “ekonomi berbasis pengetahuan”, disandingkan dengan teknologi komputer yang terus berkembang, jaringan internet yang menjangkau segala penjuru, lalu lintas dan transportasi yang menyebar luas. Namun demikian, kesenjangan kaya miskin yang disampaikan oleh “masyarakat tipe M” dan “hilangnya kaum menengah” yang kian melebar justru masih tetap eksis. Sementara di Afrika kaum ekstrim miskin dan warga yang tewas juga masih terus berlanjut.
Selain menemukan kembali sifat dasar kemanusiaan seperti “moralitas”, mementingkan orang lain. Kerjasama saling menguntungkan yang awalnya diutamakan Adam Smith tapi diabaikan oleh para ekonom modern, agar fungsi pasar dapat berkembang sempurna, resep mujarab apa lagi yang dapat menghentikan kemiskinan?
Tindakan penanggulangan kemiskinan yang ditemukan oleh ketiga peraih hadiah Nobel ekonomi 2019 ini lewat riset dengan metode eksperimental apakah benar-benar mampu menyelesaikannya secara efektif?
Yang perlu diperhatikan adalah, yang mereka maksud dengan “eksperimental” tidak bisa diduplikasi. Jadi bukan eksperimen di dalam laboratorium ilmu pengetahuan, melainkan hanya laporan kerja lapangan mereka, yang merupakan hasil riset historikal yang umum.
Oleh sebab itu, Ludwig von Mises dari Austrian School dalam bukunya berjudul “The Ultimate Foundation of Economic Science: An Essay on Method”, bab 5 subjudul 11 yang mengkritik soal “Behavior Science” dalam hal ini sangat cocok.
“Eksperimental” dalam masalah ini walaupun tidak bisa diduplikasikan, dan yang pasti bukan percobaan ilmu pengetahuan. Namun demikian, memiliki satu kesamaan dengan percobaan ilmiah, yaitu tidak mempertanyakan apa pemikiran yang ada dalam benak objek eksperimen, apakah berubah, dan mengapa berubah.
Dalam hal ini, “eksperimental” dalam masalah ini lebih tidak bisa diandalkan dibandingkan metode penelitian historikal yang konvensional.
Orang yang berhati tenang akan mengetahui, otak yang kosong, kedua tangan pun kosong, dan kemiskinan bersumber dari “sikap” orang yang miskin. Ini bukan sesuatu yang bisa diatasi dengan “eksperimen”, kebijakan yang didapat darinya apakah akan efektif, pun patut untuk diragukan. (SUD/WHS)
FOTO : Hadiah Nobel bidang ekonomi 2019: Michael Kremer (kiri), dosen Harvard University dan pasutri profesor dari Massachusetts Institute of Technology yakni Abhijit Banerjee (kanan) dan Esther Duflo (tengah). (wsj.com)