EtIndonesia- Hasil-hasil dokumentasi perihal kekayaan arsitektur vernakular dari Tim Besar Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia 2019 ditunjukkan dalam pameran Orang Laut Pengarung Lautan Beratap Kajang di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, mulai Sabtu (17/1/2020).
Dokumentasi tersebut dilakukan terhadap suku Orang Laut yakni suku Asli di Lingga, Provinsi Kepulauan Riau dan Suku Duano yang ada di Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Pengunjung diawali dengan diperkenalkan tentang Suku Orang Laut dalam sejarahnya. Orang Laut pada dasarnya hidup berkelompok di atas sampan-sampan yang beratapkan Kajang.
Ya, tentunya keseharian mereka semata-semata dihabiskan di perairan yang luas membentang. Walaupun kini mereka ada yang sudah memilih tinggal di daratan.
Di sini pengunjung juga bisa melihat wujud Kajang yang dibuat dari daun pohon nipah yang sudah dianyam sedemikian rupa. Kajang inilah yang dijadikan tempat berteduh bagi Orang Laut dari hujan lebat dan angin laut.
Sejumlah karya tangan Orang Laut dari membuat Gelang dan Membuat Mata Tombak bisa dilihat dalam pameran ini. Rumah yang dibuat Orang Laut juga bisa dilihat replikanya yang sejatinya berdiri tegak di atas perairan.
Tak kalah menariknya adalah kebiasaan Manongkah yang biasa dilakukan Orang Laut untuk mencari kerang dan memutik sumbun. Dengan papan manongkah ini, Orang Laut bisa meluncur menyisiri pantai berlumpur yang luas terbentang. Selain itu, pengunjung menyaksikan adat istiadat yang dimiliki oleh Suku Duano dan Suku Asli yang mereka miliki.
Project Officer Ekskursi Arsitektur UI 2019, Maghfirasari Adhani mengatakan, program ekskursi semacam ini adalah kegiatan yang benar-benar dilakukan sejak 10 tahun lalu. Output yang diberikan selain ada buku dan film dari suku orang Laut yang ada di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir, Provinisi Riau.
Mengapa mesti suku Orang Laut? suku Duano dan suku Asli yang mana keduanya secara historis bersama-sama sebagai komunitas yang tinggal secara nomaden di sampan yang ada kajang. Tentunya, berbeda jauh dari rumah umumnya. Karena itu, kata Maghfirasari, ketika kajang dipasang maka sampan tersebut menjadi menarik.
“Karena selama ini mungkin kita memikirkan sifatnya sebagai astatis, sudah pasti satu tempat, sedangkan Orang Laut ini pada sifat dasarnya semi nomaden, kami penasaran bagaimana persfektif mereka, tentang Sense of Belonging mereka terhadap suatu teritori mereka,” ujarnya.
Ia menguraikan, ketika suku Orang Laut semakin dipelajari maka semakin tak dimengerti. Dikarenakan, semakin banyak yang dipelajari. Sehingga ekspedisi tersebut masih belum menjawab lebih banyak. Pasalnya, kehidupan Suku laut masih sangat perlu dieksplorasi lebih luas.
“Kami di sini mengadakan pameran buku dan film, cuman sekedar memberitahukan hasil dokumentasi kami terhadap kehidupan mereka tanpa menghasilkan sintesis mereka sendiri karena ekskursi ini bukan sebuah penelitian,” ujarnya.
Sedangkan jika dilihat dari sudut arsitektur, suku Asli di Lingga misalnya diklasifikasikan kepada tiga hal. Pertama, berkajang itu dipandang sebagai arsitektur, kemudian ada rumah bantuan dan rumah Sapau. Adapun, ketiga-tiganya ini masih ada hingga kini secara paralel. Selain itu, masih ada ditempati oleh beberapa keluarga di daerah pesisir.
“Ini sistemnya bisa dilepas pasang, jadi mereka bisa berangkat lagi dengan sampan,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang terpisah, Densy Diaz, Ketua Yayasan Kajang Peduli Suku Laut dari Kabupaten Lingga berharap hasil dari dari penelitian Mahasiswa ini akan dirangkum. Selanjutnya, disampaikan kepada pemerintah tentang apa semestinya diperbuat untuk masyarakat Suku Asli di Kepri.
Densy Diaz juga memberikan apresiasi atas Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia 2019. Dikarenakan, sudah mengangkat derajat suku laut yang ada di Kepri. Ia berharap penelitian tersebut menjadi motivasi bagi generasi Suku Laut.
“Jadi ini salah satu motivasi untuk teman-teman dan adik-adiknya kami di Kepri, masak orang luar bisa perhatikan, masak anak-anak daerah tak mau memperhatikan, ini sebagai motivasi sekali,” ujarnya.
Selain itu, Densy juga memberikan apresiasi kepada seluruh masyarakat Suku Laut yang masih eksis dengan adat dan tradisi mereka.
“Alhamdulillah mereka masih menjaga kearifan mereka, walaupun mereka sudah berusaha agar supaya mereka bangga menjadi suku laut, karena mereka tak usah malu, mereka harus bangga,” pungkasnya. (asr)
FOTO : Panitia pameran menjelaskan kepada pengunjung tentang Rumah Sapau orang laut di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu 17 Januari 2020.