Oleh Peter Svab – The Epochtimes
Empat bulan setelah merebaknya Coronavirus baru di seluruh dunia, asal Coronavirus masih belum diketahui, memicu spekulasi dan menyulitkan upaya untuk melawan Coronavirus dan mencegah terulang infeksi Coronavirus.
Faktanya, Coronavirus lebih baik dipahami sebagai virus Komunis Tiongkok, karena rezim Komunis Tiongkok merahasiakan dan kurang transparansi mengenai wabah, sehingga menyebabkan atau memperburuk banyak kesedihan dan ketidakpastian. Kurangnya bukti mengenai asal usul virus tersebut adalah sangat meresahkan.
Beberapa virus binatang yang diketahui sebelumnya ditemukan mirip secara genetis, tetapi tidak cukup mirip.
Ahli virologi tampaknya setuju masih ada kaitan yang hilang — sumber asli virus yang masih meragukan dan berpotensi menyebabkan kehebohan dunia.
Para ahli sepakat membutuhkan lebih banyak data, tetapi data yang paling penting — uji binatang dari pusat wabah di pusat kota Wuhan, Tiongkok — tidak muncul. Hingga saat ini, pemerintah Komunis Tiongkok tidak menunjukkan indikasi bahwa Komunis Tiongkok bermaksud untuk memberikan data, atau bahkan mengumpulkan data.
Laboratorium Versus Natural Origin
Saat peneliti Tiongkok memeriksa genom virus tersebut, mereka menemukan kesamaan dengan dua jenis Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar yang dilaporkan beberapa tahun yang lalu oleh para ilmuwan militer Tiongkok — bukan di Wuhan, tetapi di Zhoushan, hampir 805 km jauhnya dari Wuhan.
Virus Komunis Tiongkok adalah 88 persen cocok dengan dua jenis Coronavirus dari Zhoushan.
Secara khusus, dua bagian virus Wuhan — protein nsp7 yang membantu replikasi virus tersebut dan protein amplop (E) yang membantu virus mengatasi sistem kekebalan tubuh — adalah 100% cocok dengan salah satu virus kelelawar Zhoushan.
Hal ini adalah luar biasa, karena penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa masing-masing strain Coronavirus tampaknya memiliki versi protein E sendiri.
Kecocokan 100 persen adalah “benar-benar tidak biasa,” kata Dr. Xiaoxu Sean Lin, mantan ahli mikrobiologi Angkatan Darat Amerika Serikat kepada The Epoch Times.
“Itu adalah protein yang sangat kecil, tetapi melibatkan perakitan partikel virus dan interaksi dengan faktor pejamu, jadi saat Coronavirus melompat spesies pejamu (transmisi] zoonosis), hal tersebut tidak akan menjaga urutan yang sama,” kata Dr. Xiaoxu Sean Lin melalui email.
Beberapa ahli meragukan asal virus dari sebuah laboratorium. Sebuah tim dari Universitas Columbia, Universitas Edinburgh, Universitas Sydney, Universitas Tulane, dan Scripps Research Institute membandingkan virus Komunis Tiongkok dengan sejumlah jenis Coronavirus lainnya, termasuk dengan Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar, yang mana baru-baru ini dipublikasikan (disebut RaTG13) serta beberapa jenis Coronavirus yang ditemukan pada tenggiling. RaTG13 memiliki kecocokan 96 persen dengan virus Komunis Tiongkok, sedangkan jenis Coronavirus yang ditemukan pada tenggiling memiliki kecocokan sekitar 90 persen dengan virus Partai Komunis Tiongkok.
“Adalah mustahil SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi laboratorium terhadap SARS-CoV yang mirip Coronavirus terkait,” kesimpulan tim tersebut dalam makalah tanggal 17 Maret yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine.
Protein Tonjolan Pada Tenggiling
Seperti makalah Nature mencatat, banyak genom virus Komunis Tiongkok adalah cocok dengan virus RaTG13, tetapi satu bagian penting tidak cocok, yaitu — “protein tonjolan” (“spike protein”).
Protein tonjolan ini membentuk “jamur-jamur kecil” yang menempel di permukaan virus, menjadikannya alat terpenting bagi virus untuk menyerang sel manusia. Sel paru-paru dan organ lain manusia dilapisi membran yang disebut ACE2. Protein tonjolan berkemampuan untuk melekat erat dengan membran ACE2, sehingga dinding virus melebur dengan sel-sel permukaan, dan biarkan tubuh virus menyerang dan menghancurkan sel-sel permukaan tersebut.
Sementara Coronavirus yang ditemukan pada tenggiling adalah tidak cocok dengan virusKomunis Tiongkok, protein tonjolan keduanya adalah hampir sama, termasuk asam amino pada enam posisi terpenting dalam urutan gen, demikian bunyi makalah tersebut.
Para penulis berpendapat bahwa karena protein tonjolan jenis ini berkembang secara alami pada tenggiling, ini adalah bukti bahwa virus Komunis Tiongkok juga berkembang secara alami. Selanjutnya, makalah itu mencatat, protein tonjolan pada virus Komunis Tiongkok tidak mengikat sel manusia seefektif virus SARS. Jika virus Komunis Tiongkok adalah hasil buatan, mengapa virus Komunis Tiongkok menggunakan protein tonjolan yang bekerja lebih buruk daripada Coronavirus lain?
Pertanyaan ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dijawab.
Menciptakan virus buatan dengan kemampuan baru atau yang ditingkatkan— penelitian “peningkatan- fungsi”— telah dilakukan untuk berbagai tujuan dan tidak diperlukan untuk menciptakan virus yang paling efisien. Menciptakan virus buatan dapat digunakan untuk menyelidiki virus baru mana berpotensi muncul dan mana yang berpotensi mengakibatkan pandemi.
“Hal tersebut benar-benar tergantung pada bagaimana percobaan itu dirancang. Apa objektif mereka dalam jenis penelitian peningkatan- fungsi ini?” kata Dr. Xiaoxu Sean Lin dalam panggilan telepon.
Selain itu, meskipun membuat kesimpulan yang berlawanan, “argumen makalah [Nature] ini sebenarnya menyatakan jalur potensial laboratorium-engineering, ” kata Dr. Xiaoxu Sean Lin kepada The Epoch Times melalui email.
Dalam skenario laboratorium, suatu protein tonjolan yang berpotensi bekerja pada manusia akan diambil dari Coronavirus, yang mana ditemukan pada tenggiling atau Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar dan dicangkokkan Coronavirus yang ditemukan pada binatang berbeda.
Virus tersebut kemudian diizinkan untuk menginfeksi sel-sel dalam pengaturan laboratorium “untuk memilih lebih banyak klon yang infeksius.” Kemudian disuntikkan ke binatang percobaan dan diizinkan untuk bermutasi lebih lanjut “untuk memilih strain yang memiliki sifat hantaran yang lebih tinggi,” kata Dr. Xiaoxu Sean Lin.
Makalah Nature menjelaskan, proses bagaimana hal ini secara teoritis dilakukan. Akan tetapi menambahkan bahwa eksperimen khusus ini belum dipublikasikan sebelumnya. Terlebih lagi, tubuh, atau “tulang punggung” virus Komunis Tiongkok adalah tidak cocok secara tepat dengan “tulang punggung virus apa pun yang sebelumnya digunakan” —lebih banyak bukti yang mendukung asal alami, kata penulis.
Namun, pandangan bertumpu pada asumsi transparansi, sesuatu yang sangat kurang dilakukan oleh Beijing, demikian Dr. Xiaoxu Sean Lin mencatat.
Tidak Ada Pengujian Binatang
Tidak ada virus dari binatang yang sejauh ini dilaporkan cukup dekat untuk menjadi nenek moyang langsung virus Komunis Tiongkok, menurut majalah Nature.
“Kesamaan genetik harus lebih tinggi dari yang dilaporkan dalam penelitian ini sebelum pejamu dapat diidentifikasi,” lapor Nature, merujuk komentar oleh Arinjay Banerjee, peneliti Coronavirus di Universitas McMaster di Hamilton, Kanada.
Arinjay Banerjee mencatat bahwa virus SARS berbagi 99,8% genom virus SARS dengan Coronavirus yang ditemukan pada musang, itulah sebabnya musang dianggap sebagai sumber.
“Jika tenggiling adalah asal dari wabah saat ini, maka bukan tenggiling yang diteliti,” kata Arinjay Banerjee.
Kisah asli yang didorong oleh Komunis Tiongkok adalah virus tersebut berasal dari Pasar Makanan Laut Huanan di Wuhan. Pada akhir bulan Desember, pasar tersebut ditutup, tetapi tidak ada indikasi bahwa ada binatang dari pasar tersebut yang diuji. Juga tidak ada indikasi bahwa telah dilakukan pengujian pada binatang dari wilayah Wuhan.
Makalah perbandingan genetik yang dirilis sejauh ini telah mencocokkan virus Komunis Tiongkok terhadap jenis Coronavirus yang ditemukan di masa lalu.
Para ilmuwan telah berulang kali menekankan pentingnya pengujian pada binatang guna lebih memahami asal-usul virus tersebut. Penulis makalah Nature juga mengakui banyak hal.
“Lebih banyak data ilmiah dapat mengayunkan keseimbangan bukti untuk mendukung satu hipotesis atas hipotesis yang lain. Memperoleh urutan virus terkait dari sumber binatang akan menjadi cara yang paling pasti untuk mengungkapkan asal virus,” kata para ilmuwan.
Hampir tidak ada kekurangan sumber daya yang menghentikan Tiongkok dari pengujian binatang yang kuat. Bahkan, satu laboratorium yang telah bereksperimen dengan kelelawar di masa lalu hanya sekitar 122 meter dari pasar Wuhan. Laboratorium lain, di Institut Virologi Wuhan, berjarak dua jam berkendara.
Selain itu, wanita ahli virologi Tiongkok bernama Shi Zhengli, yang berbasis di Institut Virologi Wuhan, adalah salah satu pihak berwenang terkemuka di dunia mengenai Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar dan melaporkan 96 persen cocok dengan Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar RaTG13.
Institut Virologi Wuhan juga merupakan satu-satunya laboratorium di Tiongkok yang memiliki sertifikasi paling banyak untuk virus berbahaya, seperti Ebola atau SARS.
Komunis Tiongkok biasanya ingin meningkatkan citranya dengan menggambarkan pekerja pemerintah sebagai pahlawan dalam krisis. Namun kali ini, Institut Virologi Wuhan tetap luar biasa sepi sepanjang epidemi. Arahan internal bocor online menyatakan bahwa, pekerja Institut Virologi Wuhan, bahkan juga media pemerintah Tiongkok, dilarang berbicara mengenai virus Komunis Tiongkok.
“Mungkin saja Tiongkok melakukan uji coba pada binatang, tetapi jika ya, Tiongkok merahasiakan hasilnya, kata Dr. Xiaoxu Sean Lin.
Menuduh Institut Virologi Wuhan
Dengan tidak adanya bukti kuat, netizen Tiongkok muncul dengan penjelasannya sendiri mengenai asal virus tersebut, yang sering tidak menarik bagi rezim Tiongkok.
Beberapa netizen Tiongkok mengklaim bahwa seorang wanita yang lulus dan bekerja di Institut Virologi Wuhan, Huang Yanling, adalah pasien Coronavirus pertama dan telah meninggal.
Institut Virologi Wuhan membantah tuduhan tersebut, mengatakan bahwa Huang Yanling masih hidup dan bekerja di provinsi lain sejak lulus tahun 2015. Tetapi foto, biografi, dan tesis Huang Yanling semuanya dihapus dari situs web Institut Virologi Wuhan, yang tertinggal hanya namanya saja. Huang Yanling juga tidak pernah muncul untuk membantah desas-desus tersebut.
Sebuah profil online yang menggunakan nama dan foto peneliti Institut Virologi Wuhan, Chen Quanjiao menuduh Direktur Jenderal Institut Virologi Wuhan, Wang Yanyi “sering” menjual binatang laboratorium tersebut di pasar Huanan dan karenanya mungkin membocorkan virus tersebut dari Institut Virologi Wuhan.
Kesalahan penanganan binatang laboratorium bukanlah hal baru di Tiongkok. Di bulan Januari, ahli biologi Li Ning dari China Engineering Academy dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, karena menjual babi, sapi, dan susu percobaan dari laboratorium tempat ia bekerja ke pasar setempat.
Wang Yanyi membantah bahwa hal seperti itu terjadi di Institut Virologi Wuhan. Chen Quanjiao mengeluarkan pernyataan yang mengatakan identitasnya telah dicuri. Ia menyangkal tanggung jawab untuk posting online tersebut.
Shi Zhengli membantah hubungan virus Komunis Tiongkok dengan Institut Virologi Wuhan dalam sebuah pernyataan kepada media daratan Tiongkok.
“Saya bersumpah bahwa jenis Coronavirus baru tahun 2019 tidak ada hubungannya dengan Institut Virologi Wuhan. Virus ini adalah hukuman yang dijatuhkan pada manusia dari alam, untuk mengutuk cara hidup manusia yang tidak beradab. Bagi anda yang mempercayai desas-desus atau yang disebut analisis ilmiah sebagai sesuatu yang tidak memenuhi syarat para peneliti, saya menyarankan anda untuk menutup mulut [sumpah serapah] anda!” kata Shi Zhengli.
Tetapi di negara yang sudah terbiasa melihat pengakuan secara paksa di televisi, penyangkalan itu telah gagal memadamkan pertanyaan yang terus menjadi-jadi.
“Untuk bencana besar yang dapat merenggut nyawa yang tidak terhitung jumlahnya, beri kami fakta dan bukti, bukannya bersumpah dengan pernyataan yang megah,” komentar seorang netizen.
Tidak Ada Kelelawar, Tidak Ada Tenggiling
Salah satu alasan mengapa banyak orang Tiongkok meragukan penjelasan pejabat — bahwa infeksi ditularkan dari kelelawar ke manusia di Pasar Huanan — adalah kekurangan kelelawar di tempat itu.
Bukan hanya kelelawar tidak ditemukan di Pasar Huanan, tetapi kelelawar yang tinggal di daerah tersebut pasti dalam keadaan hibernasi pada saat itu.
Juga tidak ada tenggiling yang ditemukan di Pasar Huanan. Tenggiling adalah spesies yang dilindungi, jadi ada kemungkinan penjual membuang tenggiling sebelum pihak berwenang menutup Pasar Huanan; sejauh ini, tidak ada indikasi tenggiling ditemukan di mana saja di Wuhan.
Selain itu, virus dengan protein tonjolan yang cocok ditemukan di tenggiling yang diselundupkan dari Malaysia ke Provinsi Guangdong, 805 km selatan Wuhan. Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar RaTG13 ditemukan di Provinsi Yunnan, 1448 km dari Wuhan.
Eksperimen yang Berbahaya
Shi Zhengli memiliki riwayat bereksperimen dengan Coronavirus yang bermutasi, mencakup menggabungkan beberapa virus untuk mengubah kemampuan virus yang dihasilkan untuk menginfeksi spesies yang berbeda.
Dalam makalah tahun 2010, Shi Zhengli bereksplorasi dengan memanipulasi ACE2 kelelawar untuk membuat kelelawar tersebut rentan terhadap virus SARS.
Dalam makalah tahun 2015, Shi Zhengli dan peneliti lainnya menggunakan protein tonjolan virus yang ditemukan pada kelelawar yang tidak bekerja pada manusia, mencangkokkan protein tonjolan tersebut pada virus SARS, dan menemukan bahwa protein tonjolan tersebut kemudian mampu menginfeksi manusia serta kebal terhadap terapi.
Shi Zhengli bukanlah satu-satunya orang yang melakukan eksperimen semacam itu. Tetapi itu adalah bisnis yang berbahaya.
“Jika virus baru tersebut lolos, tidak ada yang dapat memprediksi lintasan,” kata Simon Wain-Hobson dari Institut Pasteur di Prancis, mengomentari makalah Shi Zhengli tahun 2015.
Pada tahun 2014, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menghentikan pendanaan untuk penelitian peningkatan-fungsi, waspada akan bahayanya terhadap keamanan hayati.
Kontroversi tersebut memberikan insentif kepada Shi Zhengli atau peneliti lain untuk mengikuti jejak Shi Zhengli untuk tetap melakukan peningkatan-fungsi tanpa pengawasan.
Dalam hal itu, kemungkinan besar klien untuk penelitian tersebut adalah militer Tiongkok, menurut Dr. Xiaoxu Sean Lin.
Sebuah posting di media sosial Tiongkok, Douban mengatakan bahwa Chen Wei, “ahli senjata biokimia top Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok,” baru-baru ini mengambilalih laboratorium Institut Virologi Wuhan. Laporan tetap belum dikonfirmasi.
Shi Zhengli dan Institut Virologi Wuhan tidak menanggapi pertanyaan yang dikirim melalui email dari The Epoch Times.
Namun, laboratorium Institut Virologi Wuhan sejak awal memiliki hubungan dengan militer.
Laboratorium Institut Virologi Wuhan dikembangkan dengan bantuan pemerintah Prancis setelah wabah SARS pada tahun 2003.
Awalnya, seorang arsitek Prancis seharusnya yang merancang laboratorium tersebut, tetapi pihak berwenang Komunis Tiongkok mengalihkan pekerjaan tersebut kepada seorang arsitek Wuhan.
Intelijen Prancis menemukan IPPR Engineering International, perusahaan arsitek Tiongkok, memiliki hubungan dekat dengan anak perusahaan militer Tiongkok yang dulu termasuk dalam daftar hitam CIA, menurut Challenges, majalah bisnis Prancis. Laboratorium Institut Virologi Wuhan mulai beroperasi pada tahun 2017.
Apa pun asal usul virus tersebut, masih belum cukup bukti untuk dikatakan dengan pasti, menurut Dr. Xiaoxu Sean Lin. Namun, yang jelas adalah kekurangan bukti sebagian besar dapat disalahkan pada rezim Komunis Tiongkok, sementara seluruh dunia menanggung akibatnya. (Vv)
FOTO : Pekerja terlihat di sebelah kandang dengan tikus (R) di dalam laboratorium P4 di Wuhan, ibukota provinsi Hubei, Tiongkok, pada 23 Februari 2017. (Johannes Eisele / AFP via Getty Images)
Video Rekomendasi :