Pukulan Balik Beijing

oleh James Gorrie

Orang-orang barangkali akan berpikir bahwa Beijing akan melihat bahwa merebaknya pandemi adalah bukanlah satu-satu cara untuk mendapatkan bantuan dari dunia. Sedangkan berbohong mengenai pandemi juga tidak membantu atau menyalahkan orang lain atas wabah itu juga tidak membantu.

Adapun mengekspor pasokan medis yang tercemar ke negara-negara yang meminta bantuan, sambil mengkritik negara-negara tersebut karena gagal melindungi rakyatnya dari patogen, juga tidak membuat strategi diplomatik yang efektif.

Percaya atau tidak, buku pedoman itu  diikuti Beijing untuk kampanye globalnya untuk menjadi pemimpin baru di dunia. 

Tentu saja, propaganda yang ganas menyalahkan Amerika Serikat, Italia, dan lain-lain, adalah bagian rencana juga. Jika ada, hanya sedikit negara yang termakan propaganda Beijing. Terlalu banyak racun, dalam segala bentuknya, berasal dari Beijing.

Apakah mengherankan bila negara-negara Eropa, dan lain-lain, kini putus dengan Tiongkok?

Dunia yang Sempat Jatuh Cinta Pada Tiongkok

Dunia sempat jatuh cinta pada Tiongkok sebelum pandemi. Komunis Tiongkok membuat langkah besar ke arah mengasingkan mitra dagang di seluruh dunia.

Komunis Tiongkok melakukannya pada berbagai tingkatan, dari pencurian teknologi dan kekayaan intelektual hingga  praktik perdagangan yang bermusuhan, manipulasi mata uang, pemasangan peralatan mata-mata di jaringan 5G, dan banyak lagi lainnya.

Itu hanya beberapa alasan mengapa tren mengarahkan rantai pasokan keluar dari Tiongkok sudah dimulai. Tarif besar-besaran oleh Presiden Donald Trump untuk produk-produk Tiongkok senilai  500 miliar dolar AS juga tidak membantu. Tarif hanya mempercepat tren, bahkan jika memperburuk citra Amerika Serikat di banyak ibukota Eropa.

Tetapi perilaku Tiongkok yang mengerikan di awal wabah telah membuat Tiongkok — dan Partai Komunis Tiongkok — sebagai suatu paria global. 

Bagi banyak negara, pandemi itu diluncurkan Partai Komunis Tiongkok kepada dunia untuk membuka mata dunia mengenai sifat rezim penjahat Partai Komunis Tiongkok yang sebenarnya. 

Pandemi itu juga menunjukkan kepada negara-negara tersebut bagaimana mengandalkan pasokan sumber tunggal telah membuat ekonomi negara-negara tersebut benar-benar rentan.

Pola Pikiran Beijing yang Melecehkan Tidak Berjalan Dengan Baik

Namun yang mengejutkan adalah betapa buruknya perilaku Komunis Tiongkok setelah menyebabkan bencana global terbesar sejak Perang Dunia II. Atau, mungkin tidak. Komunis Tiongkok tidak dikenal karena kelebihan empati, belas kasih, keterbukaan, niat baik, atau sifat kesusilaan manusia yang lebih tinggi lainnya. Oleh karena itu, penyesalan bukan merupakan faktor dalam kebijakan luar negeri Beijing.

Justru sebaliknya, sebenarnya. Berkembangnya diplomat baru di Tiongkok, dengan berkah, agresif, ultra-nasionalistis, kasar, dan tidak peduli pada mitra dagangnya oleh Komunis Tiongkok.

Bukannya menarik negara-negara menjadi lebih dekat Tiongkok, Tiongkok justru mengasingkan negara-negara itu, terutama negara-negara Eropa Utara yang kaya:

Swedia baru saja menutup Institut Konfusius terakhir di sana dan telah memutuskan hubungan sister city dengan kota-kota di Tiongkok; serta Inggris dan Jerman sama-sama memeriksa ulang keputusannya untuk menggunakan Huawei untuk sistem jaringan 5G nasionalnya dan, bersama dengan Australia, membahas tuntutan ganti rugi ratusan miliar dari Tiongkok.

Baik Inggris maupun Jerman juga khawatir atas ketergantungannya pada Tiongkok untuk pasokan medis dan obat-obatan yang penting; ketidakpercayaan terhadap Tiongkok  adalah begitu dalam di Jerman sehingga seluruh kebijakan Tiongkok sedang ditinjau; dan Prancis ditargetkan oleh kampanye informasi sesat Tiongkok yang menagih ke anggota parlemen Prancis dengan mengeluarkan penghinaan rasial.

Italia dijuluki dan disalahkan oleh Tiongkok sebagai sumber virus yang memungkinkan; serta Spanyol, Belanda, dan Republik Ceko mempublikasikan pembelian masker dan kit uji Tiongkok yang cacat.

Diplomasi Beijing yang melecehkan juga menjadi bumerang di tempat-tempat seperti Australia, di mana  secara menghina Beijing menyebut Australia sebagai “permen karet yang menempel di bagian bawah sepatu Tiongkok,” karena Australia menginginkan penyelidikan mengenai asal usul virus Komunis Tiongkok, yang biasanya dikenal sebagai jenis Coronavirus baru. 

Untungnya, bahkan dengan Beijing mengancam untuk memboikot anggur dan daging sapi Australia, Australia belum mundur.

Kazakhstan, Nigeria, Kenya, Uganda, Ghana, dan Uni Afrika semuanya mengeluh perlakuan rasis rezim Tiongkok terhadap orang Afrika di Provinsi Guangzhou.

Perceraian Berisiko Tinggi

Tetapi di mana posisi Amerika Serikat bila berpisah dari Tiongkok? Jelas bahwa saat ini, peluang untuk kemitraan jangka panjang apa pun

antara Washington dan Beijing hampir nol. Komunis Tiongkok telah menunjukkan Tiongkok adalah musuh strategis bagi Amerika Serikat, juga bagi Barat secara keseluruhan.

Beijing berupaya menata ulang dunia dengan caranya sendiri, sebuah rencana yang mengancam kesejahteraan seluruh dunia, dan kini  menjadi fakta nyata.

Itulah sebabnya perang dagang melawan Tiongkok adalah — dan terus menjadi – suatu kebutuhan. Mengubah persyaratan yang tidak seimbang diperlukan untuk menyelamatkan manufaktur Amerika Serikat, kemampuan strategis Amerika Serikat, ekonomi Amerika Serikat, kepemimpinan global Amerika Serikat, dan norma-norma internasional saat ini, sebanyak mungkin.

Sebagian besar Eropa mulai setuju.

Sementara kepemimpinan Philadelphia masih melihat kebutuhan untuk membesarkan kepemilikan Tiongkok atas Balai Kota atas nama “keragaman,” beberapa universitas Amerika Serikat, mirip dengan Swedia, sudah menutup Institut Konfusius di kampusnya.

Ini hanya mengenai waktu.

Tiongkok Baru, Sikap Lama

Tetapi karena tarif terus berlanjut, dan permintaan global terus turun karena pandemi virus Komunis Tiongkok, ekonomi di seluruh dunia akan menderita, yang mencakup lebih banyak konflik antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, saat Beijing berebut sumber daya, pasar, dan, tentu saja, agar Partai Komunis Tiongkok tetap berkuasa di Tiongkok.

Ketegangan baru “diplomasi” Tiongkok adalah apa yang terjadi saat sebuah pemerintahan mulai mempercayai propagandanya sendiri. Tetapi itu sama sekali tidak baru. Posisi sanksi yang resmi berdasarkan realitas lama, yang akan langsung membuat masa depan lebih berbahaya, tidak kurang.

Seperti Zi Zhongyun, seorang ahli Amerika Serikat di Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Tiongkok, baru-baru ini mencatat, agresi “baru” Beijing terhadap Barat adalah akar Tiongkok dalam Pemberontakan Boxer anti-Barat pada awal abad ke-20. 

Selama “mentalitas membimbing pembuat kebijakan Beijing,” Zi Zhongyun berkata, “adalah mustahil bagi Tiongkok untuk mengambil tempat di antara negara – negara yang beradab di dunia modern.”

Tampaknya serang balik Beijing berjalan dua arah. Apakah dunia siap untuk menuai angin puyuh itu? (vv)


FOKUS DUNIA

NEWS