e. Kebudayaan Kekerasan
Di Amerika Serikat, dari tahun 1960 hingga 2016, total populasi meningkat 1,8 kali, sementara jumlah total kejahatan tumbuh 2,7 kali dan jumlah kejahatan dengan kekerasan tumbuh 4,5 kali. [30]
Menurut penulis dan ahli kriminologi Grant Duwe, dalam lima puluh tahun sebelum insiden penembakan menara Universitas Texas yang terjadi pada tahun 1966, hanya ada dua puluh lima penembakan massal di mana empat orang atau lebih terbunuh. Sejak itu, penembakan massal menjadi lebih mematikan dari waktu ke waktu. [31] Dari penembakan massal Killeen di Texas pada tahun 1991 yang menewaskan dua puluh tiga orang, hingga penembakan massal Las Vegas yang membantai lima puluh delapan orang pada tahun 2017, setiap insiden lebih mengejutkan.
Insiden teroris di seluruh dunia meningkat dari 650 insiden per tahun pada tahun 1970 menjadi 13.488 insiden pada tahun 2016, meningkat dua kali lipat. Sejak serangan teroris 11 September pada 2001, serangan teroris meningkat 160 persen. [32]
Tindakan kekerasan di dunia nyata mencerminkan apa yang sekarang kita alami dalam kehidupan sehari-hari: Perendaman dalam kebudayaan kekerasan. Tidak hanya musik intens heavy metal yang penuh dengan kekerasan, tetapi sebagian besar hiburan, termasuk film, televisi, dan video game, menggambarkan atau berpusat di sekitar kekerasan. Banyak produksi film dan televisi menggambarkan mafia, geng, dan bajak laut secara positif, membuat stereotip negatif ini terlihat menarik dan terhormat, sehingga orang tidak lagi merasa jijik dengan hal semacam itu, tetapi orang mulai bercita-cita untuk melakukan kejahatan dan bergabung dengan geng.
Munculnya video game memberi orang-orang saluran lain untuk pemuliaan kekerasan, yang interaktif dan memungkinkan para pemain sendiri untuk menggunakan kekerasan dalam dunia game. Bukannya indoktrinasi kekerasan searah melalui film dan televisi, pemain mengalami kekerasan untuk dirinya sendiri melalui permainan ini, yang berisi adegan kepala yang dipenggal dan anggota badan yang terpotong-potong, dengan semburan darah di mana-mana — semua melebihi batas normal di film dan televisi.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2013, para peneliti menganalisis film yang diproduksi antara tahun 1985 hingga 2012 dan menemukan bahwa jumlah kekerasan senjata di film PG-13 meningkat dua kali lipat. [33] Sebuah studi lanjutan menunjukkan bahwa tren ini terus berlanjut hingga hari ini. [34] Pada tahun 2008, Pusat Penelitian Pew menemukan bahwa 97 persen anak muda antara usia 12 tahun hingga 17 tahun bermain video game, dan dua pertiga dari mereka bermain game yang berisi konten kekerasan. [35]
Menghadapi masalah meningkatnya kekerasan di masyarakat, para ahli, cendekiawan, dan masyarakat umum terus mengusulkan teori dan solusi, mulai dari pembatasan yang lebih ketat melalui undang-undang dan penegakan hukum yang lebih kuat, hingga menyediakan konseling psikologis bagi masyarakat. Tetapi solusi semacam itu sama saja dengan memotong cabang-cabang pohon beracun tanpa menyentuh akarnya.
Dengan sengaja mendorong kejenuhan kebudayaan populer dengan kekerasan dan kejahatan, unsur-unsur komunis menyebabkan semakin banyak orang menjadi peka terhadap konten semacam ini, dengan beberapa orang terpancing untuk meniru konten semacam itu, menyebabkan kekerasan menjadi kenyataan di masyarakat. Dengan merusak dan menghancurkan kebudayaan tradisional dan mengubah moralitas manusia, komunisme menjauhkan manusia dari yang Ilahi dengan meminta manusia untuk mengejar kepuasan dari keinginan materialnya yang tidak terbatas. Ini adalah penyebab mendasar dari masalah masyarakat.
f. Gaya Berbusana yang Bobrok
Di permukaan masyarakat saat ini, berbagai bentuk pakaian, perilaku, dan unsur-unsur kebudayaan populer lainnya yang aneh semuanya tampaknya menjadi bagian “kebebasan berekspresi” atau “tren mode,” tetapi, pada kenyataannya, lebih daripada itu. Menelusuri fenomena ini ke sumbernya, menjadi jelas bahwa unsur-unsur negatif berada di balik semua hal semacam itu. Namun, dengan berlalunya waktu, orang menjadi terbiasa dengan unsur negatif tersebut dan tidak lagi menganggapnya aneh, dengan mengarahkan faktor-faktor negatif ini menjadi bagian yang diterima dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
Saat ini, masyarakat sudah terbiasa dengan wanita yang memiliki gaya rambut pendek, seperti bob. Gaya bob ini berasal dari para Flapper di Barat selama tahun 1920-an. Dipengaruhi oleh gelombang pertama gerakan hak wanita dan gerakan seks bebas (lihat Bab 7), para Flapper mengenakan gaun pendek, memotong rambutnya menjadi pendek, mendengarkan musik jazz, memakai make-up tebal, minum anggur yang kuat, dan sembrono terhadap seks. Mengenakan rambut pendek adalah cara bagi Flapper untuk mengekspresikan penghinaan mereka terhadap peran gender tradisional dan mengejar “emansipasi” wanita.
Setelah gaya rambut bob menjadi populer, penyanyi opera terkenal menulis: “Model rambut bob adalah kondisi pikiran dan bukan hanya cara baru untuk mendandani kepala saya…Saya menganggap menyingkirkan rambut panjang yang saya miliki sebagai salah satu dari sekian banyak belenggu yang telah disingkirkan wanita dalam perjalanannya menuju kebebasan.”[36] Selama Depresi Hebat di tahun 1930-an, gaya rambut bob secara bertahap tidak disukai. Namun, pada tahun 1960-an, ketika pemberontakan terhadap norma-norma tradisional menjadi trendi lagi, gaya rambut pendek seperti itu membuat wanita kembali mencintainya.
Demikian pula, gaya rambut panjang pria pada saat itu berasal dari beatnik dan hippie. [37] Meskipun rambut panjang untuk pria dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno, pria di Barat memiliki rambut pendek dalam beberapa dekade sejak Perang Dunia I. Pada tahun 1960-an, gerakan kontra-kebudayaan mempromosikan rambut panjang untuk pria sebagai bentuk pemberontakan.
Pada tahun 1920-an hingga 1960-an, masyarakat arus utama sangat anti terhadap kaum muda yang berpakaian anti-tradisional. Seiring waktu, masyarakat menjadi terbiasa dengan tren anti-tradisional, dan dalam pandangan progresif, hal ini disebabkan oleh peningkatan toleransi sosial. Namun, dalam tradisi Timur dan Barat, perbedaan antara pria dengan wanita tercermin tidak hanya dalam fisik dan peran mereka yang berbeda dalam masyarakat dan keluarga, tetapi juga dalam pakaian, gaya rambut, gaya bicara, dan perilaku mereka.
Seiring dengan disintegrasi perbedaan kelas dalam masyarakat, komunisme bertujuan untuk menghilangkan perbedaan seksual antara pria dan wanita. Demikian pula, gerakan homoseksual dan feminis menggunakan slogan “kesetaraan” untuk mengaburkan perbedaan gender dalam peran sosial dan keluarga. Tren mode androgini semakin mengaburkan dan membalikkan perbedaan dalam berpakaian. Faktor-faktor ini berfungsi untuk mempersiapkan jalan bagi penerimaan sosial yang lebih luas dari apa yang secara tradisional dianggap praktik seksual dan gaya hidup yang menyimpang, dan lebih jauh berkontribusi pada melemahkan moralitas tradisional.
Moralitas Timur dan Barat, selama ribuan tahun, pada dasarnya termasuk perbedaan antara pria dan wanita, dan gagasan bahwa pria dan wanita, yin dan yang, masing-masing memiliki tempat. Komunisme akan membalikkan yin dan yang manusia, dengan tujuan merusak moralitas, memunculkan keterpusatan pada diri sendiri, dan mendorong pengabaian norma-norma tradisional.
Mengingat tujuan jahat ini, manusia dapat melihat bahwa meskipun berbagai mutasi dalam berpakaian mungkin tampak modis dan populer di permukaan, hal tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk merusak cara hidup manusia yang tepat.
Misalnya, popularitas celana dengan model rendah di pinggang saat ini, yang dianggap seksi oleh mereka yang berusaha menjadi modis, adalah contoh sederhana perusakan moral manusia. Pendahulu celana dengan model rendah di pinggang adalah hip-huggers, dipopulerkan selama kontra-kebudayaan pada tahun 1960-an dan lazim tampil di disko pada tahun 1970-an. Sebuah gaya yang mengikuti adalah “bum pants” yang tidak senonoh pada tahun 1990-an, yang memaparkan bokong. [38]
Tanda kemerosotan kebudayaan yang lain adalah fenomena groupie, yang populer di kalangan anak muda dan produk sampingan lain dari kontra-kebudayaan. Pada tahun 1960-an, musik rock adalah populer di Barat, dan beberapa gadis muda yang terobsesi dengan bintang rock mengikuti penampilan bintang rock tersebut dan membentuk kelompok penggemar untuk menyediakan layanan pribadi dan seksual, termasuk terlibat dalam seks kelompok dengan anggota band. [39] Para gadis muda tersebut menjadi korban mode. Kini para gadis muda mengagumi bintang-bintang yang menganjurkan merobohkan pembatas yang membedakan antara jenis kelamin — termasuk pria bintang yang berperilaku seperti wanita, dan sebaliknya. Semua ini merongrong kebudayaan populer dan mengaburkan perbedaan antara pria dengan wanita.
Ada juga subkultur punk yang dianggap modis. Mirip dengan gerakan hippies, punk memberontak terhadap tradisi dan mempromosikan nihilisme. Kebanyakan hippie adalah anak muda pemberontak terhadap tradisi sosial dari keluarga tradisional kelas menengah, sementara kebanyakan punk adalah anak muda pemberontak terhadap tradisi sosial dari keluarga tradisional kelas bawah. Dengan demikian, banyak band punk juga menganjurkan sosialisme. [40]
Untuk mengekspresikan sikap anti-tradisionalis mereka yang menyeluruh, punk sering menunjukkan gaya rambut yang aneh, termasuk gaya rambut mohawk, atau mengenakan pakaian compang-camping penuh paku dan gesper. Mereka mewarnai rambutnya, kulitnya ditato, menindik seluruh tubuhnya, dan kadang memperlihatkan bagian tubuh yang bagi rata-rata orang cenderung untuk tetap tersembunyi. Punk sering tidak membuat perbedaan gender dalam berpakaian. Beberapa wanita punk mengenakan pakaian pria dan sebaliknya. Punk memberikan inspirasi bagi banyak tren mode saat ini.
Punk mendukung hedonisme, itulah sebabnya satu slogan punk yang populer adalah “hidup dalam waktu singkat, mati muda, dan meninggalkan mayat yang elok.” Hal ini sepenuhnya mencerminkan tragedi hilangnya kepercayaan pada Tuhan dan tertipu untuk jatuh ke jurang hedonisme dan materialisme. Individu dan masyarakat harus waspada dengan nihilisme yang menyedihkan ini, tetapi tidak berlaku untuk punk.
Selain itu, ada segala macam tanda-tanda kekacauan dan ketidakbermaknaan lain dalam masyarakat saat ini: Tampilan gambar hantu atau setan pada pakaian atau dalam musik yang populer; pilihan gambar jelek untuk tato; mainan dan ornamen anak-anak yang aneh; karya sastra, film, dan televisi yang penuh dengan iblis, hantu, dan kengerian supernatural — produk yang banyak dikonsumsi masyarakat; dan konten yang merusak dan nihilistik ditemukan di internet. Kini, bahkan penggemar sepak bola, misalnya, secara teratur mengadakan kerusuhan dan pemberontakan, yang mendatangkan malapetaka. Semua tanda kemerosotan ini menunjuk pada kekuatan negatif dan gelap yang telah menjadi pengaruh dominan pada masyarakat luas.
Kesimpulan
Setiap orang berhak untuk mengejar kebahagiaan — tetapi harus dalam parameter moral. Mengejar kesenangan secara berlebihan, di luar batas normal, secara tak terhindarkan akan membawa penderitaan, malapetaka, dan kesedihan.
Kebudayaan tradisional umat manusia tidak melarang kepuasan keinginan yang wajar. Namun, kebudayaan tradisional mengajarkan manusia untuk mengendalikan keinginannya dan memilih gaya hidup sehat. Kebudayaan tradisional menghargai keharmonisan dengan alam, kerja tradisional, hubungan keluarga yang harmonis, masyarakat sipil yang sehat, dan partisipasi dalam pemerintahan sendiri dan manajemen negara, serta seni tradisional, sastra, olahraga, dan hiburan. Semua ini membawa kebahagiaan dan kepuasan, memberi manfaat bagi tubuh dan pikiran setiap manusia, serta masyarakat pada umumnya.
Namun, tujuan akhir komunisme adalah untuk menghancurkan umat manusia. Salah satu langkah dalam proses ini adalah kerusakan moralitas dan meniadakan Tuhan dari kebudayaan manusia. Oleh karena itu, tujuan akhir komunisme adalah bahwa apa pun rezim politiknya, kebudayaan populer dan gaya hidup diresapi dengan kenegatifan dan kegelapan. Dalam beberapa dekade terakhir, kebudayaan populer seperti itu telah diciptakan di Timur dan Barat.
Kegilaan masyarakat modern telah menyebabkan banyak manusia meninggalkan kebudayaan dan moralitas tradisional. Manusia menuruti keinginannya, mengejar kesenangan tanpa batas. Keterpusatan pada diri sendiri, hedonisme, dan nihilisme telah menjadi hal yang umum, diterima, dan bahkan modis. Inilah kebudayaan yang memimpin dunia saat ini, dan manusia telah melupakan tujuan sebenarnya dari keberadaannya.
Seks, narkoba, musik rock, dan video game merangsang dan memperbesar hasrat. Banyak manusia yang menikmati hal-hal ini untuk menghindari kesengsaraan dan kekecewaan hidup, tetapi manusia tidak pernah berhenti untuk merenung. Kecanduan ini hanya membawa kepuasan sesaat, diikuti oleh lebih banyak nyeri dan bencana. Penyalahgunaan narkoba menyebabkan penyakit, kematian, dan gangguan kepribadian; hubungan seksual yang kacau menghancurkan keluarga, membuat manusia kehilangan kepercayaan dan kehangatan; dan video game membuat manusia kehilangan dirinya di dunia yang palsu. Pecandu merasa bahwa mereka berada dalam karnaval kesenangan, tetapi pada kenyataannya, mereka hanya dieksploitasi oleh kekuatan luar, karena satu-satunya hal yang menunggu mereka adalah kematian fisik dan pembusukan spiritual.
Hal yang sama berlaku untuk masyarakat dan negara. Ketika sejumlah besar rakyat kecanduan hasrat dan kesenangan, bencana sudah dekat.
Tuhan menciptakan umat manusia dan memberikan kehendak bebas bagi setiap manusia. Manusia seharusnya tidak menyalahgunakan kebebasannya dan terus menapak di jalan kebobrokan.
Sebaliknya, manusia harus memanfaatkan kebebasannya itu dan memilih untuk kembali ke kebudayaan dan cara hidup tradisional. Tuhan selalu menjaga dan melindungi manusia. Tetapi apakah umat manusia dapat kembali ke jalan yang benar sepenuhnya tergantung pada pilihan setiap manusia.
Lanjut Baca Bab Lima Belas.
Referensi:
[1] “George Washington’s Rules of Civility and Decent Behavior in Company and Conversation,” Foundations Magazine, http://www.foundationsmag.com/civility.html.
[2] Benjamin Franklin, The Autobiography and Other Writings on Politics, Economics, and Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 68–69.
[3] Xue Fei, “‘If a god is missing, just make one’: Chaos at the grandmother temple, Hebei.” The Epoch Times Chinese edition, August 10, 2017, http://www.epochtimes.com/gb/17/8/9/n9513251.htm, [In Chinese]
[4] “Oxford Dictionary Adds Popular Chinese Terms,” China Daily, September 6, 2010, http://www.chinadaily.com.cn/business/2010-09/06/content_11259791.htm.
[5] Loretta Chao, “The Ultimate Knock-Off: A Fake Apple Store,” The Wall Street Journal, July 21, 2011, https://blogs.wsj.com/chinarealtime/2011/07/21/the-ultimate-knock-off-a-fake-apple-store/.
[6] Jack Kerouac, “The Birth of a Socialist,” Atop an Underwood: Early Stories and Other Writings (New York: Penguin, 2000).
[7] Roberto Franzosi, review of “Power and Protest: Global Revolution and the Rise of Détente,” by Jeremi Suri, American Journal of Sociology, 111 (5), 1589.
[8] Meredith Box and Gavan McCormack, “Terror in Japan,” The Asia-Pacific Journal: Japan Focus, 2 (6), June 25, 2004, https://apjjf.org/-Meredith-Box–Gavan-McCormack/1570/article.pdf.
[9] Georgia Wallen, “The Seven Stages of the ‘Hamilton’ Kennedy Center Queue,” The Washington Post, March 30, 2018, https://www.washingtonpost.com/opinions/the-seven-stages-of-the-hamilton-kennedy-center-queue/2018/03/30/c1ae15fc-31f8-11e8-8bdd-cdb33a5eef83_story.html.
[10] Amy D. McDowell, “Contemporary Christian Music,” Oxford Music and Art Online, https://doi.org/10.1093/gmo/9781561592630.article.A2234810.
[11] “The Opioid Crisis,” https://www.whitehouse.gov/opioids/.
[12] Drug Facts: Marijuana, National Institute on Drug Abuse for Teens, https://teens.drugabuse.gov/drug-facts/marijuana.
[13] Allison Bond, “Why Fentanyl Is Deadlier than Heroin, in a Single Photo,” Stat News, September 29, 2016, https://www.statnews.com/2016/09/29/why-fentanyl-is-deadlier-than-heroin/.
[14] “Overdose Death Rates,” National Institute on Drug Abuse, September 2017, https://www.drugabuse.gov/related-topics/trends-statistics/overdose-death-rates.
[15] Amanda Hoover, “110 Pounds of Fentanyl Seized at Port in Shipment from China,” New Jersey, July 2, 2018, https://www.nj.com/news/index.ssf/2018/07/110_pounds_of_fentanyl_found_in_philadelphia_port.html.
[16] “China Drug Report: More than 14 million drug users nationwide,” BBC Chinese-language website, June 24, 2015, http://www.bbc.com/zhongwen/simp/china/2015/06/150624_china_drugs_report. [In Chinese]
[17] Zhang Yang, “China’s Drug Situation Report 2017: Released: 140,000 Drug Criminal Cases Cracked Across China,” People’s Daily Online, June 26, 2018. http://yuqing.people.com.cn/n1/2018/0626/c209043-30088689.html. [In Chinese]
[18] “Things Are Looking Up in America’s Porn Industry,” NBC News, January 20, 2015, https://www.nbcnews.com/business/business-news/things-are-looking-americas-porn-industry-n289431.
[19] “Boy, 12, Repeatedly Raped Sister after Becoming Fascinated with Internet Porn,” New Zealand, November 7, 2016, https://www.nzherald.co.nz/world/news/article.cfm?c_id=2&objectid=11743460.
[20] Lars Gravesen, “Taxpayers Foot Bill for Disabled Danes’ Visits to Prostitutes,” Telegraph, October 2, 2005, https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/denmark/1499735/Taxpayers-foot-bill-for-disabled-Danes-visits-to-prostitutes.html.
[21] Inga Margrete Ydersbond, “The ‘Promiscuous’ and the ‘Shy’: Denmark and Norway: A Historic Comparative Analysis of Pornography Legislation,” The NPPR Working Paper Series: The Politics of Commercial Sex, March 2012, https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/34447/NPPRWP201201.pdf?sequence=1.
[22] Takudzwa Hillary Chiwanza, “Thousands of Chinese Prostitutes Are Flocking to Africa for Lucrative Fortunes,” The African Exponent, May 7, 2018, https://www.africanexponent.com/post/8965-chinese-prostitutes-have-joined-the-scramble-for-africas-fortunes.
[23] Pat Fagan, “The Effects of Pornography on Individuals, Marriage, Family and Community,” Issue Brief, The Family Research Council, accessed October 6, 2018, https://downloads.frc.org/EF/EF11C36.pdf.
[24] Jill Manning, Senate testimony, November 10, 2005, referencing J. Dedmon, “Is the Internet Bad for Your Marriage? Online Affairs, Pornographic Sites Playing Greater Role in Divorces,” 2002, press release from The Dilenschneider Group, Inc., 14, https://s3.amazonaws.com/thf_media/2010/pdf/ManningTST.pdf
[25] David Shultz, “Divorce Rates Double When People Start Watching Porn,” Science, August 26, 2016, http://www.sciencemag.org/news/2016/08/divorce-rates-double-when-people-start-watching-porn.
[26] George Akerlof, Janet Yellen and Michael Katz, “An Analysis of Out-of-Wedlock Childbearing in the United States,” Explorations of Pragmatic Economics (Oxford: Oxford University Press, 2005), 120.
[27] Joseph Chamie, “Out-of-Wedlock Births Rise Worldwide,” YaleGlobal Online, March 16, 2017, https://yaleglobal.yale.edu/content/out-wedlock-births-rise-worldwide.
[28] Mark Aguiar, Mark Bils, Kerwin Kofi Charles and Erik Hurst, “Leisure Luxuries and the Labor Supply of Young Men,” National Bureau of Economic Research, Working Paper No. 23552 issued in June 2017, p. 1, http://www.nber.org/papers/w23552.
[29] Tom Wijman, “Mobile Revenues Account for More Than 50% of the Global Games Market as It Reaches $137.9 Billion in 2018,” Newzoo, April 30, 2018, https://newzoo.com/insights/articles/global-games-market-reaches-137-9-billion-in-2018-mobile-games-take-half/.
[30] “United States Crime Rates 1960–2017,” Compiled by DisasterCenter.com from: FBI UCS Annual Crime Reports, http://www.disastercenter.com/crime/uscrime.htm.
[31] Bonnie Berkowitz, Denise Lu and Chris Alcantara, “The Terrible Numbers That Grow with Each Mass Shooting,” Washington Post, June 29, 2018, https://www.washingtonpost.com/graphics/2018/national/mass-shootings-in-america/?utm_term=.f63cc1b03c0b.
[32] Global Terrorism Database (GTD), University of Maryland, https://www.start.umd.edu/gtd/.
[33] Jacque Wilson and William Hudson, “Gun Violence in PG-13 Movies Has Tripled,” CNN, November 11, 2013, http://www.cnn.com/2013/11/11/health/gun-violence-movies/index.html.
[34] Assil Frayh, “Gun Violence Keeps Rising in PG-13 Movies, Study Says,” CNN, January 20, 2017, https://www.cnn.com/2017/01/20/health/gun-violence-pg-13-movies-study/index.html.
[35] “Violent Video Games and Young People,” Harvard Mental Health Letter, 27, no. 4 (October 2010), http://affectsofvideogames.weebly.com/uploads/6/4/3/3/6433146/medical_journal.pdf
[36] Mary Garden (1874–1967). “Why I Bobbed My Hair.” Pictorial Review (April 1927).
[37] “Long Hair for Men,” Encyclopedia of Fashion, http://www.fashionencyclopedia.com/fashion_costume_culture/Modern-World-Part-II-1961-1979/Long-Hair-for-Men.html.
[38] “Hip Huggers,” Encyclopedia of Fashion,
http://www.fashionencyclopedia.com/fashion_costume_culture/Modern-World-Part-II-1961-1979/Hip-Huggers.html.
[39] Kathryn Bromwich, “Groupies Revisited: The Women with Triple-A Access to the 60s,” The Guardian, November 15, 2015, https://www.theguardian.com/music/2015/nov/15/groupies-revisited-baron-wolman-rolling-stone-pamela-des-barres.
[40] David Ensminger, Left of the Dial: Conversations with Punk Icons (Oakland, Calif.: PM Press), 47;Neil Eriksen, “Popular Culture and Revolutionary Theory: Understanding Punk Rock,” https://www.marxists.org/history/erol/periodicals/theoretical-review/19801802.htm.