Mengapa Diplomasi Prajurit Serigala Beijing Mendadak Hening?

oleh Huidong Zhang

Para pejabat tingkat-atas Tiongkok baru-baru ini, beralih dari siasat diplomasi prajurit serigala rezim Tiongkok ke pendekatan yang lebih halus. Perubahan haluan ini dapat diartikan sebagai Komunis Tiongkok tidak mau memisahkan diri dari Amerika Serikat atau pun hengkang dari tatanan ekonomi global yang dipimpin oleh Washington.

Yang Jiechi, seorang anggota top Politbiro partai Komunis Tiongkok, menulis, “Tiongkok selalu terbuka untuk berdialog dan berkomunikasi dengan Amerika Serikat,” dalam sebuah artikel tertanggal 7 Agustus 2020. 

Cui Tiankai, Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat, mengatakan hubungan Amerika Serikat-Tiongkok harus menjadi “kerjasama daripada konfrontasi” di Forum Keamanan Aspen pada tanggal 4 Agustus. 

Menteri Luar Negeri Wang Yi berpidato di Forum Media Lembaga Pemikir Amerika Serikat pada tanggal 9 Juli, mengatakan, “Tiongkok dapat memulihkan dan memulai kembali mekanisme dialog di semua tingkatan dan di semua bidang.”

Meskipun pernyataan pejabat Partai Komunis Tiongkok tersebut di atas mengungkapkan bahwa Beijing memang sedang memohon untuk berdialog dengan Washington, kata-kata itu tidak memiliki bobot dan mungkin tidak mengarah pada tindakan nyata.

Diplomasi Prajurit Serigala Menciptakan Musuh Global

Untuk waktu yang lama, Partai Komunis Tiongkok menganggap diplomasi sebagai cara untuk memperluas tiraninya. Diplomasi Partai Komunis Tiongkok yang agresif dan menyerang dicirikan oleh tujuan menghasut sentimen nasional dan mencuci otak orang-orang Tiongkok. 

Misalnya, sebagai mantan pemimpin Partai Komunis Tiongkok, diplomasi revolusioner Mao Zedong adalah sejalan dengan ambisi pribadinya — untuk menjadi seorang pemimpin revolusi dunia. Mao Zedong menggolongkan hampir semua negara sebagai musuh. Amerika Serikat dan Eropa Barat menjadi “imperialis”, negara-negara komunis yang tunduk pada Uni Soviet adalah negara “imperialis sosial,” dan negara dunia ketiga yang tersisa pada dasarnya dekat dengan Eropa dan Amerika Serikat adalah kubu “anti-Tiongkok.” Sedikit negara yang tersisa adalah “teman miskin yang tersebar luas” di Afrika, yang dimanfaatkan rezim Tiongkok untuk menerapkan kebijakan bantuan luar negerinya.

Dalam konflik perbatasan Tiongkok-Soviet pada tahun 1969, Uni Soviet yang sangat kesal bersiap untuk melakukan “serangan nuklir bedah” terhadap Tiongkok. Sebuah perusahaan oposisi dari Amerika Serikat menghindarkan rakyat Tiongkok dari serangan nuklir.

Di bawah provokatif “anti-imperialis” dan “anti-revisionis” kebijakan luar negeri rezim Tiongkok, rakyat Tiongkok telah menderita tanpa henti akibat kediktatoran rezim Tiongkok yang arogan dan terisolasi.

Para pemimpin Partai Komunis Tiongkok berikutnya menyadari, bahwa waktunya adalah tidak tepat untuk Partai Komunis Tiongkok untuk menjadi pemimpin dunia. Jadi, mereka mengadopsi “kebijakan luar negeri ekonomi” mantan pemimpin Deng Xiaoping yang memiliki “diplomasi nasionalis yang kuat” untuk membingungkan masyarakat internasional. 

Selama periode ini, Komunis Tiongkok mengorganisir berbagai demonstrasi di Tiongkok Daratan untuk mengancam masyarakat internasional, seperti demonstrasi anti-Amerika Serikat oleh para mahasiswa pada tahun 1999, pengguna internet Tiongkok memboikot raksasa ritel Prancis Carrefour pada tahun 2008, protes anti-Jepang pada tahun 2012, dan demonstrasi anti-Korea pada tahun 2017. Namun, diplomat prajurit serigala tetap diam.

Ekonomi Tiongkok berkembang pesat setelah Amerika Serikat membantu Tiongkok untuk bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia. Kekuatan nasional Tiongkok juga meningkat secara bermakna, terutama setelah melampaui Jepang menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia pada tahun 2010. 

Kekuatan modal Tiongkok seakan mempersiapkan Partai Komunis Tiongkok, untuk mencapai ambisinya mengubah tatanan dunia sehingga Komunis Tiongkok menguasai dunia. 

Penulis roman picisan Partai Komunis Tiongkok yang dibayar murah bernama Jin Canrong, seorang profesor hubungan Sino-Amerika Serikat di Renmin University of China, bahkan mendeklarasikan apa yang disebut “win-win” di mana Tiongkok sudah menang dua kali. Kini negara adidaya baru tersebut, siap meluncurkan perang diplomatik revolusionernya di seluruh dunia.

Pandemi global memungkinkan diplomat prajurit serigala untuk meluncurkan serangkaian serangan. Tujuannya untuk mengelak dari tanggung jawab atas penyebaran luas virus  Komunis Tiongkok, yang umumnya dikenal sebagai jenis Coronavirus baru. 

Pertama, rezim Tiongkok menyimpulkan bahwa Amerika Serikat adalah sumber COVID-19, yang memprovokasi konflik Tiongkok-Amerika Serikat. Kedua, tanpa malu rezim Tiongkok menuntut rasa terima kasih dari dunia, karena rezim Tiongkok sudah menyediakan masker wajah yang rusak. Ketiga, Duta Besar Tiongkok untuk Australia memperingatkan Australia untuk menghentikan penyelidikan internasional mengenai asal usul  virus Komunis Tiongkok. Keempat, Duta Besar Tiongkok untuk Paris memfitnah staf di  panti jompo Prancis di situs web kedutaannya dan dengan tajam mengkritik Barat yang lamban dalam  menanggapi wabah. Kelima, Kedutaan Besar Tiongkok di Brasil mentweet bahwa Eduardo Bolsonaro, putra Presiden Brasil, telah terinfeksi “virus mental” selama perjalanan baru-baru ini ke Amerika Serikat, itu setelah Eduardo Bolsonaro men-tweet bahwa rezim Tiongkok adalah “kediktatoran.” 

Keenam, Kedutaan Besar Tiongkok di Jerman menyebut tabloid setempat BILD adalah “buruk” saat BILD mengklaim Tiongkok memberi utang kepada Jerman karena pandemi virusi Komunis Tiongkok. Ketujuh, Kedutaan Besar Tiongkok di Swedia memposting di situs websitenya, bahwa klaim lembaga pemikir Frivärld bahwa “Tiongkok harus dimaafkan” adalah sama sekali tidak berdasar, tidak dapat dibenarkan, dan Tiongkok adalah virus yang lebih menakutkan.

Pertengkaran diplomatik ini disebabkan oleh para prajurit serigala di permukaan menunjukkan garis keras rezim Komunis Tiongkok, juga terus-menerus mencuci otak orang Tiongkok. Seperti yang ditulis oleh media pemerintah Tiongkok, Global Times, “Sudah berlalu hari-hari Tiongkok dilecehkan.”

Tujuan akhir siasat semacam itu adalah menjebak masyarakat internasional ke dalam permainan yang menyalahkan dan mengaburkan masalah mendasar dari sumber pandemi.

Namun, diplomasi prajurit serigala ini telah membawa efek samping yang jelas, yakni, “diplomasi kekuatan besar bercirikan Tiongkok” yang diusulkan oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping telah merosot menjadi ketidakpercayaan oleh semua negara di dunia, dan sekali lagi menjadi “musuh manusia.” 

Survei Pusat Penelitian Pew menunjukkan “kira-kira dua pertiga orang Amerika Serikat kini berpendapat negatif mengenai Tiongkok, persentase tertinggi yang tercatat” sejak Pew mulai mengajukan pertanyaan tersebut sejak 15 tahun yang lalu.

Beralih ke Mode Dialog Buying Time

Diplomasi prajurit serigala tidak hanya gagal meningkatkan kekuatan internasional yang diusulkan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok, namun juga telah merusak citra kekuatan baru duniawi yang diciptakan Komunis Tiongkok  melalui upaya yang melelahkan. Hingga kemudian beralih ke mode buying time atau mengulur waktu. 

Hubungan antara Komunis Tiongkok dengan negara lain di dunia terus memburuk — terutama hubungan Amerika Serikat-Tiongkok. Setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyatakan bahwa negara-negara pencinta kebebasan di dunia “harus mulai mengubah cara rakyat dan mitra kami memandang Partai Komunis Tiongkok,” dan (kami)” tidak dapat memperlakukan penjelmaan Tiongkok ini sebagai negara normal, sama seperti negara lain,” rezim Tiongkok akhirnya menyadari perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Komunis Tiongkok. 

Untuk menjaga hak kekuasaan rezim Tiongkok, pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok harus memohon untuk berdialog dengan Amerika Serikat.

Yang Jiechi, seorang anggota Politbiro dan Direktur Kantor Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok menulis dengan klaimnya bahwa : “Kedua negara perlu terlibat dalam dialog dan komunikasi di semua bidang. Tiongkok selalu terbuka untuk berdialog dan berkomunikasi dengan Amerika Serikat.”

Jelas, Yang Jiechi sengaja melupakan apa yang dikatakan Mike Pompeo dalam pidatonya, “Janji Yang Jiechi, seperti banyak janji yang dibuat Partai Komunis Tiongkok sebelumnya, adalah omong kosong.” 

Dialog tersebut tidak akan terjadi karena Amerika Serikat telah mengakui, seperti yang dinyatakan Mike Pompeo, “bahwa satu-satunya cara untuk benar-benar mengubah komunis Tiongkok adalah dengan bertindak bukan atas dasar apa yang dikatakan para pemimpin Tiongkok, tetapi bagaimana para pemimpin Tiongkok berperilaku.”

Amerika Serikat telah mengatakannya dengan jelas: “Saat berbicara mengenai Partai Komunis Tiongkok … kita harus tidak percaya dan harus membuktikan.”

Permintaan Komunis Tiongkok untuk berdialog dengan Amerika Serikat dapat diartikan sebagai sebuah siasat untuk menunda dan menggantungkan harapannya pada presiden terpilih mendatang. 

“Tiongkok lebih suka Presiden Trump — yang dianggap Beijing sebagai sosok yang tidak dapat diduga — tidak memenangkan pemilihan umum ulang,” demikian pernyataan yang dibuat oleh  Direktur Pusat Kontra-Intelijen dan Keamanan Nasional Amerika Serikat William Evanina pada tanggal 7 Agustus.

Komunis Tiongkok tidak pernah melepaskan ambisinya untuk hegemoni global. Oleh karena itu, Amerika Serikat harus waspada dengan perilaku Komunis Tiongkok saat ini, karena apa yang dilakukan Komunis Tiongkok adalah selalu mengancam keamanan Amerika Serikat dan dunia.

Komunis Tiongkok Memisahkan dari Tatanan Ekonomi Dunia

Seperti yang kita semua ketahui, dari merahasiakan wabah Coronavirus hingga penindasan terhadap whistleblower, tindakan Komunis Tiongkok, didukung oleh informasi sesat Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, yang telah menyebabkan pandemi dunia, terus mengikis masyarakat internasional, yang pasti membuat orang-orang di seluruh dunia menuntut kompensasi dari Komunis Tiongkok  atas kerusakan yang disebabkan oleh virus. Sudah terjadi, beberapa negara di Afrika secara terbuka meminta Komunis Tiongkok untuk mengurangi atau menghapus utang mereka — ini adalah kompensasi terselubung.

Konflik seputar masalah klaim akan meletus setelah pandemi selesai. Komunis Tiongkok  mungkin harus meninggalkan tatanan ekonomi internasional. Negara-negara tidak akan memindahkan rantai pasokan industrinya ke Tiongkok, khususnya setelah melihat ancaman tiranii Komunis Tiongkok terhadap ekonomi dan politik global. Dengan mempertimbangkan keamanan nasional dan keselamatan kehidupan dan kesehatan rakyat, negara-negara akan mempercepat pemisahannya dengan rezim Tiongkok. 

Pasang surut gelombang pemisahan dari Partai Komunis Tiongkok telah dimulai. Negara-negara yang terlibat dalam proyek dan organisasi kerjasama yang dipimpin oleh “one belt, one road” (OBOR, juga dikenal sebagai Inisiatif Belt dan Road) yang berorientasi investasi milik Partai Komunis Tiongkok, Organisasi Kerjasama Shanghai, dan BRICS, memiliki konflik dan ketidaksepakatan yang serius dengan Komunis Tiongkok mengenai pandemi dan diplomasi. India dan Brazil, anggota BRICS, misalnya, telah menunjukkan hubungan yang memburuk dengan Komunis Tiongkok.

Melalui pandemi, kerusakan hubungan antara Komunis Tiongkok dan negara-negara lain dipercepat. Begitu rantai industri bergerak keluar dari Tiongkok, maka akan sulit mendapatkannya kembali. Status “pabrik dunia” tidak akan pernah kembali.

Tindakan menyimpang Komunis Tiongkok  hanya akan menyebabkan Tiongkok dikeluarkan dari masyarakat internasional dan tatanan ekonomi dunia. 

Keterangan Gambar: Presiden Donald Trump dan pemimpin Tiongkok Xi Jinping meninggalkan acara para pemimpin bisnis di Aula Besar Rakyat di Beijing, Tiongkok, pada 9 November 2017. (Nicolas Asfouri / AFP melalui Getty Images)

(Vv/asr)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=itZ2pAe4jLU