oleh Iswahyudi
Warganet Indonesia kembali heboh. Bukan karena pandemi atau kasus korupsi kelas kakap yang terkuak atau terbakarnya gedung Kejaksaan Agung, namunĀ karena uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh PT. Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran. Pengajuan judical review ini diajukan keduanya pada Juni 2020 dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
Judical review itu mempersoalkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran Angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi:
“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakanspektrum frekuensi radio melalui udara,kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Pasal tersebut, oleh pemohon, dinilai menyebabkan diskriminasi antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix. Sebab pada Pasal 1 Angka 2 tersebut, UU Pe- nyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tidak mengatur penyelenggara penyiaran terbarukan.
āKarena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,ā kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat. (Sumber: Kompas.com).
Selanjutnya pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Seperti misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran. Sementara, penyelenggara penyiaran dengan internet tidak memerlukan persyaratan itu. Kemudian, pemohon juga menyebut harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) dan ada ancaman sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jika terjadi pelanggaran. “Sementara, bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet, tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan,” kata Imam. “Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud,” lanjutnya. Untuk alasan-alasan itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945.
Apa dampak jika gugatan ini dikabulkan? Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komu- nikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli (26/8/2020) menyebut sejumlah dampak soal gugatan tersebut. Pertama, jika permohonan dikabulkan, masyarakat tidak lagi bisa secara bebas memanfaatkan fitur siaran di platform media sosial.
“Definisi perluasan penyiaran mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin,” kata Ramli.
“Artinya kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin,” tuturnya.
Kedua, Apabila kegiatan-kegiatan tersebut dikategorikan sebagai penyiaran, maka lembaga negara, lembaga pendidikan, konten kreator, baik badan usaha ataupun badan hukum yang menggunakan platform OTT harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran. Apabila tidak memiliki izin, maka dapat dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam sanksi pidana. Ketiga, Ditambah lagi penyedia platform media sosial yang umumnya melintasi batas negara, menjadi musta- hil untuk menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.
Apa kata KPI?
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan sikap soal gugatan RCTI dan iNews TV ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Youtube tunduk pada UU Penyiaran. KPI sepakat dan mendorong pengaturan media baru dalam hal kesetaraan.
“KPI mendorong pengaturan media baru dalam konteks kesetaraan perlakuan kepada seluruh industri konten,” kata Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dalam keterangan tertulis- nya, Minggu (30/8/2020) (detik.com)
Agung mengatakan KPI menjaga kepentingan publikĀ untukĀ mendapatkan acara yang berkualitas. Sikap KPI ini berdasarkan rapat pleno. Menurutnya, KPI berkomitmen menjaga kepentingan publik untukĀ mendapat kontenĀ yangĀ Ā berkualitas sekaligus mendorong industri kreatif dalam memproduksi konten sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Proses gugatan yang masih berjalan di MK pun menurut KPI perlu dihargai oleh semua pihak. Namun, topik gugatan ini menurut KPI dapat dijadikan pembicaraan semua orang berdasarkan argumentasi yang seimbang.
“KPI mengajak seluruh pihak untuk menghargai proses hukum yang sedang berlangsung sekaligus menjadikan topik ini sebagai wacana publik yang didasarkan pada perspektif argumentasi yang propor- sional dan mengedepankan kepentingan bangsa,” imbuhnya.
Keresahan para warganet dan conten creator
Warganet dan para content creator resah dengan judical review Undang-Undang Penyiaran ini. Banyak pihak yang menduga ada motif terselubung dari langkah hukum ini terutama motif ekonomi dan motif persaingan usaha.
Beberapa warganet membuat petisi melalui change.org atas gugatan tersebut. Mereka meminta MK untuk tidak mengabulkan gugatan RCTI dan iNews TV karena dinilai akan merugikan banyak pihak. Seperti petisi ‘MK Jangan Kabulkan Gugatan RCTI dan INews TV’ yang digagas Bachtiar Djanan melalui situs change.org. Menurutnya, gugatan tersebut dinilai akan merugikan banyak pihak, khususnya para konten kreator seperti Vlogger, Youtuber atau Selebgram. Berdasarkan petisi terse- but, ada implikasi yang terjadi bila gugatan dua stasiun televisi milik MNC Group tersebut dikabulkan, diantaranya:
1.Masyarakat tidak akan bisa bebas lagi membuat berbagai konten kreatif video untuk ditayangkan di media sosial ataupun platform berbasis internet lainnya.
2.Masyarakat tidak akan bebas lagi menggunakan fitur live streaming di media sosial ataupun platform berbasis internet lainnya.
3.Hanya pihak berizin yang bisa melakukan siaran, termasuk untuk live streaming melalui media sosial.
4.Selama ini media sosial telah berperan besar dalam mendistribusikan eko- nomi kepada para pembuat konten kreatif. Jika gugatan ini dikabulkan, maka distribusi ekonomi melalui platform media so- sial akan terganggu, dan akan menumpuk kembali bermuara kepada raksasa-raksasa media televisi.
5.Menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital.
6.Menghambat kebebasan berekspresi dan berkreativitas masyarakat.
Selanjutnya petisi itu mencermati beberapa hal,
1.Mengapa penyiaran (dalam hal ini televisi) selama ini harus diatur oleh Undang-Undang? Karena penyiaran definisinya adalah broadcasting melalui frekuensi milik publik, maka harus diatur UU Penyiaran. Sementara internet bersifat milik pribadi bukan menggunakan frekuensi publik, di mana pengguna internet harus membayar untuk bisa broadcast sesuatu, maka tidak masuk dalam ranah publik yang harus diatur dalam undang-undang.
2.Jika menurut PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) diperlukan penertiban untuk pembuat konten, maka harus ada kejelasan tentang hal apa yang perlu ditertibkan. Karena sebenarnya sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang ada, di antaranya adalah Undang- Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Hak Cipta hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sudah mengatur hal-hal yang menjadi koridor bagi para pembuat konten kreatif.
3.Hingga saat ini tidak ada negara yang mengatur layanan audio visual dengan platform digital (melalui internet) yang dimasukkan menjadi bagian dari penyiaran sehingga harus diatur dalam regulasi seperti Undang-Undang Penyiaran.
Diakhir petisinya, mereka menuntut agar:
1.Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan gugatan dari PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV).
2.PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) mencabut gugatannya yang menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya bagi para pembuat konten kreatif, dan berpotensi menghambat berkembangnya pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital.
Pandangan pakar hukum tata negara
Seorang Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun tidak setuju judical review tersebut yang menginginkan konten-konten video internet, seperti YouTube tunduk dengan UU Penyiaran. Ia menilai nantinya akan ada konflik kepentingan bila konten video diatur dalam regulasi seperti itu.
“Ini sebuah kemajuan zaman, nggak bisa ditolak. Bagaimanapun perilaku masyarakat yang menonton tv sudah bergeser ke platform. Justru industri pertelevisian harus antisipasi ini, bukan malah menghadang dengan menciptakan regulasi perizinan,” ujar Refly, Jumat (28/8/2020) sebagai dilapokan oleh detik.com.
Refly juga merupakan seorang YouTuber mengingatkan saat ini sudah diakui adanya industri penyiaran swasta, bahkan penyiaran personal. Hal tersebut menurutnya merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
“Kalau kemudian ini harus masuk rezim regulasi penyiaran bahkan izin, maka demokratisasi dalam mengakses bahkan membuat penyiaran personal ini bisa terhambat bahkan terbilas,” imbuhnya. Ahli hukum tata negara ini menilai regulasi bagi video konten internet akan mengesankan menjadi alat represi. Refly menyarankan bila memang ada pelanggaran terhadap konten internet, hal tersebut bisa diatasi melalui undang-undang pidana lain.
“Sekarang YouTuber misalnya berapa juta orang yang harus minta izin ke Kemenkominfo, ini akan jadi alat kontrol atau represi terutama konten-konten yang kritis. Karena itu menurut saya, kalau ada misalnya pelanggaran, gunakan saja UU yang ada, misalnya penyebaran berita bohong, gunakan UU ITE, pidana,” ucapnya.
Refly pun tidak setuju dengan RCTI dan iNews TV yang menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan penyiaran yang menggunakan internet, seperti konten di Youtube, juga tunduk ke UU Penyiaran. Dia khawatir akan ada pembungkaman publik.
“Nggak setuju. karena kalau masuk rezim perizinan seperti itu berarti kita menyerahkan kepala, leher kita kepada sebuah otoritas dan akan terjadi conflict of interest, karena misalnya konten-konten yang kritis terhadap kekuasaan ya mudah sekali tidak diberi izin,” ungkap Refly.
“Apalagi ada kecenderungan era pemerintahan Jokowi ini cenderung adanya bahaya otoritasisme gitu lho. Pembungkaman kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan cara kriminalisasi, misalnya,” ungkap eks Komisaris Utama PT. Pelindo I (Persero). Hal itu juga sesuai dengan pasal 28F UUD 45 yang berbunyi:
āSetiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersediaā.